Ketika
kuarter keempat mulai, tim SMPN 1 lagi-lagi meluncurkan strategi yang berbeda.
Mereka mencoba untuk melakukan defense sebanyak
mungkin agar dapat membuat CRAG Team kelelahan. Namun, tentu saja Cakka dan
teman-temannya tidak terpancing untuk menuruti mereka. Mereka tetap sebisa
mungkin terlihat semangat dan fokus pada tujuan mereka. Melakukan yang terbaik
apapun yang terjadi.
“Fast break!” teriak Alvin kepada
teman-temannya. Itu adalah istilah serangan cepat. Bola yang sekarang berada di
tangan Gabriel langsung dioper ke Ray. Kemudian, Ray langsung mendribel
mendekati teman-temannya yang lain dengan dibayangi pemain SMPN 1. Kemudian, ia
langsung mengoper lagi ke arah Cakka.
HUP!
Dengan cepat Cakka langsung melempar bola tersebut menuju ring dan...
MASUK!
Tiga angka untuk CRAG Team!
Kemudian,
bola langsung dikuasai oleh tim SMPN 1. Mereka juga mencetak beberapa angka
agar dapat mensejajarkan skor. Namun, sampai lima menit berlalu, mereka masih
tertinggal delapan angka. CRAG Team masih unggul dengan skor 65-73.
“Rel!”
Teman dari tim SMPN 1 mengoper ke arah Verrell.
Verrell
langsung mendribel dan melakukan tembakan. Masuk! Tiga angka untuk SMPN 1. Skor
berubah menjadi 68-73.
Selama
kuarter empat berlangsung, sebenarnya Cakkalah yang paling bekerja keras.
Selain keringat yang sudah banjir membasahi rambut serta baju basketnya,
kakinya juga masih terasa sakit. Tapi, ia sama sekali tak khawatir. Yang
terpenting adalah ia tak boleh mengecewakan siapapun, seperti yang dikatakan
Ayah. Ia harus bermain total di pertandingan ini.
“Cakka!”
seru Gabriel.
Cakka
langsung melakukan lay-up begitu
mendapat bola. Gagal! Bola langsung
diambil alih kembali oleh SMPN 1. Banyak terjadi perebutan bola namun banyak
juga tembakan yang gagal. Kedua tim saling menahan satu sama lain agar tidak
mencetak angka. Hingga pada akhirnya...
PRIIIIIIIIIIIITT....!!!!
Peluit berbunyi keras menandakan pertandingan sudah selesai. Spontan para
pendukung langsung berdiri dan memberikan standing
applause kepada kedua tim yang sudah berusaha keras untuk memperjuangkan
kemenangan pertandingan basket Se-Jakarta ini.
Cakka
menoleh ke arah papan skor. Ia tersenyum ketika melihat angka 80 di bawah nama
timnya. Sementara itu, tertera angka 79 di bawah nama tim Verrell. Mereka
menang tipis!
Tak
berapa lama setelah itu, Gabriel, Rio, Ray dan Alvin langsung menubruk Cakka,
disusul oleh BD, Obiet dan para pemain SMP Idola lainnya. Mereka benar-benar
senang bisa memenangkan pertandingan. Bahkan ada yang menangis terharu karena
peristiwa bahagia tersebut. Perjuangan mereka tak sia-sia selama ini. Keringat
yang membanjiri baju mereka, rasa lelah yang hampir membuat mereka pingsan
sudah tak berarti apa-apa setelah peluit wasit berbunyi.
“Ini
semua karena kau, Cakka!” kata Ray senang. “Kita benar-benar beruntung bisa
mengenal kau sebagai teman dan kapten kami!”
“Tidak!
Ini semua karena kerja sama kita semua!” kata Alvin sambil tertawa. “Kalau dari
dulu kita tak berlatih keras, kita pasti tidak akan menang! Aku sangat
berterima kasih kepada semuanya!”
Gabriel
mengangguk-angguk. “Ini juga karena BD. Dia yang membantu kita mengejar skor
ketika Cakka cedera. Aku benar-benar tidak menyangka. Kau adalah pemain yang
sangat hebat, Bid!”
