“Aku akan
kuliah ke luar negeri.”
Cakka
menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya. Matanya terbelalak
meminta penjelasan. Kerutan pada dahinya seketika hilang. Mulutnya terkunci
rapat, seakan tak bisa bicara. Suasana hening menguasai taman dimana mereka
berada. Kalimat sependek itu ternyata bisa membuatnya bingung harus berbuat
apa.
Elang,
laki-laki itu, juga terdiam sejenak menatap reaksi adiknya. Tangannya yang
tadinya terulur untuk menyentuh pundaknya terhenti karena tangan sang adik
menahannya, kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Elang menghela napasnya
melihat itu semua. “Chase Karayne.”
“Kamu tak
perlu menghiburku di saat seperti ini, Ellose Karayne.” katanya. Kemudian, dia
memalingkan wajahnya ke arah lain. Selama ini kakaknya selalu menepuk pundaknya
saat ia sedih. Dan biasanya akan sangat berguna untuk membuatnya tersenyum.
Tapi, ia tahu kali ini tidak akan berhasil. Tidak akan setelah Cakka mendengar
apa yang ingin dikatakan kakaknya, sampai harus membawanya ke taman untuk berbicara
secara pribadi.
“Aku tahu
kamu pasti tidak bisa menerimanya.” kata Elang lagi. “Tapi, aku ingin pergi
dengan melihat senyummu, Kka.”
Cakka
menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng pelan. “Haruskah aku tersenyum
melihat kepergianmu, Mas?”
“Kita
sudah bersama selama hampir enam belas tahun, kamu sudah tumbuh besar menjadi
anak remaja yang dewasa. Kamupun juga harus meraih cita-citamu. Begitu juga
aku.” kata Elang. “Aku ingin mendalami musik di sana, seperti kamu yang ingin
menjadi musisi.”
“Tapi,
kenapa harus ke luar negeri? Di sini juga banyak universitas dengan jurusan
musik!” Suara nyaring Cakka menggema di dalam telinga Elang. Ia menggigit
bibirnya pelan. Suara itu adalah suara yang tak pernah ingin ia dengar seumur
hidupnya. Hatinya seketika sakit mendengar suara sedih dari mulut adiknya.
“Cakka...”
“Kalau
kamu ingin pergi, lebih baik kamu pergi dari dulu!” Suara Cakka semakin
nyaring. Kedua matanya berkaca-kaca.
Elang
langsung menyambar kedua pundak Cakka, kemudian mengguncangnya pelan untuk
menenangkan perasaan adiknya. “Cakka... setelah aku menyelesaikan kuliahku, aku
akan kembali lagi!”
“Kamu
pikir berapa tahun kamu bisa menyelesaikan kuliah, Mas? Tidak secepat saat aku
menunggumu pulang sekolah, bukan?!” kata Cakka. Ia mengatur nafasnya, kemudian
melanjutkan ucapannya. “Kalau kamu pergi, siapa yang akan menyemangatiku ketika
teman-temanku tidak ada? Siapa yang akan memanjakanku ketika aku butuh teman?”
Elang diam
saja mendengar ucapan Cakka. Kedua tangannya yang mencengkram pundak adiknya
melemas. Iapun tak tahu harus berbicara apa kepadanya. Setelah ia pergi nanti,
iapun tak akan mempunyai orang yang selalu menemaninya seperti Cakka. Mereka
akan sama-sama kehilangan. Tapi, Elang tak bisa membawanya ikut ke luar negeri,
Cakka masih mempunyai cita-cita yang harus ia raih.
Elang
melepaskan kedua pundak adiknya, kemudian langsung menepuk pelan salah satu
pundaknya pelan. “Sekarang sudah zaman modern, kita berdua juga mempunyai alat
komunikasi masing-masing. Kapanpun kamu butuh aku, kamu bisa meneleponku.”
Cakka diam
saja. Mulutnya terkunci rapat, tak berniat menjawab.
Air
matanya kembali menetes. Ah, lagi-lagi adegan singkat itu muncul lagi di
kepalanya. Padahal sudah hampir dua hari ia berdiam diri di kamar untuk
menenangkan pikiran. Namun, ia masih belum bisa mengontrol perasaannya. Ia tak
ingin kehilangan satu-satunya kakak paling hebat yang ia punya. Andai ia tahu
semua ini akan terjadi, lebih baik dia dan kakaknya tak usah tumbuh besar.
