“Jadi kau akan bekerja di sana seterusnya?” terdengar suara Bunda protes
kepada Ayah. “Bagaimana dengan anak-anak?”
“Bukankah dari dulu kau yang bilang kalau kau bisa membesarkan anak-anak
sendiri tanpa aku?” tanya Ayah tak perduli. “Sekarang saatnya kau buktikan
omongan kau itu.”
Bunda bungkam mendengar ucapannya. Dari balik pintu kamar, Iqbaal dan kedua
adik kembarnya mendapati wajah Bunda tampak kesal. Kedua pipi beliau memerah
karena sudah kehabisan rasa sabar menghadapi Ayah. Ini sudah hal paling parah
yang dilakukan suaminya kepada keluarga.
Iqbaal tahu Bunda tak bisa menyangkal, ia pernah mendengar Bunda mengatakan
itu di salah satu pertengkarannya dengan Ayah dulu. Pasalnya, dia sudah terlalu
kesal dengan Ayah yang selalu sibuk bekerja di mana saja yang dia mau tanpa
menghiraukan keluarganya. Iqbaal dan kedua adiknya bahkan hampir tak mempunyai
waktu untuk bertemu dengan Ayah mereka sendiri karena terlalu sibuk mengurus
pekerjaan.
Faktanya, Bunda juga bekerja di sebuah perusahaan, beliau hanya bertemu
anak-anaknya ketika ia menjemputnya di siang hari dan memberikan mereka makan
siang. Kemudian, ia langsung kembali bekerja sampai sore hari. Selama ia
bekerja, Iqbaal sendiri yang bertanggung jawab untuk menjaga adik-adiknya,
karena dia adalah anak sulung.
“Sudah mengerti, kan? Sekarang aku hanya tinggal membereskan bajuku. Aku
akan pergi malam ini juga,” kata Ayah berbalik badan dan pergi menuju kamarnya.
Namun, sebelum ia sempat memegang gagang pintu kamarnya, ia bersuara lagi. “Oh
ya, aku juga akan membawa Bastian bersamaku.”
“Apa?!” kata Bunda syok. “Hei, kau tak bisa—“ Sebelum Bunda selesai
berbicara, Ayah sudah menghilang di balik pintu.
Iqbaal memeluk erat kedua adiknya yang terus meremas bajunya dengan kuat.
Mereka berdua tampak ketakutan mendengar pembicaraan tersebut. Apalagi Bastian,
salah satu adiknya yang disebut-sebut Ayah tadi. Setelah bertahun-tahun
bertengkar di balik hadapan mereka bertiga, akhirnya puncak pertengkaran telah
tiba. Hari ini.
Setelah Iqbaal memastikan tak ada lagi pertengkaran yang terjadi di luar,
ia membuka pintu kamarnya pelan-pelan dan menatap Bunda yang hanya bisa
meneteskan air mata di tempat. Ia tampak kaget melihat ketiga anaknya telah
berdiri di depan kamar menatapnya.
“Kalian...” kata Bunda lirih menatap anak-anaknya.
“Bunda, Bastian tak ingin ikut Ayah.” kata adik kecilnya yang berambut
keriting itu. Ia langsung menghampiri Bunda dan memeluk beliau sambil menangis.
Iqbaal dan Aldi, saudara kembar Bastian, hanya bisa menatap peristiwa itu
dengan tatapan iba.
Bunda juga tetap mengunci mulutnya. Ia sendiri tak tahu harus berbicara apa
untuk membuat anak bungsunya itu tenang kembali. Ayah begitu keras kepala, ia
sudah lelah menghadapinya. Kalaupun ia mencoba melawan permintaan suaminya itu,
tak akan membuat Bastian bisa tetap di sini bersama mereka. Tak lebih dari dua
jam lagi, Bastian tetap harus angkat kaki dari rumah.
"Tiada kata yang dapat ku ucap
Saat kau pergi
Ku hanya diam menatap langkahmu
Meninggalkan kita..."
J L J
“Iqbaal!”
