—Takkan
selamanya tanganku mendekapmu,
Takkan selamanya raga ini menjagamu—
“Eh, Deva, masuk,
Va.” kata Rio begitu ia melihat sahabatnya di balik pintu rumah. Ia membiarkan
Deva masuk dan langsung mengajaknya ke ruang keluarga, dimana Gabriel sedang
menonton televisi.
Gabriel hanya
tersenyum tipis melihat kedatangan Deva. Kemudian, dia langsung mematikan
televisi agar Rio dan Deva bisa berbicara dengan leluasa. Ia langsung beranjak
dari sofa, berniat untuk masuk ke kamar. Namun, Rio langsung menahannya.
“Eh, Yel, lo di
sini aja. Ikut ngobrol sama kita,” kata Rio sambil tersenyum. “Kebetulan kita
mau sekalian diskusi sama lo juga.”
Gabriel diam
sejenak. “Oh.”
Rio tersenyum,
kemudian menoleh ke arah Deva kembali. “Eh, Va, lo mau minum apa? Biar gue
siapin dulu baru kita ngomong.”
Deva menggeleng,
kemudian langsung duduk di sofa. “Nggak usah repot-repot deh. Mendingan kita
langsung ngomong aja. Terlepas dari masalah Cakka tadi, kita harus bicara soal
persahabatan kita. Lo sama Cakka belum baikan, kan? Belum lagi masalah Gabriel.”
Rio nyengir
sejenak mendengar ucapan Deva, kemudian ia ikut duduk bersama Deva, diikuti
oleh Gabriel. “Ya udah, kebetulan gue juga pengen ngomong sesuatu sama lo. Ada
yang ganjal.”
“Ganjal?” tanya
Deva.
Rio mengeluarkan
kartu yang diberikan Ray saat di sekolah tadi dan memberikannya kepada Deva.
“Tadi pas pulang sekolah Ray nyamperin gue buat nanyain Gabriel dan ngasih gue
ini. Mungkin lo tahu maksudnya?”
“Hah?” kata Deva
saat membaca tulisan yang ada di kartu itu. “Raynald Putra?”
Rio mengangguk.
“Lo tahu kan Ray yang dulu pernah sekelas sama kita. Kayaknya dia nyembunyiin
sesuatu deh. Kalau nggak, bagaimana caranya dia bisa tahu Gabriel dan tiba-tiba
ngasih gue kartu itu.”
Deva berpikir
sejenak. “Mungkin juga. Tapi, mungkin Gabriel pernah nggak sengaja ketemu Ray?”
Gabriel
menggelengkan kepalanya cepat.
“Tapi, gue lebih
penasaran sama kata-kata yang ada di kartu itu,” kata Rio. “Bentuknya seperti
kartu nama, tapi isinya seperti teka-teki.”
“Ketika kamu
membutuhkan ketenangan, kamu akan datang padaku,” Deva kembali membaca kalimat
yang ada di kartu Ray. Jari telunjuknya menepuk lututnya berkali-kali hingga
akhirnya ia menemukan sebuah pemikiran. “Yo, mungkin nggak, Ray mau lo dateng
ke dia?”
Rio mengernyitkan
dahinya. “Buat apa?”
Deva mengangkat
bahunya, tanda tidak tahu. “Gue nggak tahu pasti sih. Tapi kalau dilihat dari
kalimat ini, kayaknya dia tahu lo lagi ada masalah. Dan secara nggak langsung,
dia mau lo dateng ke dia. Iya nggak sih?”
“Bagaimana caranya
dia tahu kalau gue punya masalah? Ketemu dia aja terakhir pas masih SMP,” kata
Rio heran. Lama-lama masalah ini menjadi tambah aneh. “Kalaupun hipotesismu
benar, Va, masa setiap orang dikasih kartu nama beginian sih?”
“Bener juga sih,”
kata Deva. Ia menghela nafasnya, kemudian menoleh ke arah Gabriel. “Menurut lo
bagaimana Yel?”
Gabriel
menggelengkan kepalanya, tanda tidak tahu.
“Apa perlu kita
panggil Cakka? Siapa tahu dia bisa membantu kita.” kata Rio.
Belum sempat Deva
menjawab, Gabriel sudah menggelengkan kepalanya duluan. Dia menepuk pundak Rio,
kemudian menatap adiknya tersebut dengan wajah ketakutan. Sepertinya dia
sungguh tak ingin Cakka datang.
Deva tersenyum.
“Ya udah, nggak usah deh. Kasihan Gabriel masih trauma gara-gara tingkah Cakka
waktu itu. Mendingan sekarang kita main dulu. Besok kita coba dateng ke rumah
Ray, bagaimana?”
“Gue sih terserah
Gabriel aja,” kata Rio. “Tapi, lo tau nggak rumah Ray di mana?”
Deva mengangguk.
“Waktu itu gue sempet kerja kelompok sama dia. Deket kok dari rumah gue. Tapi,
gue nggak tahu besok itu dia ada di rumah atau nggak.”
