Rabu, 13 Agustus 2014

Mini Cerbung | Ayo Berteman Part 2 [Ending]


"Ugh...."
Ayah langsung menghampiri Cakka begitu tahu anaknya sudah sadar. Ia langsung mendekati tempat tidur dimana anaknya berbaring bersama Elang. Di samping mereka juga ada Lala. Mereka bertiga sangat terkejut ketika mendengar kabar bahwa Cakka tertabrak mobil. Dengan wajah cemas Ayah bertanya, "Cakka, kamu tidak apa-apa?"

"Ayah...? Mas Elang...? Lala...?" kata Cakka lemas. Bau obat menusuk hidungnya begitu ia bangun. Kepalanya terasa sangat sakit. Badannya pegal-pegal. Ia serasa tidak mempunyai tenaga lagi saat ini. Tapi, yang pertama kali ia ingat saat ini adalah Karel. Ia langsung tersentak.
"Ayah, Mas Elang, Karel... Karel dimana? Apa dia baik-baik saja? Ah..." kata Cakka. Ia meringis sejenak merasakan sakit yang ada di kepalanya. Ayah dan Elang langsung membantunya untuk tidur kembali. Ah, mereka tidak mengerti bagaimana khawatirnya Cakka terhadap teman sekelasnya itu.
"Kau tenang dulu, Kka. Jangan banyak bergerak. Tadi kata dokter kepalamu terbentur cukup keras. Untung saja tidak gegar otak. Tapi kau harus banyak istirahat." kata Elang.
"Ya, kau itu harus melebihkan jam istirahatmu. Jangan memikirkan serigala itu. Dia bahkan tidak menyesal setelah apa yang terjadi." kata Lala dengan sebal kepada sahabatnya. "Yang terpenting untukmu sekarang adalah kau harus sembuh dulu!"
"Ya, Cakka. Jangan buat Ayah khawatir lagi." kata Ayah. "Karel yang kau selamatkan itu sedang menjalankan perawatan di ruangan lain karena kepalanya juga ikut terbentur. Dia juga butuh istirahat setelah kecelakaan itu. Kamu tenang saja."
Cakka diam saja mendengarnya. Ia menghela napas, setidaknya Karel akan baik-baik saja setelah diperiksa dokter. Ia akan menyesal jika dia gagal menyelamatkannya. Ia menoleh kembali ke arah ketiga orang-orang terdekatnya itu, mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi kepadanya sampai ia bisa berakhir di rumah sakit.

J L J

Keesokkan harinya, Cakka tentu saja tidak masuk karena harus diopname sampai sembuh. Lala yang merasa sudah benar-benar kesal dengan Karel langsung menghampirinya ketika jam istirahat. Setelah semua teman-teman sekelasnya berhamburan keluar kelas, ia langsung menggebrak meja Karel, membuat si empunya lagi-lagi terganggu tidurnya. Tapi, Lala tidak peduli. Ia benar-benar marah sekarang. "HEH! Apa yang kau lakukan kemarin?! Kau mencoba bunuh diri dan membiarkan Cakka masuk rumah sakit?! Dan kau bahkan tak menjenguknya sedetikpun! Apa kau setidaknya tak bisa berterima kasih kepadanya?! Kalau Cakka tak mendorongmu waktu itu, kau sudah tidak ada di dunia ini!"
Karel menatap Lala dengan datar. Ia benar-benar kesal dengan gadis itu. "Untuk informasi, aku tidak pernah menyuruh teman menyebalkanmu itu untuk menyelamatkanku. Jadi kenapa aku harus tanggung jawab? Lagipula, aku memang ingin pergi dari dunia ini! Tapi, dia menggagalkan semuanya!"
Lala kembali menggebrak meja Karel dengan keras. "Apa kau sudah gila?! Atau kau memang tak punya otak sampai harus mengambil jalan negatif seperti bunuh diri?! Apa masalahmu tidak ada solusi lain?! Kau bisa membicarakannya baik-baik dengan kami semua agar kami bisa membantu jika kau butuh bantuan!"
