Karel tak
habis pikir mengapa sekolah barunya di Jakarta itu memiliki murid-murid yang
sangat aneh dan menyebalkan. Mereka selalu mengganggunya dengan cara apapun
yang mereka bisa. Padahal, Karel sama sekali tidak ingin dengan mereka.
Satu-satunya alasan ia berada di sekolah hanyalah untuk mendapatkan nilai untuk
terus meningkatkan jenjang pendidikannya sampai ia sudah bisa menjadi orang
sukses.
SMAN 12
Jakarta, sekolah itu bisa menjadi sekolahnya karena Ayah dan Ibunya pindah
kerja. Tadinya Karel benar-benar senang bisa menetap di kota besar itu.
Menurutnya, kota Jakarta adalah salah satu kota yang sangat menyenangkan. Tapi,
setelah mengetahui bagaimana menyebalkannya tinggal di sana, Karel pelan-pelan
mulai sebal. Hidupnya benar-benar berubah semenjak pindah ke Jakarta. Bukannya
lebih baik, justru lebih buruk.
Pagi itu
Karel memilih untuk tidur di kelas. Ia malas keluar ke kantin karena tak ingin
meladeni anak-anak sekolah yang selalu mengganggunya. Rasa bosan pasti ada,
tapi setidaknya hari ini dia bisa merasakan bagaimana tenangnya hanya
sendirian, tanpa ditemani siapa-siapa. Itu jelas jauh lebih baik daripada harus
dibuat kesal.
Krek..
Suara
pintu terbuka terdengar jelas di telinganya saat ia sedang mencoba tidur. Tapi,
ia tidak perduli. Itu pasti hanya anak yang ingin makan di kelas. Tak ada
urusan dengannya. Ia paling malas mengurusi urusan orang lain. Lagipula, ia
sudah mengancam seisi kelas agar tidak menganggunya jika ingin selamat.
TAP..
TAP.. TAP..
Langkah
kaki seseorang terdengar semakin keras beberapa saat setelah suara pintu itu
terdengar. Karel merasa terganggu karenanya, ia menjadi tak bisa tidur. Bukan
itu saja, ternyata dugaannya salah. Anak itu bukanlah anak yang berencana makan
di kelas, tapi berencana menghampirinya. Ia terdengar seperti menaruh kotak
makan di atas meja Karel, lalu suaranya dari mulutnya pun menyusul.
“Tak ada
kegiatankah kau selain tidur, Karel Alcander?” Suara itu menggema di
telinganya. “Sejak awal kau masuk ke dalam kelas kami, kau tak pernah tertarik
untuk mencari teman. Apa kau tak bosan sendirian saja?”
Karel
mengangkat kepalanya dan menatap orang yang mengganggunya itu dengan tajam.
Siapa lagi kalau bukan seorang laki-laki sok hebat dan menyebalkan itu. Chase
Karayne. Anak laki-laki yang sudah berkali-kali mengenalkan dirinya kepada
Karel, bermaksud untuk mengajaknya berteman. Dan tentu saja membuat Karel
semakin sebal dengan sikapnya. “Memangnya masalah untukmu jika aku sendirian?
Atau kau tak bisa hidup tenang kalau tidak mengganggu orang lain?”
“Tentu
saja tidak masalah. Namun aku adalah ketua kelasmu. Aku ditugaskan untuk
membuat semua anak bisa nyaman berada di kelas, termasuk kau, Karel Alcander.”
kata Cakka sambil tersenyum. Sesekali melahap makanannya.
Karel
memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya terlihat kesal. “Aku tidak akan
pernah nyaman jika kau terus mendekatiku.”
“Kau tahu,
semua orang perlu berteman.” kata Cakka. “Apalagi di sekolah ini. Kau akan
bermasalah dengan tugas kelompok jika kau selalu menunjukkan wajah kejam
seperti itu. Semua anak di kelas ingin sekali berteman denganmu!”
“Ya.
Mereka ingin berteman denganku, tapi aku tak mau berteman dengan mereka!
