Janji
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan ini. Janji hanyalah sebuah
kata, namun selalu hidup untuk menagih semua yang ada. Dan janji mungkin
merupakan hal terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku. Waktu itu aku sudah
terlanjur bicara. Dan aku tak bisa melakukan apapun kecuali berusaha
menepatinya.
Kugenggam
kedua tangan Bundaku dengan erat, seakan membagikan sedikit kekuatan yang
kumiliki. Wajahnya sudah berkeringat. Raut wajahnya pucat pasi. Benar-benar
terlihat menyedihkan. Dan aku tak bisa berkata banyak-banyak kepadanya. “Aku
sungguh-sungguh mencintaimu, Bunda.”
Bunda
tersenyum samar mendengar perkataan itu. Kemudian dia mengeluarkan sebuah
rintihan pelan dan bersuara kepadaku. “Bunda juga, sayang.”
“Masih
sakit, Bunda?” tanyaku lagi cemas.
Bunda
menggeleng. “Hanya sedikit, Iqbaalku sayang.”
“Bunda
adalah wanita paling kuat yang pernah kukenal. Jangan pernah menyerah terhadap
penyakit, Bunda. Itu yang selalu Ayah dan Bunda ajarkan kepadaku, bukan?”
kataku lagi sambil tersenyum.
“Ada kalanya
kau juga harus menyerah, sayang.”
Aku
menggelengkan kepalaku. “Aku sudah berjanji untuk berusaha sampai Bunda sembuh.”
Aku sambil mempererat genggamanku, disusul dengan menetesnya air mata
kesedihanku. Dia mengalir pelan menelusuri kedua pipiku yang kurus, kemudian
jatuh tepat di punggung tanganku yang masih berusaha menguatkan Bunda.
Bunda
tetap tersenyum menatapku. Salah satu tangannya terulur ke atas, menggapai
pipiku untuk menghapus kesedihanku. “Bahkan kadang-kadang kau harus mundur
untuk menang.”
“Bunda...”
Bunda
tidak menjawab. Senyumannya juga tidak pudar sedikitpun dari wajahnya. Dia
melepaskan genggaman tanganku dan segera menarik tubuhku untuk masuk ke dalam
pelukannya. Tanpa ada penolakan aku segera bersandar di tubuh Bunda yang
berbaring di tempat tidur.
“Berjanjilah
kepada Bunda, Baal. Kau tidak akan pernah menangis lagi.” bisik Bunda tepat di
telingaku. “Air matamu terlalu berharga untuk dikeluarkan untuk hal-hal tak
penting. Tersenyumlah selalu.”
Aku
terdiam mendengar ucapan Bunda yang begitu pelan. Perasaanku benar-benar
bercampur aduk mengetahui bagaimana lemahnya Bunda sekarang. Kepasrahan yang
menguasai tubuhnya sekarang benar-benar membuat Bunda terlihat sangat lemah.
“Aku berjanji.”
Kemudian,
suasana menjadi hening. Beberapa saat aku merasakan bagaimana hangatnya pelukan
Bunda, hingga kedua tangan Bunda menjadi lemas dan perlahan-lahan melepas
pelukannya. Aku benar-benar kaget melihat wajah Bunda yang sudah seputih
kertas. Keduanya matanya sudah tertutup.
Kupegang
salah satu tangan Bunda yang terjatuh lemas. Kukecup tangannya yang sudah
terasa seperti es. Kemudian, kubiarkan Bunda beristirahat di sana. Aku duduk di
pinggir tempat tidur Bunda dan menundukkan kepalaku. Kukeluarkan suara tangisan
yang cukup nyaring di sana. Entahlah, aku tidak tahu sampai kapan aku akan
melanggar janjiku untuk tidak menangis. Namun, akan butuh waktu lama untuk
menerima bahwa Bunda tidak akan pernah bisa membuka matanya lagi. Selamanya.
wah, ternyata mantap gan ceritanya.
BalasHapuskeren ceritanya, saya jg punya site tuisan sprti ini hehe, happpy blogging.
BalasHapuswah patut dicoba untuk membuat buku ni, mantap semangat menulisnya
BalasHapusWah bagus sekali nie ceritanya.. kalo banyak bisa di bikin NOVEL
BalasHapusJanji sama siapa pun harus di tepati... nice info gan..artikelnya mana lagi ya??
BalasHapusKeren bgt nih gan,,,
BalasHapus