Laki-laki berumur sembilan belas tahun itu tiba-tiba tersadar dari
lamunannya begitu mendengar temannya memanggil. Ia langsung menoleh ke arahnya
dengan tatapan bingung. “Apa, Ki? Kau mengatakan sesuatu?”
Kiki, temannya itu, langsung menepuk dahinya pelan mendengar ucapan Iqbaal.
“Pantas saja dari tadi kau diam saja. Ternyata kau melamun? Melamun apa sih? Kita
semua sudah menunggu.”
“Oh, maaf.” kata Iqbaal menyesal.
“Kau itu kenapa? Kebiasaan sekali kalau latihan untuk pensi pasti sering
tidak fokus,” kata Kiki sambil menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, untuk kali
ini, latihannya kita sudahi dulu. Besok kita latihan lagi.”
“Ada masalah apa, Baal?” tanya Anka, salah satu teman perempuannya. Tapi,
Iqbaal hanya diam dan menyinggungkan senyumannya mendengar pertanyaan itu.
Akhirnya, Kiki, Anka dan yang lainnya segera beres-beres dan pulang.
“Pulanglah, Baal. Kau pasti butuh istirahat.” kata Kiki sebelum
meninggalkan ruangan.
“Kalau kau ada masalah, segera selesaikan sebelum pensi.” kata Anka menambahkan.
Iqbaal mengangguk. “Maaf ya, Kiki, Anka.”
“Tak apa-apa.” kata Kiki sambil tersenyum dan menepuk pundaknya pelan.
“Kalau begitu, aku dan Kiki pulang duluan ya?” kata Anka.
Iqbaal mengangguk lagi. “Hati-hati ya.”
Kiki dan Anka melambaikan tangan mereka kepada Iqbaal sejenak sebelum
benar-benar meninggalkan ruangan. Sementara Iqbaal tetap duduk di tempatnya,
menghela nafas. Lagi-lagi ia mengganggu latihan karena sifat buruknya itu.
Melamun tentang Bastian. Padahal, sekarang ia sudah duduk di bangku SMA 3. Kejadian
itu sudah berlalu delapan tahun. Tapi, bayangan tentang kejadian itu tetap
membekas di pikirannya.
Tangisan Bastian saat itu masih terus menghantui mimpinya. Ketika ia
membuka mata di pagi hari, ia masih sering sedih melihat sedikit tempat kosong
di tempat tidurnya. Ia yang dulu harus bersempit-sempitan dengan adik-adiknya,
sekarang terasa begitu renggang karena hanya tidur dengan Aldi. Selain itu,
rumah juga menjadi sepi karena tak ada Bastian. Banyak kebiasaan-kebiasaan yang
telah ia tinggalkan karena Bastian angkat kaki dari rumah.
Aldipun merasa demikian. Ia jelas merindukan adik kembarnya itu. Dari dulu
ia sangat akrab dengannya. Walaupun mereka bukan kembar identik, namun mereka
menyukai banyak hal yang sama. Ia sering mengatakan kepada Iqbaal bahwa ia
rindu ingin bermain dengan Bastian lagi. Tapi, apa daya Iqbaal, dia sama sekali
tak tahu alamat Bastian sekarang. Waktu itu, Ayah kan tidak meninggalkan apapun
agar mereka dapat menghubungi Bastian maupun Ayah sendiri. Sejak ia pindah
keluar kota, dia tak pernah sekalipun mengabari rumah.
Iqbaal pelan-pelan bangkit dari tempat duduknya. Setelah memasukkan gitar
ke dalam tempatnya, ia langsung meninggalkan ruang musik untuk pulang. Aldi
pasti sendirian di rumah, Bunda katanya tak sempat pulang. Karena itu, ia harus
cepat pulang agar dapat membuat makan siang untuk adiknya itu.
“Aku pulang!” seru Iqbaal begitu ia sampai di rumah. Tapi, tidak ada yang
menyahut dari dalam. Iqbaal memutuskan untuk menyahut lagi, “Aldi? Kau dimana?”
