Selasa, 17 Juni 2014

Cerpen | Pelangi Ayah



“Kau harus jadi pebisnis untuk meneruskan perusahaan Ayah!”
Cakka langsung berlutut di lantai rumahnya begitu langkah Ayah menjauh. Pelan-pelan tangannya membersihkan beberapa kertas yang sudah berantakan di hadapannya. Matanya berkaca-kaca. Beribu-ribu tetes keringat yang ia keluarkan untuk kertas-kertas itu sudah tak terhitung lagi. Namun, semuanya punah hanya dengan gerakan tangan beberapa detik dari Ayah.

Perkataan Ayah barusan benar-benar membuatnya diam seribu bahasa. Dan ini pertama kalinya Ayah menyobek kertas-kertas foto yang dihasilkannya dengan susah payah. Padahal, foto-foto itu ia ambil khusus untuk Ayah agar ia dapat tersenyum dalam kelelahannya dalam bekerja. Bukan karena maksud apa-apa. Sayangnya, Ayah memiliki pikiran lain ketika dia menyerahkan hasil-hasil jepretannya tersebut. Sekarang keadaan Ayah justru bertambah buruk karenanya.
Cakka membawa tumpukan sobekan kertas tersebut ke dalam kamarnya. Ia menaruh kertas-kertas tersebut di meja belajarnya, disusul dengan kamera SLR yang masih tergantung di pundaknya. Hari ini sudah melelahkan tubuhnya. Seperti biasanya, setelah pulang kuliah dia langsung menjelajahi kota Jogjakarta untuk mencari objek untuk dia potret sampai sore. Tak disangka, ternyata rencananya untuk membahagiakan Ayah justru harus sia-sia begitu saja.
Cakka membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan matanya dan membayangkan dirinya bisa menjadi fotografer yang terkenal di kotanya. Ya, itulah cita-citanya sejak dulu. Ia benar-benar senang memotret alam yang begitu indah di matanya. Selain mengejar mimpi, ia juga bisa memperkenalkan keindahan kota Jogjakarta kepada yang lainnya. Tapi, sekarang mimpinya terguncang ketika melihat Ayah menyobek hasil-hasil karyanya dengan kasar.
Cakka menghela napas. “Ternyata Ayah tidak suka aku menjadi fotografer. Lalu, bagaimana nasib foto yang sudah kusimpan sejak lama itu?”

