Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #9 [TAK ADA YANG ABADI]


—Takkan selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu

“Eh, Deva, masuk, Va.” kata Rio begitu ia melihat sahabatnya di balik pintu rumah. Ia membiarkan Deva masuk dan langsung mengajaknya ke ruang keluarga, dimana Gabriel sedang menonton televisi.

Gabriel hanya tersenyum tipis melihat kedatangan Deva. Kemudian, dia langsung mematikan televisi agar Rio dan Deva bisa berbicara dengan leluasa. Ia langsung beranjak dari sofa, berniat untuk masuk ke kamar. Namun, Rio langsung menahannya.
“Eh, Yel, lo di sini aja. Ikut ngobrol sama kita,” kata Rio sambil tersenyum. “Kebetulan kita mau sekalian diskusi sama lo juga.”
Gabriel diam sejenak. “Oh.”
Rio tersenyum, kemudian menoleh ke arah Deva kembali. “Eh, Va, lo mau minum apa? Biar gue siapin dulu baru kita ngomong.”
Deva menggeleng, kemudian langsung duduk di sofa. “Nggak usah repot-repot deh. Mendingan kita langsung ngomong aja. Terlepas dari masalah Cakka tadi, kita harus bicara soal persahabatan kita. Lo sama Cakka belum baikan, kan? Belum lagi masalah Gabriel.”
Rio nyengir sejenak mendengar ucapan Deva, kemudian ia ikut duduk bersama Deva, diikuti oleh Gabriel. “Ya udah, kebetulan gue juga pengen ngomong sesuatu sama lo. Ada yang ganjal.”
“Ganjal?” tanya Deva.
Rio mengeluarkan kartu yang diberikan Ray saat di sekolah tadi dan memberikannya kepada Deva. “Tadi pas pulang sekolah Ray nyamperin gue buat nanyain Gabriel dan ngasih gue ini. Mungkin lo tahu maksudnya?”
“Hah?” kata Deva saat membaca tulisan yang ada di kartu itu. “Raynald Putra?”
Rio mengangguk. “Lo tahu kan Ray yang dulu pernah sekelas sama kita. Kayaknya dia nyembunyiin sesuatu deh. Kalau nggak, bagaimana caranya dia bisa tahu Gabriel dan tiba-tiba ngasih gue kartu itu.”
Deva berpikir sejenak. “Mungkin juga. Tapi, mungkin Gabriel pernah nggak sengaja ketemu Ray?”
Gabriel menggelengkan kepalanya cepat.
“Tapi, gue lebih penasaran sama kata-kata yang ada di kartu itu,” kata Rio. “Bentuknya seperti kartu nama, tapi isinya seperti teka-teki.”
“Ketika kamu membutuhkan ketenangan, kamu akan datang padaku,” Deva kembali membaca kalimat yang ada di kartu Ray. Jari telunjuknya menepuk lututnya berkali-kali hingga akhirnya ia menemukan sebuah pemikiran. “Yo, mungkin nggak, Ray mau lo dateng ke dia?”
Rio mengernyitkan dahinya. “Buat apa?”
Deva mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. “Gue nggak tahu pasti sih. Tapi kalau dilihat dari kalimat ini, kayaknya dia tahu lo lagi ada masalah. Dan secara nggak langsung, dia mau lo dateng ke dia. Iya nggak sih?”
“Bagaimana caranya dia tahu kalau gue punya masalah? Ketemu dia aja terakhir pas masih SMP,” kata Rio heran. Lama-lama masalah ini menjadi tambah aneh. “Kalaupun hipotesismu benar, Va, masa setiap orang dikasih kartu nama beginian sih?”
“Bener juga sih,” kata Deva. Ia menghela nafasnya, kemudian menoleh ke arah Gabriel. “Menurut lo bagaimana Yel?”
Gabriel menggelengkan kepalanya, tanda tidak tahu.
