"Ugh...."
Ayah
langsung menghampiri Cakka begitu tahu anaknya sudah sadar. Ia langsung
mendekati tempat tidur dimana anaknya berbaring bersama Elang. Di samping
mereka juga ada Lala. Mereka bertiga sangat terkejut ketika mendengar kabar
bahwa Cakka tertabrak mobil. Dengan wajah cemas Ayah bertanya, "Cakka,
kamu tidak apa-apa?"
"Ayah...?
Mas Elang...? Lala...?" kata Cakka lemas. Bau obat menusuk hidungnya
begitu ia bangun. Kepalanya terasa sangat sakit. Badannya pegal-pegal. Ia
serasa tidak mempunyai tenaga lagi saat ini. Tapi, yang pertama kali ia ingat
saat ini adalah Karel. Ia langsung tersentak.
"Ayah,
Mas Elang, Karel... Karel dimana? Apa dia baik-baik saja? Ah..." kata
Cakka. Ia meringis sejenak merasakan sakit yang ada di kepalanya. Ayah dan
Elang langsung membantunya untuk tidur kembali. Ah, mereka tidak mengerti
bagaimana khawatirnya Cakka terhadap teman sekelasnya itu.
"Kau
tenang dulu, Kka. Jangan banyak bergerak. Tadi kata dokter kepalamu terbentur
cukup keras. Untung saja tidak gegar otak. Tapi kau harus banyak
istirahat." kata Elang.
"Ya,
kau itu harus melebihkan jam istirahatmu. Jangan memikirkan serigala itu. Dia
bahkan tidak menyesal setelah apa yang terjadi." kata Lala dengan sebal
kepada sahabatnya. "Yang terpenting untukmu sekarang adalah kau harus
sembuh dulu!"
"Ya,
Cakka. Jangan buat Ayah khawatir lagi." kata Ayah. "Karel yang kau
selamatkan itu sedang menjalankan perawatan di ruangan lain karena kepalanya
juga ikut terbentur. Dia juga butuh istirahat setelah kecelakaan itu. Kamu
tenang saja."
Cakka diam
saja mendengarnya. Ia menghela napas, setidaknya Karel akan baik-baik saja
setelah diperiksa dokter. Ia akan menyesal jika dia gagal menyelamatkannya. Ia
menoleh kembali ke arah ketiga orang-orang terdekatnya itu, mulai menceritakan
kejadian yang sebenarnya terjadi kepadanya sampai ia bisa berakhir di rumah
sakit.
J L J
Keesokkan
harinya, Cakka tentu saja tidak masuk karena harus diopname sampai sembuh. Lala
yang merasa sudah benar-benar kesal dengan Karel langsung menghampirinya ketika
jam istirahat. Setelah semua teman-teman sekelasnya berhamburan keluar kelas,
ia langsung menggebrak meja Karel, membuat si empunya lagi-lagi terganggu
tidurnya. Tapi, Lala tidak peduli. Ia benar-benar marah sekarang. "HEH!
Apa yang kau lakukan kemarin?! Kau mencoba bunuh diri dan membiarkan Cakka
masuk rumah sakit?! Dan kau bahkan tak menjenguknya sedetikpun! Apa kau
setidaknya tak bisa berterima kasih kepadanya?! Kalau Cakka tak mendorongmu
waktu itu, kau sudah tidak ada di dunia ini!"
Karel
menatap Lala dengan datar. Ia benar-benar kesal dengan gadis itu. "Untuk
informasi, aku tidak pernah menyuruh teman menyebalkanmu itu untuk
menyelamatkanku. Jadi kenapa aku harus tanggung jawab? Lagipula, aku memang
ingin pergi dari dunia ini! Tapi, dia menggagalkan semuanya!"
Lala
kembali menggebrak meja Karel dengan keras. "Apa kau sudah gila?! Atau kau
memang tak punya otak sampai harus mengambil jalan negatif seperti bunuh diri?!
Apa masalahmu tidak ada solusi lain?! Kau bisa membicarakannya baik-baik dengan
kami semua agar kami bisa membantu jika kau butuh bantuan!"
