Selasa, 01 Juli 2014

Cerpen | Bintang




Seorang laki-laki tinggi tengah mengganti baju seragamnya dengan baju santai di ruang ganti para karyawan. Laki-laki tersebut baru saja selesai menjalankan tugasnya sebagai pelayan di sebuah restoran yang cukup ternama. Ia bahagia hari ini dapat melayani lebih banyak pengunjung daripada biasanya. Walaupun lelah, namun ia senang bisa bekerja keras.

Laki-laki itu tersebut menoleh ke arah dua temannya yang juga ikut bekerja di sana. Mereka adalah Malvine Jonathan Antaraya, seorang laki-laki berambut gondrong dan pendiam, dan Gabriel Stevent Antaraya, seorang laki-laki sulung berbadan atletis yang bertanggung jawab kepada keluarga. Sudah dua puluh tahun lebih ia hidup bersama mereka.
“Alvin... Gabriel...” panggil laki-laki itu pelan. Mereka berdua menoleh ke arahnya serempak. “Entah cara ini akan berhasil atau tidak, ekonomi kita masih jauh di bawah kebutuhan.”
“Ya. Aku tahu, Kka. Tapi, kita hanya bisa berusaha. Kau tahu, semua ini harus kita lakukan untuk kebaikan kita semua.” kata Gabriel. Ia segera melangkah menuju tempat laki-laki itu berdiri. “Walaupun butuh lama untuk mendapatkannya, kita harus tetap semangat. Hanya kami harapan terbesarnya.”
Cakka mengangguk. Ia tersenyum. “Semoga kau benar.”
“Kita juga mengusahakan semuanya dari karir. Pekerjaan ini hanyalah tambahan, karir kita sebagai penyanyi harus ikut membantu.” kata Alvin ikut bersuara.
Gabriel mengangguk. “Tapi kita harus mengatur jadwal agar tidak terlalu sering keluar rumah, Vin. Selain Bibi, paling tidak harus ada dua atau tiga orang berjaga. Untuk memantau keadaan, sebelum semuanya berantakan.”
Cakka dan Alvin mengangguk setuju. Kemudian, Gabriel menghela napas. Suasana menjadi hening kembali. Mereka tenggelam dari pikiran masing-masing. Belakangan ini hidup memang menjadi sangat berat. Semenjak Ayah dan Bunda pergi, ia harus bekerja keras sendiri untuk menghidupi semua anggota keluarga yang tinggal di rumah. Dan itu benar-benar tidak mudah.
“Hei, Cakka, Gabriel, Alvin.” Tiba-tiba manager restoran muncul di antara mereka. Ia berjalan menghampiri ketiga karyawannya dan memberikan mereka masing-masing sebuah amplop. “Kalian sudah bekerja keras. Ada sedikit bonus di dalamnya. Saya harap kalian dapat mempertahankan prestasi kerja kalian.”
Gabriel mengangguk, mewakilkan Cakka dan Alvin. “Baik, Pak. Terima kasih.”
“Kalau begitu, saya jalan terlebih dahulu. Kalau kalian sudah selesai, pulanglah dan istirahat. Jangan lupa untuk mengunci pintu.”
Gabriel tersenyum. “Baik, Pak.”
Setelah manager restoran itu pergi, Cakka, Gabriel dan Alvin juga langsung cepat-cepat membereskan semuanya dan segera pulang ke rumah sebelum langit menjadi gelap. Mereka khawatir orang-orang di rumah membutuhkan bantuan mereka. Bagaimanapun juga, mereka bertiga bisa dibilang menjalankan peran Ayah dan Bunda di rumah.