“Apa perlu kita panggil Cakka? Siapa tahu dia bisa membantu kita.” kata Rio.
Belum sempat Deva menjawab, Gabriel sudah menggelengkan kepalanya duluan. Dia menepuk pundak Rio, kemudian menatap adiknya tersebut dengan wajah ketakutan. Sepertinya dia sungguh tak ingin Cakka datang.
Deva tersenyum. “Ya udah, nggak usah deh. Kasihan Gabriel masih trauma gara-gara tingkah Cakka waktu itu. Mendingan sekarang kita main dulu. Besok kita coba dateng ke rumah Ray, bagaimana?”
“Gue sih terserah Gabriel aja,” kata Rio. “Tapi, lo tau nggak rumah Ray di mana?”
Deva mengangguk. “Waktu itu gue sempet kerja kelompok sama dia. Deket kok dari rumah gue. Tapi, gue nggak tahu besok itu dia ada di rumah atau nggak.”
“Ya udahlah, untung-untungan aja,” kata Rio nyengir. Ia menoleh ke arah kakaknya. “Yel, lo nggak keberatan kan?”
Gabriel menggeleng. Lagi-lagi ia tersenyum tipis.
“Eh, Gab, katanya Rio, lo jago basket. Mau tanding satu lawan satu?” tanya Deva. “Lumayan juga buat olahraga sore. Kalau lo menang, gue bakalan traktir lo makan malam. Bagaimana?”
Gabriel tertawa kecil. “Siapa takut?”
“Oke! Ayo ke lapangan belakang!” kata Deva langsung berdiri dan menarik Gabriel meninggalkan ruang keluarga. Rio yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa tersenyum.
Rio bersyukur dalam hati karena ternyata Gabriel sudah mulai bisa menerima Deva. Mungkin kebaikan dan kesetiaan Deva di samping kakaknya itu yang membuat Gabriel merasakan kenyamanan jika Deva ada di dekatnya.
Sebenarnya Rio sudah tak heran lagi. Walaupun Deva terkesan suka galak jika ada masalah, tapi Deva mempunyai solidaritas yang tinggi. Dia selalu siap berada di samping teman-temannya jika mereka membutuhkan bantuan. Bukan hanya Gabriel yang ia rangkul, anak-anak bandel lainnya juga ia beri kasih sayang. Kadang-kadang Rio berpikir, mungkin Deva sudah siap menjadi Ayah bagi anak-anaknya nanti. Kan dia kebapakan banget. Hihi.

J L J

“Eh, Cakka udah pulang, bantuin Bunda sebentar dong, Nak,” kata Bunda Dira, Bundanya Cakka, saat melihat anaknya sampai di rumah. Rumah sedang ramai dengan pengunjung yang lapar dan ia kewalahan melayani mereka semua. Tapi, Cakka tampaknya sama sekali tidak peduli. “Cakka! Kamu kok cuekin Bunda sih?”
Cakka menghentikan langkahnya sejenak di salah satu anak tangga. Ia menatap Bundanya sinis. “Bun, Cakka capek, oke? Jadi, jangan paksa Cakka kerja lagi.”
Setelah berkata begitu, Cakka langsung melenggang pergi ke atas tanpa peduli tatapan-tatapan para pengunjung yang melihatnya aneh. Mereka bukannya tidak tahu kalau Cakka sangat cuek terhadap keluarganya. Untungnya, saat Cakka pergi, Elang kebetulan datang ke bawah dan melihat kejadian tersebut. Dia langsung menghampiri Bundanya.
“Bun, biar Elang aja yang bantuin.” kata Elang sambil tersenyum.
“Oh iya, makasih ya, Lang, Bunda nggak bisa menangani sendirian nih. Ayah kan yang menerima pesanan.” kata Bunda lega. Ia langsung memberikan sebuah nampan penuh dengan nasi uduk. “Nih, kamu anterin ke meja yang di ujung sana ya. Nanti kalau udah agak renggang, kamu boleh naik, kok.”
