Seorang
laki-laki tinggi tengah mengganti baju seragamnya dengan baju santai di ruang
ganti para karyawan. Laki-laki tersebut baru saja selesai menjalankan tugasnya
sebagai pelayan di sebuah restoran yang cukup ternama. Ia bahagia hari ini
dapat melayani lebih banyak pengunjung daripada biasanya. Walaupun lelah, namun
ia senang bisa bekerja keras.
Laki-laki
itu tersebut menoleh ke arah dua temannya yang juga ikut bekerja di sana.
Mereka adalah Malvine Jonathan Antaraya, seorang laki-laki berambut gondrong dan
pendiam, dan Gabriel Stevent Antaraya, seorang laki-laki sulung berbadan
atletis yang bertanggung jawab kepada keluarga. Sudah dua puluh tahun lebih ia
hidup bersama mereka.
“Alvin...
Gabriel...” panggil laki-laki itu pelan. Mereka berdua menoleh ke arahnya
serempak. “Entah cara ini akan berhasil atau tidak, ekonomi kita masih jauh di
bawah kebutuhan.”
“Ya. Aku
tahu, Kka. Tapi, kita hanya bisa berusaha. Kau tahu, semua ini harus kita
lakukan untuk kebaikan kita semua.” kata Gabriel. Ia segera melangkah menuju
tempat laki-laki itu berdiri. “Walaupun butuh lama untuk mendapatkannya, kita
harus tetap semangat. Hanya kami harapan terbesarnya.”
Cakka
mengangguk. Ia tersenyum. “Semoga kau benar.”
“Kita juga
mengusahakan semuanya dari karir. Pekerjaan ini hanyalah tambahan, karir kita
sebagai penyanyi harus ikut membantu.” kata Alvin ikut bersuara.
Gabriel
mengangguk. “Tapi kita harus mengatur jadwal agar tidak terlalu sering keluar
rumah, Vin. Selain Bibi, paling tidak harus ada dua atau tiga orang berjaga.
Untuk memantau keadaan, sebelum semuanya berantakan.”
Cakka dan
Alvin mengangguk setuju. Kemudian, Gabriel menghela napas. Suasana menjadi
hening kembali. Mereka tenggelam dari pikiran masing-masing. Belakangan ini
hidup memang menjadi sangat berat. Semenjak Ayah dan Bunda pergi, ia harus
bekerja keras sendiri untuk menghidupi semua anggota keluarga yang tinggal di
rumah. Dan itu benar-benar tidak mudah.
“Hei,
Cakka, Gabriel, Alvin.” Tiba-tiba manager restoran muncul di antara mereka. Ia
berjalan menghampiri ketiga karyawannya dan memberikan mereka masing-masing
sebuah amplop. “Kalian sudah bekerja keras. Ada sedikit bonus di dalamnya. Saya
harap kalian dapat mempertahankan prestasi kerja kalian.”
Gabriel
mengangguk, mewakilkan Cakka dan Alvin. “Baik, Pak. Terima kasih.”
“Kalau
begitu, saya jalan terlebih dahulu. Kalau kalian sudah selesai, pulanglah dan
istirahat. Jangan lupa untuk mengunci pintu.”
Gabriel
tersenyum. “Baik, Pak.”
Setelah
manager restoran itu pergi, Cakka, Gabriel dan Alvin juga langsung cepat-cepat
membereskan semuanya dan segera pulang ke rumah sebelum langit menjadi gelap.
Mereka khawatir orang-orang di rumah membutuhkan bantuan mereka. Bagaimanapun
juga, mereka bertiga bisa dibilang menjalankan peran Ayah dan Bunda di rumah.
J L J
“Kakak tertua!
Cakka! Alvin!” kata Kiki langsung bangkit dari kursinya begitu melihat ketiga
kakaknya tiba di rumah. Empat laki-laki lainnya yang duduk bersama Kiki di
ruang tamu juga langsung berdiri dan menyambut mereka.
“Kiki!
Kalian semua, kenapa berada di sini?” tanya Gabriel kaget melihat lima orang
adiknya telah berkumpul di sana.
“Kami
ingin menunggumu pulang, Kak. Dia sudah tidur, tadi kami sudah memberinya makan
dan segala macam yang dia butuhkan. Seperti yang kau minta. Bibi sedang
menunggunya di dalam.” kata Kiki.
“Bagaimana dengan hari kerja kalian?”
