Senin, 12 Mei 2014

Serial Chase & Ellose | Menjaga Ellose



Suara batuk-batuk keras menggema rumah mereka hingga sampai ke pintu depan rumah. Kini Cakka sudah berumur delapan tahun. Dan dia baru saja pulang dari membeli bubur di dekat rumahnya. Dia langsung tercengang mendengar suara batuk-batuk itu. Ia segera menyiapkan segelas air hangat dan juga obat untuk orang itu dan berlari menghampirinya di kamar. Seplastik bubur yang ia beli sementara ia taruh di meja makan terlebih dahulu.

“Mas! Kamu tidak apa-apa?” tanyanya begitu ia sampai di sana. Ia meletakkan obat yang ia pegang itu di meja kecil, kemudian menyodorkan segelas air kepadanya. “Minum dulu. Buburnya akan segera kusiapkan sebentar lagi.”
“Terima kasih, Kka. Aku merepotkanmu sekali hari ini.” katanya sambil tersenyum. Wajahnya masih terlihat pucat seperti beberapa jam yang lalu, ketika dia pulang dari sekolahnya.
Cakka menggeleng. “Tidak, Mas. Selama ini kamu sudah menjagaku dengan baik. Jelas wajar aku juga menjagamu ketika kamu sedang sakit. Anggaplah ini sebagai wujud balas budiku kepadamu, Mas.”
“Tapi kan seharusnya aku yang menjagamu. Bunda dan Ayah selalu berpesan aku harus menjadi kakak yang baik untukmu jika mereka sedang tidak ada di rumah.”
“Ah, kamu berpikir terlalu banyak, Ellose Karayne. Sungguh, ini sama sekali tidak merepotkan. Lebih baik sekarang kamu mengukur suhu badanmu lagi. Siapa tahu sudah turun. Aku akan menyiapkan buburnya dulu.” kata Cakka sambi memberikan termometer kepadanya. Kemudian, ia segera menyelimuti tubuhnya dan pergi keluar kamar.
Ellose Karayne merupakan kakak dari Cakka sendiri yang memiliki nama lengkap Chase Karayne. Kakak satu-satunya yang berumur dua belas tahun dan ia panggil Mas Elang itu tiba-tiba saja sakit demam begitu ia pulang dari sekolahnya. Suhu badannya yang begitu tinggi membuat Cakka tergerak untuk menjaga kakaknya sampai sembuh. Ia tidak tega melihat kakaknya yang begitu lemas. Untunglah Ayah dan Bunda mengajarkannya untuk mandiri sejak kecil.
Cakka bersenandung sendiri ketika menuangkan bubur ke dalam sebuah mangkuk yang cukup besar. Bubur ayam yang ada dijual di dekat rumahnya itu memang sedap. Bahkan Cakka ketagihan untuk memakannya. Cakka sampai langganan sejak kecil. Setiap kali ditanya ingin makan apa oleh Bunda, Cakka pasti menjawab ingin makan bubur itu. Padahal, kalau Cakka mengerti, bubur itu tak terlalu bergizi. Apalagi bubur itu tidak gratis. Jika setiap hari makan, uang Bunda bisa terkuras habis lama-lama. Bunda sampai heran, untungnya Cakka tidak menangis jika Bunda melarangnya sering-sering makan bubur.
Cakka segera mengambil sendok di salah satu laci di dapur, kemudian meletakkannya di mangkuk bubur sebelum ia membawanya ke kamar untuk diberikannya kepada kakaknya.
“Aku bisa makan sendiri, Kka. Kamu istirahat saja di kamar.”
Cakka menggeleng ketika kakaknya menolak untuk dibantu makan. “Suhu badanmu tinggi, staminamu juga terkuras, bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu? Lebih baik aku membantumu. Oh ya, bagaimana dengan pengukuran terakhir?”
“Sudah turun menjadi 38.1 derajat. Aku tidak selemah yang kamu pikirkan.”
“Itu tinggi, tau! Huh... Baiklah. Ini, minum dulu sebelum makan.” kata Cakka sambil membantunya minum. Kemudian, ia meletakkan gelasnya kembali ke meja. Baru setelah itu dia membantu kakaknya agar bisa duduk bersandar di tempat tidurnya. Kasihan sekali, dia sampai bangkit dari tidurnya karena demam yang dideritanya. “Ini, habiskan bubur itu. Dengan begitu, staminamu pasti akan pulih.”
Elang mengangguk, kemudian pelan-pelan melahap buburnya. Sementara Cakka hanya duduk di samping kakaknya sambil tersenyum. Sebenarnya Elang kasihan dengan Cakka, dia harus bolak-balik melayaninya karena penyakitnya itu. Andai saja belakangan ini dia tidak belajar terlalu keras, mungkin dia tidak akan sakit.
Sebenarnya yang terjadi adalah belakangan ini Elang sedang menghadapi pekan ulangan di sekolah barunya. Dari hari Senin sampai Jumat dia memiliki masing-masing satu ulangan yang berbeda. Masalahnya adalah Elang ingin mendapatkan nilai yang terbaik agar mendapatkan universitas yang bagus saat ia lulus nanti. Apalagi ditambah dengan perdebatannya dengan Muflih, sang ketua kelas yang sangat kesal melihat nilai bagus Elang sejak ia masuk ke dalam sekolahnya. Dia berkali-kali menantang Elang agar beradu nilai dengannya, namun selalu saja kalah. Dan Elang tidak ingin keluarganya tahu tentang semua ini.
“Nilaimu tak boleh lebih baik daripada aku, anak baru!” Itu salah satu kata-kata kasar Muflih kepadanya, ketika dia mendapatkan nilai di atas sembilan puluh. Sementara dia hanya delapan puluh.
