Selasa, 24 Juni 2014

Cerpen | Antaraya Story




“Kerja bagus, Raynald Putra.” seorang bapak paruh baya sambil tersenyum. Ia memberikan sebuah amplop kepada laki-laki tinggi di hadapannya. “Jangan lupa untuk datang lagi besok.”
Laki-laki itu mengangguk mantap dan mengambil amplop itu dari tangannya. Kemudian, ia langsung pamit untuk pulang. Ia benar-benar bersyukur bisa lahir sebagai laki-laki yang berbakat dalam memasak. Tak sia-sia dulu Bunda memaksanya agar wajib mahir dalam hal yang satu itu. Memang benar kata-kata Bunda, dengan mahir memasak, dia tidak menyusahkan orang lain dan bisa menghidupi keluarga dengan baik.

Ayah dan Bunda sudah tiada beberapa tahun yang lalu. Mereka yang memang sudah lanjut usia kian mendapatkan penyakit yang akhirnya mampu merenggut nyawa mereka. Karena itulah Ray cepat-cepat mencari pekerjaan sambilan untuk kebutuhan Deva dan Devi, kedua adiknya yang masih sekolah. Di samping itu, ia juga harus membayar biaya kuliah untuk setahun ke depan, sampai dia lulus. Dan masih banyak kebutuhan mendatang yang harus dia bayar.
Rasanya memang berat. Tanpa Ayah dan Bunda, ia tidak bisa sembarangan memakai uang seperti dulu. Ia tidak bisa berbuat apa saja yang dia mau di kehidupan ini. Demi Deva dan Devi, dia harus ekstra hati-hati dalam membuat transaksi pengeluaran dan berusaha menambah pemasukan. Kalau tidak, kebutuhan sehari-hari mereka bertiga bisa saja tidak terpenuhi.
“Aku pulang!” seru Ray begitu ia sampai di rumahnya.
“Ray! Cepatlah ke kamar! Devi demam!” terdengar suara nyaring adik laki-lakinya dari dalam rumah. Ray yang mendengarnya langsung buru-buru menaruh tas di depan rumah dan berlari menuju kamar Devi yang terletak lumayan jauh dari tempatnya berdiri.
Begitu sampai di kamar Devi, ia melihat adik laki-lakinya sedang duduk di sebelah tempat tidur, menjaga perempuan kecil yang berbaring lemas di tempat tidurnya. Pelipisnya tampak berkeringat, raut wajahnya menunjukkan rasa sakit yang luar biasa. Dahinya juga dikompres oleh sapu tangan basah. Padahal, tadi pagi sebelum ia berangkat kuliah, dia masih sehat-sehat saja. Ray benar-benar kaget dibuatnya.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Ray sambil mendekati adik bungsunya. Ia memegang dahi Devi sejenak. Panas sekali, katanya dalam hati.
“Dia memaksakan diri untuk sekolah.” kata Deva membuat Ray menoleh. “Padahal, aku sudah takut akan menjadi seperti ini. Tapi, dia tak ingin membuatmu khawatir.”
“Dia izin dari sekolah?” tanya Ray.
Deva mengangguk. “Aku juga izin untuk membawanya pulang.”
“Lalu kenapa kau tak menghubungiku?”
“Aku akan menghubungimu jika Devi tidak melarang.” kata Deva. “Tadi aku sudah memberinya bubur dan mengukur suhu tubuhnya. Panasnya tidak terlalu tinggi.”
Ray menghela nafas lega. “Bagus kalau begitu. Tak sia-sia aku mengajarimu cara membuat bubur sejak dulu. Tapi, aku tak mengerti kenapa Devi tidak bicara apa-apa tentang hal ini.”
Deva tersenyum. “Selama ini kau sudah menjaga kami dengan susah payah. Kau juga bekerja keras untuk membiayai kehidupan kami. Sudah sepantasnya Devi melakukan hal itu untuk membalas kebaikanmu.”
Ray menunduk, kemudian menatap kembali ke arah Devi. Memang benar, beberapa tahun belakangan Ray sudah menjadi orang tua untuk kedua adiknya tersebut. Tragedi meninggalnya kedua orang tua mereka karena faktor usia membuat Ray merasa memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga kedua adiknya. Deva Araville Antaraya, adik pertamanya yang masih sekolah di tingkat SMA ia tugaskan untuk menjaga Devi Putri Antaraya, adik bungsunya yang masih SD selama Ray tidak ada. Namun, belakangan ini Devi memang sering mengunci mulutnya tentang kondisi tubuhnya yang mudah terserang penyakit.
“Kak Ray...” panggil Devi pelan sambil membuka matanya.
“Devi! Kau sudah bangun?” kata Ray sambil tersenyum. “Bagaimana keadaanmu? Bagian mana yang sakit? Sudah minum obat?”
Devi diam saja mendengar pertanyaan kakaknya. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan rasa sedih. “Maafkan aku, Kak. Aku selalu merepotkan Kak Ray. Seharusnya aku tidak lemah seperti ini. Aku tidak ingin kakak terus-menerus mengkhawatirkanku.”
“Devi, kau bicara apa?” kata Ray sambil membelai rambut adiknya.
“Kau tidak boleh berkata seperti itu, Devi.” Deva juga ikut menambahkan.
“Kalau aku tidak lahir sebagai adik Kak Ray, aku pasti tidak akan merepotkan kakak. Aku juga tidak akan merepotkan Kak Deva.” kata Devi, tidak menggubris ucapan kedua kakaknya.
“Tuhan menciptakanmu sebagai adikku karena Dia yakin aku bisa membuatmu bahagia. Kau sama sekali tidak merepotkan.” kata Ray. Kemudian, ia mengambil gelas berisi air yang ada di atas meja. “Sudah, kau tak perlu berpikir terlalu banyak. Minumlah, kau harus cepat sembuh.”
“Ayo kubantu.” kata Deva sambil mengangkat sedikit kepala Devi agar ia dapat minum. Sementara Ray memegangi gelas dan memasukkan air ke dalam mulut Devi. Setelah berbaring, Devi berbaring kembali.
“Tidurlah, adikku. Kau butuh banyak istirahat.” kata Ray sambil tersenyum.
Devi mengangguk. “Terima kasih, Kak.”
Pelan-pelan Devi menutup matanya, mencoba untuk tidur dengan belaian lembut kakak sulungnya dan juga kehadiran kakak keduanya yang selalu ada ketika dia membutuhkan bantuan. Dia benar-benar sayang kepada Deva dan Ray. Kalau saja tidak ada mereka, Devi tidak akan merasa nyaman. Walaupun Ayah dan Bunda sudah tiada, Devi masih tetap merasakan bagaimana bahagianya mempunyai orang tua dari kedua kakaknya.

THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!
Follow mine:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p