"Masalahku bukan urusan kalian semua. Kalian tidak perlu ikut campur!" kata Karel dengan sebal. Ia segera berdiri dan menatap Lala tajam. "Dan informasi saja, yang tak punya otak itu bukan aku, tapi temanmu itu! Sudah berkali-kali aku bilang kalau aku tidak suka diganggu, tapi dia tetap saja mengganggu hidupku! Jadi, kalau sekarang dia diopname di rumah sakit, SUKURIN!" Setelah berkata begitu, ia langsung meninggalkan kursinya, hendak keluar kelas.
"Hei! Kembali kau, serigala!!" kata Lala keras dan emosi. Ia berjalan mengikuti Karel dan segera menjitak kepala Karel dari belakang agar Karel berhenti.
"Apa kau tak bisa tidak menggangguku sekali saja, macan betina? Aku tidak ingin diganggu!!" kata Karel sambil membalikkan badannya. Rasanya kesabaran dalam hatinya sudah benar-benar habis dengan gadis itu.
"Tidak! Kau pikir aku akan tinggal diam jika melihat sahabatku sudah diganggu oleh kau, serigala? Kau tidak akan pernah selamat jika terjadi apa-apa dengan Cakka! Selama ini dia sudah baik padamu, seharusnya kau menghargainya!" kata Lala sebal. "Aku tidak mau tahu, pokoknya sepulang sekolah nanti, kau harus ikut aku ke rumah sakit! Setidaknya jenguk dia sekali! Kau harus bicara padanya!"
"Dan atas dasar apa aku harus menurutimu, macan betina?" tanya Karel dingin.
"UGH!!! Capek aku bicara padamu! Pokoknya kau harus ikut! Setidaknya kau minta maaf padanya! Kalau kau berani-beraninya mencoba kabur, akan kuseret kau ke rumah sakit! Aku tidak akan berhenti sebelum kau menurutiku!" kata Lala. Kemudian, ia langsung keluar kelas. Dengan sengaja ia tabrak bahu Karel.
Karel hanya diam saja bahunya ditabrak. Begitu ia mendengar suara pintu kelas dibanting, ia langsung emosi tingkat tinggi. Dengan sekuat tenaga ia langsung menendang kursi yang ada di dekatnya sampai menimbulkan suara ribut. Ia benar-benar kesal dengan hidupnya. Tak ada yang perduli padanya, tak ada yang bisa mengerti perasaannya. Semuanya hanya bisa memaksakan kehendak mereka agar ia mematuhi semua kehendak mereka. Lalu, kehendaknya? Perasaannya? Siapa yang akan mengerti itu semua?

J L J

Selama hidup belasan tahun, Lala tidak pernah mempunyai sifat suka main-main. Dia selalu melakukan sesuai dengan apa yang ia katakan. Begitu bel pulang sekolah tiba, ia langsung mencegat Karel yang hendak keluar kelas terlebih dahulu daripada dirinya. "Mau kemana kau, serigala? Kau tidak ingat dengan ucapanku tadi pagi?"
Karel mendengus kesal. "Apa aku mengatakan kalau aku akan menurutimu, macan betina?"
"Aku sudah bilang padamu kalau aku akan menyeretmu ke rumah sakit kalau kau berani-beraninya kabur! Kau benar-benar menantangku? Aku tidak main-main dengan ucapanku!"
"Dan aku juga tidak main-main untuk tidak menurutimu! Singkirkan dirimu dari sini dan pergi jauh-jauh dariku! Aku ingin pulang!" kata Karel dengan nyaring.
"Tidak! Kau harus ke rumah sakit! SEKARANG!" kata Lala mulai emosi.
"TIDAK!"