Termasuk kau!” kata Karel keras. “Untuk apa berteman jika hanya meninggalkan
luka di dalam hati? Lebih baik aku sendirian!”
Dahi Cakka
berkerut mendengar ucapan Karel. “Hei, apa yang membuatmu berpikir mereka akan
menyakitimu? Aku sudah bersama mereka sejak SD, mereka semua teman-teman yang
sangat baik!”
“Sudah
cukup, Chase Karayne! Tinggalkan aku sendiri!” Karel beranjak dari tempat
duduknya dan segera pergi keluar kelas, meninggalkan Cakka sendiri. Bertepatan
dengan hal itu, seorang gadis hendak masuk ke dalam kelas. Gadis itu melihat ke
arah mana Karel pergi, kemudian menghampiri Cakka.
“Kau masih
betah mengajak serigala itu berteman?” tanyanya sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Lacey Larayna, sehari-harinya akrab disebut Lala. Cakka adalah
sobatnya sejak kecil dan ia yang paling tahu kalau sahabatnya itu satu-satunya
anak di kelas 10 IPA-3 yang masih berani mengajak Karel Alcander untuk berteman
baik.
Cakka
tersenyum kepadanya. “Ya, kenapa tidak?”
J L J
Sore itu,
Karel pulang dengan keadaan rumahnya yang masih sepi. Ia sudah tak heran,
semenjak pindah ke Jakarta, orang tuanya tak pernah ada di rumah untuk
menyambutnya pulang sekolah. Mereka selalu saja pulang larut malam. Dengan
cepat ia membuka sepatu dan kaos kakinya di depan, kemudian langsung masuk ke
dalam rumah. Ia melemparkan tasnya ke sofa dan membuka dasinya. Dasi itu juga
ia lempar bersama tasnya. Kemudian, ia langsung berjalan menuju kamar. Tapi,
sebelum masuk ke dalam kamar, Bibi sudah lebih dulu memanggilnya.
"Karel?
Kau sudah pulang? Sudah sore, kau ingin apa untuk makan malam?" tanyanya
sambil tersenyum melihat anak dari majikannya itu. Bibi adalah pembantu rumah
Karel sejak Karel pindah ke Jakarta. Walaupun begitu, ia sangat mudah akrab
dengan keluarga barunya, termasuk Karel.
Karel
menoleh sejenak, kemudian bersuara, "Terserah, Bi. Aku tidak nafsu makan.
Kalau udah waktunya makan malam, Bibi bisa memanggilku di kamar. Aku capek."
"Bertengkar
lagi di sekolah?" tanya Bibi, tapi Karel hanya menjawab dengan tatapan
datarnya. "Ya sudah, lebih baik kamu ganti bajumu. Bibi akan buatkan
makananmu. Ayah dan Ibu akan pulang sangat larut hari ini."
"Ya,
aku sudah tahu, Bi." kata Karel datar, kemudian langsung masuk ke dalam
kamarnya tanpa menunggu jawaban Bibi lagi.
Ia
membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Hari-harinya di sekolah selalu
membuatnya lelah. Namun, ia tidak akan pernah mendapatkan pereda rasa lelah itu
di rumah. Kadang-kadang ia berpikir, mengapa ia dilahirkan di keluarga Ayah dan
Ibu kalau keluarganya tak bisa membuatnya bahagia. Ia kesal kepada mereka.
Mereka tak pernah mempunyai waktu di rumah untuk sekedar menjenguk anak mereka
sendiri. Karel tentu mengerti bahwa mereka adalah pengusaha yang sangat sibuk,
tapi sesibuk itukah sampai hubungan keluarga harus dikorbankan? Bahkan menelpon
untuk menanyakan kabar saja tidak mereka lakukan.
Karel
segera bangkit dari tidurnya. Ia menghela napas sejenak, kemudian langsung
beranjak keluar kamar. Bibi yang melihat Karel keluar tanpa pamit memanggilnya
berkali-kali dan bertanya akan kemana dia ketika langit sudah hampir gelap,
tapi Karel tetap saja tidak menjawab dan meninggalkan rumah. Ia ingin pergi
melakukan sesuatu. Kalau orang tuanya tidak bisa memberikan perhatian
kepadanya, maka dia sendiri yang akan menarik perhatian mereka. Kalau cara ini
tidak berhasil juga, Karel akan menyerah.
