![]() |
Sumber gambar: kapanlagi.com |
Jogjakarta,
malam hari. Cakka hanya duduk sendiri di ruang makan sambil menatap laptopnya.
Sudah kesekian malam ia duduk di sana dan mengerjakan tugas sekolah. Sekolahnya
memberikan pekerjaan rumah berbentuk karya tulis. Kata gurunya, ia harus
mengarang seluruh hal yang menurutnya mengesankan dalam hidupnya selama tiga
minggu. Dan masalahnya tugas ini harus dikumpulkan minggu depan. Cakka sungguh
bingung bagaimana harus menyelesaikan tugas ini tanpa inspirasi yang tepat.
Sejauh ini tulisannya baru mencapai setengah halaman kertas A4. Sementara
gurunya menugaskannya agar mengarang minimal tiga halaman.
Cakka
menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di dekatnya. Jam sudah menunjukkan
delapan malam. Tapi rumahnya masih saja sepi. Cakka sungguh merindukan suasana
rumahnya yang dulu. Yang selalu ramai, bukan suasana kuburan seperti ini. Masih
mending jika kakaknya tetap menjadi kakak yang selalu pulang tepat waktu. Tapi,
ini tidak. Terkadang kakak laki-laki satu-satunya itu justru pulang pada jam
orang-orang lembur. Lihat saja, sudah larut malam begini dia belum juga muncul
di pintu depan.
Setelah
puas melamun sambil melihat jam dinding, Cakka kembali berkutat dengan
laptopnya. Ia menopang dagunya dengan kedua tangannya. Kepalanya sudah pusing.
Ia benar-benar tak mempunyai ide sama sekali untuk melanjutkan tulisannya. Tak
lama setelah berpikir, ia justru mengacak-acak rambutnya yang sudah mulai
panjang sampai berantakan. Mata sayunya sudah mengantuk. Ia terlalu lelah untuk
diajak berpikir keras. Dengan suara medoknya dia bergerutu, "Capek otakku
memikirkan tugas Pak Duta. Tega benar dia memberikan tugas seperti ini.”
KREK..
Cakka
langsung menoleh dengan reflek begitu mendengar suara pintu ruang makan dibuka.
Ia melirik jam dinding lagi, pukul sembilan malam. Kemudian, ia menoleh ke arah
ambang pintu. Mata sayunya menangkap sesosok laki-laki yang memiliki tinggi
yang hampir sama dengannya di sana. Baju seragam sekolah dan celana panjang
abu-abu masih melekat di tubuh kurusnya. Rambutnya tampak sedikit berantakan. Wajahnya
kusut. Tas selempang hitamnya masih tergantung di pundaknya. "Baru pulang?
Habis dari mana?"
Dia
menggelengkan kepalanya. Kakinya melangkah mendekati Cakka, membuat Cakka harus
mengangkat kepalanya lebih ke atas agar bisa melihat wajahnya. Ada yang aneh
dengan tingkah lakunya hari ini. Tapi entahlah, Cakka tak bisa menebak apa yang
salah. Begitu ia sampai di hadapan Cakka, ia diam saja. Hening sejenak,
kemudian dia segera bertanya kepada Cakka setelah melihat laptop Cakka yang
menampilkan sebuah kertas kosong yang hanya terisi seperempat halaman itu.
"Masih mengerjakan tugas? Sebentar lagi jam tidur sudah tiba."
"Aku
juga tidak akan bisa tidur jika kamu belum pulang, Mas. Ini sudah ketiga
kalinya kamu pulang malam." kata Cakka. "Bukankah hari ini kamu tak
ada latihan musik? Kenapa pulang terlambat?”
Ia kembali
diam mendengar pertanyaan Cakka.
Cakka
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keanehan laki-laki itu. Kalau tidak
ingat dia adalah kakaknya, mungkin sudah ia maki sejak tadi. Sayang sekali, dia
adalah kakak semata wayangnya. Keningnya segera berkerut. "Hei, kamu belum
menjawab pertanyaanku, Mas. Habis dari mana? Seharusnya kamu sudah pulang sejak jam lima tadi. Apa kamu
lupa kalau aku sendirian di rumah?"