"Masalahku
bukan urusan kalian semua. Kalian tidak perlu ikut campur!" kata Karel
dengan sebal. Ia segera berdiri dan menatap Lala tajam. "Dan informasi
saja, yang tak punya otak itu bukan aku, tapi temanmu itu! Sudah berkali-kali
aku bilang kalau aku tidak suka diganggu, tapi dia tetap saja mengganggu
hidupku! Jadi, kalau sekarang dia diopname di rumah sakit, SUKURIN!" Setelah
berkata begitu, ia langsung meninggalkan kursinya, hendak keluar kelas.
"Hei!
Kembali kau, serigala!!" kata Lala keras dan emosi. Ia berjalan mengikuti
Karel dan segera menjitak kepala Karel dari belakang agar Karel berhenti.
"Apa
kau tak bisa tidak menggangguku sekali saja, macan betina? Aku tidak ingin
diganggu!!" kata Karel sambil membalikkan badannya. Rasanya kesabaran
dalam hatinya sudah benar-benar habis dengan gadis itu.
"Tidak!
Kau pikir aku akan tinggal diam jika melihat sahabatku sudah diganggu oleh kau,
serigala? Kau tidak akan pernah selamat jika terjadi apa-apa dengan Cakka!
Selama ini dia sudah baik padamu, seharusnya kau menghargainya!" kata Lala
sebal. "Aku tidak mau tahu, pokoknya sepulang sekolah nanti, kau harus
ikut aku ke rumah sakit! Setidaknya jenguk dia sekali! Kau harus bicara
padanya!"
"Dan
atas dasar apa aku harus menurutimu, macan betina?" tanya Karel dingin.
"UGH!!!
Capek aku bicara padamu! Pokoknya kau harus ikut! Setidaknya kau minta maaf
padanya! Kalau kau berani-beraninya mencoba kabur, akan kuseret kau ke rumah
sakit! Aku tidak akan berhenti sebelum kau menurutiku!" kata Lala.
Kemudian, ia langsung keluar kelas. Dengan sengaja ia tabrak bahu Karel.
Karel
hanya diam saja bahunya ditabrak. Begitu ia mendengar suara pintu kelas
dibanting, ia langsung emosi tingkat tinggi. Dengan sekuat tenaga ia langsung
menendang kursi yang ada di dekatnya sampai menimbulkan suara ribut. Ia
benar-benar kesal dengan hidupnya. Tak ada yang perduli padanya, tak ada yang
bisa mengerti perasaannya. Semuanya hanya bisa memaksakan kehendak mereka agar
ia mematuhi semua kehendak mereka. Lalu, kehendaknya? Perasaannya? Siapa yang
akan mengerti itu semua?
J L J
Selama
hidup belasan tahun, Lala tidak pernah mempunyai sifat suka main-main. Dia
selalu melakukan sesuai dengan apa yang ia katakan. Begitu bel pulang sekolah
tiba, ia langsung mencegat Karel yang hendak keluar kelas terlebih dahulu
daripada dirinya. "Mau kemana kau, serigala? Kau tidak ingat dengan
ucapanku tadi pagi?"
Karel
mendengus kesal. "Apa aku mengatakan kalau aku akan menurutimu, macan
betina?"
"Aku
sudah bilang padamu kalau aku akan menyeretmu ke rumah sakit kalau kau
berani-beraninya kabur! Kau benar-benar menantangku? Aku tidak main-main dengan
ucapanku!"
"Dan
aku juga tidak main-main untuk tidak menurutimu! Singkirkan dirimu dari sini
dan pergi jauh-jauh dariku! Aku ingin pulang!" kata Karel dengan nyaring.
"Tidak!
Kau harus ke rumah sakit! SEKARANG!" kata Lala mulai emosi.
"TIDAK!"