BD
tersenyum. “Ya, sama-sama. Maafkan aku ya, teman-teman. Aku salah dulu
mengikuti keinginan Verrell untuk menghancurkan kalian. Ternyata, kalian sangat
baik. Seharusnya dari dulu aku tak begitu keras kepada kalian! Aku hampir saja
merusak semuanya!”
Cakka
tertawa kecil mendengarnya. Ia menepuk-nepuk pundak BD pelan.
“Itu
sudah tak penting lagi, Bid. Yang penting sekarang kita berteman, oke? Masalah
yang sudah berlalu biarlah menjadi pelajaran untuk kita semua.” kata Rio sambil
tersenyum.
BD
mengangguk, kemudian menyalami tangan Rio.
“Eh,
tapi kenapa kau tak mengatakan dari awal kalau selama ini Cakka tidak bersalah?
Vin, kau sudah tahu soal ini sebelum aku memergoki BD dan Verrell, kan?” tanya
Ray penasaran.
Alvin
tertawa. Ia langsung menjitak kepala Ray. “Kepo sekali kau, Raynald Putra!”
“Aduh!”
kata Ray langsung menggembungkan pipinya. “Aku kan hanya bertanya! Kalau waktu
itu kau mengatakan yang sebenarnya kepada kami, konflik kita pasti selesai,
tahu!”
“Jangan terlalu
yakin,” kata Alvin sambil tersenyum. “Bukankah waktu itu kau, Rio dan Gabriel
sangat ngotot bahwa Cakka yang bersalah? Walaupun ide awalnya dari aku, tapi
kalau aku bilang yang sebenarnya di saat kalian marah, kalian pasti lebih marah
lagi kepadaku karena menganggap aku mengada-ada untuk menyelamatkan Cakka. Aku
benar, kan? Bukannya membuat suasana mencair, malah justru memanas.”
Seketika
Ray, Rio dan Gabriel nyengir mendengar ucapan Alvin.
“Benar
juga sih.” kata Ray sambil menggaruk-garuk tengkuknya malu. “Baiklah, kalau
begitu, sekarang ceritakan! Sebenarnya siapa Verrell itu? Kalian itu jahat,
tahu tidak? Sejak awal hanya aku yang tidak tahu siapa dia.”
“Kami
hanya tidak ingin menambah masalah, Ray,” kata Gabriel. “Verrell itu mantan
kapten basket di sekolah kita. Sebelum kau dan Cakka masuk. Dia menilai segala
hal dengan skill. Mungkin dia hanya
dendam kepadaku, Alvin dan Rio, karena waktu itu kita mengajukan pemilihan
kapten basket ulang.”
“Oh,
jadi waktu itu, yang dimaksud Alvin dengan kejadian dulu itu...?”
Alvin
mengangguk. “Makanya, kalau sampai kejadian lagi, keadaan pasti semakin runyam.
Kita hanya akan mengulang kembali sejarah suram itu.”
Ray
manggut-manggut mengerti.
“Anak-anak,
selamat ya!” Tiba-tiba Pak Jo hadir di tengah-tengah mereka bersama seseorang
yang belum pernah mereka lihat.
“Terima
kasih, Pak!” seru semuanya kompak.
“Pak,
ini siapa?” tanya Gabriel penasaran menatap orang yang ada di sebelah Pak Jo.
Orang itu berpakaian formal. Wajahnya bulat dan tubuhnya kurus. Tingginya
hampir sama dengan Pak Jo.
“Oh,
ini adalah pelatih klub basket nasional Satria Muda di Jakarta. Namanya Pak
Raka. Mungkin kalian pernah mendengarnya,” kata Pak Jo sambil tersenyum. “Dia
sudah menonton kalian dari awal turnamen. Dia sedang merekrut pemain untuk
seleksi lho.”
“Seleksi
pemain?” tanya Rio tertarik.