Lala mendengus marah mendengar ucapan Karel yang begitu keras. Tanpa menghiraukan omelan laki-laki itu, ia langsung menarik tangannya masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan saat istirahat tadi. Kemudian, mereka segera melaju ke rumah sakit. Biarkan saja pemuda itu mengomel sepuas-puasnya, Lala merasa percuma berbicara dengan pemuda batu seperti Karel itu. Dibalaspun tidak akan merasa bersalah.
Begitu sampai di rumah sakit, Lala memberikan uang kepada supir taksi tersebut kemudian langsung menarik Karel turun dari sana dengan paksa. Mereka masuk ke dalam lift untuk naik beberapa lantai ke atas dan segera menuju kamar dimana Cakka dirawat. Karel hanya diam saja, pasrah ditarik-tarik oleh Lala. Walaupun sebenarnya dalam hatinya ia benar-benar ingin meledak dengan sikap menyebalkan gadis itu.
"Cakka!" seru Lala sambil tersenyum ketika melihat sahabatnya sedang melamun sendiri.
Cakka menoleh ketika mendengar suara sahabatnya. Ia cukup kaget melihat sosok Karel di sampingnya. "Hei, La. Kau juga datang, Rel."
Karel diam saja, tidak menghiraukan ucapan Cakka. Sementara Lala menjawab, "Ya! Kau pikir aku akan membiarkan dia kabur setelah dia mencelakakan kau? Aku keluar dulu sebentar. Dan kau, Karel, jangan coba-coba kabur! Lakukan apa yang kukatakan tadi pagi atau kau akan menyesal esok hari! Aku tidak main-main!"
Karel mendengus pelan mendengar ocehan gadis itu. Setelah gadis itu pergi dari hadapannya, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia menggumam sebal, "Macan betina."
Cakka hanya tersenyum melihat Karel. Gumamannya sangat pelan, tapi ia jelas mendengarnya. "Biarlah dia melakukan apa yang dia mau. Kau harus tahu kalau Lala adalah perempuan paling galak yang pernah kutemui. Untung saja dia teman kecilku. Kalau tidak, aku juga sebal mendengarnya."
Karel memalingkan wajahnya mendengar ucapan Cakka. "Ini semua gara-gara kau. Pasti kau yang mengadu kepada dia!"
"Aku tidak menyuruhnya untuk membawamu ke sini." kata Cakka. "Tapi.. aku senang kau datang. Setidaknya aku tahu kau baik-baik saja setelah kecelakaan itu. Apa Dokter mengatakan sesuatu?"
"Aku tidak butuh Dokter! Aku tidak butuh siapapun! Apa kau tidak mengerti juga? Sekali lagi kau mencampuri urusanku, kau tidak akan selamat di tanganku, Chase Karayne!" kata Karel dengan kesal. Nada bicaranya semakin lama semakin tinggi. Matanya melotot tajam. Kemudian, ia membalikkan badannya, memunggungi Cakka.
"Tapi, kau begitu ramah saat pertama kali kau datang ke kelas. Kau bisa tersenyum kepada siapapun yang ada di kelas kami. Walaupun kau tak banyak bicara, tapi kau ramah kepada semua orang dengan senyuman itu." kata Cakka. "Aku yakin, sebenarnya kau ingin berteman. Namun, pasti ada beberapa alasan yang mengurung niatmu rapat-rapat. Aku yakin senyumanmu waktu itu bukan hanya sekedar pura-pura."
Karel diam.
Cakka menghela nafasnya, kemudian ia menoleh ke arah jendela. "Kau tahu mengapa aku begitu mementingkan perkataan Ibu Guru untuk membuatmu nyaman di sekolah?"
Karel tetap diam.
