Kamis, 12 Juni 2014

Cerpen | Pria Sederhana (SEKUEL)


Inilah sekuel cerpen Pria Sederhana. Biar nyambung sama cerita ini, yang belum baca cerpennya, silahkan baca dulu di: http://ceritafancha.blogspot.com/2014/05/cerpen-pria-sederhana.html



Deva tersenyum ketika melihat hasil karya Gabriel yang kembali masuk ke dalam majalah maupun museum besar. Majalah yang diberikan Gabriel barusan adalah majalah yang sengaja dibelikannya untuk Deva, untuk menunjukkan kesuksesannya sekarang. Selain sibuk dengan menggambar, dia juga berkali-kali mengadakan pameran lukisan untuk para penggemarnya. Kini umurnya yang sudah 26 tahun juga masih terlihat sangat muda. Ia takjub dengan kemahiran sahabatnya tersebut dalam melukis. Tak sia-sia dia menghabiskan waktu hampir lebih dari sebelas tahun menggambar.

“Kau tak punya jadwal penting hari ini?” tanya Deva menoleh ke arah Gabriel.
Gabriel menggeleng. “Hanya nanti sore. Aku mengadakan kuis beberapa waktu yang lalu dan beberapa orang yang menang akan mendapatkan kesempatan untuk melukis bersamaku di galeri.”
Deva tersenyum.
“Aku selalu menomorsatukan kebahagiaan mereka. Bagaimanapun juga merekalah semangatku selama ini. Selain kau tentunya.” kata Gabriel sambil tertawa kecil. “Apa kabar? Sudah lama aku tidak melihatmu karena sibuk dengan karir pelukisku.”
“Seperti yang kau lihat.” kata Deva sambil tetap melengkungkan bibirnya ke atas. Ia menaruh majalah yang diberikan Gabriel itu di atas meja dan mengajak sahabatnya masuk ke dalam rumah. Deva segera membuatkan teh untuknya di dapur, sementara Gabriel hanya menunggu di ambang pintu dapurnya.
Kehidupan Deva masih belum berubah semenjak Gabriel mengatakan bahwa Deva harus melakukan sesuatu untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Tidak, bukan karena Deva tidak ingin kehidupannya berubah, namun baginya hidup bersama keluarga saja sudah cukup membuatnya bahagia. Apalagi sekarang Ibu dan Ayah sudah lanjut usia. Siapa yang akan menjaga mereka jika Deva sibuk dengan hal lain? Siapa juga yang akan menjaga adik-adiknya? Tidak ada yang bisa melakukannya selain dirinya sendiri.
Kehidupannya masih sama. Ia tetap laki-laki sederhana yang rajin membantu orang tuanya menjadi petani buah setiap hari. Sepulangnya dari sana, ia akan menjaga adik-adiknya selama Ayah dan Ibu berdagang. Dava, adiknya yang bungsu sudah tumbuh menjadi laki-laki berusia sebelas tahun. Diva sudah berusia tiga belas tahun. Sedangkan Devi, adiknya yang paling besar sudah berusia sembilan belas tahun. Memang berbeda jauh dengan dirinya yang sudah hampir berkepala tiga.
“Sunyi sekali. Kau sendirian di rumah?” tanya Gabriel sambil melipatkan tangannya di depan dada. “Adik-adikmu tidak terdengar suaranya. Kemana mereka?”
“Devi sedang mengajak Ayah dan Ibu berjalan-jalan. Diva dan Dava ikut bersamanya. Kurasa Ayah dan Ibu perlu olahraga agar terlihat selalu sehat.” kata Deva sambil mengaduk gula di dalam teh yang dibuatnya. Ia tersenyum. “Aku bangga, mereka sudah dewasa.”
“Bangga?” tanya Gabriel heran.
Deva mengangguk. Ia menoleh ke arah Gabriel kembali, membawakan secangkir teh itu untuknya. Gabriel menerimanya dengan senang hati dan meneguknya sedikit. Sementara Deva pergi meninggalkan dapur dan berjalan menuju ambang pintu rumahnya. Ia berdiri di sana sambil menghirup udara pagi yang segar tanpa memudarkan senyumannya.