“Ya,
Satria Muda rencananya ingin membentuk tim basket putra yang baru untuk DBL
musim tahun depan. Setelah saya telusuri berbagai sekolah yang ikut dalam
turnamen ini, saya telah mendapatkan beberapa orang di turnamen ini untuk ikut
seleksi. Dan saya tertarik untuk mengajak kalian seleksi juga,” kata Pak Raka.
“Bagaimana?”
“Serius?!”
kata Ray girang. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.
Rasanya seperti mimpi bisa masuk seleksi klub basket nasional.
“Tentu
saja. Jadi bagaimana, kalian mau?” tanya Pak Raka lagi.
“Tentu
saja kita mau!” kata Gabriel dan Rio kompak.
“Tawaran
yang bagus, Pak. Terima kasih. Saya ikut!” kata Alvin. Ia menoleh ke arah BD
dan Cakka. “Hei, kalian juga ikut, bukan? Akan seru jika kita bisa berjuang
bersama lagi!”
“Tentu
saja, Vin!” kata BD mengangguk mantap.
“Kka?”
tanya Alvin.
Tak
disangka, Cakka menggeleng. “Tidak, Raynald Putra. Aku tidak ikut.”
Semuanya
langsung tercengang mendengar keputusan Cakka. Semuanya tidak menyangka bahwa
Cakka akan menolaknya.
“Tapi,
kenapa, Kka?” tanya Alvin tak mengerti. “Bukankah dari dulu itu yang kita
incar? Kenapa kau melepaskan kesempatan ini?”
Cakka
tersenyum. “Pertandingan ini sudah berlangsung panjang, guys. Dan aku mendapatkan banyak pelajaran. Selain perjuangan, aku
juga sadar, bahwa kalian sudah cukup kuat tanpaku. Dan aku memutuskan Alvin
atau BD bisa menjadi kapten CRAG Team yang baru.” kata Cakka sambil tersenyum.
“APA?!”
teriak semuanya kaget.
“Kka,
apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Pak Jo heran.
“Pak,
saya sudah menjalani perjalanan yang panjang dalam bidang basket. Dari
perjuanganku meminta izin kepada Ayah sampai ke turnamen ini,” kata Cakka. “Aku
sadar, sudah menyusahkan banyak orang selama ini karena basket. Terutama Ayah.
Karena itu, aku memutuskan untuk menjadikan basket sebagai hobiku saja. Untuk
profesi... aku akan membantu Ayah menjalani bisnisnya.”
“Tapi...
apa kau tidak merasa sayang, Kka?” tanya Gabriel masih belum puas. “Selama ini
kau telah menyatu dengan basket. Akan susah jika kau menjalani sesuatu yang tak
kau suka.”
Cakka
tersenyum, kemudian ia menggeleng. “Kadang-kadang kita memang harus bisa
melepaskan keinginan kita. Walaupun kita memiliki jalan yang berbeda, aku tetap
sahabat kalian, bukan?”
Alvin,
Gabriel, Rio dan Ray menghela nafas kecewa.
“Kalau
begitu, Alvin, Gabriel, Rio, Ray dan BD yang akan ikut?” tanya Pak Jo.
Yang
merasa namanya disebut Pak Jo langsung mengangguk.
“Tapi,
guys...,” kata Alvin pelan, membuat
semuanya menoleh ke arahnya. “Kalian tahu kan, aku sudah lulus ke SMA. Sebentar
lagi aku masuk kelas sepuluh. Dan aku akan pindah sekolah. Jadi, aku tidak akan
ikut latihan di sekolah lagi. Tidak apa-apa, kan?”
“Apa?!”
seru Rio, Ray dan Gabriel syok. Sementara mata Cakka membesar.
“Vin,
kau... kenapa kau tak bilang dari dulu?!” kata Gabriel syok.
Alvin
nyengir.
J L J
8 tahun kemudian...