Lala
mendengus marah mendengar ucapan Karel yang begitu keras. Tanpa menghiraukan
omelan laki-laki itu, ia langsung menarik tangannya masuk ke dalam taksi yang
sudah ia pesan saat istirahat tadi. Kemudian, mereka segera melaju ke rumah
sakit. Biarkan saja pemuda itu mengomel sepuas-puasnya, Lala merasa percuma
berbicara dengan pemuda batu seperti Karel itu. Dibalaspun tidak akan merasa
bersalah.
Begitu
sampai di rumah sakit, Lala memberikan uang kepada supir taksi tersebut
kemudian langsung menarik Karel turun dari sana dengan paksa. Mereka masuk ke
dalam lift untuk naik beberapa lantai ke atas dan segera menuju kamar dimana
Cakka dirawat. Karel hanya diam saja, pasrah ditarik-tarik oleh Lala. Walaupun
sebenarnya dalam hatinya ia benar-benar ingin meledak dengan sikap menyebalkan
gadis itu.
"Cakka!"
seru Lala sambil tersenyum ketika melihat sahabatnya sedang melamun sendiri.
Cakka
menoleh ketika mendengar suara sahabatnya. Ia cukup kaget melihat sosok Karel
di sampingnya. "Hei, La. Kau juga datang, Rel."
Karel diam
saja, tidak menghiraukan ucapan Cakka. Sementara Lala menjawab, "Ya! Kau
pikir aku akan membiarkan dia kabur setelah dia mencelakakan kau? Aku keluar
dulu sebentar. Dan kau, Karel, jangan coba-coba kabur! Lakukan apa yang
kukatakan tadi pagi atau kau akan menyesal esok hari! Aku tidak main-main!"
Karel
mendengus pelan mendengar ocehan gadis itu. Setelah gadis itu pergi dari
hadapannya, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia menggumam
sebal, "Macan betina."
Cakka
hanya tersenyum melihat Karel. Gumamannya sangat pelan, tapi ia jelas
mendengarnya. "Biarlah dia melakukan apa yang dia mau. Kau harus tahu
kalau Lala adalah perempuan paling galak yang pernah kutemui. Untung saja dia
teman kecilku. Kalau tidak, aku juga sebal mendengarnya."
Karel
memalingkan wajahnya mendengar ucapan Cakka. "Ini semua gara-gara kau.
Pasti kau yang mengadu kepada dia!"
"Aku
tidak menyuruhnya untuk membawamu ke sini." kata Cakka. "Tapi.. aku
senang kau datang. Setidaknya aku tahu kau baik-baik saja setelah kecelakaan
itu. Apa Dokter mengatakan sesuatu?"
"Aku
tidak butuh Dokter! Aku tidak butuh siapapun! Apa kau tidak mengerti juga?
Sekali lagi kau mencampuri urusanku, kau tidak akan selamat di tanganku, Chase
Karayne!" kata Karel dengan kesal. Nada bicaranya semakin lama semakin
tinggi. Matanya melotot tajam. Kemudian, ia membalikkan badannya, memunggungi
Cakka.
"Tapi,
kau begitu ramah saat pertama kali kau datang ke kelas. Kau bisa tersenyum
kepada siapapun yang ada di kelas kami. Walaupun kau tak banyak bicara, tapi
kau ramah kepada semua orang dengan senyuman itu." kata Cakka. "Aku
yakin, sebenarnya kau ingin berteman. Namun, pasti ada beberapa alasan yang
mengurung niatmu rapat-rapat. Aku yakin senyumanmu waktu itu bukan hanya
sekedar pura-pura."
Karel
diam.
Cakka
menghela nafasnya, kemudian ia menoleh ke arah jendela. "Kau tahu mengapa
aku begitu mementingkan perkataan Ibu Guru untuk membuatmu nyaman di
sekolah?"
Karel
tetap diam.
"Ayah,
Bunda dan kakakku, Mas Elang, adalah hartaku yang paling berharga. Mereka
sangat menyayangiku. Mereka juga mengajariku untuk menjadi laki-laki yang
bertanggung jawab. Aku sangat senang bisa lahir di keluargaku." kata
Cakka. Ia menghela nafas lagi, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku masih
ingat, empat tahun yang lalu, Ayah memutuskan untuk berpisah dengan Bunda.
