Minggu, 30 November 2014

Cerpen | Aku Adalah...


Aku hanyalah laki-laki biasa. Aku hanyalah anak yang baru beberapa tahun yang lalu resmi lulus dari kampus jurusan kedokteran dan membuka praktik sendiri di rumah. Aku layaknya anak-anak normal lainnya yang berkewajiban belajar dengan baik agar dapat membanggakan orang tua di kemudian hari. Aku juga terkadang membantu anak-anak tetangga yang sakit jika aku memiliki waktu luang. Walaupun sudah tak berada dalam sekolah maupun kampus, aku tetap berteman dengan buku sehari-hari, demi memperdalam ilmu kedokteran. Bukankah pasien adalah keluargaku juga, tak boleh sembarangan mengobati.

Aku hanyalah laki-laki lemah. Aku adalah laki-laki pengecut. Aku bahkan hanya bisa mengurungkan diri ketika teringat bahwa keluargaku sudah tidak lengkap lagi. Mulutku terkunci rapat, selalu menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang penyakit yang diderita Ayahku. Seolah-olah aku terlalu takut menceritakan semuanya kepada orang lain.
Aku hanyalah laki-laki mengecewakan. Lahir dari perut Bunda dan diberi kasih sayang oleh Ayah. Bahkan hampir setiap hari dibelai Bunda walaupun sudah beranjak dewasa. Namun, seberapa sering aku berkorban untuk mereka masih bisa dihitung dengan jari. Orang lain bisa aku sembuhkan, sementara Ayahku sendiri kubiarkan tak berdaya hingga akhirnya dipanggil Tuhan. Bisa dibilang, aku telah menghancurkan rencana orang tuaku untuk membuatku menjadi anak yang berbakti, kan? Mataku hanya bisa menatap nanar Bunda yang menangis di samping batu putih bertuliskan nama Ayahku.
Aku hanyalah laki-laki yang berusaha tegar. Setiap minggunya harus melihat rumah Ayah yang baru. Merawatnya dan menaburkan bunga-bunga di atasnya. Mendoakan beliau adalah satu-satunya pekerjaan paling berat yang pernah kulakukan. Bukan, aku bukan tak ikhlas mendoakannya, namun hati masih menyisakan rasa tak rela untuk melepaskannya. Dukungan-dukungannya, saran-sarannya, nasehat-nasehatnya, segalanya yang telah ia ucapkan kepadaku selalu terngiang-ngiang di telingaku. Apalagi jika melihat pasien yang datang bersama Ayah mereka. Rasanya... menusuk.
Ayah adalah satu-satunya alasan mengapa aku menempuh jalur kedokteran. Ayah selalu bilang dokter itu adalah pekerjaan mulia. Ayah selalu bilang dokter itu bisa menyelamatkan manusia dari rasa sakit. Ayah selalu bilang dokter adalah pekerjaan yang sangat berat. Ayah selalu bilang dokter itu harus mengutamakan pasien tanpa mengabaikan keluarga. Karena itulah aku berusaha keras untuk bisa menjadi dokter yang baik bagi anak-anak di dunia ini. Juga untuk keluargaku sendiri. Tapi, entah harus darimana aku memulai, jika dari awal saja aku sudah gagal menyelamatkan nyawa orang yang kusayangi.
“Cakka janji Cakka akan belajar dengan rajin dan membuka praktik sendiri untuk menyelamatkan banyak orang. Cakka juga janji akan menjaga Ayah dengan baik sampai Ayah sembuh.” Kata-kata itu sudah tidak ada artinya lagi, karena sedetik setelah aku mengatakan seperti itu kepada Ayah, beliau pergi di hadapan mataku sendiri. Mungkin kalian bisa membayangkan bagaimana seorang anak berumur tujuh belas tahun melihat secara langsung salah satu orang tuanya pergi untuk selama-lamanya. Setelah mereka berdua mengoleksi banyak kenangan indah dalam hidup mereka.
Aku hanyalah laki-laki munafik. Aku tak bisa dibilang orang baik. Mulut dan hatiku tak pernah bekerja sama dengan baik setiap kali berkomunikasi dengan sesama. Mungkin dari sepuluh orang, setidaknya mungkin ada delapan orang yang menyadari aku suka berbohong dan menutupi segalanya. Apa yang terucap dari mulutku, seolah-olah hanya pelindung yang menutupi keburukan hidupku.

J L J

Bagi pasienku, aku adalah seorang dokter yang ramah. Selalu tersenyum kapan saja. Ceria kapan saja. Dan tetap tenang setiap kali ia memiliki kebimbangan dalam bekerja. Namun, mereka tak pernah tahu kalau di setiap senyumku terkandung kesedihan paling dalam yang tak bisa kuungkapkan kepada siapapun.
Bagi pasienku, aku adalah seorang dokter pahlawan superhero. Memiliki kekuatan untuk memulihkan rasa sakit yang ada di tubuh mereka. Bahkan ada beberapa anak yang menganggapku seperti superman. Mereka tak tahu bahwa aku lebih cocok disebut pahlawan kesiangan.
Ya apapun sebutan pasien kepadaku, aku selalu merasa serba salah kepada mereka. Walaupun aku bisa tersenyum melihat mereka kembali sembuh setelah mereka berkonsultasi kepadaku, sekali lagi setiap senyumku mewakilkan satu kesedihan terdalam yang ada di dalam benakku. Kadang-kadang jika aku sudah tak tahan, selesai praktik air mataku pasti jatuh sendiri. Menyadari bahwa aku telah membuat hidupku semakin lama semakin buruk. Mengingat bahwa aku tak akan bertemu dengan Ayah lagi ketika aku sampai ke rumah nanti.

J L J

Berbicara soal keluarga, aku memiliki kakak laki-laki dan perempuan. Ya, aku adalah anak bungsu. Selain ada aku yang menjadi dokter, kakak perempuanku sukses menjadi model terkenal, sementara kakak sulungku menjadi musisi go internasional. Dibandingkan dengan dua kakakku, hanya aku yang gagal menjadi anak yang berbakti. Mereka berdua sudah sukses dan membuat Ayah tersenyum bangga.
Entahlah, aku merasa berbeda sendiri. Hanya aku yang tidak melihat senyum Ayah ketika aku berhasil menjadi dokter dan membuka praktik sendiri. Hanya aku yang tak mendapatkan apapun dari Ayah ketika aku sukses. Dan hanya aku yang tidak rela melihat Ayah pergi.
Bukan! Aku bukan ingin mendapatkan imbalan atas kesuksesanku. Aku sama sekali tak ingin imbalan apapun dari keberhasilanku. Tapi... entahlah. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaan ini. Aku hanya tak merasa sudah berhasil menggapai cita-citaku. Karena cita-citaku yang sesungguhnya bukan hanya sekedar menjadi dokter. Tapi, menyaksikan dengan mata kepala sendiri senyuman Ayah yang bahagia memiliki anak sepertiku.

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

1 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p