Tapi, tetap saja tak ada jawaban. Iqbaal menaruh gitarnya di sofa dan
langsung pergi ke kamar. Biasanya, kalau tak berkeliaran, Aldi pasti sedang
tidur. Anak itu hobi sekali tidur siang setiap pulang sekolah kalau tak ada
yang bisa dikerjakan. Iqbaal hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum
melihat adiknya itu ternyata memang sedang pergi ke alam mimpi.
“Aldi?” panggil Iqbaal pelan.
Aldi tetap diam.
“Aldi?” panggil Iqbaal lagi sambil mengguncang bahu adiknya.
Aldi bergerak-gerak karena merasa terguncang. Ia membalikkan badannya
menghadap Iqbaal, kemudian pelan-pelan membuka mata. “Eh, Kak, kau sudah
pulang?”
Iqbaal mengangguk. “Kau sudah lama di rumah? Aku belum sempat memasak.”
“Oh, tidak apa-apa, Kak. Aku juga belum lapar. Masak saja dulu, aku bisa
menunggu,” kata Aldi sambil bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar. “Buatkan
aku makanan kesukaan Bastian ya, Kak?”
“Lagi?” kata Iqbaal sambil menggelengkan kepalanya.
“Ya. Aku sedang ingin makan telur mata sapi. Digabung dengan nasi goreng
sepertinya enak,” kata Aldi sambil tertawa. “Atau perlu kubantu?”
Iqbaal menggeleng. “Kau siapkan alat makan saja. Taruh di meja.”
“Oke.”
Keduanya langsung meninggalkan kamar. Mereka masuk ke dapur, memakai
celemek masing-masing dan langsung sibuk. Iqbaal membuat makanan, Aldi
menyiapkan alat-alat untuk makan. Setelah selesai menata meja, Aldi juga
membantu Iqbaal untuk membersihkan piring kotor yang belum sempat dicuci
kemarin.
Tak sulit bagi mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya
sudah menjadi kebiasaan mereka sejak kecil. Karena Ayah dan Bunda sibuk
bekerja, mereka mau tak mau harus mandiri. Semuanya harus sendiri. Bunda telah
mengajarkan Iqbaal memasak sejak kecil, membersihkan rumah sampai bagaimana
harus menjaga adik-adik. Dan semua ilmu yang didapatnya itu ia turunkan ke
kedua adiknya. Tentunya sekarang hanya ke Aldi, karena Bastian sudah tak
tinggal di rumah. Namun sampai sekarang, Iqbaal belum juga mau menurunkan
keahlian masaknya ke Aldi. Entah kenapa.
“Wah, sudah harum!” kata Aldi sambil mencuci piring.
“Ya, sebentar lagi sudah bisa dihidangkan.” jawab Iqbaal sambil tersenyum.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ia langsung mematikan api kompor dan mengambil
mangkuk yang sangat besar dari lemari untuk menampung semua nasi goreng itu.
“Oke, ayo kita makan, Kak.” kata Aldi yang kebetulan juga selesai mencuci
piring.
“Ayo.”
Mereka menaruh mangkuk besar berisi nasi goreng itu di atas meja ruang
makan, dan langsung duduk di tempat masing-masing. Mereka berdoa sejenak, baru
menyendok nasi goreng yang dibuat Iqbaal secukupnya untuk makan siang mereka.
“Wah, enak!” kata Aldi sambil mengunyah. “Andai saja Bastian bisa mencicipi
masakanmu lagi, Kak. Keahlianmu sudah seperti koki terkenal.”
Iqbaal tersenyum mendengarnya. “Ya, Al. Aku juga ingin dia mencicipi
masakanku. Coba saja waktu itu dia tak harus pergi bersama Ayah. Dia pasti
masih ada di sini.”
Aldi mengangguk. “Dia pasti sudah besar sekarang, kelas sepuluh, sama
sepertiku. Entah apa kabarnya dia sekarang ya, Kak. Sudah lama kita tak bermain
bersama. Bermusik bersama.”
Iqbaal mengangguk setuju. Itu yang selalu dirindukannya dari Bastian. Saat
mereka masih kecil, mereka sering sekali bernyanyi bersama karena mereka
bertiga sangat suka dengan musik. Biasanya ia yang memainkan gitar, sementara
dua adik kembarnya itu bernyanyi. Tapi, sekarang Iqbaal dan Aldi sudah tak
terlalu semangat lagi melakukannya.
