Suara
batuk-batuk keras menggema rumah mereka hingga sampai ke pintu depan rumah.
Kini Cakka sudah berumur delapan tahun. Dan dia baru saja pulang dari membeli
bubur di dekat rumahnya. Dia langsung tercengang mendengar suara batuk-batuk
itu. Ia segera menyiapkan segelas air hangat dan juga obat untuk orang itu dan
berlari menghampirinya di kamar. Seplastik bubur yang ia beli sementara ia
taruh di meja makan terlebih dahulu.
“Mas! Kamu
tidak apa-apa?” tanyanya begitu ia sampai di sana. Ia meletakkan obat yang ia
pegang itu di meja kecil, kemudian menyodorkan segelas air kepadanya. “Minum
dulu. Buburnya akan segera kusiapkan sebentar lagi.”
“Terima
kasih, Kka. Aku merepotkanmu sekali hari ini.” katanya sambil tersenyum.
Wajahnya masih terlihat pucat seperti beberapa jam yang lalu, ketika dia pulang
dari sekolahnya.
Cakka
menggeleng. “Tidak, Mas. Selama ini kamu sudah menjagaku dengan baik. Jelas
wajar aku juga menjagamu ketika kamu sedang sakit. Anggaplah ini sebagai wujud
balas budiku kepadamu, Mas.”
“Tapi kan
seharusnya aku yang menjagamu. Bunda dan Ayah selalu berpesan aku harus menjadi
kakak yang baik untukmu jika mereka sedang tidak ada di rumah.”
“Ah, kamu
berpikir terlalu banyak, Ellose Karayne. Sungguh, ini sama sekali tidak
merepotkan. Lebih baik sekarang kamu mengukur suhu badanmu lagi. Siapa tahu
sudah turun. Aku akan menyiapkan buburnya dulu.” kata Cakka sambi memberikan
termometer kepadanya. Kemudian, ia segera menyelimuti tubuhnya dan pergi keluar
kamar.
Ellose
Karayne merupakan kakak dari Cakka sendiri yang memiliki nama lengkap Chase
Karayne. Kakak satu-satunya yang berumur dua belas tahun dan ia panggil Mas
Elang itu tiba-tiba saja sakit demam begitu ia pulang dari sekolahnya. Suhu
badannya yang begitu tinggi membuat Cakka tergerak untuk menjaga kakaknya
sampai sembuh. Ia tidak tega melihat kakaknya yang begitu lemas. Untunglah Ayah
dan Bunda mengajarkannya untuk mandiri sejak kecil.
Cakka
bersenandung sendiri ketika menuangkan bubur ke dalam sebuah mangkuk yang cukup
besar. Bubur ayam yang ada dijual di dekat rumahnya itu memang sedap. Bahkan
Cakka ketagihan untuk memakannya. Cakka sampai langganan sejak kecil. Setiap
kali ditanya ingin makan apa oleh Bunda, Cakka pasti menjawab ingin makan bubur
itu. Padahal, kalau Cakka mengerti, bubur itu tak terlalu bergizi. Apalagi
bubur itu tidak gratis. Jika setiap hari makan, uang Bunda bisa terkuras habis
lama-lama. Bunda sampai heran, untungnya Cakka tidak menangis jika Bunda
melarangnya sering-sering makan bubur.
Cakka
segera mengambil sendok di salah satu laci di dapur, kemudian meletakkannya di
mangkuk bubur sebelum ia membawanya ke kamar untuk diberikannya kepada
kakaknya.
“Aku bisa
makan sendiri, Kka. Kamu istirahat saja di kamar.”
Cakka
menggeleng ketika kakaknya menolak untuk dibantu makan. “Suhu badanmu tinggi,
staminamu juga terkuras, bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu? Lebih baik
aku membantumu. Oh ya, bagaimana dengan pengukuran terakhir?”
“Sudah
turun menjadi 38.1 derajat. Aku tidak selemah yang kamu pikirkan.”
“Itu
tinggi, tau! Huh... Baiklah. Ini, minum dulu sebelum makan.” kata Cakka sambil
membantunya minum. Kemudian, ia meletakkan gelasnya kembali ke meja. Baru
setelah itu dia membantu kakaknya agar bisa duduk bersandar di tempat tidurnya.
