“Kerja
bagus, Raynald Putra.” seorang bapak paruh baya sambil tersenyum. Ia memberikan
sebuah amplop kepada laki-laki tinggi di hadapannya. “Jangan lupa untuk datang
lagi besok.”
Laki-laki
itu mengangguk mantap dan mengambil amplop itu dari tangannya. Kemudian, ia
langsung pamit untuk pulang. Ia benar-benar bersyukur bisa lahir sebagai
laki-laki yang berbakat dalam memasak. Tak sia-sia dulu Bunda memaksanya agar
wajib mahir dalam hal yang satu itu. Memang benar kata-kata Bunda, dengan mahir
memasak, dia tidak menyusahkan orang lain dan bisa menghidupi keluarga dengan
baik.
Ayah dan
Bunda sudah tiada beberapa tahun yang lalu. Mereka yang memang sudah lanjut
usia kian mendapatkan penyakit yang akhirnya mampu merenggut nyawa mereka.
Karena itulah Ray cepat-cepat mencari pekerjaan sambilan untuk kebutuhan Deva
dan Devi, kedua adiknya yang masih sekolah. Di samping itu, ia juga harus
membayar biaya kuliah untuk setahun ke depan, sampai dia lulus. Dan masih
banyak kebutuhan mendatang yang harus dia bayar.
Rasanya memang
berat. Tanpa Ayah dan Bunda, ia tidak bisa sembarangan memakai uang seperti
dulu. Ia tidak bisa berbuat apa saja yang dia mau di kehidupan ini. Demi Deva
dan Devi, dia harus ekstra hati-hati dalam membuat transaksi pengeluaran dan
berusaha menambah pemasukan. Kalau tidak, kebutuhan sehari-hari mereka bertiga
bisa saja tidak terpenuhi.
“Aku
pulang!” seru Ray begitu ia sampai di rumahnya.
“Ray!
Cepatlah ke kamar! Devi demam!” terdengar suara nyaring adik laki-lakinya dari
dalam rumah. Ray yang mendengarnya langsung buru-buru menaruh tas di depan
rumah dan berlari menuju kamar Devi yang terletak lumayan jauh dari tempatnya
berdiri.
Begitu
sampai di kamar Devi, ia melihat adik laki-lakinya sedang duduk di sebelah
tempat tidur, menjaga perempuan kecil yang berbaring lemas di tempat tidurnya.
Pelipisnya tampak berkeringat, raut wajahnya menunjukkan rasa sakit yang luar
biasa. Dahinya juga dikompres oleh sapu tangan basah. Padahal, tadi pagi
sebelum ia berangkat kuliah, dia masih sehat-sehat saja. Ray benar-benar kaget
dibuatnya.
“Kenapa
bisa seperti ini?” tanya Ray sambil mendekati adik bungsunya. Ia memegang dahi
Devi sejenak. Panas sekali, katanya
dalam hati.
“Dia
memaksakan diri untuk sekolah.” kata Deva membuat Ray menoleh. “Padahal, aku
sudah takut akan menjadi seperti ini. Tapi, dia tak ingin membuatmu khawatir.”
“Dia izin
dari sekolah?” tanya Ray.
Deva
mengangguk. “Aku juga izin untuk membawanya pulang.”
“Lalu
kenapa kau tak menghubungiku?”
“Aku akan
menghubungimu jika Devi tidak melarang.” kata Deva. “Tadi aku sudah memberinya
bubur dan mengukur suhu tubuhnya. Panasnya tidak terlalu tinggi.”
Ray
menghela nafas lega. “Bagus kalau begitu. Tak sia-sia aku mengajarimu cara
membuat bubur sejak dulu. Tapi, aku tak mengerti kenapa Devi tidak bicara
apa-apa tentang hal ini.”
Deva
tersenyum. “Selama ini kau sudah menjaga kami dengan susah payah. Kau juga
bekerja keras untuk membiayai kehidupan kami. Sudah sepantasnya Devi melakukan
hal itu untuk membalas kebaikanmu.”
Ray
menunduk, kemudian menatap kembali ke arah Devi. Memang benar, beberapa tahun
belakangan Ray sudah menjadi orang tua untuk kedua adiknya tersebut. Tragedi
meninggalnya kedua orang tua mereka karena faktor usia membuat Ray merasa
memiliki tanggung jawab lebih untuk menjaga kedua adiknya. Deva Araville Antaraya,
adik pertamanya yang masih sekolah di tingkat SMA ia tugaskan untuk menjaga
Devi Putri Antaraya, adik bungsunya yang masih SD selama Ray tidak ada. Namun,
belakangan ini Devi memang sering mengunci mulutnya tentang kondisi tubuhnya
yang mudah terserang penyakit.
“Kak
Ray...” panggil Devi pelan sambil membuka matanya.
“Devi! Kau
sudah bangun?” kata Ray sambil tersenyum. “Bagaimana keadaanmu? Bagian mana
yang sakit? Sudah minum obat?”
Devi diam
saja mendengar pertanyaan kakaknya. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan
rasa sedih. “Maafkan aku, Kak. Aku selalu merepotkan Kak Ray. Seharusnya aku
tidak lemah seperti ini. Aku tidak ingin kakak terus-menerus
mengkhawatirkanku.”
“Devi, kau
bicara apa?” kata Ray sambil membelai rambut adiknya.
“Kau tidak
boleh berkata seperti itu, Devi.” Deva juga ikut menambahkan.
“Kalau aku
tidak lahir sebagai adik Kak Ray, aku pasti tidak akan merepotkan kakak. Aku
juga tidak akan merepotkan Kak Deva.” kata Devi, tidak menggubris ucapan kedua
kakaknya.
“Tuhan
menciptakanmu sebagai adikku karena Dia yakin aku bisa membuatmu bahagia. Kau
sama sekali tidak merepotkan.” kata Ray. Kemudian, ia mengambil gelas berisi
air yang ada di atas meja. “Sudah, kau tak perlu berpikir terlalu banyak.
Minumlah, kau harus cepat sembuh.”
“Ayo
kubantu.” kata Deva sambil mengangkat sedikit kepala Devi agar ia dapat minum.
Sementara Ray memegangi gelas dan memasukkan air ke dalam mulut Devi. Setelah
berbaring, Devi berbaring kembali.
“Tidurlah,
adikku. Kau butuh banyak istirahat.” kata Ray sambil tersenyum.
Devi
mengangguk. “Terima kasih, Kak.”
Pelan-pelan
Devi menutup matanya, mencoba untuk tidur dengan belaian lembut kakak sulungnya
dan juga kehadiran kakak keduanya yang selalu ada ketika dia membutuhkan
bantuan. Dia benar-benar sayang kepada Deva dan Ray. Kalau saja tidak ada
mereka, Devi tidak akan merasa nyaman. Walaupun Ayah dan Bunda sudah tiada,
Devi masih tetap merasakan bagaimana bahagianya mempunyai orang tua dari kedua
kakaknya.
THE END..
Tuliskan
komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku
selanjutnya!
Follow
mine:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p