"Ayah, Bunda dan kakakku, Mas Elang, adalah hartaku yang paling berharga. Mereka sangat menyayangiku. Mereka juga mengajariku untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Aku sangat senang bisa lahir di keluargaku." kata Cakka. Ia menghela nafas lagi, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku masih ingat, empat tahun yang lalu, Ayah memutuskan untuk berpisah dengan Bunda. Waktu itu aku masih kelas enam, tak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi, begitu Bunda melangkah pergi dari rumah, aku benar-benar merasa sedih. Padahal, waktu itu aku sudah mencegahnya untuk pergi."
"Tak perlu curhat. Cerewet kau, tahu?" kata Karel sebal sambil membalikkan badannya lagi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian membuang muka. Malas melihat Cakka.
"Dengarkan aku dulu, Rel." kata Cakka pelan, membuat Karel kembali diam. Kemudian, Cakka melanjutkan ucapannya.
"Aku benar-benar kesal dengan Ayah waktu itu. Ayah memukul Bunda hingga pipinya merah, dia juga mengusir Bunda. Belum lagi Bunda tidak menghubungi kami sama sekali hingga sekarang. Selama beberapa minggu, aku tidak mau berbicara kepada Ayah karena terlalu kesal. Tapi, setelah melewati beberapa waktu, aku memutuskan untuk belajar menerima. Mungkin Ayah dan Bunda berpisah, sudah menjadi hal yang terbaik untuk keluargaku. Aku juga tak bisa membenci Ayah. Dia sudah merawatku dengan baik semenjak Bunda pergi. Dia tetap Ayahku, sekalipun dia adalah orang yang sudah melahap omongannya sendiri."
"Kenapa kau tidak membenci Ayahmu? Dia bahkan tidak bisa melakukan apa yang dia katakan! Untuk apa dia menyuruhmu untuk bertanggung jawab jika dia saja tidak bisa?" kata Karel. "Dan untuk apa kau menuruti ucapannya setelah apa yang telah dia lakukan kepadamu? Semua orang tua selalu mementingkan dirinya sendiri daripada anak-anaknya."
"Aku menurut kepadanya karena dia Ayahku." kata Cakka sambil tersenyum. Kemudian, dia menoleh ke arah Karel. "Semenyebalkan apapun dia, dia tetap Ayahku. Tapi, aku tidak akan pernah menjadi seperti dia yang melepas tanggung jawab. Makanya, begitu aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi ketua kelas, aku berjanji benar-benar melakukannya. Setiap diberi tugas, aku selalu mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Untuk membuktikan aku tidak akan seperti Ayah. Aku yakin Ayah akan bangga padaku dengan cara itu. Bukankah kau juga berpikir begitu?"
Karel mendengus sebal. "Aku tidak mempunyai Ayah dan Ibu. Tidak ada orang tua yang selalu bekerja sampai larut malam tanpa memperdulikan anaknya."
Cakka tersenyum mendengar ucapan Karel. "Jadi, Ayah dan Ibumu sangat sibuk? Mungkin mereka melakukannya agar bisa membahagiakanmu, Karel."
"Membahagiakanku? Haha.. Cara yang bagus! Mereka bahkan tidak menanyakan keadaanku setelah kejadian kemarin!" kata Karel dengan nada cukup nyaring dan mengejek. Ia merasa lucu, bagaimana ada orang tua yang membahagiakan anaknya dengan cara yang menyebalkan seperti itu? Karel tidak akan percaya.
"Mungkin kau hanya belum mengerti." kata Cakka sambil tersenyum. Ia sudah mengerti sekarang apa yang sedang dihadapi teman barunya ini. "Dan orang tuamu tidak bisa dijadikan alasan kau menolak teman-teman sekelasmu untuk mengajakmu berteman. Mereka teman-teman yang baik, Rel! Mereka juga yang telah mendukungku agar keluar dari dunia kesedihan. Aku yakin, kau juga akan pelan-pelan merasakan kebahagiaan, setelah kau berteman dengan mereka."
"Kau jangan bercanda. Aku tidak akan pernah bahagia dengan cara seperti itu. Aku bisa bahagia sendirian." kata Karel sambil tersenyum sinis. "Tak ada orang tua yang menyusahkan, tak ada teman-teman yang menyebalkan. Hidup dalam kesendirian itu sudah menjadi kebahagiaanku."