Kasihan sekali, dia sampai bangkit dari tidurnya karena demam yang dideritanya.
“Ini, habiskan bubur itu. Dengan begitu, staminamu pasti akan pulih.”
Elang
mengangguk, kemudian pelan-pelan melahap buburnya. Sementara Cakka hanya duduk
di samping kakaknya sambil tersenyum. Sebenarnya Elang kasihan dengan Cakka,
dia harus bolak-balik melayaninya karena penyakitnya itu. Andai saja belakangan
ini dia tidak belajar terlalu keras, mungkin dia tidak akan sakit.
Sebenarnya
yang terjadi adalah belakangan ini Elang sedang menghadapi pekan ulangan di
sekolah barunya. Dari hari Senin sampai Jumat dia memiliki masing-masing satu
ulangan yang berbeda. Masalahnya adalah Elang ingin mendapatkan nilai yang
terbaik agar mendapatkan universitas yang bagus saat ia lulus nanti. Apalagi
ditambah dengan perdebatannya dengan Muflih, sang ketua kelas yang sangat kesal
melihat nilai bagus Elang sejak ia masuk ke dalam sekolahnya. Dia berkali-kali
menantang Elang agar beradu nilai dengannya, namun selalu saja kalah. Dan Elang
tidak ingin keluarganya tahu tentang semua ini.
“Nilaimu
tak boleh lebih baik daripada aku, anak baru!” Itu salah satu kata-kata kasar
Muflih kepadanya, ketika dia mendapatkan nilai di atas sembilan puluh.
Sementara dia hanya delapan puluh.
Elang
merasa tidak nyaman berada di dekat Muflih. Masalah besarnya adalah dia tidak
suka berkelahi, walaupun dalam bentuk nilai ulangan. Tapi, dorongan teman-teman
baiknya untuk mengalahkan nilai Muflih yang membuatnya ingin terus belajar agar
mendapatkan nilai yang terbaik. Belum lagi, sepulang sekolah ia sering berlatih
basket sendirian di lapangan sekolah. Atau kadang-kadang bersama Cakka.
Kesibukannya itu membuat staminanya jatuh.
“Mas,
boleh aku keluar sebentar? Suhu badanmu mungkin akan menurun jika badanmu
dikompres dengan sapu tangan basah. Nikmatilah dulu bubur itu. Kamu pasti
lapar.” kata Cakka.
Elang
tersenyum, kemudian mengangguk.
Cakka
keluar dari kamar dan mengambil sapu tangan yang ada di laci. Sapu tangan itu
ia basahi di kamar mandi dengan air hangat, kemudian ia peras sejenak agar
tidak terlalu basah karena sapu tangan itu hanyalah sebagai penurun suhu badan
dan juga pengganti pembersih badan. Cakka tahu jika seseorang terkena demam, ia
dilarang mandi. Kalaupun ingin mandi, harus dengan air hangat.
Setelah
selesai, ia hendak langsung membawa sapu tangan itu ke dalam kamar. Namun,
langkahnya terhenti ketika melihat Ayah dan Bunda sudah pulang ke rumah. Ia
langsung tersenyum dan menyapa mereka. “Ayah! Bunda! Kalian sudah pulang!”
Bunda
mengangguk. “Apa yang kamu lakukan dengan sapu tangan itu?”
“Oh, Mas
Elang sedang sakit demam, Bunda. Setelah pulang sekolah tadi, badannya panas
sekali. Jadi, aku pikir sapu tangan basah ini bisa membuat suhu badannya normal
kembali. Tadi aku sudah memberinya bubur.” kata Cakka sambil tersenyum.
“Oh,
kenapa bisa seperti itu, Kka? Apa yang terjadi?” tanya Ayah kaget mendengarnya.
Tangannya yang sedang menaruh tas kerjanya di sofa terhenti seketika. Kepalanya
langsung terangkat menatap anak bungsunya.
“Entahlah.
Aku rasa dia terlalu keras belajar. Bukankah pekan kemarin dia baru saja
menjalankan pekan ulangan? Aku sering melihat dia belajar sampai larut malam.”
kata Cakka. “Ah, aku harus mengantarkan ini pada Mas Elang. Ayah dan Bunda
pasti capek, istirahat saja. Aku akan merawat Mas Elang!”