Cakka
masuk ke dalam cafe yang berada tak jauh dari rumahnya. Ia baru saja
menyelesaikan sekolahnya siang itu. Rencananya ia ingin menyelesaikan tugasnya
dulu sebelum ia pulang ke rumah. Dengan pakaian baju abu-abu dengan celana
panjang sebagai bawahannya, ia menghampiri salah satu meja cafe dan melepaskan
sampiran tasnya ke atas meja. Ia mengeluarkan sebuah laptop dari dalam tas
tersebut dan mulai mengetik-ngetik sesuatu.
Ia
benar-benar tak menyesal telah menempuh jalur bisnis. Keputusannya waktu itu
membuat hidupnya jauh lebih tenang karena bisa membanggakan orang tua. Walaupun
waktu itu Ayah, Bunda, Biru dan Elang sempat tak setuju ia mundur dari seleksi
pemain basket nasional, mereka tetap mendukung keputusan Cakka untuk mengikuti
jejak Ayah. Dan terbukti, sekarang Cakka sudah bisa menghasilkan uang sambil
menjenjang pendidikan di sekolah bisnis.
Rutinitas
Cakka sudah berubah banyak semenjak ia lulus sekolah. Kalau dulu ia bisa konsen
sekolah sambil mengikuti ekskul basket bersama teman-temannya, sekarang ia
lebih fokus belajar untuk kuliah dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya tentang
bisnis agar pekerjaan dan pendidikannya bisa berjalan lancar. Di sela-sela
kesibukan itu, ia juga masih menyempatkan diri untuk bermain basket sekali-kali
di lapangan komplek. Sekedar untuk melampiaskan kerinduannya akan masa lalunya yang
indah. Lagipula, waktu itu dia juga memang tidak memutuskan untuk berhenti
total dari basket. Ia tetap ingin bergaul dengan dunia bola oranye itu. Hanya
saja sekarang sudah tidak menjadi prioritas tertinggi.
Cakka
menghentikan kesibukan kedua tangannya. Ngomong-ngomong soal basket, Cakka jadi
teringat lagi dengan teman-temannya saat SMP dulu. Entah apa kabarnya mereka
sekarang. Semenjak ia masuk sekolah bisnis, ia jarang sekali bisa menghubungi
mereka karena kesibukannya yang memakan waktu hingga malam hari. Bahkan
terkadang sampai tengah malam. Jarang sekali ia melihat ponselnya. Terakhir ia
berhubungan dengan mereka mungkin sudah setengah tahun yang lalu. Ketika Ray
menanyakan kabarnya lewat sms. Itupun Cakka langsung buru-buru tidur karena
esoknya harus bekerja.
Tapi,
Cakka benar-benar senang. Walaupun mereka berbeda kampus, mereka tetap
bersahabat sampai sekarang. Selain dia yang belajar bisnis sambil bermain
basket, Ray memutuskan untuk masuk ke kampus negeri dengan jurusan manajemen,
Gabriel dan Rio masuk ke sekolah musik, sedangkan Alvin dan BD kabarnya
menempuh jalan teknik sipil. Semuanya memang mempunyai jalan hidupnya sendiri,
bukan? Sama juga seperti Verrell, musuh lamanya itu, akhirnya dilarang bermain
basket oleh Aryo karena kelakuannya tak juga berubah saat turnamen Se-Jakarta
itu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Cakka sudah jarang bertemu dengan Aryo.
“Eh?
Cakka?” kata seseorang tiba-tiba membuyar lamunannya.
Cakka
menoleh ke arah sumber suara. Ia langsung berdiri menatap orang yang ada di
hadapannya sekarang. Setelah berpikir sejenak, ia langsung tersenyum. “Alvin?”
“Ya!
Apa kabar? Kebetulan sekali kita bertemu di sini!” kata Alvin senang. “Sudah
lama sekali aku tidak mendengar kabarmu. Sibuk sekali kau. Bahagia juga
sepertinya sampai senyum-senyum sendiri di kafe.”
Cakka
tersenyum. “Aku hanya mengingat masa SMP kita.”
