Jumat, 26 Desember 2014

Cerpen | AKU, DIA dan KAMU


“Jadi kau akan bekerja di sana seterusnya?” terdengar suara Bunda protes kepada Ayah. “Bagaimana dengan anak-anak?”
“Bukankah dari dulu kau yang bilang kalau kau bisa membesarkan anak-anak sendiri tanpa aku?” tanya Ayah tak perduli. “Sekarang saatnya kau buktikan omongan kau itu.”
Bunda bungkam mendengar ucapannya. Dari balik pintu kamar, Iqbaal dan kedua adik kembarnya mendapati wajah Bunda tampak kesal. Kedua pipi beliau memerah karena sudah kehabisan rasa sabar menghadapi Ayah. Ini sudah hal paling parah yang dilakukan suaminya kepada keluarga.

Iqbaal tahu Bunda tak bisa menyangkal, ia pernah mendengar Bunda mengatakan itu di salah satu pertengkarannya dengan Ayah dulu. Pasalnya, dia sudah terlalu kesal dengan Ayah yang selalu sibuk bekerja di mana saja yang dia mau tanpa menghiraukan keluarganya. Iqbaal dan kedua adiknya bahkan hampir tak mempunyai waktu untuk bertemu dengan Ayah mereka sendiri karena terlalu sibuk mengurus pekerjaan.
Faktanya, Bunda juga bekerja di sebuah perusahaan, beliau hanya bertemu anak-anaknya ketika ia menjemputnya di siang hari dan memberikan mereka makan siang. Kemudian, ia langsung kembali bekerja sampai sore hari. Selama ia bekerja, Iqbaal sendiri yang bertanggung jawab untuk menjaga adik-adiknya, karena dia adalah anak sulung.
“Sudah mengerti, kan? Sekarang aku hanya tinggal membereskan bajuku. Aku akan pergi malam ini juga,” kata Ayah berbalik badan dan pergi menuju kamarnya. Namun, sebelum ia sempat memegang gagang pintu kamarnya, ia bersuara lagi. “Oh ya, aku juga akan membawa Bastian bersamaku.”
“Apa?!” kata Bunda syok. “Hei, kau tak bisa—“ Sebelum Bunda selesai berbicara, Ayah sudah menghilang di balik pintu.
Iqbaal memeluk erat kedua adiknya yang terus meremas bajunya dengan kuat. Mereka berdua tampak ketakutan mendengar pembicaraan tersebut. Apalagi Bastian, salah satu adiknya yang disebut-sebut Ayah tadi. Setelah bertahun-tahun bertengkar di balik hadapan mereka bertiga, akhirnya puncak pertengkaran telah tiba. Hari ini.
Setelah Iqbaal memastikan tak ada lagi pertengkaran yang terjadi di luar, ia membuka pintu kamarnya pelan-pelan dan menatap Bunda yang hanya bisa meneteskan air mata di tempat. Ia tampak kaget melihat ketiga anaknya telah berdiri di depan kamar menatapnya.
“Kalian...” kata Bunda lirih menatap anak-anaknya.
“Bunda, Bastian tak ingin ikut Ayah.” kata adik kecilnya yang berambut keriting itu. Ia langsung menghampiri Bunda dan memeluk beliau sambil menangis. Iqbaal dan Aldi, saudara kembar Bastian, hanya bisa menatap peristiwa itu dengan tatapan iba.
Bunda juga tetap mengunci mulutnya. Ia sendiri tak tahu harus berbicara apa untuk membuat anak bungsunya itu tenang kembali. Ayah begitu keras kepala, ia sudah lelah menghadapinya. Kalaupun ia mencoba melawan permintaan suaminya itu, tak akan membuat Bastian bisa tetap di sini bersama mereka. Tak lebih dari dua jam lagi, Bastian tetap harus angkat kaki dari rumah.

"Tiada kata yang dapat ku ucap
Saat kau pergi
Ku hanya diam menatap langkahmu
Meninggalkan kita..."

J L J

“Iqbaal!”
