Minggu, 13 Juli 2014

Cerpen | #TFTPassenger Version 1 | Let Her Go


Sumber gambar: kapanlagi.com


Jogjakarta, malam hari. Cakka hanya duduk sendiri di ruang makan sambil menatap laptopnya. Sudah kesekian malam ia duduk di sana dan mengerjakan tugas sekolah. Sekolahnya memberikan pekerjaan rumah berbentuk karya tulis. Kata gurunya, ia harus mengarang seluruh hal yang menurutnya mengesankan dalam hidupnya selama tiga minggu. Dan masalahnya tugas ini harus dikumpulkan minggu depan. Cakka sungguh bingung bagaimana harus menyelesaikan tugas ini tanpa inspirasi yang tepat. Sejauh ini tulisannya baru mencapai setengah halaman kertas A4. Sementara gurunya menugaskannya agar mengarang minimal tiga halaman.

Cakka menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di dekatnya. Jam sudah menunjukkan delapan malam. Tapi rumahnya masih saja sepi. Cakka sungguh merindukan suasana rumahnya yang dulu. Yang selalu ramai, bukan suasana kuburan seperti ini. Masih mending jika kakaknya tetap menjadi kakak yang selalu pulang tepat waktu. Tapi, ini tidak. Terkadang kakak laki-laki satu-satunya itu justru pulang pada jam orang-orang lembur. Lihat saja, sudah larut malam begini dia belum juga muncul di pintu depan.

Setelah puas melamun sambil melihat jam dinding, Cakka kembali berkutat dengan laptopnya. Ia menopang dagunya dengan kedua tangannya. Kepalanya sudah pusing. Ia benar-benar tak mempunyai ide sama sekali untuk melanjutkan tulisannya. Tak lama setelah berpikir, ia justru mengacak-acak rambutnya yang sudah mulai panjang sampai berantakan. Mata sayunya sudah mengantuk. Ia terlalu lelah untuk diajak berpikir keras. Dengan suara medoknya dia bergerutu, "Capek otakku memikirkan tugas Pak Duta. Tega benar dia memberikan tugas seperti ini.”
KREK..
Cakka langsung menoleh dengan reflek begitu mendengar suara pintu ruang makan dibuka. Ia melirik jam dinding lagi, pukul sembilan malam. Kemudian, ia menoleh ke arah ambang pintu. Mata sayunya menangkap sesosok laki-laki yang memiliki tinggi yang hampir sama dengannya di sana. Baju seragam sekolah dan celana panjang abu-abu masih melekat di tubuh kurusnya. Rambutnya tampak sedikit berantakan. Wajahnya kusut. Tas selempang hitamnya masih tergantung di pundaknya. "Baru pulang? Habis dari mana?"
Dia menggelengkan kepalanya. Kakinya melangkah mendekati Cakka, membuat Cakka harus mengangkat kepalanya lebih ke atas agar bisa melihat wajahnya. Ada yang aneh dengan tingkah lakunya hari ini. Tapi entahlah, Cakka tak bisa menebak apa yang salah. Begitu ia sampai di hadapan Cakka, ia diam saja. Hening sejenak, kemudian dia segera bertanya kepada Cakka setelah melihat laptop Cakka yang menampilkan sebuah kertas kosong yang hanya terisi seperempat halaman itu. "Masih mengerjakan tugas? Sebentar lagi jam tidur sudah tiba."
"Aku juga tidak akan bisa tidur jika kamu belum pulang, Mas. Ini sudah ketiga kalinya kamu pulang malam." kata Cakka. "Bukankah hari ini kamu tak ada latihan musik? Kenapa pulang terlambat?”
Ia kembali diam mendengar pertanyaan Cakka.
Cakka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keanehan laki-laki itu. Kalau tidak ingat dia adalah kakaknya, mungkin sudah ia maki sejak tadi. Sayang sekali, dia adalah kakak semata wayangnya. Keningnya segera berkerut. "Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas. Habis dari mana?  Seharusnya kamu sudah pulang sejak jam lima tadi. Apa kamu lupa kalau aku sendirian di rumah?"
"Besok saja aku menceritakannya. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk bercerita." katanya membuat Cakka heran. Namun, sebelum Cakka sempat bertanya, dia sudah berbalik badan dan meninggalkan ruang makan. Cakka hanya bisa diam menatap kepergiannya. Mungkin dia ingin membersihkan badan dan segera tidur. Ia sudah hafal, jika kakaknya itu pulang larut malam, dia pasti sudah makan di luar. Akhirnya, Cakka memutuskan untuk kembali berkutat dengan laptopnya.