“Oke, Bun.” kata Elang dengan senang hati. Ia langsung melaksanakan amanah Bundanya. Berbeda dengan Cakka, Elang justru langsung sekalian membantu orang tuanya berjualan sampai restoran tutup. Ia tak mau tanggung-tanggung saat membantu orang tua, karena saat sudah dewasa nanti, pasti ia, Cakka atau Chiara yang akan mengambil alih restoran ini. Ada baiknya juga mempersiapkan diri dengan membantu mereka sedikit demi sedikit.
Setelah selesai beres-beres malamnya, Elang langsung pamit kepada Bunda dan Ayahnya yang masih mau di bawah. Ia langsung mandi dan segera mencari adiknya di kamar Chiara. Anak itu kalau tidak membantu orang tua pasti kerjaannya cuma main sama Chiara. Bilangnya capek, padahal di atas dia juga tidak mengerjakan apa-apa.
KREK...
“Kka?” kata Elang dari sela pintu kamar Chiara.
“Eh, Mas Elang! Masuk, Mas! Chiara lagi main sama Kak Cakka, nih!” seru Chiara dengan riang melihat kakak sulungnya ada di depan.
Elang hanya tersenyum melihat Chiara, kemudian kembali serius menatap Cakka. “Bisa lo keluar sebentar?”
Cakka tersenyum miring. “Kenapa harus di luar? Takut?”
Elang melotot. “Gue nggak mau cari ribut ya. Cepet keluar.”
Cakka memutar bola matanya malas. Ia menoleh ke arah Chiara. “Ra, kamu main sendiri dulu ya, Kak Cakka ngomong sama Mas Elang dulu di depan. Nanti kalau udah selesai, Kak Cakka masuk lagi, oke sayang?”
“Oke, Kak!” kata Chiara tersenyum lucu.
Cakka mengelus puncak kepala Chiara sejenak, kemudian langsung keluar dari kamar. Ia mengikuti langkah Elang yang membawanya ke ruang keluarga. Agak jauh dari kamar Chiara, agar adik mereka itu tidak kaget kalau mendengar mereka ribut lagi.
“Apa lagi sih, Mas? Kayaknya lo seneng banget ganggu gue belakangan ini, hah? Kenapa? Nggak ada kerjaan lo?” tanya Cakka sebal sebelum Elang sempat berbicara.
“Ganggu? Justru lo yang udah ganggu ketenangan gue. Lo apa-apaan sih kayak begitu sama Bunda tadi siang? Apa salahnya lo bantuin beliau sebentar? Di sini juga lo nggak ngapa-ngapain!” balas Elang.
“Jadi lo narik gue keluar cuma buat ngebicarain hal ini? Nggak penting banget!” kata Cakka. Kedua tangannya ia taruh di pinggangnya. “Heh, denger ya, Mas, apapun yang gue lakukan itu sama sekali bukan urusan lo. Jadi, jangan ganggu gue terus! Gue udah cukup pusing sama hidup gue, oke?!”
“Pusing? Memangnya lo bisa mikir tentang kehidupan lo?” tanya Elang. “Yang ada di otak lo kan cuma pembalasan, pelampiasan dan melakukan semuanya semau lo.”
“Gue nggak sebejat itu!” bantah Cakka kesal.
“Oh ya? Kalau begitu, lo bisa dong, mikir buat orang tua lo sendiri? Kita udah semakin dewasa dan mereka sudah semakin berumur, Kka. Harusnya lo peka dong, bantu mereka seperti mereka membantu lo saat lo kecil!” kata Elang.
“Kalau gue nggak mau?”
“Lo mau jadi anak berbakti atau jadi anak durhaka, tinggal pilih aja,” kata Elang sambil menghela nafas. “Dulu saat lo masih kecil, mereka selalu ada jika lo butuh bantuan. Apa salahnya sih lo melakukan yang sama buat orang tua lo? Nggak sulit, kan?”
