Cerpen ini pernah dipost di
blog Komunitas Cerita Penulis, mungkin di antara kalian yang pernah berkunjung
ke sana pernah baca cerpenku yang ini :)
Kutatap jendela kamarku yang
kini telah basah. Mulutku serasa terkunci dengan sejuta gembok. Bau hujan mulai
terasa menusuk ke dalam indera penciumanku. Rasanya sudah lama tidak melihat
hujan. Semenjak aku merasakan kehilangan yang begitu dalam waktu itu, rasanya
langit cerah terus. Tapi, hari ini ia kembali turun dengan derasnya.
Kulangkahkan kakiku
menghampirinya. Secara perlahan-lahan kuangkat tanganku untuk mendekati kaca
jendela. Dingin. Itu yang pertama kali kurasakan ketika aku berhasil menyentuhnya.
Perasaan itu kemudian melayangkan pikiranku terbang menuju tempat dimana aku
mengawali hidupku dengan penuh kebahagiaan.
Sekitar tujuh belas tahun kurang dua hari yang lalu, seorang ibu telah melahirkanku dengan penuh perjuangan. Aku pernah dengar, katanya ia harus menjalankan operasi yang begitu berbahaya. Dengan didampingi seorang dokter dan beberapa suster, ia mengalirkan air matanya sambil berusaha mengeluarkanku agar aku bisa melihat dunia. Melahirkan seorang aku harus mempertaruhkan nyawa katanya.
Nadia Angel Prastanti. Nama
yang begitu indah menghiasi hatiku selama ini. Kau tahu? Dia adalah perempuan
paling hebat yang pernah kutemui. Dengan wajah bulat penuh senyuman, ia
memperlihatkan tatapan teduh itu setiap hari. Badannya yang begitu langsing tak
pernah absen memelukku. Kedua tangannya lembutnya selalu mengacak-acak rambutku
dengan rasa sayang. Suaranya yang begitu manis selalu memanggil namaku.
“Aku merindukanmu.” Suaraku
tiba-tiba gatal ingin memanggilnya.
Entah sudah yang ke berapa
kali aku mengucapkan dua kata itu. Yang pasti, aku selalu mengatakannya jika
aku melihat hujan. Ia terlalu banyak memberikanku kenangan manis di masa lalu.
Andai saja aku bisa merasakannya sampai saat ini. Andai saja rasa bahagia itu
tak harus terpaksa berhenti sampai di hari ia meninggalkan luka dalam hati ini.
“Bu, apa Ibu lebih senang
berada di alam sana daripada bersamaku?”
Pertanyaan bodoh itu lagi-lagi
muncul dalam benakku. Sudah bertahun-tahun aku duduk di ambang jendela kamar
ini setiap rumahku sepi tak berpenghuni. Rasa kesepian yang selama ini jauh
dariku selalu mendatangiku setiap kali aku berada di sini. Dia senang sekali
menari-nari di antara diriku, menertawakanku yang kini telah ditinggal sendiri.
“Bu, dua hari lagi aku sudah
berumur tujuh belas tahun. Malaikatmu akan segera dewasa. Apakah Ibu senang?”
Ah, andai saja Ibu dapat
mendengar pertanyaanku. Padahal, aku ingin sekali merayakan hari ulang tahun
paling berhargaku bersamanya. Meniup lilin bersamanya. Bersenang-senang
bersamanya. Namun, takdir sudah menjawab semuanya. Ia tak memihakku.
Kukatupkan kedua tanganku di
depan dada. Kedua mataku yang sipit segera kupejamkan rapat-rapat. Diiringi
dengan suara hujan yang begitu deras, suara lirihku segera berbicara dengan
Tuhan, “Andai Engkau memberikanku satu kesempatan lagi untuk meminta, aku hanya
ingin Engkau membahagiakan Ibu di surga.”
TAP... TAP... TAP...
Pendengaranku tiba-tiba
menyadarkanku dari lamunan. Suara langkah laki seorang gadis kecil itu sukses
membuatku menoleh. Dengan langkah riang ia menghampiriku, sepertinya ia baru
saja pulang. Kedua tangan mungilnya segera memeluk tubuhku. Kepalanya
menengadah menatapku. “Jangan sedih lagi, Kak Angel.”
Aku tersenyum menatap
wajahnya. Arabilla Gabriel. Gadis berambut keriting cokelat itu baru saja memasuki
umur delapan tahun. Aku ingat, dulu Ibu menamainya demikian karena Gabriel
adalah salah satu nama malaikat yang membawa kabar gembira. Sebuah harapan yang
begitu besar tersirat dalam nama adik kecilnya itu.
“Kak Angel tidak boleh
sedih-sedih terus. Kak Angel itu malaikat Riel. Riel tidak ingin malaikat Riel
bersedih.” katanya lagi dengan wajah cemas. “Jangan melamun melihat hujan lagi,
Kak.”
Senyumku tidak pudar mendengar
ucapannya. Rasanya terharu jika mendengar suaranya. Sampai sekarang, hanya dia
satu-satunya harta yang aku miliki. Dia selalu ada untukku. Namun, sampai
sekarang aku selalu melanggar kata-katanya. Aku mengerti, aku mengerti ia tak
ingin aku selalu melihat hujan dengan pandangan yang sedih. Namun, semua
kerinduan ini tak selalu bisa kutahan dalam hati. Ah, seharusnya aku merasa
benar-benar beruntung memilikinya.
“Kamu juga malaikat Kak Angel,
Riel.” jawabku. Kutundukkan badanku untuk menggendong badan mungilnya.
Kemudian, aku kembali membalikkan badanku menatap jendela. “Kata Ibu, Ibu ingin
sekali anak-anaknya tumbuh besar seperti malaikat. Mereka selalu membawa
kebahagiaan untuk orang lain.”
Kedua tangan Riel segera
memeluk leherku. Kepalanya segera ia sandarkan pada wajahku, menimbulkan rasa
hangat pada pipi kananku. “Riel ingin membawa kebahagiaan untuk Kak Angel.”
Aku tersenyum. “Kak Angel
juga, sayang.”
“Ibu bilang, Riel harus
menjaga Kak Angel. Riel tidak boleh membuat Kak Angel sedih. Karena itu, Kak
Angel jangan sedih lagi.” kata Riel dengan suara memelas.
“Kak Angel tidak akan bersedih
lagi.” janjiku.
Bibir mungil gadis kecil itu
tertarik membentuk senyuman mendengar ucapan kakaknya. “Janji?”
Aku tersenyum lagi, kemudian
mengangguk. “Janji!”
Suasana hening sejenak. Kami
berdua kembali menatap hujan yang tak kunjung berhenti juga. Rasanya berbeda.
Perasaanku secara perlahan-lahan berubah. Rasa sepi yang selama ini
menghantuiku entah kenapa tiba-tiba lenyap begitu saja. Rasa bersalah yang
telah tertanam di dalam hati, tiba-tiba saja mendorongku untuk keluar dari
kesunyian hidup.
“Kak Angel...” Riel tiba-tiba
memanggil pelan namaku.
“Hm...”
“Besok lusa, Riel ingin
merayakan ulang tahun Kak Angel dengan bahagia. Riel dan Ayah sudah mengundang
banyak teman untuk datang ke rumah. Walaupun tidak ada Ibu, Riel ingin Kak
Angel bisa merasakan kebahagiaan waktu Kak Angel berulang tahun. Kak Angel mau,
kan?”
Aku tersenyum menatap adikku.
THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!
Wah Lama-lama Anda terkenal nie.. Soalnya banyak banget cerpen nya
BalasHapus