J L J

Cakka melihat ke kanan-kiri sambil berjalan menelusuri hutan. Hutan itu terletak cukup jauh dari kompleknya. Setidaknya dengan jalan kaki. Jarang sekali Cakka dan keluarganya masuk ke dalam hutan itu, paling hanya ketika mereka membutuhkan hal-hal yang bisa didapatkan dari hutan itu. Buah misalnya. Namun, kali ini keluarganya sedang tidak kekurangan makanan. Dan Cakka hanya berdua berjalan bersama kakaknya yang masih bersikap aneh. Tapi, karena merasa tak mempan dengan pertanyaan-pertanyaan paksaan, Cakka memutuskan untuk diam sampai kakaknya berhenti berjalan. Selama berjalan bersama kakaknya menelusuri hutan, dia hanya melihat-lihat keadaan hutan itu yang sudah berbeda dengan yang dulu, saat terakhir kali dia berkunjung ke sini. Banyak daun-daun berguguran yang menutupi jalan mereka.
Cakka sungguh tidak mengerti kemana langkah kedua kaki kurusnya membawanya. Ia hanya mengikuti langkah kakaknya yang ada di depannya sambil mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya kakaknya itu inginkan. Elang. Ia hanya memakai setelan baju bergaris-garis hitam biru dan celana panjang. Tangan kanannya membawa tas besar berisi gitar. Dan tanpa alasan ia membangunkannya pagi-pagi dan menyuruh Cakka mengikutinya ke suatu tempat, seperti yang dikatakannya tadi malam. Beruntung ketika sampai di tengah hutan, terdapat air terjun yang dapat memecah keheningan di antara mereka. Atau Cakka akan merasa stres karena kakaknya yang membawanya ke hutan itu tak juga bicara.
"Kamu tidak capek berada di hutan belantara ini?" tanya Cakka kepada kakaknya. Faktanya, mereka sudah sampai di tempat tujuan sekitar lima belas menit yang lalu. Kakaknya berhenti di dekat air terjun itu, kemudian duduk di sebuah batu sebentar untuk mengeluarkan gitarnya. Tapi, setelah itu dia hanya diam saja sambil memegang gitarnya. Sementara Cakka hanya sibuk menendang-nendang air danau yang dialiri air terjun tersebut.
"Kamu capek?"
"Aku bertanya padamu. Jangan bertanya balik." kata Cakka. Ia membalikkan badannya dan berjalan menghampirinya. Ia berseru sambil menunjuk gitar yang tengah tergantung pada bahu laki-laki itu, "Kalau kamu tak ingin pulang, setidaknya mainkan gitar itu untukku."
Laki-laki itu hanya diam saja mendengar Cakka mengoceh. Sejujurnya dia yang membawa Cakka ke hutan belantara ini. Dan dia yang memiliki banyak cerita yang ingin dia ceritakan. Namun, justru adiknya itu yang mengoceh tanpa henti dari tadi. Tapi entahlah, masalah yang ingin dia ceritakan sepertinya masih membuatnya enggan berbicara. Ia menghela napas sejenak, kemudian mulai berbicara, "Lagi galau aku, Kka. Masa Niken pindah sekolah gak bilang-bilang aku. Makanya, belakangan aku suka ke hutan ini sepulang sekolah. Bergalau dengan gitar sebentar."
Cakka menepuk dahinya mendengar ucapan kakaknya. Kemudian, dia berbalik badan, membelakangi Elang dan menaruh kedua tangannya di pinggang. Ternyata, hanya itu permasalahan kakaknya. Sahabatnya dari zaman kecil tiba-tiba pindah sekolah dan meninggalkannya sendiri. Cakka menjadi bingung harus menanggapinya bagaimana. Ia hanya diam di tempatnya berdiri sekarang, sedikit jauh dari tempat kakaknya berdiri.