“Kenapa sih Bunda dan Ayah harus bertengkar? Kalau mereka akur, Bastian
pasti tak harus pergi di sini,” kata Aldi lagi. “Kadang-kadang aku ingin
menelepon Ayah untuk kembali, bagaimanapun juga Ayah tetap Ayah kita. Tapi itu
tak mungkin.”
“Semuanya hanya bisa kita serahkan kepada Tuhan, Al,” kata Iqbaal. “Aku
yakin, suatu saat kita pasti bisa bertemu dengan Bastian lagi. Asal kita terus
berdoa untuknya. Biarlah dia di luar sana bersama Ayah, ini sudah takdir.”
“Andai saja Bunda dan Ayah tak berpisah seperti ini,” kata Aldi cemberut.
Namun, sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. “Eh, tapi sebenarnya Ayah dan
Bunda tidak benar-benar berpisah, kan? Mereka hanya berpisah rumah.”
Iqbaal menggeleng. “Waktu itu, secara tidak langsung Bunda dan Ayah sudah
memutuskan hubungan hati. Tak perlu ada kata selamat tinggal di antara mereka,
Al.”
Aldi menghela nafasnya. “Kalau begitu, kita hanya bisa menunggu keajaiban
Tuhan.”
Iqbaal mengangguk pelan, kemudian tersenyum. "Sudah, ayo makan."
Aldi mengangguk patuh.
“Takkan berakhir di sini
Semuanya akan jadi lebih
baik..."
J J L
“Baal!” teriak Anka nyaring begitu Iqbaal masuk ke dalam kelasnya pagi itu.
Ia sampai menutup telinganya spontan karena Anka hampir saja membuat telinganya
rusak. Teriakannya benar-benar terlalu nyaring untuk ukuran telinga manusia.
“Aduh, apaan sih, Ka? Pagi-pagi sudah teriak di telinga orang, kau pikir
gendang telingaku bisa mengatasi suara cemperengmu itu?” keluh Iqbaal sebal.
“Ada apa?”
“Maaf, maaf. Tadi aku baru saja dari kantin, dan saat mau kembali ke sini,
aku bertemu dengan anak baru yang akan masuk ke sekolah kita! Dia akan masuk ke
kelas sebelah nanti.” kata Anka nyengir sendiri.
“Lalu? Apa hubungannya denganku?” tanya Iqbaal heran.
“Kau tak tahu saja, anak baru itu sangat tampan. Baru masuk sekolah saja
sudah terkenal. Teman-temanku sampai mengerubunginya tadi di luar sekolah.”
kata Anka.
“Lalu?”
“Ah, kau tuh! Gembira sedikit untukku, kenapa? Ini benar-benar hari yang
beruntung, tahu tidak?” Anka langsung cemberut mendengar komentar Iqbaal yang
cuek.
“Ya, untukmu, bukan untukku. Kau pikir aku akan tertarik dengan anak baru
itu jika kau bilang ia tampan? Kau pikir aku suka dengan sesama jenis?” tanya
Iqbaal menggelengkan kepalanya.
“Bukan aku yang bilang begitu. Kau yang mengakuinya.” kata Anka mencibir.
“Ah, sudah, sudah. Daripada mengoceh-mengoceh tak jelas, lebih baik kau
hafalkan lagi lagu-lagu yang akan kita tampilkan di pensi nanti, hari ini kita
latihan lagi, kan? Ayolah, pensi minggu depan, tahu.” kata Iqbaal, kemudian
mengambil tempat duduk di sebelah Anka untuk latihan dengan gitarnya lagi,
mumpung sekolah belum dimulai.
Anka memajukan bibirnya sebal menatap Iqbaal. Kemudian, terpaksa diam dan
menuruti kemauan Iqbaal. Sahabatnya itu memang tak pernah mau mendengarkannya
membicarakan hal-hal seperti gosip dan sebagainya. Padahal, ia hanya ingin
berbagi kesenangannya.