J L J

“Kakak tertua! Cakka! Alvin!” kata Kiki langsung bangkit dari kursinya begitu melihat ketiga kakaknya tiba di rumah. Empat laki-laki lainnya yang duduk bersama Kiki di ruang tamu juga langsung berdiri dan menyambut mereka.
“Kiki! Kalian semua, kenapa berada di sini?” tanya Gabriel kaget melihat lima orang adiknya telah berkumpul di sana.
“Kami ingin menunggumu pulang, Kak. Dia sudah tidur, tadi kami sudah memberinya makan dan segala macam yang dia butuhkan. Seperti yang kau minta. Bibi sedang menunggunya di dalam.” kata Kiki.  “Bagaimana dengan hari kerja kalian?”
“Sangat lancar. Manager memberikan kami bonus untuk kerja keras kami.” kata Cakka. “Bagaimana dengan kalian, Irsyad, Obiet, Patton, Debo? Kalian tidak menyusahkan Kiki, kan?”
Mereka berempat langsung menggelengkan kepalanya.
“Tenang saja, mereka sangat membantuku.” kata Kiki sambil tersenyum.
“Ya sudah, ayo kita ke dalam. Kalian seharusnya berjaga di sana. Cakka, Alvin, lebih baik kalian mandi dulu. Setelah itu menyusul.” kata Gabriel. Kemudian, ia mengajak adik-adiknya yang lain untuk kembali ke kamar. Sementara Cakka dan Alvin langsung pergi menuju kamar mandi.
Begitu sampai di kamar, Gabriel dan adik-adiknya langsung menuju kamar. Kamar mereka cukup besar, di bagian kanan tersusun lima tempat tidur, sementara di bagian kiri ada empat. Kemudian, di tengah-tengah ruangan dilapisi dengan karpet besar berbentuk bulat. Biasanya digunakan jika mereka sedang berdiskusi sebelum tidur. Dan belakangan ini kamar mereka setiap waktu ditempati oleh seseorang.
“Selamat datang kembali, Gabriel.” Bibi langsung membungkuk kepada Gabriel dan adik-adiknya begitu melihat anak dari majikannya tersebut sudah pulang. Gabriel hanya tersenyum dan mempersilahkannya untuk kembali bekerja di luar karena ia yang akan mengurus semuanya.
Setelah Bibi pergi dari kamar, Gabriel dan kelima adiknya tersebut mengelilingi sebuah tempat tidur yang sedang dijaga Bibi tadi. Gabriel dan Kiki berdiri di sisi kiri tempat tidur, Debo, Patton dan Obiet di kanan. Mereka semua menatap ke arah seorang gadis kecil yang sedang tertidur pulas di tempat tidur tersebut. Lacey Bintang Antaraya, gadis kecil berumur dua belas tahun itu adalah adik bungsu mereka yang belakangan ini terkena anemia. Wajahnya pucat pasi, nafasnya tidak teratur, bahkan terkadang pingsan karena kelelahan. Dan keadaannya tersebut membuatnya tak bisa bersekolah lagi.
Gabriel membelai pelan rambut adik bungsunya tersebut dengan penuh sayang. Dari delapan adik yang dia miliki selama ini, Lala adalah adik yang paling dia sayangi. Bukan hanya dia saja, saudara-saudaranya yang lain juga berpikiran yang sama. Hal itu disebabkan oleh umur mereka yang terpaut cukup jauh dari Lala. Dia sudah menempuh perjalanan yang panjang sampai bisa lahir menjadi adik perempuan mereka satu-satunya.
“Damai rasanya melihatnya tertidur pulas.” kata Cakka tiba-tiba muncul bersama Alvin. Mereka segera bergabung bersama yang lain, menjadikan satu keluarga lengkap ada di sana.