“Ya udahlah,
untung-untungan aja,” kata Rio nyengir. Ia menoleh ke arah kakaknya. “Yel, lo
nggak keberatan kan?”
Gabriel
menggeleng. Lagi-lagi ia tersenyum tipis.
“Eh, Gab, katanya
Rio, lo jago basket. Mau tanding satu lawan satu?” tanya Deva. “Lumayan juga
buat olahraga sore. Kalau lo menang, gue bakalan traktir lo makan malam.
Bagaimana?”
Gabriel tertawa
kecil. “Siapa takut?”
“Oke! Ayo ke
lapangan belakang!” kata Deva langsung berdiri dan menarik Gabriel meninggalkan
ruang keluarga. Rio yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa tersenyum.
Rio bersyukur
dalam hati karena ternyata Gabriel sudah mulai bisa menerima Deva. Mungkin
kebaikan dan kesetiaan Deva di samping kakaknya itu yang membuat Gabriel
merasakan kenyamanan jika Deva ada di dekatnya.
Sebenarnya Rio
sudah tak heran lagi. Walaupun Deva terkesan suka galak jika ada masalah, tapi
Deva mempunyai solidaritas yang tinggi. Dia selalu siap berada di samping
teman-temannya jika mereka membutuhkan bantuan. Bukan hanya Gabriel yang ia
rangkul, anak-anak bandel lainnya juga ia beri kasih sayang. Kadang-kadang Rio
berpikir, mungkin Deva sudah siap menjadi Ayah bagi anak-anaknya nanti. Kan dia
kebapakan banget. Hihi.
J L J
“Eh, Cakka udah
pulang, bantuin Bunda sebentar dong, Nak,” kata Bunda Dira, Bundanya Cakka,
saat melihat anaknya sampai di rumah. Rumah sedang ramai dengan pengunjung yang
lapar dan ia kewalahan melayani mereka semua. Tapi, Cakka tampaknya sama sekali
tidak peduli. “Cakka! Kamu kok cuekin Bunda sih?”
Cakka menghentikan
langkahnya sejenak di salah satu anak tangga. Ia menatap Bundanya sinis. “Bun,
Cakka capek, oke? Jadi, jangan paksa Cakka kerja lagi.”
Setelah berkata
begitu, Cakka langsung melenggang pergi ke atas tanpa peduli tatapan-tatapan
para pengunjung yang melihatnya aneh. Mereka bukannya tidak tahu kalau Cakka
sangat cuek terhadap keluarganya. Untungnya, saat Cakka pergi, Elang kebetulan
datang ke bawah dan melihat kejadian tersebut. Dia langsung menghampiri
Bundanya.
“Bun, biar Elang
aja yang bantuin.” kata Elang sambil tersenyum.
“Oh iya, makasih
ya, Lang, Bunda nggak bisa menangani sendirian nih. Ayah kan yang menerima
pesanan.” kata Bunda lega. Ia langsung memberikan sebuah nampan penuh dengan
nasi uduk. “Nih, kamu anterin ke meja yang di ujung sana ya. Nanti kalau udah
agak renggang, kamu boleh naik, kok.”
“Oke, Bun.” kata
Elang dengan senang hati. Ia langsung melaksanakan amanah Bundanya. Berbeda
dengan Cakka, Elang justru langsung sekalian membantu orang tuanya berjualan
sampai restoran tutup. Ia tak mau tanggung-tanggung saat membantu orang tua,
karena saat sudah dewasa nanti, pasti ia, Cakka atau Chiara yang akan mengambil
alih restoran ini. Ada baiknya juga mempersiapkan diri dengan membantu mereka
sedikit demi sedikit.
Setelah selesai
beres-beres malamnya, Elang langsung pamit kepada Bunda dan Ayahnya yang masih
mau di bawah. Ia langsung mandi dan segera mencari adiknya di kamar Chiara.
Anak itu kalau tidak membantu orang tua pasti kerjaannya cuma main sama Chiara.
Bilangnya capek, padahal di atas dia juga tidak mengerjakan apa-apa.
KREK...
“Kka?” kata Elang
dari sela pintu kamar Chiara.
“Eh, Mas Elang!
Masuk, Mas! Chiara lagi main sama Kak Cakka, nih!” seru Chiara dengan riang
melihat kakak sulungnya ada di depan.
Elang hanya
tersenyum melihat Chiara, kemudian kembali serius menatap Cakka. “Bisa lo
keluar sebentar?”
Cakka tersenyum
miring. “Kenapa harus di luar? Takut?”
Elang melotot.
“Gue nggak mau cari ribut ya. Cepet keluar.”
Cakka memutar bola
matanya malas. Ia menoleh ke arah Chiara. “Ra, kamu main sendiri dulu ya, Kak
Cakka ngomong sama Mas Elang dulu di depan. Nanti kalau udah selesai, Kak Cakka
masuk lagi, oke sayang?”