"Besok
saja aku menceritakannya. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk
bercerita." katanya membuat Cakka heran. Namun, sebelum Cakka sempat
bertanya, dia sudah berbalik badan dan meninggalkan ruang makan. Cakka hanya
bisa diam menatap kepergiannya. Mungkin dia ingin membersihkan badan dan segera
tidur. Ia sudah hafal, jika kakaknya itu pulang larut malam, dia pasti sudah
makan di luar. Akhirnya, Cakka memutuskan untuk kembali berkutat dengan
laptopnya.
J L J
Cakka
melihat ke kanan-kiri sambil berjalan menelusuri hutan. Hutan itu terletak cukup
jauh dari kompleknya. Setidaknya dengan jalan kaki. Jarang sekali Cakka dan
keluarganya masuk ke dalam hutan itu, paling hanya ketika mereka membutuhkan
hal-hal yang bisa didapatkan dari hutan itu. Buah misalnya. Namun, kali ini
keluarganya sedang tidak kekurangan makanan. Dan Cakka hanya berdua berjalan
bersama kakaknya yang masih bersikap aneh. Tapi, karena merasa tak mempan
dengan pertanyaan-pertanyaan paksaan, Cakka memutuskan untuk diam sampai
kakaknya berhenti berjalan. Selama berjalan bersama kakaknya menelusuri hutan,
dia hanya melihat-lihat keadaan hutan itu yang sudah berbeda dengan yang dulu,
saat terakhir kali dia berkunjung ke sini. Banyak daun-daun berguguran yang
menutupi jalan mereka.
Cakka
sungguh tidak mengerti kemana langkah kedua kaki kurusnya membawanya. Ia hanya
mengikuti langkah kakaknya yang ada di depannya sambil mencoba menebak-nebak
apa yang sebenarnya kakaknya itu inginkan. Elang. Ia hanya memakai setelan baju
bergaris-garis hitam biru dan celana panjang. Tangan kanannya membawa tas besar
berisi gitar. Dan tanpa alasan ia membangunkannya pagi-pagi dan menyuruh Cakka
mengikutinya ke suatu tempat, seperti yang dikatakannya tadi malam. Beruntung
ketika sampai di tengah hutan, terdapat air terjun yang dapat memecah
keheningan di antara mereka. Atau Cakka akan merasa stres karena kakaknya yang
membawanya ke hutan itu tak juga bicara.
"Kamu
tidak capek berada di hutan belantara ini?" tanya Cakka kepada kakaknya.
Faktanya, mereka sudah sampai di tempat tujuan sekitar lima belas menit yang
lalu. Kakaknya berhenti di dekat air terjun itu, kemudian duduk di sebuah batu
sebentar untuk mengeluarkan gitarnya. Tapi, setelah itu dia hanya diam saja
sambil memegang gitarnya. Sementara Cakka hanya sibuk menendang-nendang air
danau yang dialiri air terjun tersebut.
"Kamu
capek?"
"Aku
bertanya padamu. Jangan bertanya balik." kata Cakka. Ia membalikkan
badannya dan berjalan menghampirinya. Ia berseru sambil menunjuk gitar yang
tengah tergantung pada bahu laki-laki itu, "Kalau kamu tak ingin pulang, setidaknya
mainkan gitar itu untukku."
Laki-laki
itu hanya diam saja mendengar Cakka mengoceh. Sejujurnya dia yang membawa Cakka
ke hutan belantara ini. Dan dia yang memiliki banyak cerita yang ingin dia
ceritakan. Namun, justru adiknya itu yang mengoceh tanpa henti dari tadi. Tapi
entahlah, masalah yang ingin dia ceritakan sepertinya masih membuatnya enggan
berbicara. Ia menghela napas sejenak, kemudian mulai berbicara, "Lagi
galau aku, Kka. Masa Niken pindah sekolah gak bilang-bilang aku. Makanya, belakangan
aku suka ke hutan ini sepulang sekolah. Bergalau dengan gitar sebentar."