“Sangat
lancar. Manager memberikan kami bonus untuk kerja keras kami.” kata Cakka.
“Bagaimana dengan kalian, Irsyad, Obiet, Patton, Debo? Kalian tidak menyusahkan
Kiki, kan?”
Mereka
berempat langsung menggelengkan kepalanya.
“Tenang
saja, mereka sangat membantuku.” kata Kiki sambil tersenyum.
“Ya sudah,
ayo kita ke dalam. Kalian seharusnya berjaga di sana. Cakka, Alvin, lebih baik
kalian mandi dulu. Setelah itu menyusul.” kata Gabriel. Kemudian, ia mengajak
adik-adiknya yang lain untuk kembali ke kamar. Sementara Cakka dan Alvin
langsung pergi menuju kamar mandi.
Begitu
sampai di kamar, Gabriel dan adik-adiknya langsung menuju kamar. Kamar mereka
cukup besar, di bagian kanan tersusun lima tempat tidur, sementara di bagian
kiri ada empat. Kemudian, di tengah-tengah ruangan dilapisi dengan karpet besar
berbentuk bulat. Biasanya digunakan jika mereka sedang berdiskusi sebelum
tidur. Dan belakangan ini kamar mereka setiap waktu ditempati oleh seseorang.
“Selamat
datang kembali, Gabriel.” Bibi langsung membungkuk kepada Gabriel dan
adik-adiknya begitu melihat anak dari majikannya tersebut sudah pulang. Gabriel
hanya tersenyum dan mempersilahkannya untuk kembali bekerja di luar karena ia
yang akan mengurus semuanya.
Setelah
Bibi pergi dari kamar, Gabriel dan kelima adiknya tersebut mengelilingi sebuah
tempat tidur yang sedang dijaga Bibi tadi. Gabriel dan Kiki berdiri di sisi
kiri tempat tidur, Debo, Patton dan Obiet di kanan. Mereka semua menatap ke
arah seorang gadis kecil yang sedang tertidur pulas di tempat tidur tersebut.
Lacey Bintang Antaraya, gadis kecil berumur dua belas tahun itu adalah adik
bungsu mereka yang belakangan ini terkena anemia. Wajahnya pucat pasi, nafasnya
tidak teratur, bahkan terkadang pingsan karena kelelahan. Dan keadaannya
tersebut membuatnya tak bisa bersekolah lagi.
Gabriel
membelai pelan rambut adik bungsunya tersebut dengan penuh sayang. Dari delapan
adik yang dia miliki selama ini, Lala adalah adik yang paling dia sayangi.
Bukan hanya dia saja, saudara-saudaranya yang lain juga berpikiran yang sama.
Hal itu disebabkan oleh umur mereka yang terpaut cukup jauh dari Lala. Dia
sudah menempuh perjalanan yang panjang sampai bisa lahir menjadi adik perempuan
mereka satu-satunya.
“Damai
rasanya melihatnya tertidur pulas.” kata Cakka tiba-tiba muncul bersama Alvin.
Mereka segera bergabung bersama yang lain, menjadikan satu keluarga lengkap ada
di sana.
Keluarga
Antaraya, begitulah mereka disebutkan oleh masyarakat. Mereka terkenal dengan
keluarga yang sangat kaya raya. Selain memiliki rumah yang mewah, mereka juga
merupakan penyanyi terkenal. Gabriel dan adik-adiknya membentuk sebuah grup
bernama Divo Brothers dan berusaha tampil di berbagai acara untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Terutama semenjak Lala jatuh sakit. Dan setiap malam,
mereka selalu mengelilingi tempat tidur Lala untuk menjaganya sampai larut
malam.
Urutan
mereka dimulai Gabriel yang berusia 22 tahun. Kemudian, ada Cakka, Alvin, Kiki,
Debo, Patton, Obiet, Irsyad, setelah itu baru Lala sebagai anak bungsu. Usia
mereka terpaut dekat. Hanya satu sampai dua tahun, kecuali Irsyad yang berbeda
tiga tahun dengan Lala, karena Irsyad berumur lima belas tahun. Masing-masing
dari mereka memiliki karakter yang berbeda, namun tetap saling membantu dan
menyayangi demi keharmonisan keluarga dan menghargai usaha Bunda yang telah
kuat melahirkan mereka semua sampai sembilan anak.
Drrt..
drrt..