Laki-laki berumur sembilan belas tahun itu tiba-tiba tersadar dari lamunannya begitu mendengar temannya memanggil. Ia langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. “Apa, Ki? Kau mengatakan sesuatu?”
Kiki, temannya itu, langsung menepuk dahinya pelan mendengar ucapan Iqbaal. “Pantas saja dari tadi kau diam saja. Ternyata kau melamun? Melamun apa sih? Kita semua sudah menunggu.”
“Oh, maaf.” kata Iqbaal menyesal.
“Kau itu kenapa? Kebiasaan sekali kalau latihan untuk pensi pasti sering tidak fokus,” kata Kiki sambil menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, untuk kali ini, latihannya kita sudahi dulu. Besok kita latihan lagi.”
“Ada masalah apa, Baal?” tanya Anka, salah satu teman perempuannya. Tapi, Iqbaal hanya diam dan menyinggungkan senyumannya mendengar pertanyaan itu. Akhirnya, Kiki, Anka dan yang lainnya segera beres-beres dan pulang.
“Pulanglah, Baal. Kau pasti butuh istirahat.” kata Kiki sebelum meninggalkan ruangan.
“Kalau kau ada masalah, segera selesaikan sebelum pensi.” kata Anka menambahkan.
Iqbaal mengangguk. “Maaf ya, Kiki, Anka.”
“Tak apa-apa.” kata Kiki sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan.
“Kalau begitu, aku dan Kiki pulang duluan ya?” kata Anka.
Iqbaal mengangguk lagi. “Hati-hati ya.”
Kiki dan Anka melambaikan tangan mereka kepada Iqbaal sejenak sebelum benar-benar meninggalkan ruangan. Sementara Iqbaal tetap duduk di tempatnya, menghela nafas. Lagi-lagi ia mengganggu latihan karena sifat buruknya itu. Melamun tentang Bastian. Padahal, sekarang ia sudah duduk di bangku SMA 3. Kejadian itu sudah berlalu delapan tahun. Tapi, bayangan tentang kejadian itu tetap membekas di pikirannya.
Tangisan Bastian saat itu masih terus menghantui mimpinya. Ketika ia membuka mata di pagi hari, ia masih sering sedih melihat sedikit tempat kosong di tempat tidurnya. Ia yang dulu harus bersempit-sempitan dengan adik-adiknya, sekarang terasa begitu renggang karena hanya tidur dengan Aldi. Selain itu, rumah juga menjadi sepi karena tak ada Bastian. Banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah ia tinggalkan karena Bastian angkat kaki dari rumah.
Aldipun merasa demikian. Ia jelas merindukan adik kembarnya itu. Dari dulu ia sangat akrab dengannya. Walaupun mereka bukan kembar identik, namun mereka menyukai banyak hal yang sama. Ia sering mengatakan kepada Iqbaal bahwa ia rindu ingin bermain dengan Bastian lagi. Tapi, apa daya Iqbaal, dia sama sekali tak tahu alamat Bastian sekarang. Waktu itu, Ayah kan tidak meninggalkan apapun agar mereka dapat menghubungi Bastian maupun Ayah sendiri. Sejak ia pindah keluar kota, dia tak pernah sekalipun mengabari rumah.
Iqbaal pelan-pelan bangkit dari tempat duduknya. Setelah memasukkan gitar ke dalam tempatnya, ia langsung meninggalkan ruang musik untuk pulang. Aldi pasti sendirian di rumah, Bunda katanya tak sempat pulang. Karena itu, ia harus cepat pulang agar dapat membuat makan siang untuk adiknya itu.
“Aku pulang!” seru Iqbaal begitu ia sampai di rumah. Tapi, tidak ada yang menyahut dari dalam. Iqbaal memutuskan untuk menyahut lagi, “Aldi? Kau dimana?”
