“Kau harus
jadi pebisnis untuk meneruskan perusahaan Ayah!”
Cakka
langsung berlutut di lantai rumahnya begitu langkah Ayah menjauh. Pelan-pelan
tangannya membersihkan beberapa kertas yang sudah berantakan di hadapannya.
Matanya berkaca-kaca. Beribu-ribu tetes keringat yang ia keluarkan untuk
kertas-kertas itu sudah tak terhitung lagi. Namun, semuanya punah hanya dengan
gerakan tangan beberapa detik dari Ayah.
Perkataan
Ayah barusan benar-benar membuatnya diam seribu bahasa. Dan ini pertama kalinya
Ayah menyobek kertas-kertas foto yang dihasilkannya dengan susah payah.
Padahal, foto-foto itu ia ambil khusus untuk Ayah agar ia dapat tersenyum dalam
kelelahannya dalam bekerja. Bukan karena maksud apa-apa. Sayangnya, Ayah
memiliki pikiran lain ketika dia menyerahkan hasil-hasil jepretannya tersebut.
Sekarang keadaan Ayah justru bertambah buruk karenanya.
Cakka
membawa tumpukan sobekan kertas tersebut ke dalam kamarnya. Ia menaruh
kertas-kertas tersebut di meja belajarnya, disusul dengan kamera SLR yang masih
tergantung di pundaknya. Hari ini sudah melelahkan tubuhnya. Seperti biasanya,
setelah pulang kuliah dia langsung menjelajahi kota Jogjakarta untuk mencari
objek untuk dia potret sampai sore. Tak disangka, ternyata rencananya untuk
membahagiakan Ayah justru harus sia-sia begitu saja.
Cakka
membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan matanya dan membayangkan
dirinya bisa menjadi fotografer yang terkenal di kotanya. Ya, itulah
cita-citanya sejak dulu. Ia benar-benar senang memotret alam yang begitu indah
di matanya. Selain mengejar mimpi, ia juga bisa memperkenalkan keindahan kota
Jogjakarta kepada yang lainnya. Tapi, sekarang mimpinya terguncang ketika
melihat Ayah menyobek hasil-hasil karyanya dengan kasar.
Cakka
menghela napas. “Ternyata Ayah tidak suka aku menjadi fotografer. Lalu,
bagaimana nasib foto yang sudah kusimpan sejak lama itu?”
J L J
Beberapa
hari kemudian...
“Banyak
sekali pesananmu hari ini, Cakka.” kata Gabriel sambil tersenyum melihat ke
arah layar komputer. Kedua tangannya sibuk menari-nari di atas keyboard dengan cepat untuk memenuhi
pesanan pelanggan setia sekaligus sahabatnya. “Foto-fotomu tampak lebih indah
dari biasanya.”
Cakka yang
bersandar di lemari kaca toko Gabriel hanya tersenyum mendengarkan ucapannya.
Ia sudah biasa mendengarkan pujian-pujian pemilik percetakan langganannya itu
terhadap hasil jepretannya selama ini. Padahal, menurut Cakka, hasil yang ia dapatkan
selama ini masih belum bisa dibilang sempurna. Ia baru memulai hobinya tersebut
setahun yang lalu dan dia masih belajar untuk memakai kamera SLR. Belum semua
teknik bisa ia kuasai.
“Kau tahu,
Kka, hanya kau satu-satunya fotografer mahir yang betah berada di percetakanku
dari semua pelanggan yang kulayani selama ini.” kata Gabriel setelah hening
beberapa saat.
“Oh ya?”
jawab Cakka singkat.
“Ya. Dan
aku cukup bangga bisa menjadi temanmu.” kata Gabriel. “Selama ini banyak yang
menganggapku rendah karena hanya bekerja sebagai penjaga toko percetakan.
Padahal, pekerjaan ini sama sekali tidak haram walaupun aku sepintar Einstein
sekalipun.”
Cakka
tertawa kecil mendengarnya.
“Kenapa
tertawa? Itu memang benar, bukan?” kata Gabriel ikut tertawa mendengar suara
tawa temannya. “Aku heran dengan teman-temanku yang hanya melihat masa depanku
dari kepintaranku saja. Padahal, juara kelas selama masa sekolah tak berarti
aku akan sukses seperti pengusaha besar.”
“Memangnya
kau tak ingin sukses seperti mereka?”
“Ah, tidak.
Lebih baik aku sukses membahagiakan orang tuaku daripada membahagiakan diriku
sendiri di luar sana.” kata Gabriel. “Bukankah kau berpendapat sama? Makanya
kau selalu menuruti Ayahmu.”
Cakka
diam. Ia menundukkan kepalanya sejenak, kemudian tersenyum. Dia tak tahu apa
yang terjadi padanya kemarin. Ada kalanya
juga dimana aku mengecewakan dia. Dan terkadang dimaafkan itu sulit. Karena tak
semua orang memiliki hati sekuat baja.
“Cakka?”
Cakka
mengangkatkan kepalanya kembali begitu mendengar suara Gabriel. Lamunannya
terbuyar seketika. Ternyata, temannya itu sudah menyelesaikan pesanannya. Cakka
langsung membalikkan badannya menghadap ke arah Gabriel dan memberikan beberapa
lembar uang dua puluh ribuan. Foto-foto yang sudah dicetaknya ia terima dengan
senang hati.