Kiki
langsung mengambil ponselnya dari saku begitu merasakan getaran itu dalam
celananya. Semuanya yang ada di sana langsung menoleh ke arahnya dengan
penasaran. Kiki langsung mengutak-atik ponselnya sejenak, kemudian menyimpannya
kembali ke dalam saku.
“Pekerjaan
untuk Divo Brothers. Hari Sabtu depan. Ini kesempatan bagus, aku langsung
menyetujuinya.” kata Kiki melaporkan. “Debo, Patton, Obiet, Irsyad, jangan lupa
minta izin kepada guru kalian masing-masing untuk tidak masuk sekolah.”
Keempat
adiknya mengangguk mengerti.
“Kak
Gabriel...” Tiba-tiba Lala membuka matanya dan memanggil pelan.
“Lala...”
Gabriel langsung berlutut di tempatnya dan menoleh ke arah Lala. Tangannya
membelai rambut Lala sembari menghapus keringat yang membasahi dahi adiknya.
“Kamu kenapa sayang? Bilang padaku jika ada yang sakit.”
“Kepalaku
sakit...” kata Lala dengan nafas terengah-engah.
“Aku akan
ambilkan obat sakit kepalanya, Kak.” kata Kiki yang langsung diangguki Gabriel.
Kiki langsung pergi menuju lemari dan mengambilkan obatnya. Setelah itu, dia
mengambilkan Lala segelas air di luar kamar, baru kembali.
“Biar aku
saja, Ki.” kata Cakka menawarkan diri.
Kiki
mengangguk, kemudian memberikan obat dan segelas air tersebut kepada kakaknya.
Dibantu oleh Gabriel, Lala segera bangun agar Cakka bisa memasukkan obat
tersebut ke dalam mulut Lala dan membantunya untuk minum. Setelah itu, Cakka meletakkan
gelas tersebut di meja. Gabriel juga membantu Lala berbaring kembali.
“Apa kau
lapar, La? Aku bisa membuatkanmu bubur sekarang.” kata Alvin.
Lala
menggeleng lemas. “Aku tidak lapar, Kak.”
“Ya sudah,
kamu harus banyak istirahat. Tidurlah, kita juga akan tidur.” kata Gabriel
sambil tersenyum. Ia mengecup kening Lala sekilas sebelum Lala menutup matanya
kembali, kemudian menyuruh adik-adiknya yang lain untuk tidur karena sudah
malam.
“Lebih
baik kita jaga Lala sebentar dulu untuk memastikan dia sudah pulas.” usul
Cakka. “Bagaimanapun juga kita semua khawatir dengan keadaannya, Yel.”
“Ya sudah,
tapi jam sepuluh kalian harus sudah tidur. Kalian kan tahu kalau
kalian juga butuh banyak istirahat. Terutama kalian yang masih sekolah.” kata
Gabriel. “"Kita harus menjaga kesehatan supaya bisa terus menjaga
Lala."
Semuanya
langsung mengangguk. Tepat jam sepuluh malam, mereka satu per satu membisikkan
ucapan selamat malam kepada Lala dan langsung terlelap di tempat tidur
masing-masing.
J L J
Setiap
hari laki-laki delapan bersaudara itu sibuk bergantian menjaga Lala. Untung
saja Kiki dan Alvin lebih sering mengambil jam kuliah siang, sehingga di pagi
hari Bibi mendapatkan bantuan dari mereka sampai adik-adiknya pulang sekolah.
Begitu Debo, Patton, Obiet dan Irsyad pulang sekolah, Kiki dan Alvin harus
pergi kuliah, sehingga mereka berempat yang menjaga Lala sampai sore. Sekitar
jam tiga sore, Kiki pulang ke rumah, sementara Alvin langsung berangkat kerja
bersama Cakka dan Gabriel hingga senja. Setelah itu, malamnya mereka berdelapan
bersama-sama menjaga Lala sampai jam tidur tiba. Kadang-kadang mereka juga
mengantarkan Lala ke dokter untuk check
up. Mereka benar-benar mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melindungi adik
bungsu mereka tersebut dari segala penyakit. Waktu yang biasa mereka pakai
untuk bermain, mereka habiskan untuk menjaga Lala.
“Uhuk..
Uhuk..!!”
“Minumlah,
La.” kata Kiki sambil membantu Lala untuk minum begitu Lala batuk. Saat itu,
adik-adiknya sedang menunggu Cakka, Alvin dan Gabriel pulang kerja di depan,
sementara Kiki menjaga Lala di kamar.