“Dan lo pikir beban gue itu cuma balas budi orang tua?” tanya Cakka. “Gue juga punya masalah sendiri. Kalau lo nggak tau apa-apa soal gue, nggak usah sok nasehatin gue!”
“Masalah apa lagi? Masih masalah yang kemarin? Salah lo sendiri, kenapa lo gengsi buat minta maaf?” tanya Elang. “Kembali ke omongan gue yang dulu ya, Kka, apa lo mau kehilangan sahabat seperti mereka hanya demi uang haram itu?”
Cakka bungkam.
Elang menepuk sebelah pundak Cakka. “Kka, lo harus belajar buat menerima orang lain. Buang gengsi lo. Nggak mungkin Tuhan menciptakan berjuta-juta manusia dengan sifat yang sama. Dari perbedaan itu lo bisa ngedapetin sahabat baik kayak Rio, Deva dan Gabriel. Iya kan?”
“Kalau Gabriel itu sahabat yang baik, dia nggak bakal diem aja pas kita ajak temenan. Dia nggak bakalan kayak anak kecil yang ketakutan lihat hantu.” kata Cakka masih saja egois. Namun, suaranya mulai melemah.
“Pasti ada alesannya, Kka, kenapa dia kayak begitu,” kata Elang sambil tersenyum. “Mungkin juga, dia takut karena sikap lo yang kurang ramah sama dia. Bisa aja dia merasa nggak nyaman karena lo ninggalin dia hanya karena dia diemin lo. Coba lo pikir dari sisi Gabriel. Apa selama ini tindakan lo udah bener?”
“Tapi—“
“Sekarang gue tanya, apa Gabriel juga bersikap kayak begitu juga sama Deva?” tanya Elang.
“Awalnya iya, tapi lama-lama dia bisa senyum walaupun masih enggan ngomong.” kata Cakka.
“Nah! Kalau begitu, dia cuma butuh kenyamanan, kan?” kata Elang. “Mungkin dia susah beradaptasi dengan lingkungan sekolah barunya karena anak-anak, termasuk lo, keburu mengecap dia memiliki sifat yang buruk.”
Lagi-lagi Cakka diam.
“Udah, mendingan besok lo temuin mereka deh. Minta maaf sama mereka. Memangnya lo betah apa musuhan sama mereka terus? Biasanya juga lo, Rio dan Deva lengket banget kayak prangko.” kata Elang sambil tertawa.
Cakka diam sejenak, kemudian langsung memeluk kakaknya erat.
Elang membalas pelukan tersebut, kemudian menepuk-nepuk punggung Cakka. Entah sudah berapa lama Cakka tidak memeluknya seperti ini. Semenjak mereka dewasa, mereka lebih sering bertengkar daripada bicara baik-baik.
Cakka melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum tipis.
Elang menepuk pundak Cakka pelan. “Begitu dong, senyum. Daripada sehari-hari mukanya ditekuk. Asem banget muka lo tau nggak?”
“Sialan lo. Lo pikir muka lo nggak asem?” ejek Cakka balik.
“Ganteng begini kok!” kata Elang sambil tertawa. “Ya udah, gue mau ke kamar dulu ngerjain tugas. Lo pikirin baik-baik deh omongan gue tadi.”
Cakka mengangguk.
Elang segera berjalan menuju kamarnya, namun sebelum ia benar-benar hilang dari pandangan Cakka, ia kembali berbalik menatap adiknya karena teringat dengan sesuatu. “Hampir lupa. Kalau lo mau baikan sama temen-temen lo, sebaiknya lo balikin dulu uang haram itu. Uang yang nggak halal itu nggak akan selamanya nyelametin lo dari omelan gue.”
Cakka nyengir mendengar ucapan kakaknya. Amplop yang diberikan Anka waktu itu memang masih ada di kamarnya. Ia menganggukkan kepalanya cepat, sebelum akhirnya Elang menghilang di balik pintu kamarnya.
