Aku bukanlah boneka yang bisa dipermainkan setiap
waktu, aku bukanlah boneka yang hanya bisa diam menghadapi apapun, aku juga
bukanlah boneka yang tak punya perasaan terhadap segala situasi. Tapi, aku
adalah manusia biasa yang memiliki hati, aku adalah manusia yang memiliki
perasaan. Dan ketika hati dan perasaan itu dilukai, maka akan susah untuk
menatanya kembali.
Cakka
berjalan di pinggir jalan dengan kecepatan lambat. Sesekali ia menghela nafas
kemudian menendang-nendang kerikil yang menghalangi jalur jalannya. Tas yang
masih tergantung di pundaknya ia pegang dengan kedua tangan kekarnya. Baju
seragam yang melekat di tubuhnya sudah basah oleh keringat karena panasnya
cahaya matahari.
Sejujurnya,
sudah dua jam yang lalu semenjak kuliahnya usai. Tapi, ia benar-benar tak ingin
pulang cepat-cepat. Hidupnya selama ini sudah berjalan cukup berat. Selama
sembilan belas tahun ia hidup di dunia ini, dia mengalami banyak kepahitan
dalam hidupnya. Dan kejadian terakhir yang terjadi adalah ia harus menghadapi
pengkhianatan teman. Terjadi di kantin sekolah, tepatnya pukul sembilan pagi.
“Kau
benar-benar percaya aku ingin berteman denganmu?” tanya Ray setelah beranjak
dari kursi kantin. Ia berdiri di samping seorang laki-laki yang baru saja masuk
ke dalam kelasnya. Mario Aditya yang katanya anak dari konglomerat.
“Kalau
tidak, untuk apa selama tiga tahun ini kau bersamaku?” tanya Cakka bingung
menatap Ray.
Ray
tertawa. “Kau hanyalah seorang kutu buku yang memakai kacamata tebal. Kau juga
tidak populer. Setiap hari kegiatanmu hanya membaca buku, bahkan tak jarang kau
menolak ajakanku untuk bermain hanya demi ke perpustakaan.”
“Tapi, aku
sudah mengajakmu untuk ikut ke perpustakaan. Setelah membaca beberapa buku, aku
akan ikut bermain bersamamu. Dan kau menolak ajakanku.”
“Hei,
dengar, Chase Karayne, laki-laki mapan dan populer seperti tak akan
menghabiskan waktu di perpustakaan.” kata Ray. “Dan sekarang karena aku sudah
mendapatkan teman yang layak, maka aku jelas lebih memilih berteman dengannya
daripada dengan kau!”
Setelah
berkata begitu, Ray langsung mengambil baki makanannya dan langsung pindah ke
meja Rio. Cakka yang kini duduk sendirian hanya bisa melihat sahabatnya itu
dari tempatnya. Ia bergumam pelan, “Serendah itukah arti persahabatan kita
selama ini?”
Cakka menghela napasnya. Raynald Putra
sudah menjadi sahabatnya selama tiga tahun belakangan di kampus. Dia yang
selalu ada untuk membantunya dari masalah. Walaupun dia selalu menolak dan
menatap buku dengan hina, tapi Cakka tetap merasa Ray hanya tak suka membaca.
Namun, di balik semua kebaikan Ray selama ini, terdapat kebohongan yang
mendalam. Entah sudah keberapa kalinya dia menjadi korban kasus semacam itu.
Sejak SMP, dia selalu mengalaminya.
“Sehina
itukah aku untuk orang lain?” tanya Cakka pada dirinya sendiri. Ia duduk di
pinggir jalan dan menundukkan kepalanya. Ia melepaskan tasnya dari pundak dan
merogohnya untuk mencari sapu tangan. Ia harus membersihkan kacamatanya.
Setelah
selesai membersihkan kacamatanya, ia langsung melanjutkan perjalanannya hingga
ia sampai di rumah. Saat itu, rumah sudah ramai. Kakak serta Ayahnya pasti
sudah pulang. Cakka langsung membuka sepatu dan menaruh tasnya di sofa ruang
keluarga.
“Cakka,
cepatlah mandi dan bergabung bersama kami di ruang makan. Makan malam sudah
tiba.” suara Bunda mengagetkan Cakka.
Cakka
langsung mengangguk dan segera menuju kamar untuk melakukan perintah Bunda.
Dengan cepat ia mandi dan memakai setelan kaus putih dan celana pendek selutut
bersama hitam. Ia menyisir rambutnya sejenak kemudian langsung pergi ke ruang
makan untuk makan malam setelah memakai kacamata. Saat itu, Ayah dan Bunda dan
Ayah sedang tertawa-tawa dengan Elang, kakaknya.
“Sepertinya
pembicaraan menyenangkan. Ada kabar baik apa?” tanya Cakka sambil tersenyum. Ia
mengambil tempat duduk di samping Elang dan di seberang Ayah.
“Hasil
ujian kuliah kakakmu ini sangat sempurna, Kka. Tadi dia baru memeriksanya di
internet dan ternyata dia mendapatkan IPK 4.” kata Ayah. “Bagaimana denganmu,
Kka? Kau biasanya memeriksa di komputer kampus, bukan?”
Cakka diam
sejenak mendengar ucapan Ayah, kemudian mengangguk.
“Lalu
bagaimana hasilnya?” tanya Bunda penasaran.