Waktu itu aku masih kelas enam, tak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan.
Tapi, begitu Bunda melangkah pergi dari rumah, aku benar-benar merasa sedih.
Padahal, waktu itu aku sudah mencegahnya untuk pergi."
"Tak
perlu curhat. Cerewet kau, tahu?" kata Karel sebal sambil membalikkan
badannya lagi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian membuang
muka. Malas melihat Cakka.
"Dengarkan
aku dulu, Rel." kata Cakka pelan, membuat Karel kembali diam. Kemudian,
Cakka melanjutkan ucapannya.
"Aku
benar-benar kesal dengan Ayah waktu itu. Ayah memukul Bunda hingga pipinya
merah, dia juga mengusir Bunda. Belum lagi Bunda tidak menghubungi kami sama
sekali hingga sekarang. Selama beberapa minggu, aku tidak mau berbicara kepada
Ayah karena terlalu kesal. Tapi, setelah melewati beberapa waktu, aku
memutuskan untuk belajar menerima. Mungkin Ayah dan Bunda berpisah, sudah
menjadi hal yang terbaik untuk keluargaku. Aku juga tak bisa membenci Ayah. Dia
sudah merawatku dengan baik semenjak Bunda pergi. Dia tetap Ayahku, sekalipun
dia adalah orang yang sudah melahap omongannya sendiri."
"Kenapa
kau tidak membenci Ayahmu? Dia bahkan tidak bisa melakukan apa yang dia
katakan! Untuk apa dia menyuruhmu untuk bertanggung jawab jika dia saja tidak
bisa?" kata Karel. "Dan untuk apa kau menuruti ucapannya setelah apa
yang telah dia lakukan kepadamu? Semua orang tua selalu mementingkan dirinya
sendiri daripada anak-anaknya."
"Aku
menurut kepadanya karena dia Ayahku." kata Cakka sambil tersenyum.
Kemudian, dia menoleh ke arah Karel. "Semenyebalkan apapun dia, dia tetap
Ayahku. Tapi, aku tidak akan pernah menjadi seperti dia yang melepas tanggung
jawab. Makanya, begitu aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi ketua kelas,
aku berjanji benar-benar melakukannya. Setiap diberi tugas, aku selalu
mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Untuk membuktikan aku tidak akan seperti
Ayah. Aku yakin Ayah akan bangga padaku dengan cara itu. Bukankah kau juga
berpikir begitu?"
Karel
mendengus sebal. "Aku tidak mempunyai Ayah dan Ibu. Tidak ada orang tua yang
selalu bekerja sampai larut malam tanpa memperdulikan anaknya."
Cakka
tersenyum mendengar ucapan Karel. "Jadi, Ayah dan Ibumu sangat sibuk?
Mungkin mereka melakukannya agar bisa membahagiakanmu, Karel."
"Membahagiakanku?
Haha.. Cara yang bagus! Mereka bahkan tidak menanyakan keadaanku setelah
kejadian kemarin!" kata Karel dengan nada cukup nyaring dan mengejek. Ia
merasa lucu, bagaimana ada orang tua yang membahagiakan anaknya dengan cara
yang menyebalkan seperti itu? Karel tidak akan percaya.
"Mungkin
kau hanya belum mengerti." kata Cakka sambil tersenyum. Ia sudah mengerti
sekarang apa yang sedang dihadapi teman barunya ini. "Dan orang tuamu
tidak bisa dijadikan alasan kau menolak teman-teman sekelasmu untuk mengajakmu
berteman. Mereka teman-teman yang baik, Rel! Mereka juga yang telah mendukungku
agar keluar dari dunia kesedihan. Aku yakin, kau juga akan pelan-pelan
merasakan kebahagiaan, setelah kau berteman dengan mereka."
"Kau
jangan bercanda. Aku tidak akan pernah bahagia dengan cara seperti itu. Aku
bisa bahagia sendirian." kata Karel sambil tersenyum sinis. "Tak ada
orang tua yang menyusahkan, tak ada teman-teman yang menyebalkan. Hidup dalam
kesendirian itu sudah menjadi kebahagiaanku."
