Minggu, 23 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 29 [ending]


Ketika kuarter keempat mulai, tim SMPN 1 lagi-lagi meluncurkan strategi yang berbeda. Mereka mencoba untuk melakukan defense sebanyak mungkin agar dapat membuat CRAG Team kelelahan. Namun, tentu saja Cakka dan teman-temannya tidak terpancing untuk menuruti mereka. Mereka tetap sebisa mungkin terlihat semangat dan fokus pada tujuan mereka. Melakukan yang terbaik apapun yang terjadi.

Fast break!” teriak Alvin kepada teman-temannya. Itu adalah istilah serangan cepat. Bola yang sekarang berada di tangan Gabriel langsung dioper ke Ray. Kemudian, Ray langsung mendribel mendekati teman-temannya yang lain dengan dibayangi pemain SMPN 1. Kemudian, ia langsung mengoper lagi ke arah Cakka.
HUP! Dengan cepat Cakka langsung melempar bola tersebut menuju ring dan...
MASUK! Tiga angka untuk CRAG Team!
Kemudian, bola langsung dikuasai oleh tim SMPN 1. Mereka juga mencetak beberapa angka agar dapat mensejajarkan skor. Namun, sampai lima menit berlalu, mereka masih tertinggal delapan angka. CRAG Team masih unggul dengan skor 65-73.
“Rel!” Teman dari tim SMPN 1 mengoper ke arah Verrell.
Verrell langsung mendribel dan melakukan tembakan. Masuk! Tiga angka untuk SMPN 1. Skor berubah menjadi 68-73.
Selama kuarter empat berlangsung, sebenarnya Cakkalah yang paling bekerja keras. Selain keringat yang sudah banjir membasahi rambut serta baju basketnya, kakinya juga masih terasa sakit. Tapi, ia sama sekali tak khawatir. Yang terpenting adalah ia tak boleh mengecewakan siapapun, seperti yang dikatakan Ayah. Ia harus bermain total di pertandingan ini.
“Cakka!” seru Gabriel.
Cakka langsung melakukan lay-up begitu mendapat bola. Gagal! Bola langsung diambil alih kembali oleh SMPN 1. Banyak terjadi perebutan bola namun banyak juga tembakan yang gagal. Kedua tim saling menahan satu sama lain agar tidak mencetak angka. Hingga pada akhirnya...
PRIIIIIIIIIIIITT....!!!! Peluit berbunyi keras menandakan pertandingan sudah selesai. Spontan para pendukung langsung berdiri dan memberikan standing applause kepada kedua tim yang sudah berusaha keras untuk memperjuangkan kemenangan pertandingan basket Se-Jakarta ini.
Cakka menoleh ke arah papan skor. Ia tersenyum ketika melihat angka 80 di bawah nama timnya. Sementara itu, tertera angka 79 di bawah nama tim Verrell. Mereka menang tipis!
Tak berapa lama setelah itu, Gabriel, Rio, Ray dan Alvin langsung menubruk Cakka, disusul oleh BD, Obiet dan para pemain SMP Idola lainnya. Mereka benar-benar senang bisa memenangkan pertandingan. Bahkan ada yang menangis terharu karena peristiwa bahagia tersebut. Perjuangan mereka tak sia-sia selama ini. Keringat yang membanjiri baju mereka, rasa lelah yang hampir membuat mereka pingsan sudah tak berarti apa-apa setelah peluit wasit berbunyi.
“Ini semua karena kau, Cakka!” kata Ray senang. “Kita benar-benar beruntung bisa mengenal kau sebagai teman dan kapten kami!”
“Tidak! Ini semua karena kerja sama kita semua!” kata Alvin sambil tertawa. “Kalau dari dulu kita tak berlatih keras, kita pasti tidak akan menang! Aku sangat berterima kasih kepada semuanya!”