“Kak
Kiki...” kata Lala setelah selesai minum. Suaranya pelan sekali. “Kakak tak
perlu menjagaku seharian. Yang lainnya juga. Aku benar-benar merepotkan kalian
semua.”
Kiki
menggeleng. “Lala, kita semua adalah kakakmu. Kita sangat khawatir dengan
keadaanmu. Makanya, kami semua bergantian untuk menjagamu. Kami ingin kamu
cepat sembuh.”
“Tapi, aku
tidak apa-apa.” kata Lala. “Aku hanya kelelahan.”
“Sudahlah,
kamu tidak perlu berpikir terlalu banyak. Kami baik-baik saja. Tidurlah. Kau
harus banyak istirahat supaya staminamu cepat pulih.” kata Kiki sambil
tersenyum.
Lala
mengangguk. Ia menutup matanya perlahan-lahan, mencoba untuk tidur. Namun,
beberapa detik kemudian, ia membuka matanya kembali. “Kak Kiki...”
“Ya,
sayang?” jawab Kiki sambil tersenyum.
“Aku ingin
bertemu Ayah dan Bunda.”
Kiki diam
mendengarnya. Tapi, tak lama kemudian ia menyuruhnya kembali tidur. Untungnya
Lala tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kiki
menghela nafas begitu Lala sudah tertidur pulas. Sebenarnya merasa iba dengan
keadaan Lala. Penyakit anemia yang dideritanya selama ini tidak pernah
membaik, walaupun staminanya
sempat pulih, tapi pasti akan ada saatnya dimana ia kembali kelelahan dan sesak
nafas. Dan yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menjaganya sekuat yang ia
bisa.
Begitu
Cakka, Alvin dan Gabriel tiba di rumah, Kiki langsung menceritakan keinginan
Lala kepada semuanya. Malam itu menjadi malam yang menyedihkan bagi mereka
berdelapan. Rasa khawatir mereka jadi bertambah dalam karena keinginan
tiba-tiba dari Lala tersebut. Padahal, sebentar lagi mereka harus mengisi
acara.
J L J
Hari Sabtu
sudah tiba. Gabriel dan adik-adiknya sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat
mereka mengisi acara. Tapi, masih ada satu hal yang mengganggu pikiran mereka.
Lala. Sampai detik ini, mereka belum rela untuk meninggalkan Lala sendirian di
rumah bersama Bibi. Mau dibawa bersama mereka juga tidak mungkin. Selama ini
mereka sudah berusaha menjaganya seharian. Staminanya masih belum pulih. Tapi,
Lala selalu mengatakan dia baik-baik saja.
“Pergilah,
Kak.” kata Lala sambil tersenyum menatap kakak-kakaknya yang masih berdiri di
ambang pintu depan. Sementara Lala dipegangi oleh Bibi agar bisa berdiri tegak,
ia ingin mengantarkan mereka. Wajahnya masih pucat.
“Tapi,
bagaimana denganmu, La? Kau...” kata Cakka terputus.
“Aku
baik-baik saja, Kak Cakka.” kata Lala lagi.
“Tapi
kalau...” kata Gabriel, lagi-lagi terputus.
“Aku akan
baik-baik saja di rumah, Kak Gabriel. Tenang saja.” kata Lala.
“Bagaimana
kalau...” Alvin juga ikut khawatir tapi lagi-lagi Lala menggeleng.
Gabriel
dan adik-adiknya saling bertatapan, kemudian langsung pamit untuk pergi. Mereka
memutuskan untuk mempercayakan Lala kepada Bibi. Banyak pesan yang mereka
sampaikan kepada Lala karena mereka khawatir. Tapi, Lala hanya menjawabnya
dengan senyum. Ia melambaikan tangannya melihat delapan kakaknya pergi.
Begitu
bayangan mereka hilang dari pandangan Lala, Lala menurunkan kembali tangannya
dan diam menatap keluar. Kemudian, beberapa saat kemudian, ia pelan-pelan
terjatuh tak sadarkan diri. Bibi yang kaget langsung menangkapnya dengan panik.
“Lala! Lala! Kau tidak apa-apa?! Bangun La!”
J L J
Malam itu,
Gabriel dan adik-adiknya memakai kemeja hitam lengan pendek dengan celana
panjang putih sebagai bawahannya. Di setiap leher mereka juga memakai dasi yang
warnanya senada dengan celana mereka. Begitu mereka dipanggil untuk tampil,
mereka langsung berbaris dengan bentuk setengah lingkaran di panggung. Rencana
koreografi mereka langsung dilaksanakan. Mereka mengawali semua dengan
memunggungi penonton.