Namun, untuk kali ini, ternyata Iqbaal tak bisa menghindar dari gosip anak
baru itu. Ia mengerutkan dahinya heran ketika tiba-tiba saja, tak ada angin,
tak ada badai, salah seorang dari teman sekelasnya mengatakan bahwa anak baru
itu mencarinya. Padahal, anak itu baru satu sekolah dengannya tak lebih dari
dua minggu, bertemu dengannya saja ia tak pernah. Paling hanya sekali, ketika
dia mengatakan bahwa dia ingin bergabung dalam acara pensi sebagai pengisi
acara. Itupun dia tak memberitahu Iqbaal namanya. Pakaiannya juga tertutup
sekali, wajahnya ditutup kain, kedua matanya ditutupi kacamata hitam. Heran.
Sore itu, sepulang latihan, Iqbaal pergi menuju belakang sekolah untuk
mencari tahu sebenarnya apa mau anak baru itu. Anka dan Kiki sudah pulang dari
tadi karena mereka buru-buru.
Perlahan-lahan ia mencari sosok manusia yang kira-kira bisa jadi
mencarinya. Namun, bukannya bertemu dengan anak baru itu, Iqbaal justru bertemu
dengan adiknya. Aldi. Ia menggaruk-garukkan kepalanya heran. “Aldi!”
Aldi yang merasa dipanggil langsung menoleh. “Loh, Kak? Kakak kenapa di
sini?”
“Aku dengar, anak baru di sekolah kita mencariku di sini. Kau sedang apa di
sini?”
“Loh, sama, Kak. Aku dengar ada anak baru yang sedang mencariku juga. Aku
penasaran, aku tak pernah mengenal anak baru itu, tapi dia mengajakku bertemu. Makanya
tadi sehabis pulang, aku balik lagi ke sekolah,” kata Aldi heran. “Dimana ya
dia?”
“Entahlah.” Iqbaal mengangkat kedua bahunya.
“Kalau begitu, kita pulang saja yuk, Kak? Wujudnya saja aku tak tahu, aku
jadi takut menemuinya,” kata Aldi ngeri. “Lagipula, sebentar lagi Bunda pulang.
Nanti Bunda khawatir mencari kita.”
Iqbaal menghela nafasnya. “Ya sudah, ayo kita pulang.”
Iqbaal dan Aldi berjalan meninggalkan belakang sekolah. Walaupun pikiran
mereka masing-masing masih penasaran dengan anak baru itu, tapi mereka juga
takut bahwa mereka hanya dikerjai. Logikanya, tak mungkin anak itu mencari
mereka berdua, kenal namanya saja tidak.
Sesampainya di rumah, ternyata Bunda belum pulang. Mereka berdua langsung
beristirahat di kamar. Mereka berbaring di tempat tidur, melepas rasa lelah
mereka hari ini. Sekitar satu jam lebih mereka menunggu Bunda pulang, hingga
akhirnya mereka tertidur karena terlalu lama menunggu.
“Iqbaal? Aldi?” terdengar suara lembut di telinga mereka saat mereka
tertidur. Badan mereka juga terasa agak terguncang karena si pemilik suara
mengguncang-guncang badan mereka.
“Apa sih? Aku masih mengantuk...” kata Aldi sambil memeluk gulingnya lebih
erat.
“Iqbaal...”
“Aku lelah...” keluh Iqbaal juga sambil menutup wajahnya dengan bantal.
“Oke, jadi kalian tak rindu padaku?” tanya si pemilik suara itu lagi sambil
tertawa kecil.
Tak ada jawaban. Tunggu, itu bukan suara Bunda. Itu bukan suara perempuan.
Iqbaal yang menyadari hal tersebut langsung menyingkirkan bantalnya sembarangan
dan membuka matanya perlahan-lahan.
Mata Iqbaal seketika terbelalak ketika melihat seseorang di hadapannya. Ia
sampai tak bisa berbicara dengan jelas karenanya. Dengan suara yang
terbata-bata, ia langsung membangunkan Aldi. “Di... Aldi... Bangun, Di...”