“Kak Cakka...” tiba-tiba Chiara memegang ujung baju Cakka.
Cakka menoleh ke arah Chiara, kemudian langsung menggendong adik bungsunya tersebut. “Yuk, kita main lagi, Ra.”

J L J

Sesuai dengan kesepakatan Rio, Deva dan Gabriel kemarin, mereka langsung pergi ke rumah Ray. Mereka bertiga berkumpul terlebih dahulu di rumah Deva sekitar jam sepuluh pagi, baru berjalan bersama ke sana agar dapat menghemat waktu.
Sudah lama mereka bertiga tidak bertemu dengan Cakka, rasanya persahabatan mereka yang renggang pelan-pelan bisa membaik. Walaupun Gabriel tetap waspada, ia sudah bisa merespon Deva jika diajak bicara. Rasanya bahagia jika melihat kakak kembarnya itu bisa tersenyum kepada orang lain selain keluarganya. Ia sangat bersyukur melihat hal itu.
Rio juga lega bisa mengenal dan bersahabat dengan Deva yang begitu pengertian. Dia sudah banyak membantunya dalam masalah Gabriel. Kalau tidak ada dia, mungkin Rio akan pusing sendiri bagaimana caranya agar Gabriel dapat membuka sedikit pintu hatinya untuk orang lain. Bagaimanpun juga, Rio tidak mungkin selamanya menjadi sandaran Gabriel. Pada saatnya nanti, ketika ia harus kembali ke sisi Tuhan, bagaimana dia bisa tenang jika dia tahu Gabriel hanya sendirian? Semoga saja Cakka juga sudah melunak di luar sana.
Pikiran Rio memang selalu berpikir jauh ke depan. Terdengar berlebihan, tapi bagi Rio hal ini perlu dipertimbangkan sejak dini. Masa depan itu memang harus direncanakan dari awal, kan? Dan inilah salah satu caranya.
Begitu sampai di rumah Ray, mereka bertiga disambut oleh teman mereka itu dengan gembira. Untung mereka memiliki waktu yang tepat. Ternyata, Ray ada di rumah dan sedang tidak sibuk.
“Ayo ke ruang kerja gue.” kata Ray ramah mengajak ketiga temannya ke ruang yang ada di lantai atas. Tepatnya pintu yang terdapat di ujung lorong lantai dua. Rumahnya memang tidak terlalu besar. Dindingnya bernuansa kayu dengan desain lorong sempit dengan beberapa ruangan. Tapi, tetap nyaman untuk ditinggali.
“Silahkan duduk!” kata Ray mempersilahkan ketika mereka sampai di ruang kerja. Ia segera mengambil satu kursi tambahan karena ia hanya memiliki dua kursi di hadapan meja kerjanya.
Ternyata lantai dua rumahnya dibuat khusus untuk ruang kerjanya, sehingga ruangannya bisa luas. Lantainya terlapisi dengan karpet merah marun dengan meja kerja yang cukup besar di sudut ruangan. Selain itu juga, terdapat rak-rak buku yang membuatnya seperti perpustakaan kecil. Cukup mengagumkan bagi Rio. Ia tak pernah tahu Ray memiliki ini semua.
“Ray, lo nggak pernah cerita lo punya ruangan kayak begini,” kata Rio sambil tersenyum ketika Ray sudah duduk di hadapan mereka bertiga. “Bagus banget desainnya.”
Ray tersenyum sambil membetulkan kacamata minusnya. “Terima kasih, Yo. Tapi, sepertinya lo lebih hebat karena bisa tahu apa maksud kartu nama gue.”
Rio tertawa. “Deva kok yang berhasil nebak, bukan gue.”
“Ya sama saja. Kalian pasti bekerja sama untuk menebaknya,” kata Ray. “Jadi, bagaimana kabar kalian? Sudah lebih baik?”