“Ah
ya, masa-masa itu memang paling indah,” kata Alvin. “Tanpa masa-masa itu, aku
tak bisa seperti sekarang. Aku, Gabriel, Rio, Ray dan BD sudah menjadi pebasket
yang cukup diakui. Sambil kuliah, kita selalu rutin latihan. Bagaimana
denganmu?”
“Aku
masih sering latihan di lapangan komplek,” Cakka tersenyum. “Maaf ya sudah
jarang menghubungi kalian. Aku benar-benar sibuk. Selain kuliah, aku juga kerja
setiap Sabtu dan Minggu di perusahaan Ayah.”
“Wah,
tampaknya kau telah memilih jalan yang benar ya?” kata Alvin.
Cakka
tersenyum.
“Lalu,
bagaimana kabar kakakmu? Aku sudah lama tak menghubunginya.”
“Kak
Biru masih pebasket yang hebat. Ia sering latihan di kegiatan unit mahasiswa
basket. Beberapa bulan lagi sepertinya akan ada pertandingan,” kata Cakka. “Kak
Elang sudah sukses menjadi pemusik.”
“Ah,
kalau Kak Elang aku sudah tahu. Sudah sering sekali aku mendengar lagu-lagunya
diputar di radio. Aku benar-benar bangga mendengarnya. Justru karena mendengar
kakak sulungmu bernyanyi, aku jadi ingin bertemu denganmu.” kata Alvin tertawa.
“Oh
ya?”
Alvin
mengangguk. “Aku penasaran dengan kabarmu, kawan lama.”
Cakka
tertawa. “Bagaimana kabar yang lain?”
“Sangat
baik. Tentu saja mereka juga sibuk sepertimu tapi mereka selalu meluangkan
waktu untuk menghubungi satu sama lain untuk menjaga tali persahabatan.
Memangnya kau?” kata Alvin sambil menjitak Cakka.
Lagi-lagi
Cakka tertawa.
“Hei,
Cakka! Alvin!” teriak seseorang tiba-tiba berada di hadapan mereka. Orang itu
tampak memakai seragam basket dan tas ransel di punggungnya. Kehadirannya
tiba-tiba itu membuat rambut basahnya mencipratkan sedikit air kepada Cakka dan
Alvin.
“Hei!
Kau membuatku basah! Mengganggu saja!” keluh Alvin sebal dan langsung menjitak
orang itu dengan spontan tanpa mengetahui siapa yang sedang dijitaknya.
“Ah!
Sakit, tahu! Malvine Lim, aku ini Ray! Temanmu yang sering kau jitak sampai
sekarang!” kata orang itu menggembungkan pipinya. Memang, kebiasaan itu masih
belum hilang juga dari kisah persahabatan mereka. Menjitak Ray yang konyol dan
kepo.
“Ray?”
kata Alvin kaget. Ia menepuk dahinya pelan. “Ternyata kau! Jangan membuatku
kaget, Raynald Putra! Dasar menyebalkan. Kepo.”
“Aku
sudah bosan mendengarkan kau mengatakan itu terus!” kata Ray sambil mengambil
tempat duduk. Ia menoleh ke arah Cakka. “Hei, mister sibuk. Sampai mengangkat
teleponku saja tidak sempat.”
Cakka
tersenyum. Ia langsung menepuk pundak Ray pelan. “Sudah lama tak bertemu,
Raynald Putra. Kuharap kau masih mahir tembakan tiga angka.”
“Ah,
tentu saja! Kita ini sedang latihan intensif untuk turnamen selanjutnya,” kata
Ray. “Bagaimana dengan kau? Sepertinya sudah lebih terbuka sekarang.”
Cakka
tersenyum. “Time change, people change.”
Ray
tertawa kecil mendengarnya, kemudian menepuk pundaknya pelan.
“Oh
iya, benar. Kita berempat akan ikut turnamen sebentar lagi, Kka. Kuharap kau,
Biru dan Kak Elang ada waktu untuk datang menonton kami.” kata Alvin sambil
memberikan sebuah brosur.
Cakka mengambil brosur itu dan tersenyum
menatapnya. “Baiklah.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p