J L J

Beberapa hari kemudian...
“Banyak sekali pesananmu hari ini, Cakka.” kata Gabriel sambil tersenyum melihat ke arah layar komputer. Kedua tangannya sibuk menari-nari di atas keyboard dengan cepat untuk memenuhi pesanan pelanggan setia sekaligus sahabatnya. “Foto-fotomu tampak lebih indah dari biasanya.”
Cakka yang bersandar di lemari kaca toko Gabriel hanya tersenyum mendengarkan ucapannya. Ia sudah biasa mendengarkan pujian-pujian pemilik percetakan langganannya itu terhadap hasil jepretannya selama ini. Padahal, menurut Cakka, hasil yang ia dapatkan selama ini masih belum bisa dibilang sempurna. Ia baru memulai hobinya tersebut setahun yang lalu dan dia masih belajar untuk memakai kamera SLR. Belum semua teknik bisa ia kuasai.
“Kau tahu, Kka, hanya kau satu-satunya fotografer mahir yang betah berada di percetakanku dari semua pelanggan yang kulayani selama ini.” kata Gabriel setelah hening beberapa saat.
“Oh ya?” jawab Cakka singkat.
“Ya. Dan aku cukup bangga bisa menjadi temanmu.” kata Gabriel. “Selama ini banyak yang menganggapku rendah karena hanya bekerja sebagai penjaga toko percetakan. Padahal, pekerjaan ini sama sekali tidak haram walaupun aku sepintar Einstein sekalipun.”
Cakka tertawa kecil mendengarnya.
“Kenapa tertawa? Itu memang benar, bukan?” kata Gabriel ikut tertawa mendengar suara tawa temannya. “Aku heran dengan teman-temanku yang hanya melihat masa depanku dari kepintaranku saja. Padahal, juara kelas selama masa sekolah tak berarti aku akan sukses seperti pengusaha besar.”
“Memangnya kau tak ingin sukses seperti mereka?”
“Ah, tidak. Lebih baik aku sukses membahagiakan orang tuaku daripada membahagiakan diriku sendiri di luar sana.” kata Gabriel. “Bukankah kau berpendapat sama? Makanya kau selalu menuruti Ayahmu.”
Cakka diam. Ia menundukkan kepalanya sejenak, kemudian tersenyum. Dia tak tahu apa yang terjadi padanya kemarin. Ada kalanya juga dimana aku mengecewakan dia. Dan terkadang dimaafkan itu sulit. Karena tak semua orang memiliki hati sekuat baja.
“Cakka?”
Cakka mengangkatkan kepalanya kembali begitu mendengar suara Gabriel. Lamunannya terbuyar seketika. Ternyata, temannya itu sudah menyelesaikan pesanannya. Cakka langsung membalikkan badannya menghadap ke arah Gabriel dan memberikan beberapa lembar uang dua puluh ribuan. Foto-foto yang sudah dicetaknya ia terima dengan senang hati.
Gabriel tersenyum. “Kau kenapa? Tak biasanya kau melamun begitu.”
Cakka tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kemudian dia menceritakan kejadian aneh yang terjadi kemarin di rumahnya dari awal sampai akhir. Apa yang dikatakan Ayah dan apa yang dilakukannya terhadap hasil karyanya. Gabriel yang mendengarnya sampai kaget.
Gabriel memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. “I’m sorry to hear that, Kka. Aku juga tidak menyangka Ayahmu tak suka kau bercita-cita menjadi fotografer. Padahal, selama ini dia baik-baik saja dengan hobimu.”
Cakka mengangguk. Kemudian, ia tersenyum. “Kalau begitu, aku akan kembali ke rumah dulu. Kau tahu masih banyak hal yang harus kulakukan di luar sana.”
“Apa kau akan baik-baik saja?” tanya Gabriel.
Cakka mengangguk mantap. Ia melambaikan tangannya sejenak, membalikkan badannya dan segera meninggalkan percetakan. Jam sudah menunjukkan empat sore. Ia tidak ingin membuat Ayah yang akan pulang sebentar lagi khawatir karena menyadari anak semata wayangnya belum pulang juga ke rumah.
Begitu sampai di rumahnya, Cakka langsung membereskan kamarnya. Meja belajar yang berantakan ia bersihkan sampai rapi, barang-barang yang berada di sembarang tempat segera ia kembalikan ke tempat semula. Kemudian, ia menaruh kamera SLR nya di meja belajar yang sudah ia bersihkan. Foto-foto yang baru ia cetak tadi, ia taruh di sebelah kameranya.
Cakka melangkah keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang keluarga dengan tangan kirinya yang menggenggam sebuah kertas foto. Ia tahu pasti Ayah sudah ada di sana. Secangkir kopi dan koran selalu menjadi teman malamnya kalau sudah pulang bekerja. “Ayah...”
Ayah menoleh ketika mendengar suara Cakka. Ia menutup koran yang sedang ia baca dan langsung meletakkannya di meja. Tak sedikitpun senyuman ia ciptakan dalam wajahnya begitu melihat anak semata wayangnya berdiri di ambang pintu ruang keluarga. Ia hanya mengisyaratkan Cakka untuk masuk dengan tangannya.
Cakka melangkah masuk dan menghampiri Ayah. Begitu sampai di hadapannya, ia hanya diam. Wajahnya yang tertunduk menyembunyikan rasa wajah gelisah yang tercipta di kedua matanya. Kedua tangannya pelan-pelan mengepal keras. Ia menggigit bibirnya menahan perasaan yang telah bergejolak di dalam hatinya.
Ayah yang menatap anaknya juga diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun kepadanya. Sepertinya ia masih marah karena kejadian kemarin-kemarin.
Cakka mengangkat kepalanya. Ia tatap wajah Ayah dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca. Dengan takut-takut, ia mengulurkan tangannya kepada Ayah, memberikan sebuah kertas foto kepadanya. Berkali-kali ia menelan ludahnya, berusaha mempersiapkan mental untuk apa yang akan terjadi kepada kertas foto tersebut.
Sedetik kemudian, Ayah membesarkan matanya. Ia tak percaya melihat kertas foto itu. Badannya hampir beku karena terlalu kaget. Kedua tangannya bergetar. “Pelangi...”
Cakka mengangguk. “Seharusnya aku memberikannya kemarin. Tapi, karena Ayah menyobek-nyobek hasil karyaku beberapa hari yang lalu, aku takut untuk memberikannya. Padahal, aku sudah menjaga foto itu sejak lama.”
Ayah mengangkat kepalanya menatap Cakka. Tapi dia tetap saja diam mendengar ucapan anaknya. Menyadari Ayah tidak mengucapkan sepatah katapun, Cakka melanjutkan ucapannya lagi.
“Aku ingin menghadiahkan foto itu untuk Ayah di saat yang tepat. Aku tahu Ayah sangat suka dengan pelangi...”
Ayah segera beranjak dari tempat duduknya. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung memeluk Cakka dengan sangat erat. Mulutnya terkunci rapat, tak bisa berkata apa-apa lagi. Sementara Cakka hanya bisa membalas pelukan Ayah. “Maafkan Ayah, Cakka.”

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan ceritaku yang selanjutnya!

9 komentar:

  1. izin copy ya di ms.word buat di print
    keren nih caerpenya

    BalasHapus
  2. Cerpen nya keren :) kebetulan ada tugas nihh :D

    BalasHapus
  3. keren kak fancha, aku suka ceritanya :)

    BalasHapus
  4. cerpennya keren banget :D

    BalasHapus
  5. Keren Cerpennya, Tambah Keren Lagi karena Sudah Nulis Sendiri :D

    BalasHapus
  6. wah mantap cerpennya
    sering sering lagi nulis

    BalasHapus
  7. Bagus, Kak, cerpennya. Idenya fresh. :D

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p