“Tehmu sangat enak.” kata Gabriel tiba-tiba, ia berjalan pelan menuju Deva. Ia menaruh cangkir tehnya di meja dan menatap ke arah sahabatnya yang tengah memunggunginya. “Tapi, akan jauh lebih enak lagi kalau kau bercerita. Sudah lama aku tidak mendengar kisah hidup sederhanamu.”
Deva diam sejenak mendengar ucapan Gabriel. Ia menunduk sedikit dan memejamkan matanya. “Desa Happy Society. Dua puluh enam tahun yang lalu aku lahir di sini sebagai anak pertama Ayah dan Ibu. Dulu aku tak mengerti apa-apa tentang hidupku. Yang kutahu hanyalah mereka selalu pergi bekerja setiap pagi sambil mengurus aku. Mereka benar-benar menguras tenaga untuk kehidupan keluarga kami.”
Gabriel tersenyum mendengarnya. “Aku yakin mereka melakukan itu karena mereka menyayangimu.”
Deva tersenyum. “Ya. Setiap hari aku melihat mereka selalu berusaha untuk bekerja sebaik-baiknya. Berusaha agar buah-buah yang mereka jual habis dibeli pelanggan. Uang jerih payah mereka akan dipakai untuk membeli makanan dan susu untukku. Terkadang juga mereka juga rela kelaparan untuk membelikanku baju baru.”
“Hingga satu per satu, Devi, Diva dan Dava lahir menemaniku. Setiap kali melihat mereka, aku selalu teringat bagaimana besarnya pengorbanan Ayah dan Ibu untukku selama tujuh tahun itu. Sebelum aku menjadi kakak dari tiga adik.”
“Karena itu, kau begitu menjaga adik-adikmu? Karena itu, kau bangga melihat mereka sudah beranjak dewasa?” tebak Gabriel.
Deva membalikkan badannya menghadap Gabriel. Ia tersenyum, mewakili jawaban untuk pertanyaan sahabatnya itu.
Gabriel ikut tersenyum. “Baru kali ini aku mendengarmu berbicara begitu banyak. Berbeda dengan kau yang dulu, mulutmu bahkan tidak pernah berbicara hal lain selain bercita-cita membahagiakan orang tua.”
Gabriel melirik jam tangannya, kemudian langsung berjalan keluar dari rumah Deva dan segera pamit kepada sahabatnya itu. “Terima kasih atas ceritamu, Deva Arraville. Sepertinya aku mengerti mengapa selama ini kau betah melakukan ini. Aku akan pulang dan membuat beberapa lukisan tentangmu. Aku yakin, penggemarku akan menyukainya.”
Deva tersenyum. Ia melambaikan tangannya ketika Gabriel sudah berjalan meninggalkan rumahnya. Walaupun dia sudah tak bisa sering-sering mengunjungi Deva lagi, tapi ia tetap senang karena sahabatnya telah sukses menjadi pelukis yang sangat terkenal. Sama seperti dirinya yang masih mengejar mimpi kecilnya.
Deva berdiri di ambang pintu sambil melamun. Ia menikmati suasana pagi di sekitar rumahnya sampai akhirnya keluarga kecilnya terlihat dari tempat yang jauh. Ia tersenyum hangat menatapnya. Ayah dan Ibu tampak digandeng oleh adik-adiknya. Kebahagiaan canda tawa mereka yang tak terdengar seolah bisa dirasakannya. “Menjadi Ayah dan Ibu untuk adik-adikku sama bahagianya dengan menjadi pelukis terkenal sepertimu, Gabriel Astroken.”

THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,

1 komentar:

  1. Wah.. yang ini lebih bagus ... gw suka sekali sma blog ini dan oranggnya.. hehehe.. 100% suka sama blog ini

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p