Elang merasa tidak nyaman berada di dekat Muflih. Masalah besarnya adalah dia tidak suka berkelahi, walaupun dalam bentuk nilai ulangan. Tapi, dorongan teman-teman baiknya untuk mengalahkan nilai Muflih yang membuatnya ingin terus belajar agar mendapatkan nilai yang terbaik. Belum lagi, sepulang sekolah ia sering berlatih basket sendirian di lapangan sekolah. Atau kadang-kadang bersama Cakka. Kesibukannya itu membuat staminanya jatuh.
“Mas, boleh aku keluar sebentar? Suhu badanmu mungkin akan menurun jika badanmu dikompres dengan sapu tangan basah. Nikmatilah dulu bubur itu. Kamu pasti lapar.” kata Cakka.
Elang tersenyum, kemudian mengangguk.
Cakka keluar dari kamar dan mengambil sapu tangan yang ada di laci. Sapu tangan itu ia basahi di kamar mandi dengan air hangat, kemudian ia peras sejenak agar tidak terlalu basah karena sapu tangan itu hanyalah sebagai penurun suhu badan dan juga pengganti pembersih badan. Cakka tahu jika seseorang terkena demam, ia dilarang mandi. Kalaupun ingin mandi, harus dengan air hangat.
Setelah selesai, ia hendak langsung membawa sapu tangan itu ke dalam kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Ayah dan Bunda sudah pulang ke rumah. Ia langsung tersenyum dan menyapa mereka. “Ayah! Bunda! Kalian sudah pulang!”
Bunda mengangguk. “Apa yang kamu lakukan dengan sapu tangan itu?”
“Oh, Mas Elang sedang sakit demam, Bunda. Setelah pulang sekolah tadi, badannya panas sekali. Jadi, aku pikir sapu tangan basah ini bisa membuat suhu badannya normal kembali. Tadi aku sudah memberinya bubur.” kata Cakka sambil tersenyum.
“Oh, kenapa bisa seperti itu, Kka? Apa yang terjadi?” tanya Ayah kaget mendengarnya. Tangannya yang sedang menaruh tas kerjanya di sofa terhenti seketika. Kepalanya langsung terangkat menatap anak bungsunya.
“Entahlah. Aku rasa dia terlalu keras belajar. Bukankah pekan kemarin dia baru saja menjalankan pekan ulangan? Aku sering melihat dia belajar sampai larut malam.” kata Cakka. “Ah, aku harus mengantarkan ini pada Mas Elang. Ayah dan Bunda pasti capek, istirahat saja. Aku akan merawat Mas Elang!”
Cakka segera berlari menuju kamar dan memberikan sapu tangan itu kepada Elang. Sementara Bunda dan Ayah hanya tersenyum melihat anaknya yang sudah bisa mandiri di usianya yang masih muda. Ketika Cakka sampai di kamar kakaknya, mangkuk yang tadi ada di tangan kakaknya telah kembali meja kecil dalam keadaan kosong. Kakaknya telah kembali berbaring di tempat tidurnya. Cakka meletakkan sapu tangan basah itu pada dahi Elang dan berpesan agar membolak-balik sapu tangan itu sesekali setelah selang beberapa menit. “Jika panas di dahimu sudah turun, kamu bisa meletakkan sapu tangan itu di tempat lain.”
Elang tersenyum. “Terima kasih, Kka. Ayah dan Bunda sudah pulang?”
Cakka mengangguk. “Mereka sedang istirahat. Mungkin nanti akan menjengukmu setelah jam istirahat mereka selesai. Kasihan, mereka pasti lelah.”
“Ya sudah, lebih baik kamu juga istirahat. Aku sudah tidak apa-apa. Lagipula, ini sudah hampir gelap. Kamu belum mandi, kan? Padahal, biasanya yang paling cepat selesai mandi.”
Cakka menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal sambil nyengir. Dia memang belum mandi lantaran ia sibuk bermain musik sampai kakaknya pulang, kemudian ia mengurus kakaknya yang sakit. Makanya, ia langsung segera pamit untuk mandi. Kakaknya sampai tertawa melihat tingkah adiknya yang malu.
Namun, semua jerih payah Cakka untuk menjaga kakaknya ternyata membuahkan hasil. Beberapa hari berikutnya Elang tampak lebih baik. Berkat Ayah dan Bunda mengajaknya ke dokter, Elang dapat sembuh dengan cepat. Obat yang diberikan oleh dokter bekerja dalam satu hari sehingga hari keempat dia sudah sembuh total. Cakka sangat senang melihatnya. Tadi malam ia sempat bangun beberapa kali untuk memeriksa kondisi kakaknya. Kata Bunda, jika suhu badannya masih tinggi, harus segera minum obat. Ternyata semuanya tak sia-sia.
Pagi itu, Cakka bangun terlebih dulu daripada kakaknya. Begitu ia membuka matanya, ia tersenyum melihat kakaknya yang tertidur nyenyak di tempat tidur yang ada di sebelahnya. Cakka beranjak dari tempat tidurnya dan memeriksa suhu badan Elang. Ia memegang dahi kakaknya pelan. Kemudian, ia tersenyum merasakan hangatnya dahi kakaknya itu. “Baguslah, kamu sudah sembuh, Mas.”
Namun.... “Hatchi!!”
Cakka tertawa kecil sambil mengusap hidungnya. Banyak air yang keluar dari kedua lubang hidungnya itu. “Sepertinya kali ini aku yang sakit karena kurang tidur, Mas... Ah, tapi yang penting kamu sudah sembuh! Iya kan?”

THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan Serial Chase & Ellose selanjutnya ya! :)

14 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p