Cakka
menepuk dahinya mendengar ucapan kakaknya. Kemudian, dia berbalik badan,
membelakangi Elang dan menaruh kedua tangannya di pinggang. Ternyata, hanya itu
permasalahan kakaknya. Sahabatnya dari zaman kecil tiba-tiba pindah sekolah dan
meninggalkannya sendiri. Cakka menjadi bingung harus menanggapinya bagaimana.
Ia hanya diam di tempatnya berdiri sekarang, sedikit jauh dari tempat kakaknya
berdiri.
Elang juga
ikut diam. Ia jelas sudah tahu bahwa adiknya tak ingin menanggapi masalahnya,
karena yang ia tahu, adiknya tak akan pernah menganggap hal-hal seperti itu
masalah yang besar. Dia adalah adik Elang yang sangat cuek. Keheningan kembali
menguasai mereka. Dan suasana hening itu berlangsung beberapa waktu, sampai
akhirnya Elang iseng-iseng memainkan intro sebuah lagu. Cakka yang mendengar
intro lagu dari gitar kakaknya itu reflek langsung bersenandung pelan.
"Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
'Cause love comes slow and it goes so fast..." senandung Cakka
dengan suara pelan.
Setelah
senandung itu selesai, nada-nada gitar yang terdengar di telinga Cakka langsung
terhenti. Kakaknya kembali menatap pemandangan hutan dengan tatapan menerawang.
Sementara Cakka yang tampaknya baru sadar langsung menoleh ke arah kakaknya.
Sambil menghampiri kakaknya kembali, ia berkata dengan nada protes. Keningnya
berkerut. Dan medoknya sangat kental saat dia mengeluarkan argumennya.
"Lah, kowe sing galau, kok aku sing nembang to? (Lah, kamu yang galau, kok
aku yang nyanyi sih?)"
"Lah,
mana kutau. Situ kok yang nembang. (Lah, mana kutau, situ kok yang
nyanyi)" kata Elang sambil menoleh balik ke arah adiknya. Kemudian, ia
tertawa kecil. "Tapi yo rapopo lah, makilke lho.. Suaraku kan elek. (Tapi
gapapa lah, perwakilan sih.. Suaraku kan jelek) Ayo lanjut!"
"Ish,
emoh, emoh! Nembang'o dewek rono. Aku sing mainke gitare! (Ish, nggak,nggak,
nyanyi sendiri sana. Aku aja yang main gitarnya)" kata Cakka sambil
meminta gitar yang ada tergantung di pundak kakaknya. Wajahnya mengembung, menampakkan wajah cemberut kepada
kakaknya itu.
Elang
tersenyum mendengar ucapan adiknya. Inilah sikap Cakka yang terkadang bisa
membuat badmood-nya hilang, saat Cakka cemberut. Wajahnya sangat lucu ketika
sedang sebal. Elang menepuk pundak Cakka pelan. "Terima kasih, kamu memang
yang paling tahu aku sangat suka melihatmu protes dengan bahasa jawa ketika aku
sedang tidak mood. Wajahmu sungguh ganteng ketika cemberut!"
Cakka
segera menjitak kakaknya begitu dia menyelesaikan kalimatnya. Sungguh!
Benar-benar laki-laki itu. Membawanya ke tengah hutan, membuatnya menunggu
karena terlarut dengan masalahnya sampai susah berbicara, sekarang justru dia
yang menjadi ejekan kakaknya. "Sudah, sudah! Kita sudah terlanjur berada
di tengah hutan. Ayo menyanyikan sesuatu. Mungkin hari ini bisa menjadi cerita
untuk tugasku."
"Oh
ya?"
"Ya!
Aku akan menceritakan tentang kamu yang galau karena ditinggal Niken. Tapi,
karena ada aku yang bisa menyemangatimu, kamu bisa kembali tertawa dan kita
bernyanyi bersama di tengah hutan ini." kata Cakka. Kemudian, dia menatap
langit. "Ingat, tidak semua hal bisa kamu dapatkan, Mas. Niken punya
kehidupan sendiri. Kalau dia ingin pindah sekolah, yang kamu harus lakukan
hanyalah merelakan semuanya, Mas. Jangan galau! Ayah dan Bunda pasti sedih
melihatmu dari atas sana."
Elang
hanya nyengir mendengarnya. "Maaf deh."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p