“Cakka?”
Cakka
mengangkat kepalanya ketika mendengar suara Bunda. Beliau melangkahkan kakinya
mendekati Cakka dan duduk di hadapannya. Dia tersenyum lembut, seakan mengerti
apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian dia memecah keheningan. “Kamu masih
belum bisa menerimanya?”
Wajah
Cakka berubah murung begitu mendengar pertanyaan Bunda. Ia memeluk kedua
kakinya yang telah ditekuk, kemudian memanjakan kepalanya di sana. “Selama ini
Mas Elang sudah menjadi kakak yang sangat baik untukku, Bunda. Aku bahagia
punya kakak seperti dia.”
“Besok
sudah hari Minggu, apa kamu tak ingin bersenang-senang bersamanya sebelum dia
berangkat?” tanya Bunda lagi sambil menyentuh kepala Cakka. “Beberapa hari ini
dia juga memikirkanmu, Cakka.”
Cakka
mengangguk. “Aku tahu, Bunda. Tapi, aku masih memikirkan bagaimana kehidupanku
nanti tanpa Mas Elang. Setiap hari tidak ada yang akan membangunkanku dengan
keras jika aku terlambat, tidak ada yang memarahiku jika aku tidak menurut
kepada Bunda dan Ayah, tidak ada yang bisa kuajak bermain musik jika sedang
bosan, dan banyak lagi tidak ada yang lain.”
“Ya, kamu
dan Elang memang sangat dekat sejak kecil. Bunda senang sekali melihat dua anak
Bunda bisa akrab sampai kalian sudah besar. Tapi, Nak, ada saatnya kita harus
merelakan seseorang yang kita sayang untuk pergi. Bahkan nanti saat kamu sudah
lulus sekolah, kamu mungkin saja harus berpisah dengan Gabriel dan Deva, kan?”
kata Bunda sambil tersenyum. “Asal kamu tetap menunggu, kamu pasti akan bertemu
dengannya lagi.”
Cakka
meluruskan kedua kakinya kembali dan menatap Bunda. “Terima kasih, Bunda. Aku
sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Bunda akan mendukungku, kan?”
Bunda
tersenyum. “Tentu saja, sayang. Apapun itu, asal perilaku positif, Bunda pasti
akan selalu mendukung anak-anak Bunda agar menjadi anak-anak yang hebat.”
Cakka
tersenyum kecil. Kemudian, ia beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah
keluar kamar untuk menemui kakaknya di ruangan sebelah. Bunda hanya tersenyum
melihat kepergian anak bungsunya. Dalam hatinya ia berharap semuanya akan
baik-baik saja. Semoga Cakka bisa mengerti keinginan kakaknya.
Ketika
Cakka masuk ke dalam kamar kakaknya, dia sedang sibuk dengan meja belajar.
Kedua matanya dibantu oleh kacamata yang selalu ia pakai ketika mengerjakan
tugas sekolah, tangan kanannya memegang pensil. Sepertinya dia sedang tak bisa
diganggu. Karena itu, Cakka berhenti di ambang pintu. “Mas Elang...”
Elang
tampak kaget sejenak mendengar suara Cakka. Kemudian, ia pelan-pelan
membalikkan kursinya menghadap ambang pintu. Ia tersenyum. “Cakka. Masuklah,
aku ingin berbicara denganmu.”
“Kamu
sedang sibuk dengan tugas sekolah?” tanya Cakka sambil mendekati kakaknya. Ia
memilih untuk duduk di tempat tidur kakaknya.
Elang
tertawa kecil. “Kamu ini aneh, sekolah sudah usai. Untuk apa sekolah memberikan
tugas lagi? Ini adalah sebuah lagu. Beberapa hari ini aku tak bisa
mengungkapkan rasa khawatirku kepada siapapun. Mungkin kamu bisa membuatkan
nadanya nanti.”
Cakka
tersenyum tipis mendengarnya. “Berapa tahun, Mas?”
“Apa?”
tanya Elang heran. Kepalanya menoleh ke arah adiknya.
“Berapa
tahun kamu akan kuliah di luar negeri?”
Elang
tersenyum mendengarnya. “Normalnya empat tahun. Tapi, jika memungkinkan, aku
akan mengambil lebih banyak pelajaran agar aku dapat lulus lebih cepat dari
itu. Aku juga tidak ingin meninggalkan rumah lama-lama.”