J L J
Jam sudah
menunjukkan jam setengah empat. Masih ada beberapa jam lagi sebelum kakaknya pulang.
Cakka yang sudah pulang sekolah dari tadi hanya tiduran di kamarnya sambil
melamun. Cakka masih ingat apa yang dikatakan Ibu Guru saat pertama kali Karel
memunculkan wujudnya di depan kelas. Beliau memintanya agar membantu Karel
supaya bisa mengikuti pelajaran dan memiliki banyak teman-teman di kelas.
Setiap kali Karel butuh bantuan, ia harus selalu membantunya. Itu sudah menjadi
alasan utama mengapa Cakka tidak mengikuti jejak teman-teman sekelasnya yang
begitu cepat menyerah dan memilih untuk menjauhi Karel karena sikap kejamnya.
Bukan itu saja, Cakka juga memiliki alasan lain mengapa ia tidak menyerah.
Hanya dia dan Tuhan yang tahu alasan-alasan apakah itu.
Cakka juga
masih ingat dengan wujud Karel saat pertama kali ia masuk ke kelas. Caranya
memperkenalkan diri yang ramah membuatnya tertarik kepada anak itu. Kesan
pertama yang Cakka dapatkan dari sosok Karel adalah anak yang baik, ramah dan
sangat senang diajak berteman. Mungkin saja dia supel. Tapi, ternyata kesannya
itu tidak semuanya benar. Laki-laki yang duduk di samping barisannya itu
ternyata pendiam. Dia tidak banyak bicara. Dan dia tampak tidak tertarik untuk
memiliki teman dekat. Setiap kali dipinjamkan barang-barang, ia selalu memakai,
kemudian mengembalikan tanpa mengatakan terima kasih. Tapi, ada yang berbeda
dari Karel saat itu dengan Karel yang sekarang. Karel saat itu bisa tersenyum
kepada teman-teman sekelas.
Cakka
tertawa kecil sambil melihat langit-langit. "Mungkin teman-teman tidak
menyadarinya, tapi aku jelas merasakannya. Ia tak kejam seperti yang mereka
katakan, pertanyaannya adalah mengapa dia bisa menjadi kejam? Padahal, hari
pertama dia bergabung dengan kelas kami, dia baik-baik saja. Hanya sedikit
pendiam dan tersenyum setiap kali mendengar kami berbicara padanya."
TOK.. TOK..
TOK...
Kepala
Cakka menoleh ketika mendengar suara ketukan pintu. Suara itu tampaknya berasal
dari pintu depan. Dengan cepat ia segera beranjak dari tempat tidurnya untuk
membuka pintu. Masalahnya Ayah pasti belum pulang, makanya mau tidak mau ia
harus menjaga rumah. Ketika dia membuka pintu, terlihat wujud Lala dari balik
pintu tersebut. Ia memakai tas ransel yang cukup besar. Cakka tersenyum.
"Hei, rindu padaku? Baru saja pulang sekolah tapi sudah kemari saja!"
Lala
merengut mendengar ucapan Cakka. "Untuk apa aku rindu pada sahabatku yang
pedenya sudah akut? Hei, aku sangat bersyukur setiap kali bel pulang berbunyi
tahu! Tapi, kau kan tahu bagaimana orang tuaku. Jadi, aku boleh menginap disini
lagi, bukan?"
"Ya
ya, boleh saja! Mungkin kau bisa membantuku memikirkan sebuah cara untuk
mengajak Karel berteman!" kata Cakka sambil mempersilahkannya masuk. Gadis
itu memang sangat sering menginap di rumahnya jika orang tuanya sedang keluar
kota seperti hari ini. Orang tua Lala rajin sekali mengunjungi cabang-cabang
perusahaan mereka yang sudah tersebar luas di Indonesia.