Keluarga Antaraya, begitulah mereka disebutkan oleh masyarakat. Mereka terkenal dengan keluarga yang sangat kaya raya. Selain memiliki rumah yang mewah, mereka juga merupakan penyanyi terkenal. Gabriel dan adik-adiknya membentuk sebuah grup bernama Divo Brothers dan berusaha tampil di berbagai acara untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terutama semenjak Lala jatuh sakit. Dan setiap malam, mereka selalu mengelilingi tempat tidur Lala untuk menjaganya sampai larut malam.
Urutan mereka dimulai Gabriel yang berusia 22 tahun. Kemudian, ada Cakka, Alvin, Kiki, Debo, Patton, Obiet, Irsyad, setelah itu baru Lala sebagai anak bungsu. Usia mereka terpaut dekat. Hanya satu sampai dua tahun, kecuali Irsyad yang berbeda tiga tahun dengan Lala, karena Irsyad berumur lima belas tahun. Masing-masing dari mereka memiliki karakter yang berbeda, namun tetap saling membantu dan menyayangi demi keharmonisan keluarga dan menghargai usaha Bunda yang telah kuat melahirkan mereka semua sampai sembilan anak.
Drrt.. drrt..
Kiki langsung mengambil ponselnya dari saku begitu merasakan getaran itu dalam celananya. Semuanya yang ada di sana langsung menoleh ke arahnya dengan penasaran. Kiki langsung mengutak-atik ponselnya sejenak, kemudian menyimpannya kembali ke dalam saku.
“Pekerjaan untuk Divo Brothers. Hari Sabtu depan. Ini kesempatan bagus, aku langsung menyetujuinya.” kata Kiki melaporkan. “Debo, Patton, Obiet, Irsyad, jangan lupa minta izin kepada guru kalian masing-masing untuk tidak masuk sekolah.”
Keempat adiknya mengangguk mengerti.
“Kak Gabriel...” Tiba-tiba Lala membuka matanya dan memanggil pelan.
“Lala...” Gabriel langsung berlutut di tempatnya dan menoleh ke arah Lala. Tangannya membelai rambut Lala sembari menghapus keringat yang membasahi dahi adiknya. “Kamu kenapa sayang? Bilang padaku jika ada yang sakit.”
“Kepalaku sakit...” kata Lala dengan nafas terengah-engah.
“Aku akan ambilkan obat sakit kepalanya, Kak.” kata Kiki yang langsung diangguki Gabriel. Kiki langsung pergi menuju lemari dan mengambilkan obatnya. Setelah itu, dia mengambilkan Lala segelas air di luar kamar, baru kembali.
“Biar aku saja, Ki.” kata Cakka menawarkan diri.
Kiki mengangguk, kemudian memberikan obat dan segelas air tersebut kepada kakaknya. Dibantu oleh Gabriel, Lala segera bangun agar Cakka bisa memasukkan obat tersebut ke dalam mulut Lala dan membantunya untuk minum. Setelah itu, Cakka meletakkan gelas tersebut di meja. Gabriel juga membantu Lala berbaring kembali.
“Apa kau lapar, La? Aku bisa membuatkanmu bubur sekarang.” kata Alvin.
Lala menggeleng lemas. “Aku tidak lapar, Kak.”
“Ya sudah, kamu harus banyak istirahat. Tidurlah, kita juga akan tidur.” kata Gabriel sambil tersenyum. Ia mengecup kening Lala sekilas sebelum Lala menutup matanya kembali, kemudian menyuruh adik-adiknya yang lain untuk tidur karena sudah malam.
“Lebih baik kita jaga Lala sebentar dulu untuk memastikan dia sudah pulas.” usul Cakka. “Bagaimanapun juga kita semua khawatir dengan keadaannya, Yel.”
“Ya sudah, tapi jam sepuluh kalian harus sudah tidur. Kalian kan tahu kalau kalian juga butuh banyak istirahat. Terutama kalian yang masih sekolah.” kata Gabriel. “"Kita harus menjaga kesehatan supaya bisa terus menjaga Lala."
Semuanya langsung mengangguk. Tepat jam sepuluh malam, mereka satu per satu membisikkan ucapan selamat malam kepada Lala dan langsung terlelap di tempat tidur masing-masing.