Cakka
manggut-manggut. “Aku akan menyusulmu jika itu tidak terjadi.”
Mata Elang
langsung terbelalak mendengar ucapan Cakka. “Benarkah itu?”
“Dari dulu
aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun sekarang, aku baru
mengerti, ternyata sebuah pertemuan harus melewati perpisahan, sebelum sampai
di pertemuan kembali.” kata Cakka sambil memalingkan wajahnya. “Bunda bilang,
ada kalanya aku harus merelakan apa yang pernah aku punya, pergi begitu saja
meninggalkanku.”
“Bunda
memang Ibu yang bijaksana. Dia selalu mengajarkan kita banyak hal yang harus
kita ketahui untuk menjadi lebih baik.” kata Elang lagi. “Kamu sudah mengatakan
hal ini kepada Bunda, kan?”
Cakka
mengangguk. “Tentu saja, Mas. Tapi, sebelum aku benar-benar merelakanmu pergi,
kabulkan permintaan terakhirku ya? Kamu tahu selama empat tahun ke depan, aku
tidak akan bertemu denganmu. Kita bersenang-senang di studio.”
Elang
tertawa. “Aku akan pulang jika aku mempunyai waktu, adikku sayang. Kamu itu
memang selalu menjadi Chase Karayne yang manja. Selalu tidak ingin
ditinggalkan! Kalau begitu, ayo!”
Mereka
berdua segera ke studio kecil yang mereka punya di rumah. Dengan sedikit waktu
yang tersisa, mereka menghabiskan waktu menyanyikan lagu-lagu yang mereka sukai
dari kecil. Sore itu benar-benar menyenangkan. Cakka benar-benar lega Bunda
bisa membangkitkan semangatnya kembali sebelum hari keberangkatan kakaknya
besok. Ayah dan Bunda yang mengintip dari luar studio juga tersenyum melihat
mereka berdua.
Hari
keberangkatan Elang pagi itu berlangsung dengan penuh keikhlasan. Ayah, Bunda
dan Cakka memberikan pesannya masing-masing kepada Elang. Dan sebagai anak yang
baik, Elang tentu saja menuruti keinginan mereka semua. Ia memeluk Ayah dan
Bunda dengan erat, kemudian memberikan senyuman manis kepada Cakka. Detik-detik
sebelum berangkat, ia mengulurkan tangannya kepada adiknya. “Sampai jumpa dua
tahun lagi, Kka. Aku akan menunggumu di sana. Sampai kapanpun.”
Cakka
tersenyum mendengarnya, ia membalas uluran tangan Elang. “Kamu tenang saja, aku
akan cepat sampai di sana untuk menemuimu. Berjuang untuk menjadi yang terbaik,
Mas.”
“Saat kita
bertemu nanti, aku ingin lagu itu sudah bisa kamu nyanyikan.” kata Elang lagi.
“Aku sudah bekerja keras untuk membuatkan lagu itu untukmu, sebagai tanda
perpisahan sementara kita.”
Cakka
mengangguk. “Tenang saja.”
Dua detik
sebelum seseorang mengumumkan bahwa pesawat ke Australia akan berangkat, Elang
menyempatkan untuk memeluk adiknya. “Jaga Bunda dan Ayah untukku, Kka.”
Cakka
mengangguk. Ia tersenyum kecil dalam pelukan kakaknya. Dengan segala keikhlasan
dan penantian yang ia rasakan, ia melepaskan pelukan itu dan menyempatkan diri
untuk menepuk pelan pundak Elang. Setelah itu, Cakka tersenyum menatap
kepergian kakaknya menuju tempat dimana terparkirnya pesawat yang akan
membawanya pergi. Selamat jalan, Mas
Elang. Tunggu aku!
nantikan Serial Chase & Ellose selanjutnya ya!
ceritanya menarik sist :D
BalasHapusupdate cerita lainnya juga ya
Pastinya, tunggu aja :)
Hapusbenar tuh yang di atas ane
BalasHapusWih Ceritanya Keren Gan :D
BalasHapuswah ceritanya, keren gan gak sabar nunggu cerita selanjutnya :v
BalasHapusceritanya keren :) Di tunggu Cerita Selanjutnya ya
BalasHapus