Gabriel mengangguk-angguk. “Ini juga karena BD. Dia yang membantu kita mengejar skor ketika Cakka cedera. Aku benar-benar tidak menyangka. Kau adalah pemain yang sangat hebat, Bid!”
BD tersenyum. “Ya, sama-sama. Maafkan aku ya, teman-teman. Aku salah dulu mengikuti keinginan Verrell untuk menghancurkan kalian. Ternyata, kalian sangat baik. Seharusnya dari dulu aku tak begitu keras kepada kalian! Aku hampir saja merusak semuanya!”
Cakka tertawa kecil mendengarnya. Ia menepuk-nepuk pundak BD pelan.
“Itu sudah tak penting lagi, Bid. Yang penting sekarang kita berteman, oke? Masalah yang sudah berlalu biarlah menjadi pelajaran untuk kita semua.” kata Rio sambil tersenyum.
BD mengangguk, kemudian menyalami tangan Rio.
“Eh, tapi kenapa kau tak mengatakan dari awal kalau selama ini Cakka tidak bersalah? Vin, kau sudah tahu soal ini sebelum aku memergoki BD dan Verrell, kan?” tanya Ray penasaran.
Alvin tertawa. Ia langsung menjitak kepala Ray. “Kepo sekali kau, Raynald Putra!”
“Aduh!” kata Ray langsung menggembungkan pipinya. “Aku kan hanya bertanya! Kalau waktu itu kau mengatakan yang sebenarnya kepada kami, konflik kita pasti selesai, tahu!”
“Jangan terlalu yakin,” kata Alvin sambil tersenyum. “Bukankah waktu itu kau, Rio dan Gabriel sangat ngotot bahwa Cakka yang bersalah? Walaupun ide awalnya dari aku, tapi kalau aku bilang yang sebenarnya di saat kalian marah, kalian pasti lebih marah lagi kepadaku karena menganggap aku mengada-ada untuk menyelamatkan Cakka. Aku benar, kan? Bukannya membuat suasana mencair, malah justru memanas.”
Seketika Ray, Rio dan Gabriel nyengir mendengar ucapan Alvin.
“Benar juga sih.” kata Ray sambil menggaruk-garuk tengkuknya malu. “Baiklah, kalau begitu, sekarang ceritakan! Sebenarnya siapa Verrell itu? Kalian itu jahat, tahu tidak? Sejak awal hanya aku yang tidak tahu siapa dia.”
“Kami hanya tidak ingin menambah masalah, Ray,” kata Gabriel. “Verrell itu mantan kapten basket di sekolah kita. Sebelum kau dan Cakka masuk. Dia menilai segala hal dengan skill. Mungkin dia hanya dendam kepadaku, Alvin dan Rio, karena waktu itu kita mengajukan pemilihan kapten basket ulang.”
“Oh, jadi waktu itu, yang dimaksud Alvin dengan kejadian dulu itu...?”
Alvin mengangguk. “Makanya, kalau sampai kejadian lagi, keadaan pasti semakin runyam. Kita hanya akan mengulang kembali sejarah suram itu.”
Ray manggut-manggut mengerti.
“Anak-anak, selamat ya!” Tiba-tiba Pak Jo hadir di tengah-tengah mereka bersama seseorang yang belum pernah mereka lihat.
“Terima kasih, Pak!” seru semuanya kompak.
“Pak, ini siapa?” tanya Gabriel penasaran menatap orang yang ada di sebelah Pak Jo. Orang itu berpakaian formal. Wajahnya bulat dan tubuhnya kurus. Tingginya hampir sama dengan Pak Jo.
“Oh, ini adalah pelatih klub basket nasional Satria Muda di Jakarta. Namanya Pak Raka. Mungkin kalian pernah mendengarnya,” kata Pak Jo sambil tersenyum. “Dia sudah menonton kalian dari awal turnamen. Dia sedang merekrut pemain untuk seleksi lho.”
“Seleksi pemain?” tanya Rio tertarik.