Tapi, tetap saja tak ada jawaban. Iqbaal menaruh gitarnya di sofa dan langsung pergi ke kamar. Biasanya, kalau tak berkeliaran, Aldi pasti sedang tidur. Anak itu hobi sekali tidur siang setiap pulang sekolah kalau tak ada yang bisa dikerjakan. Iqbaal hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat adiknya itu ternyata memang sedang pergi ke alam mimpi.
“Aldi?” panggil Iqbaal pelan.
Aldi tetap diam.
“Aldi?” panggil Iqbaal lagi sambil mengguncang bahu adiknya.
Aldi bergerak-gerak karena merasa terguncang. Ia membalikkan badannya menghadap Iqbaal, kemudian pelan-pelan membuka mata. “Eh, Kak, kau sudah pulang?”
Iqbaal mengangguk. “Kau sudah lama di rumah? Aku belum sempat memasak.”
“Oh, tidak apa-apa, Kak. Aku juga belum lapar. Masak saja dulu, aku bisa menunggu,” kata Aldi sambil bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar. “Buatkan aku makanan kesukaan Bastian ya, Kak?”
“Lagi?” kata Iqbaal sambil menggelengkan kepalanya.
“Ya. Aku sedang ingin makan telur mata sapi. Digabung dengan nasi goreng sepertinya enak,” kata Aldi sambil tertawa. “Atau perlu kubantu?”
Iqbaal menggeleng. “Kau siapkan alat makan saja. Taruh di meja.”
“Oke.”
Keduanya langsung meninggalkan kamar. Mereka masuk ke dapur, memakai celemek masing-masing dan langsung sibuk. Iqbaal membuat makanan, Aldi menyiapkan alat-alat untuk makan. Setelah selesai menata meja, Aldi juga membantu Iqbaal untuk membersihkan piring kotor yang belum sempat dicuci kemarin.
Tak sulit bagi mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya sudah menjadi kebiasaan mereka sejak kecil. Karena Ayah dan Bunda sibuk bekerja, mereka mau tak mau harus mandiri. Semuanya harus sendiri. Bunda telah mengajarkan Iqbaal memasak sejak kecil, membersihkan rumah sampai bagaimana harus menjaga adik-adik. Dan semua ilmu yang didapatnya itu ia turunkan ke kedua adiknya. Tentunya sekarang hanya ke Aldi, karena Bastian sudah tak tinggal di rumah. Namun sampai sekarang, Iqbaal belum juga mau menurunkan keahlian masaknya ke Aldi. Entah kenapa.
“Wah, sudah harum!” kata Aldi sambil mencuci piring.
“Ya, sebentar lagi sudah bisa dihidangkan.” jawab Iqbaal sambil tersenyum. Sekitar sepuluh menit kemudian, ia langsung mematikan api kompor dan mengambil mangkuk yang sangat besar dari lemari untuk menampung semua nasi goreng itu.
“Oke, ayo kita makan, Kak.” kata Aldi yang kebetulan juga selesai mencuci piring.
“Ayo.”
Mereka menaruh mangkuk besar berisi nasi goreng itu di atas meja ruang makan, dan langsung duduk di tempat masing-masing. Mereka berdoa sejenak, baru menyendok nasi goreng yang dibuat Iqbaal secukupnya untuk makan siang mereka.
“Wah, enak!” kata Aldi sambil mengunyah. “Andai saja Bastian bisa mencicipi masakanmu lagi, Kak. Keahlianmu sudah seperti koki terkenal.”
Iqbaal tersenyum mendengarnya. “Ya, Al. Aku juga ingin dia mencicipi masakanku. Coba saja waktu itu dia tak harus pergi bersama Ayah. Dia pasti masih ada di sini.”
Aldi mengangguk. “Dia pasti sudah besar sekarang, kelas sepuluh, sama sepertiku. Entah apa kabarnya dia sekarang ya, Kak. Sudah lama kita tak bermain bersama. Bermusik bersama.”
Iqbaal mengangguk setuju. Itu yang selalu dirindukannya dari Bastian. Saat mereka masih kecil, mereka sering sekali bernyanyi bersama karena mereka bertiga sangat suka dengan musik. Biasanya ia yang memainkan gitar, sementara dua adik kembarnya itu bernyanyi. Tapi, sekarang Iqbaal dan Aldi sudah tak terlalu semangat lagi melakukannya.