Seketika senyum Rio memudar, berganti dengan raut wajah heran. Ia langsung mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Ray. “Maksud lo?”
“Ini sudah liburan sekolah, paling tidak masalah ini sudah berjalan sekitar tiga bulan. Apa ada perubahan?” tanya Ray tenang. “Atau justru semakin parah?”
"Jadi begini, Ray, gue..." kata Rio langsung ingin menceritakan semua yang terjadi pada Gabriel dengan detail agar Ray cepat mengerti dengan maksud kedatangannya, namun Ray keburu memotong pembicaraannya.
"Gue udah tahu."
"Hah?"
Ray hanya tersenyum, kemudian mengambil salah satu buku yang sudah ada di mejanya. Ia meletakkan buku tersebut di hadapan Gabriel. "Ini buat lo."
Gabriel diam saja. Justru Rio yang bereaksi. Dahinya berkerut melihat buku itu. "Buat apa?"
"Banyak cerita-cerita menyenangkan di sana," kata Ray sambil tersenyum. "Gabriel pasti senang membacanya."
"Apa? Ini solusi lo?" tanya Rio tak percaya.
"Yo, dengerin dulu." kata Deva yang berdiri di belakang Rio langsung menepuk pundak sahabatnya pelan.
Ray membetulkan kacamatanya sejenak, kemudian kembali tersenyum. "Percayalah, gue sudah lama tau dan mempelajari masalah Gabriel. Jadi gue yakin, ini solusi terbaik yang bisa gue kasih."
Rio lagi-lagi mengernyitkan dahi. "Lo udah tau? Dari mana?"
Bukannya menjawab, Ray hanya tersenyum sampai Acha masuk ke dalam ruang kerjanya sambil membawa nampan berisi teh manis.
"Ada yang haus?" tanyanya sopan sambil tersenyum.
“Oh, terima kasih, Cha. Taruh aja di meja. Nanti kita pasti minum kok sambil ngobrol sama kakak lo.” kata Deva tersenyum kepada gadis itu.
“Sudah lama nggak ketemu, Dev.” balas gadis itu yang tak lain adalah Acha. Ia segera menaruh nampan yang dibawanya di atas meja, kemudian langsung berdiri di samping kakaknya. “Akhirnya, kita bisa bertemu dengan mereka bertiga ya, Kak?”
Ray tersenyum. “Iya, Cha.”
“Akhirnya?” kata Rio heran. “Ini maksudnya apa sih?”
“Kakak gue ini sudah lama bekerja sebagai problem solver, kami berdua selalu mencari-cari masalah apa yang sedang terjadi dengan teman-teman kita agar kami dapat mencari solusinya,” kata Acha menjelaskan. “Mungkin kalian tak sadar kalau kami selalu melihat pertengkaran kalian dengan Cakka dan Anka.”
“Apa? Jadi kalian memata-matai kami?” kata Rio kaget.
“Tepatnya mengumpulkan data untuk membantu kalian.” kata Acha tertawa.
“Kenapa nggak terang-terangan aja sih? Nyusahin aja deh kalian berdua.”
“Kami bukan siapa-siapa kalian, kami tidak mungkin tiba-tiba muncul menjadi pahlawan kesiangan. Lagipula, kakak gue ini tak ingin pekerjaannya diketahui banyak orang. Hanya orang tertentu saja yang boleh tahu.”  kata Acha. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya. “Oh iya, mungkin lo bertiga perlu dengerin ini.”
Acha membuka sebuah rekaman yang ia rekam sendiri di tempat kejadian dulu.
“Harus gitu gue terima tawaran lo?”
“Ini suara Kak Cakka, kan?” kata Acha.
“Gue nggak akan pergi sebelum lo terima tawaran gue! Jadi, kalau lo mau pulang dengan selamat, mendingan nurut sama gue sekarang. Atau lo mau sahabat-sahabat lo gue celakain? Atau keluarga lo yang jatuh miskin?”