Gabriel
tersenyum. “Kau kenapa? Tak biasanya kau melamun begitu.”
Cakka
tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kemudian dia
menceritakan kejadian aneh yang terjadi kemarin di rumahnya dari awal sampai
akhir. Apa yang dikatakan Ayah dan apa yang dilakukannya terhadap hasil
karyanya. Gabriel yang mendengarnya sampai kaget.
Gabriel
memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. “I’m sorry to hear that, Kka. Aku juga tidak menyangka Ayahmu tak
suka kau bercita-cita menjadi fotografer. Padahal, selama ini dia baik-baik
saja dengan hobimu.”
Cakka
mengangguk. Kemudian, ia tersenyum. “Kalau begitu, aku akan kembali ke rumah
dulu. Kau tahu masih banyak hal yang harus kulakukan di luar sana.”
“Apa kau
akan baik-baik saja?” tanya Gabriel.
Cakka
mengangguk mantap. Ia melambaikan tangannya sejenak, membalikkan badannya dan
segera meninggalkan percetakan. Jam sudah menunjukkan empat sore. Ia tidak
ingin membuat Ayah yang akan pulang sebentar lagi khawatir karena menyadari
anak semata wayangnya belum pulang juga ke rumah.
Begitu
sampai di rumahnya, Cakka langsung membereskan kamarnya. Meja belajar yang
berantakan ia bersihkan sampai rapi, barang-barang yang berada di sembarang
tempat segera ia kembalikan ke tempat semula. Kemudian, ia menaruh kamera SLR
nya di meja belajar yang sudah ia bersihkan. Foto-foto yang baru ia cetak tadi,
ia taruh di sebelah kameranya.
Cakka melangkah
keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang keluarga dengan tangan kirinya
yang menggenggam sebuah kertas foto. Ia tahu pasti Ayah sudah ada di sana.
Secangkir kopi dan koran selalu menjadi teman malamnya kalau sudah pulang
bekerja. “Ayah...”
Ayah
menoleh ketika mendengar suara Cakka. Ia menutup koran yang sedang ia baca dan
langsung meletakkannya di meja. Tak sedikitpun senyuman ia ciptakan dalam
wajahnya begitu melihat anak semata wayangnya berdiri di ambang pintu ruang
keluarga. Ia hanya mengisyaratkan Cakka untuk masuk dengan tangannya.
Cakka
melangkah masuk dan menghampiri Ayah. Begitu sampai di hadapannya, ia hanya
diam. Wajahnya yang tertunduk menyembunyikan rasa wajah gelisah yang tercipta
di kedua matanya. Kedua tangannya pelan-pelan mengepal keras. Ia menggigit
bibirnya menahan perasaan yang telah bergejolak di dalam hatinya.
Ayah yang
menatap anaknya juga diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun kepadanya.
Sepertinya ia masih marah karena kejadian kemarin-kemarin.
Cakka
mengangkat kepalanya. Ia tatap wajah Ayah dengan kedua matanya yang sudah
berkaca-kaca. Dengan takut-takut, ia mengulurkan tangannya kepada Ayah,
memberikan sebuah kertas foto kepadanya. Berkali-kali ia menelan ludahnya,
berusaha mempersiapkan mental untuk apa yang akan terjadi kepada kertas foto
tersebut.
Sedetik
kemudian, Ayah membesarkan matanya. Ia tak percaya melihat kertas foto itu.
Badannya hampir beku karena terlalu kaget. Kedua tangannya bergetar.
“Pelangi...”
Cakka
mengangguk. “Seharusnya aku memberikannya kemarin. Tapi, karena Ayah
menyobek-nyobek hasil karyaku beberapa hari yang lalu, aku takut untuk
memberikannya. Padahal, aku sudah menjaga foto itu sejak lama.”
Ayah
mengangkat kepalanya menatap Cakka. Tapi dia tetap saja diam mendengar ucapan
anaknya. Menyadari Ayah tidak mengucapkan sepatah katapun, Cakka melanjutkan
ucapannya lagi.
“Aku ingin
menghadiahkan foto itu untuk Ayah di saat yang tepat. Aku tahu Ayah sangat suka
dengan pelangi...”
Ayah
segera beranjak dari tempat duduknya. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung
memeluk Cakka dengan sangat erat. Mulutnya terkunci rapat, tak bisa berkata
apa-apa lagi. Sementara Cakka hanya bisa membalas pelukan Ayah. “Maafkan Ayah,
Cakka.”
THE END...
Tuliskan
komentar kalian di bawah,
nantikan
ceritaku yang selanjutnya!
Cerpennya Keren kak :)
BalasHapusizin copy ya di ms.word buat di print
BalasHapuskeren nih caerpenya
Silahkan :)
HapusCerpen nya keren :) kebetulan ada tugas nihh :D
BalasHapuskeren kak fancha, aku suka ceritanya :)
BalasHapuscerpennya keren banget :D
BalasHapusKeren Cerpennya, Tambah Keren Lagi karena Sudah Nulis Sendiri :D
BalasHapuswah mantap cerpennya
BalasHapussering sering lagi nulis
Bagus, Kak, cerpennya. Idenya fresh. :D
BalasHapus