Cakka
segera berlari menuju kamar dan memberikan sapu tangan itu kepada Elang.
Sementara Bunda dan Ayah hanya tersenyum melihat anaknya yang sudah bisa
mandiri di usianya yang masih muda. Ketika Cakka sampai di kamar kakaknya,
mangkuk yang tadi ada di tangan kakaknya telah kembali meja kecil dalam keadaan
kosong. Kakaknya telah kembali berbaring di tempat tidurnya. Cakka meletakkan
sapu tangan basah itu pada dahi Elang dan berpesan agar membolak-balik sapu
tangan itu sesekali setelah selang beberapa menit. “Jika panas di dahimu sudah
turun, kamu bisa meletakkan sapu tangan itu di tempat lain.”
Elang
tersenyum. “Terima kasih, Kka. Ayah dan Bunda sudah pulang?”
Cakka
mengangguk. “Mereka sedang istirahat. Mungkin nanti akan menjengukmu setelah
jam istirahat mereka selesai. Kasihan, mereka pasti lelah.”
“Ya sudah,
lebih baik kamu juga istirahat. Aku sudah tidak apa-apa. Lagipula, ini sudah
hampir gelap. Kamu belum mandi, kan? Padahal, biasanya yang paling cepat
selesai mandi.”
Cakka
menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal sambil nyengir. Dia memang belum
mandi lantaran ia sibuk bermain musik sampai kakaknya pulang, kemudian ia
mengurus kakaknya yang sakit. Makanya, ia langsung segera pamit untuk mandi.
Kakaknya sampai tertawa melihat tingkah adiknya yang malu.
Namun,
semua jerih payah Cakka untuk menjaga kakaknya ternyata membuahkan hasil.
Beberapa hari berikutnya Elang tampak lebih baik. Berkat Ayah dan Bunda
mengajaknya ke dokter, Elang dapat sembuh dengan cepat. Obat yang diberikan
oleh dokter bekerja dalam satu hari sehingga hari keempat dia sudah sembuh
total. Cakka sangat senang melihatnya. Tadi malam ia sempat bangun beberapa
kali untuk memeriksa kondisi kakaknya. Kata Bunda, jika suhu badannya masih
tinggi, harus segera minum obat. Ternyata semuanya tak sia-sia.
Pagi itu,
Cakka bangun terlebih dulu daripada kakaknya. Begitu ia membuka matanya, ia
tersenyum melihat kakaknya yang tertidur nyenyak di tempat tidur yang ada di
sebelahnya. Cakka beranjak dari tempat tidurnya dan memeriksa suhu badan Elang.
Ia memegang dahi kakaknya pelan. Kemudian, ia tersenyum merasakan hangatnya
dahi kakaknya itu. “Baguslah, kamu sudah sembuh, Mas.”
Namun....
“Hatchi!!”
Cakka
tertawa kecil sambil mengusap hidungnya. Banyak air yang keluar dari kedua
lubang hidungnya itu. “Sepertinya kali ini aku yang sakit karena kurang tidur,
Mas... Ah, tapi yang penting kamu sudah sembuh! Iya kan?”
THE END..
Tuliskan komentar kalian di bawah,
nantikan Serial Chase & Ellose selanjutnya ya! :)
Cerita yang sangat bagus, artikel di blog ini bagus semua :D (y)
BalasHapusKeren :)
BalasHapusSeru cerita nya gan :D
BalasHapusIjin nyimak aja gan :D
BalasHapusnice and really interesting story, I like it. Thanks for share
BalasHapusKreativ sekali mbak
BalasHapuspostingan nya sangat menarik :)
BalasHapusizin nyimakk gan bro
BalasHapusnice critanya
BalasHapusini novel ya kk ? :D ijin baca dulu.
BalasHapusAbis baca komen lagi ya hihi :)
HapusAtau share ke temen2 biar banyak yg baca :D
ceritanya bagus banget :D
BalasHapuscaeritanya bagus
BalasHapusshare banyak banyak ya :)
Ceritanya bagus🖒👌
BalasHapus