“Kenapa sih Bunda dan Ayah harus bertengkar? Kalau mereka akur, Bastian pasti tak harus pergi di sini,” kata Aldi lagi. “Kadang-kadang aku ingin menelepon Ayah untuk kembali, bagaimanapun juga Ayah tetap Ayah kita. Tapi itu tak mungkin.”
“Semuanya hanya bisa kita serahkan kepada Tuhan, Al,” kata Iqbaal. “Aku yakin, suatu saat kita pasti bisa bertemu dengan Bastian lagi. Asal kita terus berdoa untuknya. Biarlah dia di luar sana bersama Ayah, ini sudah takdir.”
“Andai saja Bunda dan Ayah tak berpisah seperti ini,” kata Aldi cemberut. Namun, sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. “Eh, tapi sebenarnya Ayah dan Bunda tidak benar-benar berpisah, kan? Mereka hanya berpisah rumah.”
Iqbaal menggeleng. “Waktu itu, secara tidak langsung Bunda dan Ayah sudah memutuskan hubungan hati. Tak perlu ada kata selamat tinggal di antara mereka, Al.”
Aldi menghela nafasnya. “Kalau begitu, kita hanya bisa menunggu keajaiban Tuhan.”
Iqbaal mengangguk pelan, kemudian tersenyum. "Sudah, ayo makan."
Aldi mengangguk patuh.

“Takkan berakhir di sini
Semuanya akan jadi lebih baik..."

J J L

“Baal!” teriak Anka nyaring begitu Iqbaal masuk ke dalam kelasnya pagi itu. Ia sampai menutup telinganya spontan karena Anka hampir saja membuat telinganya rusak. Teriakannya benar-benar terlalu nyaring untuk ukuran telinga manusia.
“Aduh, apaan sih, Ka? Pagi-pagi sudah teriak di telinga orang, kau pikir gendang telingaku bisa mengatasi suara cemperengmu itu?” keluh Iqbaal sebal. “Ada apa?”
“Maaf, maaf. Tadi aku baru saja dari kantin, dan saat mau kembali ke sini, aku bertemu dengan anak baru yang akan masuk ke sekolah kita! Dia akan masuk ke kelas sebelah nanti.” kata Anka nyengir sendiri.
“Lalu? Apa hubungannya denganku?” tanya Iqbaal heran.
“Kau tak tahu saja, anak baru itu sangat tampan. Baru masuk sekolah saja sudah terkenal. Teman-temanku sampai mengerubunginya tadi di luar sekolah.” kata Anka.
“Lalu?”
“Ah, kau tuh! Gembira sedikit untukku, kenapa? Ini benar-benar hari yang beruntung, tahu tidak?” Anka langsung cemberut mendengar komentar Iqbaal yang cuek.
“Ya, untukmu, bukan untukku. Kau pikir aku akan tertarik dengan anak baru itu jika kau bilang ia tampan? Kau pikir aku suka dengan sesama jenis?” tanya Iqbaal menggelengkan kepalanya.
“Bukan aku yang bilang begitu. Kau yang mengakuinya.” kata Anka mencibir.
“Ah, sudah, sudah. Daripada mengoceh-mengoceh tak jelas, lebih baik kau hafalkan lagi lagu-lagu yang akan kita tampilkan di pensi nanti, hari ini kita latihan lagi, kan? Ayolah, pensi minggu depan, tahu.” kata Iqbaal, kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Anka untuk latihan dengan gitarnya lagi, mumpung sekolah belum dimulai.
Anka memajukan bibirnya sebal menatap Iqbaal. Kemudian, terpaksa diam dan menuruti kemauan Iqbaal. Sahabatnya itu memang tak pernah mau mendengarkannya membicarakan hal-hal seperti gosip dan sebagainya. Padahal, ia hanya ingin berbagi kesenangannya.