“Ini suara Kak Anka.” kata Acha lagi.
Terdapat jeda sejenak.
“Heh! Malah diem aja! Mau diajak kerja sama aja susah banget sih?!”
“Oke, oke! Gue terima tawaran lo! Puas?! Sekarang, bisa lo minggir dan biarin gue pulang?”
“Oke, bagus! Pulang sana! Dan jangan berhenti bersandiwara, buat anak baru itu yakin kalau lo itu bener-bener udah menerima lo apa adanya! Oke!”
“Terserah lo! Minggir!”
TIK!
Rio langsung terdiam setelah mendengar rekaman tersebut. Ia benar-benar kaget dengan apa yang dibicarakan Cakka dan Anka. Jadi begitu kronologi bagiamana Cakka menerima tawaran Anka. Sepertinya dia sudah salah paham. Cakka menerima tawaran itu karena terpaksa. Ya, terlepas dari Anka tidak membiarkannya pulang, dia juga tak ingin sahabat-sahabatnya maupun keluarganya celaka karena dirinya.
“Kejadian itu terjadi di dekat rumah lo, Dev. Gue pikir lo justru udah tahu.” kata Acha sambil mengutak-atik ponselnya, mencari bukti lain yang bisa ia tunjukkan.
Deva menggelengkan kepalanya. “Gue sama sekali nggak tahu. Kapan itu terjadi, Cha?”
“Nggak lama setelah Gabriel masuk ke kelas kalian. Mungkin kalian habis belajar bareng atau bagaimana? Makanya, Cakka bisa di sana. Terus tiba-tiba disamperin sama Kak Anka.” kata Acha. Ia kembali menunjukkan layar ponselnya. “Ini fotonya.”
Mereka bertiga langsung mendekat untuk melihat foto itu bersama-sama.
“Hei, baju Cakka... Itu kayaknya habis kita belajar bareng deh, menjelas UAS, kan?” kata Deva sambil menoleh ke arah Rio. “Makanya, waktu itu Cakka mulai nerima uang dari Anka.”
“Bener juga, Va!” kata Rio. Sekarang semuanya sudah jelas. Ternyata, masalah ini tak sepenuhnya salah Cakka. Anka yang memaksanya untuk menerima tawaran itu. Walaupun tadinya Cakka memang berpura-pura baik, tapi semuanya tidak akan menjadi seperti ini kalau Anka tidak memanas-manasinya.
Keadaan hening sejenak karena Rio, Deva dan Gabriel kaget dengan kenyataannya. Hingga pada akhirnya, Ray sendiri yang memecahkan keheningan tersebut.
“Sudah, kalian tak perlu kaget, masalah ini biasa terjadi dan gue hanya seorang psikolog yang berusaha menolong semua orang,” kata Ray. Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya. “Soal Gabriel, buku yang gue kasih ini pasti bisa membantu. Gue sudah mencobanya dulu.”
“Lo juga pernah mengalami hal yang sama?” tanya Deva.
Ray tersenyum. “Semua orang pasti pernah merasa takut, Va. Lo pasti juga pernah. Dan buku itu berhasil membuat gue tenang kembali dan menjadi seperti sekarang.”
“Tapi ini bukan hanya rasa takut, Ray, trauma.” kata Rio.
“Trauma dan takut itu sama. Solusinya hanya keberanian. Jika Gabriel berani untuk menghadapi masa lalunya dengan baik, dia pasti bisa kembali seperti dulu. Dan tugas lo dan Deva untuk memunculkan keberanian itu dari dalam diri Gabriel.” kata Ray. Senyumannya sama sekali tidak memudar. Sepertinya dia yakin dengan ucapannya.
“Bener nih?”
“Lo bisa datang pada gue kapanpun jika cara itu tidak berhasil, Yo. Gue selalu siap ngebantuin lo. Itu udah jadi tugas gue.” kata Ray lagi menyakinkan.

 TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p