Elang juga ikut diam. Ia jelas sudah tahu bahwa adiknya tak ingin menanggapi masalahnya, karena yang ia tahu, adiknya tak akan pernah menganggap hal-hal seperti itu masalah yang besar. Dia adalah adik Elang yang sangat cuek. Keheningan kembali menguasai mereka. Dan suasana hening itu berlangsung beberapa waktu, sampai akhirnya Elang iseng-iseng memainkan intro sebuah lagu. Cakka yang mendengar intro lagu dari gitar kakaknya itu reflek langsung bersenandung pelan.
"Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
'Cause love comes slow and it goes so fast..." senandung Cakka dengan suara pelan.
Setelah senandung itu selesai, nada-nada gitar yang terdengar di telinga Cakka langsung terhenti. Kakaknya kembali menatap pemandangan hutan dengan tatapan menerawang. Sementara Cakka yang tampaknya baru sadar langsung menoleh ke arah kakaknya. Sambil menghampiri kakaknya kembali, ia berkata dengan nada protes. Keningnya berkerut. Dan medoknya sangat kental saat dia mengeluarkan argumennya. "Lah, kowe sing galau, kok aku sing nembang to? (Lah, kamu yang galau, kok aku yang nyanyi sih?)"
"Lah, mana kutau. Situ kok yang nembang. (Lah, mana kutau, situ kok yang nyanyi)" kata Elang sambil menoleh balik ke arah adiknya. Kemudian, ia tertawa kecil. "Tapi yo rapopo lah, makilke lho.. Suaraku kan elek. (Tapi gapapa lah, perwakilan sih.. Suaraku kan jelek) Ayo lanjut!"
"Ish, emoh, emoh! Nembang'o dewek rono. Aku sing mainke gitare! (Ish, nggak,nggak, nyanyi sendiri sana. Aku aja yang main gitarnya)" kata Cakka sambil meminta gitar yang ada tergantung di pundak kakaknya.  Wajahnya mengembung, menampakkan wajah cemberut kepada kakaknya itu.
Elang tersenyum mendengar ucapan adiknya. Inilah sikap Cakka yang terkadang bisa membuat badmood-nya hilang, saat Cakka cemberut. Wajahnya sangat lucu ketika sedang sebal. Elang menepuk pundak Cakka pelan. "Terima kasih, kamu memang yang paling tahu aku sangat suka melihatmu protes dengan bahasa jawa ketika aku sedang tidak mood. Wajahmu sungguh ganteng ketika cemberut!"
Cakka segera menjitak kakaknya begitu dia menyelesaikan kalimatnya. Sungguh! Benar-benar laki-laki itu. Membawanya ke tengah hutan, membuatnya menunggu karena terlarut dengan masalahnya sampai susah berbicara, sekarang justru dia yang menjadi ejekan kakaknya. "Sudah, sudah! Kita sudah terlanjur berada di tengah hutan. Ayo menyanyikan sesuatu. Mungkin hari ini bisa menjadi cerita untuk tugasku."
"Oh ya?"
"Ya! Aku akan menceritakan tentang kamu yang galau karena ditinggal Niken. Tapi, karena ada aku yang bisa menyemangatimu, kamu bisa kembali tertawa dan kita bernyanyi bersama di tengah hutan ini." kata Cakka. Kemudian, dia menatap langit. "Ingat, tidak semua hal bisa kamu dapatkan, Mas. Niken punya kehidupan sendiri. Kalau dia ingin pindah sekolah, yang kamu harus lakukan hanyalah merelakan semuanya, Mas. Jangan galau! Ayah dan Bunda pasti sedih melihatmu dari atas sana."
Elang hanya nyengir mendengarnya. "Maaf deh."


 THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p