Namun, untuk kali ini, ternyata Iqbaal tak bisa menghindar dari gosip anak baru itu. Ia mengerutkan dahinya heran ketika tiba-tiba saja, tak ada angin, tak ada badai, salah seorang dari teman sekelasnya mengatakan bahwa anak baru itu mencarinya. Padahal, anak itu baru satu sekolah dengannya tak lebih dari dua minggu, bertemu dengannya saja ia tak pernah. Paling hanya sekali, ketika dia mengatakan bahwa dia ingin bergabung dalam acara pensi sebagai pengisi acara. Itupun dia tak memberitahu Iqbaal namanya. Pakaiannya juga tertutup sekali, wajahnya ditutup kain, kedua matanya ditutupi kacamata hitam. Heran.
Sore itu, sepulang latihan, Iqbaal pergi menuju belakang sekolah untuk mencari tahu sebenarnya apa mau anak baru itu. Anka dan Kiki sudah pulang dari tadi karena mereka buru-buru.
Perlahan-lahan ia mencari sosok manusia yang kira-kira bisa jadi mencarinya. Namun, bukannya bertemu dengan anak baru itu, Iqbaal justru bertemu dengan adiknya. Aldi. Ia menggaruk-garukkan kepalanya heran. “Aldi!”
Aldi yang merasa dipanggil langsung menoleh. “Loh, Kak? Kakak kenapa di sini?”
“Aku dengar, anak baru di sekolah kita mencariku di sini. Kau sedang apa di sini?”
“Loh, sama, Kak. Aku dengar ada anak baru yang sedang mencariku juga. Aku penasaran, aku tak pernah mengenal anak baru itu, tapi dia mengajakku bertemu. Makanya tadi sehabis pulang, aku balik lagi ke sekolah,” kata Aldi heran. “Dimana ya dia?”
“Entahlah.” Iqbaal mengangkat kedua bahunya.
“Kalau begitu, kita pulang saja yuk, Kak? Wujudnya saja aku tak tahu, aku jadi takut menemuinya,” kata Aldi ngeri. “Lagipula, sebentar lagi Bunda pulang. Nanti Bunda khawatir mencari kita.”
Iqbaal menghela nafasnya. “Ya sudah, ayo kita pulang.”
Iqbaal dan Aldi berjalan meninggalkan belakang sekolah. Walaupun pikiran mereka masing-masing masih penasaran dengan anak baru itu, tapi mereka juga takut bahwa mereka hanya dikerjai. Logikanya, tak mungkin anak itu mencari mereka berdua, kenal namanya saja tidak.
Sesampainya di rumah, ternyata Bunda belum pulang. Mereka berdua langsung beristirahat di kamar. Mereka berbaring di tempat tidur, melepas rasa lelah mereka hari ini. Sekitar satu jam lebih mereka menunggu Bunda pulang, hingga akhirnya mereka tertidur karena terlalu lama menunggu.
“Iqbaal? Aldi?” terdengar suara lembut di telinga mereka saat mereka tertidur. Badan mereka juga terasa agak terguncang karena si pemilik suara mengguncang-guncang badan mereka.
“Apa sih? Aku masih mengantuk...” kata Aldi sambil memeluk gulingnya lebih erat.
“Iqbaal...”
“Aku lelah...” keluh Iqbaal juga sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Oke, jadi kalian tak rindu padaku?” tanya si pemilik suara itu lagi sambil tertawa kecil.
Tak ada jawaban. Tunggu, itu bukan suara Bunda. Itu bukan suara perempuan. Iqbaal yang menyadari hal tersebut langsung menyingkirkan bantalnya sembarangan dan membuka matanya perlahan-lahan.
Mata Iqbaal seketika terbelalak ketika melihat seseorang di hadapannya. Ia sampai tak bisa berbicara dengan jelas karenanya. Dengan suara yang terbata-bata, ia langsung membangunkan Aldi. “Di... Aldi... Bangun, Di...”