“Ya, Satria Muda rencananya ingin membentuk tim basket putra yang baru untuk DBL musim tahun depan. Setelah saya telusuri berbagai sekolah yang ikut dalam turnamen ini, saya telah mendapatkan beberapa orang di turnamen ini untuk ikut seleksi. Dan saya tertarik untuk mengajak kalian seleksi juga,” kata Pak Raka. “Bagaimana?”
“Serius?!” kata Ray girang. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Rasanya seperti mimpi bisa masuk seleksi klub basket nasional.
“Tentu saja. Jadi bagaimana, kalian mau?” tanya Pak Raka lagi.
“Tentu saja kita mau!” kata Gabriel dan Rio kompak.
“Tawaran yang bagus, Pak. Terima kasih. Saya ikut!” kata Alvin. Ia menoleh ke arah BD dan Cakka. “Hei, kalian juga ikut, bukan? Akan seru jika kita bisa berjuang bersama lagi!”
“Tentu saja, Vin!” kata BD mengangguk mantap.
“Kka?” tanya Alvin.
Tak disangka, Cakka menggeleng. “Tidak, Raynald Putra. Aku tidak ikut.”
Semuanya langsung tercengang mendengar keputusan Cakka. Semuanya tidak menyangka bahwa Cakka akan menolaknya.
“Tapi, kenapa, Kka?” tanya Alvin tak mengerti. “Bukankah dari dulu itu yang kita incar? Kenapa kau melepaskan kesempatan ini?”
Cakka tersenyum. “Pertandingan ini sudah berlangsung panjang, guys. Dan aku mendapatkan banyak pelajaran. Selain perjuangan, aku juga sadar, bahwa kalian sudah cukup kuat tanpaku. Dan aku memutuskan Alvin atau BD bisa menjadi kapten CRAG Team yang baru.” kata Cakka sambil tersenyum.
“APA?!” teriak semuanya kaget.
“Kka, apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Pak Jo heran.
“Pak, saya sudah menjalani perjalanan yang panjang dalam bidang basket. Dari perjuanganku meminta izin kepada Ayah sampai ke turnamen ini,” kata Cakka. “Aku sadar, sudah menyusahkan banyak orang selama ini karena basket. Terutama Ayah. Karena itu, aku memutuskan untuk menjadikan basket sebagai hobiku saja. Untuk profesi... aku akan membantu Ayah menjalani bisnisnya.”
“Tapi... apa kau tidak merasa sayang, Kka?” tanya Gabriel masih belum puas. “Selama ini kau telah menyatu dengan basket. Akan susah jika kau menjalani sesuatu yang tak kau suka.”
Cakka tersenyum, kemudian ia menggeleng. “Kadang-kadang kita memang harus bisa melepaskan keinginan kita. Walaupun kita memiliki jalan yang berbeda, aku tetap sahabat kalian, bukan?”
Alvin, Gabriel, Rio dan Ray menghela nafas kecewa.
“Kalau begitu, Alvin, Gabriel, Rio, Ray dan BD yang akan ikut?” tanya Pak Jo.
Yang merasa namanya disebut Pak Jo langsung mengangguk.
“Tapi, guys...,” kata Alvin pelan, membuat semuanya menoleh ke arahnya. “Kalian tahu kan, aku sudah lulus ke SMA. Sebentar lagi aku masuk kelas sepuluh. Dan aku akan pindah sekolah. Jadi, aku tidak akan ikut latihan di sekolah lagi. Tidak apa-apa, kan?”
“Apa?!” seru Rio, Ray dan Gabriel syok. Sementara mata Cakka membesar.
“Vin, kau... kenapa kau tak bilang dari dulu?!” kata Gabriel syok.
Alvin nyengir.

J L J

8 tahun kemudian...