Penampilan
mereka tadi dimulai dari kegelapan. Hanya ada sembilan lampu sorot yang
menyinari posisi mereka masing-masing. Begitu musik dialunkan, Obiet langsung
berbalik badan menghadap penonton dan mulai bernyanyi diiringi oleh gema tepuk
tangan para penonton yang datang. Mereka bergantian menyanyikan lirik lagu di
bagian pertama.
Tepuk
tangan mulai menggema lebih keras begitu mereka menyelesaikan bagian pertama.
Kedelapan laki-laki tersebut langsung berjalan menuju arah yang berlawanan
untuk menukar posisi mereka selama musik berjalan. Dengan perasaan campur aduk,
mereka menengadah ke atas sambil menunggu waktunya bernyanyi lagi. Mereka semua
masing-masing menatap langit yang kelihatan dari sana karena tempat acara tidak
ditutupi dengan atap. Malam itu, langit penuh dengan bintang bertaburan.
Samar-samar, mereka terbayang wajah Lala di atas sana. Begitu masuk ke dalam
bagian kedua dan ending lagu, mereka bernyanyi bersama-sama dengan perasaan
yang dalam. Bahkan hampir semuanya meneteskan air mata ketika menyanyikannya.
“Sudah, terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan....”
“Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua
menjadi saksi cinta kita berdua...”
J L J
Gabriel
menghapus air matanya yang masih menetes membasahi pipinya. Dari antara
semuanya, dia yang paling kaget dengan berita yang tiba-tiba terdengar di
telinganya dan saudara-saudaranya. Ia benar-benar tidak menyangka semuanya akan
berakhir seperti ini. Bahkan setelah mereka berdelapan berusaha sekuat mungkin.
Ia benar-benar merasa bersalah telah meninggalkan Lala di rumah sendirian waktu
itu. Kalau saja dia dan adik-adiknya tidak pergi, mungkin ini semua tidak akan
terjadi.
Kemarin
begitu mereka berdelapan pulang dari tempat acara, Bibi langsung mengabarkan
bahwa Lala pingsan begitu mereka pergi. Mendengar kabar itu, mereka langsung
melarikan Lala ke rumah sakit. Tapi, dokter yang menangani Lala selama ini
justru menggelengkan kepalanya. Dan menyebabkan mereka berada di sini. Diam
seribu bahasa menatap ke arah tanah yang telah ditaburi bunga dengan
beribu-ribu air mata yang telah tumpah. Bintang mereka yang paling bersinar
sudah padam. Lala telah meninggal.
Dear delapan kakakku yang ganteng dan paling baik
sedunia,
Mungkin ketika kalian membaca surat ini, aku
sudah tidak ada di sisi kalian. Maafkan aku, Kak, selama ini aku sudah
merepotkan kalian semua. Seharusnya kalian menikmati hidup kalian sendiri, tapi
semua waktu untuk itu sudah habis aku ambil. Melihat kalian begitu perhatian
denganku, aku tidak tega membuat kalian khawatir lebih dalam lagi.
Maaf ya, Kak, selama ini aku selalu sok kuat. Aku
selalu mengatakan aku baik, padahal aku sama sekali tidak baik. Tapi, aku hanya
ingin kalian tidak khawatir denganku.
Malam itu, sebenarnya aku sakit kepala. Aku
lelah, aku sudah benar-benar kekurangan oksigen karena penyakit anemiaku.
Begitu kalian pergi, aku pingsan. Untungnya aku sempat sadar dan menuliskan
surat ini sebelum kalian pulang.
Kak, aku menyusul Ayah dan Bunda dulu ya. Maafkan
aku. Semoga kalian semua bahagia. Kak Gabriel, Kak Cakka, Kak Alvin, Kak Kiki,
Kak Debo, Kak Patton, Kak Obiet dan Kak Irsyad. Jangan lupakan aku!
THE END...
Tuliskan komentar
kalian di bawah,
Nantikan ceritaku
selanjutnya!
wagh keren cerpennya
BalasHapusnice post
keren ceritanya
BalasHapusCeritanya keren :) Nice post
BalasHapusSeru banget Ceritanya.... apakah anda bikin sendiri atau copas dari link lain..
BalasHapushttp://arief-dwi-muhidin.blogspot.com