Aku
hanyalah laki-laki biasa. Aku hanyalah anak yang baru beberapa tahun yang lalu
resmi lulus dari kampus jurusan kedokteran dan membuka praktik sendiri di
rumah. Aku layaknya anak-anak normal lainnya yang berkewajiban belajar dengan
baik agar dapat membanggakan orang tua di kemudian hari. Aku juga terkadang
membantu anak-anak tetangga yang sakit jika aku memiliki waktu luang. Walaupun
sudah tak berada dalam sekolah maupun kampus, aku tetap berteman dengan buku
sehari-hari, demi memperdalam ilmu kedokteran. Bukankah pasien adalah
keluargaku juga, tak boleh sembarangan mengobati.
Aku
hanyalah laki-laki lemah. Aku adalah laki-laki pengecut. Aku bahkan hanya bisa
mengurungkan diri ketika teringat bahwa keluargaku sudah tidak lengkap lagi.
Mulutku terkunci rapat, selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang
penyakit yang diderita Ayahku. Seolah-olah aku terlalu takut menceritakan
semuanya kepada orang lain.
Aku
hanyalah laki-laki mengecewakan. Lahir dari perut Bunda dan diberi kasih sayang
oleh Ayah. Bahkan hampir setiap hari dibelai Bunda walaupun sudah beranjak
dewasa. Namun, seberapa sering aku berkorban untuk mereka masih bisa dihitung
dengan jari. Orang lain bisa aku sembuhkan, sementara Ayahku sendiri kubiarkan
tak berdaya hingga akhirnya dipanggil Tuhan. Bisa dibilang, aku telah
menghancurkan rencana orang tuaku untuk membuatku menjadi anak yang berbakti,
kan? Mataku hanya bisa menatap nanar Bunda yang menangis di samping batu putih
bertuliskan nama Ayahku.
Aku
hanyalah laki-laki yang berusaha tegar. Setiap minggunya harus melihat rumah
Ayah yang baru. Merawatnya dan menaburkan bunga-bunga di atasnya. Mendoakan
beliau adalah satu-satunya pekerjaan paling berat yang pernah kulakukan. Bukan,
aku bukan tak ikhlas mendoakannya, namun hati masih menyisakan rasa tak rela
untuk melepaskannya. Dukungan-dukungannya, saran-sarannya, nasehat-nasehatnya,
segalanya yang telah ia ucapkan kepadaku selalu terngiang-ngiang di telingaku.
Apalagi jika melihat pasien yang datang bersama Ayah mereka. Rasanya...
menusuk.
Ayah
adalah satu-satunya alasan mengapa aku menempuh jalur kedokteran. Ayah selalu
bilang dokter itu adalah pekerjaan mulia. Ayah selalu bilang dokter itu bisa
menyelamatkan manusia dari rasa sakit. Ayah selalu bilang dokter adalah
pekerjaan yang sangat berat. Ayah selalu bilang dokter itu harus mengutamakan
pasien tanpa mengabaikan keluarga. Karena itulah aku berusaha keras untuk bisa
menjadi dokter yang baik bagi anak-anak di dunia ini. Juga untuk keluargaku
sendiri. Tapi, entah harus darimana aku memulai, jika dari awal saja aku sudah
gagal menyelamatkan nyawa orang yang kusayangi.
“Cakka
janji Cakka akan belajar dengan rajin dan membuka praktik sendiri untuk
menyelamatkan banyak orang. Cakka juga janji akan menjaga Ayah dengan baik
sampai Ayah sembuh.” Kata-kata itu sudah tidak ada artinya lagi, karena sedetik
setelah aku mengatakan seperti itu kepada Ayah, beliau pergi di hadapan mataku
sendiri. Mungkin kalian bisa membayangkan bagaimana seorang anak berumur tujuh
belas tahun melihat secara langsung salah satu orang tuanya pergi untuk
selama-lamanya. Setelah mereka berdua mengoleksi banyak kenangan indah dalam
hidup mereka.
Aku
hanyalah laki-laki munafik. Aku tak bisa dibilang orang baik. Mulut dan hatiku
tak pernah bekerja sama dengan baik setiap kali berkomunikasi dengan sesama.
Mungkin dari sepuluh orang, setidaknya mungkin ada delapan orang yang menyadari
aku suka berbohong dan menutupi segalanya. Apa yang terucap dari mulutku,
seolah-olah hanya pelindung yang menutupi keburukan hidupku.
J L J
Bagi
pasienku, aku adalah seorang dokter yang ramah. Selalu tersenyum kapan saja.
Ceria kapan saja. Dan tetap tenang setiap kali ia memiliki kebimbangan dalam
bekerja. Namun, mereka tak pernah tahu kalau di setiap senyumku terkandung
kesedihan paling dalam yang tak bisa kuungkapkan kepada siapapun.
Bagi
pasienku, aku adalah seorang dokter pahlawan superhero. Memiliki kekuatan untuk
memulihkan rasa sakit yang ada di tubuh mereka. Bahkan ada beberapa anak yang
menganggapku seperti superman. Mereka tak tahu bahwa aku lebih cocok disebut
pahlawan kesiangan.
Ya apapun
sebutan pasien kepadaku, aku selalu merasa serba salah kepada mereka. Walaupun
aku bisa tersenyum melihat mereka kembali sembuh setelah mereka berkonsultasi
kepadaku, sekali lagi setiap senyumku mewakilkan satu kesedihan terdalam yang
ada di dalam benakku. Kadang-kadang jika aku sudah tak tahan, selesai praktik
air mataku pasti jatuh sendiri. Menyadari bahwa aku telah membuat hidupku
semakin lama semakin buruk. Mengingat bahwa aku tak akan bertemu dengan Ayah
lagi ketika aku sampai ke rumah nanti.
J L J
Berbicara
soal keluarga, aku memiliki kakak laki-laki dan perempuan. Ya, aku adalah anak
bungsu. Selain ada aku yang menjadi dokter, kakak perempuanku sukses menjadi
model terkenal, sementara kakak sulungku menjadi musisi go internasional.
Dibandingkan dengan dua kakakku, hanya aku yang gagal menjadi anak yang
berbakti. Mereka berdua sudah sukses dan membuat Ayah tersenyum bangga.
Entahlah,
aku merasa berbeda sendiri. Hanya aku yang tidak melihat senyum Ayah ketika aku
berhasil menjadi dokter dan membuka praktik sendiri. Hanya aku yang tak
mendapatkan apapun dari Ayah ketika aku sukses. Dan hanya aku yang tidak rela
melihat Ayah pergi.
Bukan! Aku
bukan ingin mendapatkan imbalan atas kesuksesanku. Aku sama sekali tak ingin
imbalan apapun dari keberhasilanku. Tapi... entahlah. Aku tak tahu bagaimana
harus menjelaskan perasaan ini. Aku hanya tak merasa sudah berhasil menggapai
cita-citaku. Karena cita-citaku yang sesungguhnya bukan hanya sekedar menjadi
dokter. Tapi, menyaksikan dengan mata kepala sendiri senyuman Ayah yang bahagia
memiliki anak sepertiku.
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!
nice...keren ceritanya
BalasHapus