“Apa sih, Kak? Aku masih mengantuk...” kata Aldi langsung bangun dan
mengucek-ngucek matanya sejenak. Namun, ketika ia sudah sadar dengan keberadaan
seseorang di sana, matanya juga terbelalak seperti Iqbaal.
“BASTIAN?!” teriak Aldi nyaring. Membuat Iqbaal dan orang yang tadi
membangunkan mereka, Bastian, langsung menutup telinga mereka.
“Aduh, Aldi! Kau itu tak berubah! Selalu saja berteriak-teriak!” kata
Bastian sambil mengacak-acak rambut Aldi pelan. “Ternyata, sukses juga aku
mengejutkan kalian! Kenapa tadi tak menemuiku di sekolah sih? Datang terlambat
sedikit saja sudah ditinggal. Jahat kalian!”
“Jadi... yang menyuruh aku dan Aldi ke belakang sekolah itu...” kata Iqbaal
terputus.
“Ya, aku. Kau, Baal, benar-benar polos. Padahal, kita sudah pernah bertemu,
tapi kau tetap saja tak mengenaliku. Jadi, selama ini kau melupakan adikmu
sendiri?” tanya Bastian pura-pura cemberut.
“Tapi, tidak mungkin! Anak baru di sekolah kita itu kelas dua belas!
Bastian kan kembar denganku, bagaimana bisa dia lebih cepat?” tanya Aldi tak
percaya. “Aku saja baru kelas sepuluh.”
“Memangnya kalian tak pernah mendengar kelas akselerasi?” tanya Bastian
mencibir. “Aku masuk kelas aksel, makanya bisa lebih cepat darimu. Makanya, aku
boleh bukan memanggilmu dengan nama, Baal?”
“Enak saja! Kau tetap harus memanggilku kakak! Umurmu masih sama dengan
Aldi, tahu!” kata Iqbaal, membuat Bastian cemberut. “Kenapa kau bisa kembali ke
sekolah kami? Dan bagaimana bisa kau ke sini?”
“Ayah sudah kembali bekerja di Jakarta, makanya aku memohon-mohon kepada
beliau supaya disekolahkan lagi di sekolah lama. Itu syarat yang kuajukan,
tadinya aku tak begitu rela meninggalkan Surabaya.”
“Lalu, Ayah mengizinkan?” tanya Aldi polos.
“Kalau tak diizinkan, bagaimana aku bisa di sini, Aldi sayang!” kata
Bastian sambil tertawa. “Sejak pindah ke sekolah kalian, aku mencoba mencari
cara untuk menghubungi Bunda, agar aku tahu kapan bisa bertemu kalian. Makanya,
hari ini tadinya aku ingin mengejutkan kalian di sekolah. Tapi, kalian malah
meninggalkanku. Ya sudah, Bunda mengantarkanku ke sini.”
Iqbaal dan Aldi hanya bisa nyengir mendengarnya.
“Tapi, sayang sekali, aku tak boleh kembali ke rumah ini. Ayah masih
dongkol soal kejadian lalu, jadi aku hanya boleh bermain-main saja dengan
kalian. Bunda juga.”
Iqbaal dan Aldi langsung kompak mengeluh, “Yaaaaaah... Babaaas...”
“Sudahlah! Yang penting kita masih bisa bertemu, bukan? Dan kita juga akan
satu panggung di pensi nanti. Waktu itu, aku yang meminta bergabung ke pensi,
Baal. Bagus bukan, penyamaranku?” kata Bastian.
“Menyeramkan tahu, Bas!” kata Iqbaal menggelengkan kepalanya. Aldi dan
Bastian tertawa mendengarnya. Kemudian, mereka langsung berpelukan bertiga.
Melepas rindu setelah terpisahkan bertahun-tahun.
Dari balik pintu kamar, Bunda menatap anak-anaknya dengan senyuman haru.
Inilah yang ditunggu-tunggunya selama ini. Ketika mereka bisa bertemu lagi
dengan saudara mereka. Walaupun Bastian tetap harus tinggal di rumah lain, tapi
setidaknya secara tidak langsung, mereka bisa kembali bersama. Bersekolah di
sekolah yang sama, bermain bersama jika ada waktu, seperti layaknya saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p