“Apa sih, Kak? Aku masih mengantuk...” kata Aldi langsung bangun dan mengucek-ngucek matanya sejenak. Namun, ketika ia sudah sadar dengan keberadaan seseorang di sana, matanya juga terbelalak seperti Iqbaal.
“BASTIAN?!” teriak Aldi nyaring. Membuat Iqbaal dan orang yang tadi membangunkan mereka, Bastian, langsung menutup telinga mereka.
“Aduh, Aldi! Kau itu tak berubah! Selalu saja berteriak-teriak!” kata Bastian sambil mengacak-acak rambut Aldi pelan. “Ternyata, sukses juga aku mengejutkan kalian! Kenapa tadi tak menemuiku di sekolah sih? Datang terlambat sedikit saja sudah ditinggal. Jahat kalian!”
“Jadi... yang menyuruh aku dan Aldi ke belakang sekolah itu...” kata Iqbaal terputus.
“Ya, aku. Kau, Baal, benar-benar polos. Padahal, kita sudah pernah bertemu, tapi kau tetap saja tak mengenaliku. Jadi, selama ini kau melupakan adikmu sendiri?” tanya Bastian pura-pura cemberut.
“Tapi, tidak mungkin! Anak baru di sekolah kita itu kelas dua belas! Bastian kan kembar denganku, bagaimana bisa dia lebih cepat?” tanya Aldi tak percaya. “Aku saja baru kelas sepuluh.”
“Memangnya kalian tak pernah mendengar kelas akselerasi?” tanya Bastian mencibir. “Aku masuk kelas aksel, makanya bisa lebih cepat darimu. Makanya, aku boleh bukan memanggilmu dengan nama, Baal?”
“Enak saja! Kau tetap harus memanggilku kakak! Umurmu masih sama dengan Aldi, tahu!” kata Iqbaal, membuat Bastian cemberut. “Kenapa kau bisa kembali ke sekolah kami? Dan bagaimana bisa kau ke sini?”
“Ayah sudah kembali bekerja di Jakarta, makanya aku memohon-mohon kepada beliau supaya disekolahkan lagi di sekolah lama. Itu syarat yang kuajukan, tadinya aku tak begitu rela meninggalkan Surabaya.”
“Lalu, Ayah mengizinkan?” tanya Aldi polos.
“Kalau tak diizinkan, bagaimana aku bisa di sini, Aldi sayang!” kata Bastian sambil tertawa. “Sejak pindah ke sekolah kalian, aku mencoba mencari cara untuk menghubungi Bunda, agar aku tahu kapan bisa bertemu kalian. Makanya, hari ini tadinya aku ingin mengejutkan kalian di sekolah. Tapi, kalian malah meninggalkanku. Ya sudah, Bunda mengantarkanku ke sini.”
Iqbaal dan Aldi hanya bisa nyengir mendengarnya.
“Tapi, sayang sekali, aku tak boleh kembali ke rumah ini. Ayah masih dongkol soal kejadian lalu, jadi aku hanya boleh bermain-main saja dengan kalian. Bunda juga.”
Iqbaal dan Aldi langsung kompak mengeluh, “Yaaaaaah... Babaaas...”
“Sudahlah! Yang penting kita masih bisa bertemu, bukan? Dan kita juga akan satu panggung di pensi nanti. Waktu itu, aku yang meminta bergabung ke pensi, Baal. Bagus bukan, penyamaranku?” kata Bastian.
“Menyeramkan tahu, Bas!” kata Iqbaal menggelengkan kepalanya. Aldi dan Bastian tertawa mendengarnya. Kemudian, mereka langsung berpelukan bertiga. Melepas rindu setelah terpisahkan bertahun-tahun.
Dari balik pintu kamar, Bunda menatap anak-anaknya dengan senyuman haru. Inilah yang ditunggu-tunggunya selama ini. Ketika mereka bisa bertemu lagi dengan saudara mereka. Walaupun Bastian tetap harus tinggal di rumah lain, tapi setidaknya secara tidak langsung, mereka bisa kembali bersama. Bersekolah di sekolah yang sama, bermain bersama jika ada waktu, seperti layaknya saudara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p