"Tidak, aku tidak percaya." kata Cakka masih belum menyerah. Ia mencoba untuk duduk di tempat tidurnya. Pelan-pelan ia menopang tubuhnya agar bisa duduk. Sesekali ia merasakan sakit ketika tangannya harus mengeluarkan tenaga lebih untuk membantunya tegak. "Rel, aku tahu kau kesepian. Biarkan aku masuk ke dalam dunia sepimu itu, aku yang akan membuat dunia itu menjadi dunia kebahagiaan."
"Tidak, tidak ada yang boleh masuk ke dalam kehidupanku."
"Lalu, bagaimana kau bisa menemukan kebahagiaan jika kau sendiri tidak membiarkan orang masuk ke dalam duniamu?"
Karel hanya diam. Dalam hati dia mengakui dia tidak bisa menjawab. Ia pun tak tahu harus berbuat apa agar ia bisa bahagia, karena kenyataannya semua orang yang mengenalnya tak ada yang menyayanginya. Orang tua, bahkan teman-temannya juga meninggalkannya.
"Ayolah, kau tahu aku peduli padamu. Aku tidak seperti teman-teman lain yang begitu cepat menyerah mengajakmu berteman. Aku juga yang menolongmu di tengah jalan waktu itu. Padahal, aku tahu itu sangat berbahaya. Dan aku juga pernah merasakan bagaimana menyebalkannya orang tua. Aku sangat mengerti perasaanmu." kata Cakka. Ia mengulurkan tangannya kepada Karel. "Rel, biarkan aku yang mengubah dunia sepimu itu menjadi dunia bahagia, oke? Lala juga pasti akan membantumu jika kau ingin berubah."
Karel menatap tangan Cakka sejenak, kemudian pelan-pelan menjabatnya dengan malas. Cakka tersenyum ketika Karel menerima tangannya. Tapi, Karel hanya mendengus melihat senyumannya. "Ingat, sekali kau berkhianat kepadaku, maka kau keluar dari kehidupanku. Aku terpaksa menerima tanganmu. Jadi, kau tetap bukan temanku. Aku hanya berhutang nyawa kepadamu."
"Aku mungkin bukan temanmu, tapi kau adalah temanku." kata Cakka sambil tersenyum. Dalam hatinya ia berbahagia, ia berhasil membuat Karel membuka hatinya kembali untuk menerimanya sebagai temannya. Biar sajalah dia tidak mengakuinya sekarang, tapi Cakka yakin, setelah beberapa lama, Karel pasti akan semakin membuka hatinya. Dan suatu saat nanti, Cakka pasti akan membantunya untuk berdamai kembali dengan orang tuanya. Seperti yang pernah ia alami saat dia juga harus keluar dari rasa sedih karena ditinggal Bunda.
Karel diam sejenak mendengar ucapan Cakka. Kemudian berkata dengan nada datar, "Aku pulang dulu."
Cakka mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Karel membalikkan badannya dan melangkah keluar dari kamar perawatan Cakka. Sejenak ia terdiam di depan pintu kamar perawatan itu, teringat dengan semua perkataan Cakka tentang keluarganya. Juga tentang sikapnya selama ini yang mengganggunya. Dia tak menyerah menghadapinya karena dia ingin membuktikan bahwa dia tidak seperti Ayahnya. Dia bahkan tidak pernah menunjukkan emosi setiap kali Karel membentaknya. Lalu, mengingat penyebab Cakka bisa masuk rumah sakit, Karel menjadi sedikit merasa bersalah.
Karel menyinggungkan senyuman kecil di wajahnya. Ia memegang pintu kamar perawatan itu pelan dengan tangannya. "Aku harap kau tidak mengecewakanku seperti yang lain... Chase Karayne."

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p