Cakka masuk ke dalam cafe yang berada tak jauh dari rumahnya. Ia baru saja menyelesaikan sekolahnya siang itu. Rencananya ia ingin menyelesaikan tugasnya dulu sebelum ia pulang ke rumah. Dengan pakaian baju abu-abu dengan celana panjang sebagai bawahannya, ia menghampiri salah satu meja cafe dan melepaskan sampiran tasnya ke atas meja. Ia mengeluarkan sebuah laptop dari dalam tas tersebut dan mulai mengetik-ngetik sesuatu.
Ia benar-benar tak menyesal telah menempuh jalur bisnis. Keputusannya waktu itu membuat hidupnya jauh lebih tenang karena bisa membanggakan orang tua. Walaupun waktu itu Ayah, Bunda, Biru dan Elang sempat tak setuju ia mundur dari seleksi pemain basket nasional, mereka tetap mendukung keputusan Cakka untuk mengikuti jejak Ayah. Dan terbukti, sekarang Cakka sudah bisa menghasilkan uang sambil menjenjang pendidikan di sekolah bisnis.
Rutinitas Cakka sudah berubah banyak semenjak ia lulus sekolah. Kalau dulu ia bisa konsen sekolah sambil mengikuti ekskul basket bersama teman-temannya, sekarang ia lebih fokus belajar untuk kuliah dan menggali ilmu sebanyak-banyaknya tentang bisnis agar pekerjaan dan pendidikannya bisa berjalan lancar. Di sela-sela kesibukan itu, ia juga masih menyempatkan diri untuk bermain basket sekali-kali di lapangan komplek. Sekedar untuk melampiaskan kerinduannya akan masa lalunya yang indah. Lagipula, waktu itu dia juga memang tidak memutuskan untuk berhenti total dari basket. Ia tetap ingin bergaul dengan dunia bola oranye itu. Hanya saja sekarang sudah tidak menjadi prioritas tertinggi.
Cakka menghentikan kesibukan kedua tangannya. Ngomong-ngomong soal basket, Cakka jadi teringat lagi dengan teman-temannya saat SMP dulu. Entah apa kabarnya mereka sekarang. Semenjak ia masuk sekolah bisnis, ia jarang sekali bisa menghubungi mereka karena kesibukannya yang memakan waktu hingga malam hari. Bahkan terkadang sampai tengah malam. Jarang sekali ia melihat ponselnya. Terakhir ia berhubungan dengan mereka mungkin sudah setengah tahun yang lalu. Ketika Ray menanyakan kabarnya lewat sms. Itupun Cakka langsung buru-buru tidur karena esoknya harus bekerja.
Tapi, Cakka benar-benar senang. Walaupun mereka berbeda kampus, mereka tetap bersahabat sampai sekarang. Selain dia yang belajar bisnis sambil bermain basket, Ray memutuskan untuk masuk ke kampus negeri dengan jurusan manajemen, Gabriel dan Rio masuk ke sekolah musik, sedangkan Alvin dan BD kabarnya menempuh jalan teknik sipil. Semuanya memang mempunyai jalan hidupnya sendiri, bukan? Sama juga seperti Verrell, musuh lamanya itu, akhirnya dilarang bermain basket oleh Aryo karena kelakuannya tak juga berubah saat turnamen Se-Jakarta itu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Cakka sudah jarang bertemu dengan Aryo.
“Eh? Cakka?” kata seseorang tiba-tiba membuyar lamunannya.
Cakka menoleh ke arah sumber suara. Ia langsung berdiri menatap orang yang ada di hadapannya sekarang. Setelah berpikir sejenak, ia langsung tersenyum. “Alvin?”
“Ya! Apa kabar? Kebetulan sekali kita bertemu di sini!” kata Alvin senang. “Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabarmu. Sibuk sekali kau. Bahagia juga sepertinya sampai senyum-senyum sendiri di kafe.”
Cakka tersenyum. “Aku hanya mengingat masa SMP kita.”