"Tidak,
aku tidak percaya." kata Cakka masih belum menyerah. Ia mencoba untuk
duduk di tempat tidurnya. Pelan-pelan ia menopang tubuhnya agar bisa duduk.
Sesekali ia merasakan sakit ketika tangannya harus mengeluarkan tenaga lebih
untuk membantunya tegak. "Rel, aku tahu kau kesepian. Biarkan aku masuk ke
dalam dunia sepimu itu, aku yang akan membuat dunia itu menjadi dunia
kebahagiaan."
"Tidak,
tidak ada yang boleh masuk ke dalam kehidupanku."
"Lalu,
bagaimana kau bisa menemukan kebahagiaan jika kau sendiri tidak membiarkan
orang masuk ke dalam duniamu?"
Karel
hanya diam. Dalam hati dia mengakui dia tidak bisa menjawab. Ia pun tak tahu
harus berbuat apa agar ia bisa bahagia, karena kenyataannya semua orang yang
mengenalnya tak ada yang menyayanginya. Orang tua, bahkan teman-temannya juga
meninggalkannya.
"Ayolah,
kau tahu aku peduli padamu. Aku tidak seperti teman-teman lain yang begitu
cepat menyerah mengajakmu berteman. Aku juga yang menolongmu di tengah jalan
waktu itu. Padahal, aku tahu itu sangat berbahaya. Dan aku juga pernah
merasakan bagaimana menyebalkannya orang tua. Aku sangat mengerti
perasaanmu." kata Cakka. Ia mengulurkan tangannya kepada Karel. "Rel,
biarkan aku yang mengubah dunia sepimu itu menjadi dunia bahagia, oke? Lala
juga pasti akan membantumu jika kau ingin berubah."
Karel
menatap tangan Cakka sejenak, kemudian pelan-pelan menjabatnya dengan malas.
Cakka tersenyum ketika Karel menerima tangannya. Tapi, Karel hanya mendengus
melihat senyumannya. "Ingat, sekali kau berkhianat kepadaku, maka kau
keluar dari kehidupanku. Aku terpaksa menerima tanganmu. Jadi, kau tetap bukan
temanku. Aku hanya berhutang nyawa kepadamu."
"Aku
mungkin bukan temanmu, tapi kau adalah temanku." kata Cakka sambil
tersenyum. Dalam hatinya ia berbahagia, ia berhasil membuat Karel membuka
hatinya kembali untuk menerimanya sebagai temannya. Biar sajalah dia tidak
mengakuinya sekarang, tapi Cakka yakin, setelah beberapa lama, Karel pasti akan
semakin membuka hatinya. Dan suatu saat nanti, Cakka pasti akan membantunya
untuk berdamai kembali dengan orang tuanya. Seperti yang pernah ia alami saat
dia juga harus keluar dari rasa sedih karena ditinggal Bunda.
Karel diam
sejenak mendengar ucapan Cakka. Kemudian berkata dengan nada datar, "Aku pulang
dulu."
Cakka mengangguk.
"Hati-hati di jalan."
Karel
membalikkan badannya dan melangkah keluar dari kamar perawatan Cakka. Sejenak
ia terdiam di depan pintu kamar perawatan itu, teringat dengan semua perkataan
Cakka tentang keluarganya. Juga tentang sikapnya selama ini yang mengganggunya.
Dia tak menyerah menghadapinya karena dia ingin membuktikan bahwa dia tidak
seperti Ayahnya. Dia bahkan tidak pernah menunjukkan emosi setiap kali Karel
membentaknya. Lalu, mengingat penyebab Cakka bisa masuk rumah sakit, Karel menjadi
sedikit merasa bersalah.
Karel
menyinggungkan senyuman kecil di wajahnya. Ia memegang pintu kamar perawatan
itu pelan dengan tangannya. "Aku harap kau tidak mengecewakanku seperti
yang lain... Chase Karayne."
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Kalau mau request cerpen silahkan ya :)
Nantikan ceritaku selanjutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p