“Aku
mendapatkan 3.5, Bunda.” kata Cakka sambil tersenyum paksa.
“Selama
ini kau membaca begitu banyak buku untuk meningkatkan nilai kuliah. Kau bahkan
rela tidak bermain untuk itu, dan kau hanya mendapatkan tiga koma lima? Rasanya
tidak mungkin.” celetuk Elang. “Atau kenyataannya kau hanya membual soal
belajar itu?”
“Tidak,
Kak! Aku tidak membual!” kata Cakka dengan wajah gelisah.
“Sudah, sudah.
Cakka, kau harus belajar lebih banyak lagi. Kau lihat bukan, kakakmu itu bisa
mendapatkan IPK 4. Kalau dia bisa, maka kau juga pasti bisa. Ucapan kakakmu ada
benarnya.” kata Bunda. “Kau tahu kan, Ayah dan Bunda ingin kalian sukses?
Contohlah kakakmu.”
Cakka diam
mendengar ucapan Bunda.
Semenjak
itu, Cakka hanya diam selama jam makan malam. Diam-diam ia menyesal telah
bertanya topik pembicaraan yang sedang mereka perbincangkan. Tentu saja, mereka
baru saja melakukan ujian. Dan kakaknya pasti mendapatkan nilai sempurna lagi.
Harusnya dia sudah tahu dan mencegahnya sebelum... hatinya kembali berantakan.
J L J
“Written in these walls
Are the stories that I can’t explain...”
Setelah
selesai makan malam, Cakka langsung pamit untuk ke kamar. Jam sudah menunjukkan
angka delapan, semua anggota keluarganya juga pasti langsung masuk ke dalam
kamar masing-masing untuk istirahat. Untunglah malam ini tak begitu
menyedihkan.
Cakka
berdiri di sebelah tempat tidurnya dan menatap dinding kamar yang sudah
dipenuhi dengan kertas-kertas sambil tersenyum kecil. Kertas-kertas itu berisi
gambar-gambar yang sejak SMP ia buat untuk menumpahkan segala perasaan yang ia
rasakan tentang kehidupannya. Ya, menggambar adalah satu-satunya kegiatan yang
tak pernah ia bicarakan kepada siapapun. Hanya dia dan Tuhan yang tahu mengapa
dia melakukan hal itu sampai dinding kamarnya penuh dengan hasil karyanya.
Semua kisah hidupnya tergambar di kertas-kertas itu dengan baik. Mulai dari
pertama kalinya dia dibohongi dan dikerjai teman, dihina karena penampilannya
yang cupu, dijauhi karena hobi membaca bukunya yang menurut mereka membosankan.
Bahkan sampai sekarang dia belum pernah merasakan rasanya mempunyai sahabat.
Entahlah.
Ia tak mengerti mengapa tak ada yang bisa mengerti perasaannya. Bahkan
keluarganya sendiri juga tak begitu suka dengan dirinya karena adanya kehadiran
Elang yang jauh lebih sempurna daripada dirinya. Padahal, bagi Cakka berusaha
menjadi yang terbaik dalam pendidikan sudah merupakan kesempurnaan. Baginya
orang yang bangkit delapan kali ketika dia jatuh tujuh kali sudah bisa
dikatakan orang sempurna, karena dia pantang menyerah. Tak semua orang bisa
melakukan itu.
Tidak.
Selama ini Cakka bukan tidak belajar seperti yang dituduh Elang. Ia justru
sangat rajin belajar. Namun, seperti yang kita tahu, ada kalanya ketika Cakka
tak bisa mengingat apa yang dipelajarinya karena terlalu banyak pikiran.
Kepahitan yang dialaminya di rumah maupun di kampus terkadang mengganggu
konsentrasinya saat sedang ujian. Tapi, Cakka jelas tak bisa mengutarakan hal
itu. Cakka tidak ingin bertengkar lebih jauh lagi dengan keluarganya. Cukup
sudah mereka membeda-bedakannya dengan Elang.
“I leave my heart open but it stays right here
empty for days
She told me in the morning she don't feel the
same about us in her bones
Seems to me that when I die these words will be
written on my stone...”
Cakka
berjalan menuju balkon. Ia mengangkat kepalanya menatap langit yang tengah
dipenuhi bintang malam itu. Matanya ia pejamkan, kedua tangannya ia rentangkan.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus pelan menyejukkan badannya terasa sejuk.
Benar-benar membuat suasana hatinya kembali damai. Andai saja angin sepoi-sepoi
tersebut juga mampu membuat semua kepahitan hidupnya berubah. Tapi, tidak. Itu
mustahil. Cakka hanya bisa menghadapinya.
Tuhan,
Aku tidak tahu, sebenarnya apa yang salah dalam
diriku...
Keluargaku begitu menuntut kesempurnaan...
Teman-temanku begitu menuntut kepopuleran...
Kacamata yang bertengger di atas hidungku selalu
dianggap kesalahan...
Ketika dunia memusuhiku...
Hanya engkaulah yang mengerti hidupku...
Hanya engkaulah yang meredakan rasa sakit
hatiku..
THE END…
Tuliskan komentar kalian
di bawah,
Nantikan ceritaku
selanjutnya!
keren gan, berbakat buat jadi penulis
BalasHapuswah ini tulisan sendiri ? keren bero. semangat menulis !!
BalasHapus