J L J

Setiap hari laki-laki delapan bersaudara itu sibuk bergantian menjaga Lala. Untung saja Kiki dan Alvin lebih sering mengambil jam kuliah siang, sehingga di pagi hari Bibi mendapatkan bantuan dari mereka sampai adik-adiknya pulang sekolah. Begitu Debo, Patton, Obiet dan Irsyad pulang sekolah, Kiki dan Alvin harus pergi kuliah, sehingga mereka berempat yang menjaga Lala sampai sore. Sekitar jam tiga sore, Kiki pulang ke rumah, sementara Alvin langsung berangkat kerja bersama Cakka dan Gabriel hingga senja. Setelah itu, malamnya mereka berdelapan bersama-sama menjaga Lala sampai jam tidur tiba. Kadang-kadang mereka juga mengantarkan Lala ke dokter untuk check up. Mereka benar-benar mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melindungi adik bungsu mereka tersebut dari segala penyakit. Waktu yang biasa mereka pakai untuk bermain, mereka habiskan untuk menjaga Lala.
“Uhuk.. Uhuk..!!”
“Minumlah, La.” kata Kiki sambil membantu Lala untuk minum begitu Lala batuk. Saat itu, adik-adiknya sedang menunggu Cakka, Alvin dan Gabriel pulang kerja di depan, sementara Kiki menjaga Lala di kamar.
“Kak Kiki...” kata Lala setelah selesai minum. Suaranya pelan sekali. “Kakak tak perlu menjagaku seharian. Yang lainnya juga. Aku benar-benar merepotkan kalian semua.”
Kiki menggeleng. “Lala, kita semua adalah kakakmu. Kita sangat khawatir dengan keadaanmu. Makanya, kami semua bergantian untuk menjagamu. Kami ingin kamu cepat sembuh.”
“Tapi, aku tidak apa-apa.” kata Lala. “Aku hanya kelelahan.”
“Sudahlah, kamu tidak perlu berpikir terlalu banyak. Kami baik-baik saja. Tidurlah. Kau harus banyak istirahat supaya staminamu cepat pulih.” kata Kiki sambil tersenyum.
Lala mengangguk. Ia menutup matanya perlahan-lahan, mencoba untuk tidur. Namun, beberapa detik kemudian, ia membuka matanya kembali. “Kak Kiki...”
“Ya, sayang?” jawab Kiki sambil tersenyum.
“Aku ingin bertemu Ayah dan Bunda.”
Kiki diam mendengarnya. Tapi, tak lama kemudian ia menyuruhnya kembali tidur. Untungnya Lala tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kiki menghela nafas begitu Lala sudah tertidur pulas. Sebenarnya merasa iba dengan keadaan Lala. Penyakit anemia yang dideritanya selama ini tidak pernah membaik,  walaupun staminanya sempat pulih, tapi pasti akan ada saatnya dimana ia kembali kelelahan dan sesak nafas. Dan yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menjaganya sekuat yang ia bisa.
Begitu Cakka, Alvin dan Gabriel tiba di rumah, Kiki langsung menceritakan keinginan Lala kepada semuanya. Malam itu menjadi malam yang menyedihkan bagi mereka berdelapan. Rasa khawatir mereka jadi bertambah dalam karena keinginan tiba-tiba dari Lala tersebut. Padahal, sebentar lagi mereka harus mengisi acara.

J L J

Hari Sabtu sudah tiba. Gabriel dan adik-adiknya sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat mereka mengisi acara. Tapi, masih ada satu hal yang mengganggu pikiran mereka. Lala. Sampai detik ini, mereka belum rela untuk meninggalkan Lala sendirian di rumah bersama Bibi. Mau dibawa bersama mereka juga tidak mungkin. Selama ini mereka sudah berusaha menjaganya seharian. Staminanya masih belum pulih. Tapi, Lala selalu mengatakan dia baik-baik saja.
“Pergilah, Kak.” kata Lala sambil tersenyum menatap kakak-kakaknya yang masih berdiri di ambang pintu depan. Sementara Lala dipegangi oleh Bibi agar bisa berdiri tegak, ia ingin mengantarkan mereka. Wajahnya masih pucat.
“Tapi, bagaimana denganmu, La? Kau...” kata Cakka terputus.
“Aku baik-baik saja, Kak Cakka.” kata Lala lagi.
“Tapi kalau...” kata Gabriel, lagi-lagi terputus.
“Aku akan baik-baik saja di rumah, Kak Gabriel. Tenang saja.” kata Lala.
“Bagaimana kalau...” Alvin juga ikut khawatir tapi lagi-lagi Lala menggeleng.
Gabriel dan adik-adiknya saling bertatapan, kemudian langsung pamit untuk pergi. Mereka memutuskan untuk mempercayakan Lala kepada Bibi. Banyak pesan yang mereka sampaikan kepada Lala karena mereka khawatir. Tapi, Lala hanya menjawabnya dengan senyum. Ia melambaikan tangannya melihat delapan kakaknya pergi.
Begitu bayangan mereka hilang dari pandangan Lala, Lala menurunkan kembali tangannya dan diam menatap keluar. Kemudian, beberapa saat kemudian, ia pelan-pelan terjatuh tak sadarkan diri. Bibi yang kaget langsung menangkapnya dengan panik. “Lala! Lala! Kau tidak apa-apa?! Bangun La!”