"Apa?
Tidak! Aku tidak akan mau membantumu mengajak serigala itu berteman. Dia itu
sudah menganggap kelas kita seperti penjara untuknya. Bahkan untuk sekedar
menyapa saja dia tidak membalas!" kata Lala. "Rasanya aku sudah
berkali-kali mengatakannya kepadamu, kalau kau ingin tetap berurusan dengan
serigala itu, lebih baik kau sendiri saja."
"Ah,
kau sama saja seperti teman-teman yang lain. Bukankah awal dia masuk dia sangat
menyenangkan? Kurasa dia tidak jahat. Hanya saja ada beberapa alasan yang
membuatnya menjadi seperti itu!" kata Cakka. Namun, Lala hanya mengibaskan
tangannya, menandakan bahwa dia tidak mau lagi tahu tentang teman baru mereka
itu.
"Mau
dari awal ataupun jahat secara tiba-tiba, yang namanya jahat ya tentu saja
tidak baik, Cakka!" kata Lala sambil menggelengkan kepalanya.
"Omong-omong, Mas Elang belum pulang? Sepi sekali rumahmu."
Cakka
mengangguk. "Ada latihan musik."
Lala
manggut-manggut mengerti mendengarnya. Kemudian, mereka mengobrol panjang
sampai malam tiba. Begitulah Cakka dan Lala jika sudah bertemu. Topik
pembicaraan tidak akan pernah habis karena mereka sudah saling mengenal satu
sama lain, belum lagi jika di dalam topik pembicaraan mereka terselip
pertengkaran-pertengkaran mulut yang sering terjadi. Urusannya bisa tak ada
habisnya jika salah satu mereka tidak ada yang mengalah.
J L J
Cakka
tersenyum ketika ia sudah menyelesaikan acara belanjanya di supermarket.
Setelah kakaknya pulang dan bisa menjaga Lala sebentar, ia langsung pamit pergi
tadi. Ada beberapa makanan yang ingin dia makan esok hari dan ia harus
memasaknya sendiri karena Ayah dan kakaknya akan pulang larut malam sehingga ia
akan sendirian sampai malam karena Lala pasti sudah pulang esok hari. Saat itu,
ia baru saja keluar dari supermarket ketika ia mendengar suara ribut di daerah
itu. Banyak pejalan kaki dan beberapa pemilik toko berteriak-teriak keras
dengan panik.
"Lihat,
anak itu sedang berbuat apa di tengah jalan?!"
"Apa
anak itu sudah gila?"
"Hei,
kamu jangan di tengah jalan! Bahaya, Nak!"
Anak yang
berdiri di tengah jalan itu jelas mendengar suara-suara ketakutan yang di
kanan-kirinya. Tapi, ia tidak peduli. Ia yang memutuskan untuk melakukan ini
dan tidak ada yang boleh menghentikannya. Hei, mereka tidak tahu apa-apa
tentang perasaannya sama sekali. Mereka tidak berhak mengatur-atur apa yang
harus dia lakukan!
Suara
teriakan panik dan takut masih terus terdengar. Bahkan mungkin semakin keras.
Cakka yang penasaran langsung melihat-lihat ke arah tengah jalan. Matanya
terbelalak ketika menangkap sosok laki-laki yang tampak berdiri di tengah
jalan. Ia merentangkan tangannya sambil menatap ke arah depan. Cakka
benar-benar tak habis pikir, padahal anak itu pasti tahu bahwa ada mobil besar
yang sedang melaju ke arahnya. Parahnya, ia mengenal laki-laki itu. Kalau ia
tertabrak bagaimana? Ah, tidak. Cakka tidak akan membiarkan apapun terjadi
padanya. Dengan cepat ia meletakkan belanjaannya di pinggir jalan, kemudian
langsung berlari ke arahnya. Mobil itu sudah tidak jauh lagi dari tubuh
laki-laki itu. "KAREEEEELLLL AWASSSSSS!!!!!!!"
BRAAAKKK!
TO BE CONTINUED..
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
keren ceritanya
BalasHapusfollback dong