“Ah ya, masa-masa itu memang paling indah,” kata Alvin. “Tanpa masa-masa itu, aku tak bisa seperti sekarang. Aku, Gabriel, Rio, Ray dan BD sudah menjadi pebasket yang cukup diakui. Sambil kuliah, kita selalu rutin latihan. Bagaimana denganmu?”
“Aku masih sering latihan di lapangan komplek,” Cakka tersenyum. “Maaf ya sudah jarang menghubungi kalian. Aku benar-benar sibuk. Selain kuliah, aku juga kerja setiap Sabtu dan Minggu di perusahaan Ayah.”
“Wah, tampaknya kau telah memilih jalan yang benar ya?” kata Alvin.
Cakka tersenyum.
“Lalu, bagaimana kabar kakakmu? Aku sudah lama tak menghubunginya.”
“Kak Biru masih pebasket yang hebat. Ia sering latihan di kegiatan unit mahasiswa basket. Beberapa bulan lagi sepertinya akan ada pertandingan,” kata Cakka. “Kak Elang sudah sukses menjadi pemusik.”
“Ah, kalau Kak Elang aku sudah tahu. Sudah sering sekali aku mendengar lagu-lagunya diputar di radio. Aku benar-benar bangga mendengarnya. Justru karena mendengar kakak sulungmu bernyanyi, aku jadi ingin bertemu denganmu.” kata Alvin tertawa.
“Oh ya?”
Alvin mengangguk. “Aku penasaran dengan kabarmu, kawan lama.”
Cakka tertawa. “Bagaimana kabar yang lain?”
“Sangat baik. Tentu saja mereka juga sibuk sepertimu tapi mereka selalu meluangkan waktu untuk menghubungi satu sama lain untuk menjaga tali persahabatan. Memangnya kau?” kata Alvin sambil menjitak Cakka.
Lagi-lagi Cakka tertawa.
“Hei, Cakka! Alvin!” teriak seseorang tiba-tiba berada di hadapan mereka. Orang itu tampak memakai seragam basket dan tas ransel di punggungnya. Kehadirannya tiba-tiba itu membuat rambut basahnya mencipratkan sedikit air kepada Cakka dan Alvin.
“Hei! Kau membuatku basah! Mengganggu saja!” keluh Alvin sebal dan langsung menjitak orang itu dengan spontan tanpa mengetahui siapa yang sedang dijitaknya.
“Ah! Sakit, tahu! Malvine Lim, aku ini Ray! Temanmu yang sering kau jitak sampai sekarang!” kata orang itu menggembungkan pipinya. Memang, kebiasaan itu masih belum hilang juga dari kisah persahabatan mereka. Menjitak Ray yang konyol dan kepo.
“Ray?” kata Alvin kaget. Ia menepuk dahinya pelan. “Ternyata kau! Jangan membuatku kaget, Raynald Putra! Dasar menyebalkan. Kepo.”
“Aku sudah bosan mendengarkan kau mengatakan itu terus!” kata Ray sambil mengambil tempat duduk. Ia menoleh ke arah Cakka. “Hei, mister sibuk. Sampai mengangkat teleponku saja tidak sempat.”
Cakka tersenyum. Ia langsung menepuk pundak Ray pelan. “Sudah lama tak bertemu, Raynald Putra. Kuharap kau masih mahir tembakan tiga angka.”
“Ah, tentu saja! Kita ini sedang latihan intensif untuk turnamen selanjutnya,” kata Ray. “Bagaimana dengan kau? Sepertinya sudah lebih terbuka sekarang.”
Cakka tersenyum. “Time change, people change.
Ray tertawa kecil mendengarnya, kemudian menepuk pundaknya pelan.
“Oh iya, benar. Kita berempat akan ikut turnamen sebentar lagi, Kka. Kuharap kau, Biru dan Kak Elang ada waktu untuk datang menonton kami.” kata Alvin sambil memberikan sebuah brosur.
Cakka mengambil brosur itu dan tersenyum menatapnya. “Baiklah.”


TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p