J L J

Malam itu, Gabriel dan adik-adiknya memakai kemeja hitam lengan pendek dengan celana panjang putih sebagai bawahannya. Di setiap leher mereka juga memakai dasi yang warnanya senada dengan celana mereka. Begitu mereka dipanggil untuk tampil, mereka langsung berbaris dengan bentuk setengah lingkaran di panggung. Rencana koreografi mereka langsung dilaksanakan. Mereka mengawali semua dengan memunggungi penonton.
Penampilan mereka tadi dimulai dari kegelapan. Hanya ada sembilan lampu sorot yang menyinari posisi mereka masing-masing. Begitu musik dialunkan, Obiet langsung berbalik badan menghadap penonton dan mulai bernyanyi diiringi oleh gema tepuk tangan para penonton yang datang. Mereka bergantian menyanyikan lirik lagu di bagian pertama.
Tepuk tangan mulai menggema lebih keras begitu mereka menyelesaikan bagian pertama. Kedelapan laki-laki tersebut langsung berjalan menuju arah yang berlawanan untuk menukar posisi mereka selama musik berjalan. Dengan perasaan campur aduk, mereka menengadah ke atas sambil menunggu waktunya bernyanyi lagi. Mereka semua masing-masing menatap langit yang kelihatan dari sana karena tempat acara tidak ditutupi dengan atap. Malam itu, langit penuh dengan bintang bertaburan. Samar-samar, mereka terbayang wajah Lala di atas sana. Begitu masuk ke dalam bagian kedua dan ending lagu, mereka bernyanyi bersama-sama dengan perasaan yang dalam. Bahkan hampir semuanya meneteskan air mata ketika menyanyikannya.

“Sudah, terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan....”

“Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita berdua
menjadi saksi cinta kita berdua...”

J L J

Gabriel menghapus air matanya yang masih menetes membasahi pipinya. Dari antara semuanya, dia yang paling kaget dengan berita yang tiba-tiba terdengar di telinganya dan saudara-saudaranya. Ia benar-benar tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Bahkan setelah mereka berdelapan berusaha sekuat mungkin. Ia benar-benar merasa bersalah telah meninggalkan Lala di rumah sendirian waktu itu. Kalau saja dia dan adik-adiknya tidak pergi, mungkin ini semua tidak akan terjadi.
Kemarin begitu mereka berdelapan pulang dari tempat acara, Bibi langsung mengabarkan bahwa Lala pingsan begitu mereka pergi. Mendengar kabar itu, mereka langsung melarikan Lala ke rumah sakit. Tapi, dokter yang menangani Lala selama ini justru menggelengkan kepalanya. Dan menyebabkan mereka berada di sini. Diam seribu bahasa menatap ke arah tanah yang telah ditaburi bunga dengan beribu-ribu air mata yang telah tumpah. Bintang mereka yang paling bersinar sudah padam. Lala telah meninggal.

Dear delapan kakakku yang ganteng dan paling baik sedunia,
Mungkin ketika kalian membaca surat ini, aku sudah tidak ada di sisi kalian. Maafkan aku, Kak, selama ini aku sudah merepotkan kalian semua. Seharusnya kalian menikmati hidup kalian sendiri, tapi semua waktu untuk itu sudah habis aku ambil. Melihat kalian begitu perhatian denganku, aku tidak tega membuat kalian khawatir lebih dalam lagi.
Maaf ya, Kak, selama ini aku selalu sok kuat. Aku selalu mengatakan aku baik, padahal aku sama sekali tidak baik. Tapi, aku hanya ingin kalian tidak khawatir denganku.
Malam itu, sebenarnya aku sakit kepala. Aku lelah, aku sudah benar-benar kekurangan oksigen karena penyakit anemiaku. Begitu kalian pergi, aku pingsan. Untungnya aku sempat sadar dan menuliskan surat ini sebelum kalian pulang.
Kak, aku menyusul Ayah dan Bunda dulu ya. Maafkan aku. Semoga kalian semua bahagia. Kak Gabriel, Kak Cakka, Kak Alvin, Kak Kiki, Kak Debo, Kak Patton, Kak Obiet dan Kak Irsyad. Jangan lupakan aku!

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

4 komentar:

  1. wagh keren cerpennya
    nice post

    BalasHapus
  2. Ceritanya keren :) Nice post

    BalasHapus
  3. Seru banget Ceritanya.... apakah anda bikin sendiri atau copas dari link lain..

    http://arief-dwi-muhidin.blogspot.com

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p