“Oke, Kak!” kata
Chiara tersenyum lucu.
Cakka mengelus
puncak kepala Chiara sejenak, kemudian langsung keluar dari kamar. Ia mengikuti
langkah Elang yang membawanya ke ruang keluarga. Agak jauh dari kamar Chiara,
agar adik mereka itu tidak kaget kalau mendengar mereka ribut lagi.
“Apa lagi sih,
Mas? Kayaknya lo seneng banget ganggu gue belakangan ini, hah? Kenapa? Nggak
ada kerjaan lo?” tanya Cakka sebal sebelum Elang sempat berbicara.
“Ganggu? Justru lo
yang udah ganggu ketenangan gue. Lo apa-apaan sih kayak begitu sama Bunda tadi
siang? Apa salahnya lo bantuin beliau sebentar? Di sini juga lo nggak
ngapa-ngapain!” balas Elang.
“Jadi lo narik gue
keluar cuma buat ngebicarain hal ini? Nggak penting banget!” kata Cakka. Kedua
tangannya ia taruh di pinggangnya. “Heh, denger ya, Mas, apapun yang gue
lakukan itu sama sekali bukan urusan lo. Jadi, jangan ganggu gue terus! Gue
udah cukup pusing sama hidup gue, oke?!”
“Pusing? Memangnya
lo bisa mikir tentang kehidupan lo?” tanya Elang. “Yang ada di otak lo kan cuma
pembalasan, pelampiasan dan melakukan semuanya semau lo.”
“Gue nggak sebejat
itu!” bantah Cakka kesal.
“Oh ya? Kalau
begitu, lo bisa dong, mikir buat orang tua lo sendiri? Kita udah semakin dewasa
dan mereka sudah semakin berumur, Kka. Harusnya lo peka dong, bantu mereka
seperti mereka membantu lo saat lo kecil!” kata Elang.
“Kalau gue nggak
mau?”
“Lo mau jadi anak
berbakti atau jadi anak durhaka, tinggal pilih aja,” kata Elang sambil menghela
nafas. “Dulu saat lo masih kecil, mereka selalu ada jika lo butuh bantuan. Apa
salahnya sih lo melakukan yang sama buat orang tua lo? Nggak sulit, kan?”
“Dan lo pikir
beban gue itu cuma balas budi orang tua?” tanya Cakka. “Gue juga punya masalah
sendiri. Kalau lo nggak tau apa-apa soal gue, nggak usah sok nasehatin gue!”
“Masalah apa lagi?
Masih masalah yang kemarin? Salah lo sendiri, kenapa lo gengsi buat minta
maaf?” tanya Elang. “Kembali ke omongan gue yang dulu ya, Kka, apa lo mau
kehilangan sahabat seperti mereka hanya demi uang haram itu?”
Cakka bungkam.
Elang menepuk
sebelah pundak Cakka. “Kka, lo harus belajar buat menerima orang lain. Buang
gengsi lo. Nggak mungkin Tuhan menciptakan berjuta-juta manusia dengan sifat
yang sama. Dari perbedaan itu lo bisa ngedapetin sahabat baik kayak Rio, Deva
dan Gabriel. Iya kan?”
“Kalau Gabriel itu
sahabat yang baik, dia nggak bakal diem aja pas kita ajak temenan. Dia nggak
bakalan kayak anak kecil yang ketakutan lihat hantu.” kata Cakka masih saja
egois. Namun, suaranya mulai melemah.
“Pasti ada
alesannya, Kka, kenapa dia kayak begitu,” kata Elang sambil tersenyum. “Mungkin
juga, dia takut karena sikap lo yang kurang ramah sama dia. Bisa aja dia merasa
nggak nyaman karena lo ninggalin dia hanya karena dia diemin lo. Coba lo pikir
dari sisi Gabriel. Apa selama ini tindakan lo udah bener?”
“Tapi—“
“Sekarang gue
tanya, apa Gabriel juga bersikap kayak begitu juga sama Deva?” tanya Elang.
“Awalnya iya, tapi
lama-lama dia bisa senyum walaupun masih enggan ngomong.” kata Cakka.
“Nah! Kalau
begitu, dia cuma butuh kenyamanan, kan?” kata Elang. “Mungkin dia susah
beradaptasi dengan lingkungan sekolah barunya karena anak-anak, termasuk lo,
keburu mengecap dia memiliki sifat yang buruk.”
Lagi-lagi Cakka
diam.
“Udah, mendingan
besok lo temuin mereka deh. Minta maaf sama mereka. Memangnya lo betah apa
musuhan sama mereka terus? Biasanya juga lo, Rio dan Deva lengket banget kayak
prangko.” kata Elang sambil tertawa.
Cakka diam
sejenak, kemudian langsung memeluk kakaknya erat.
Elang membalas
pelukan tersebut, kemudian menepuk-nepuk punggung Cakka. Entah sudah berapa
lama Cakka tidak memeluknya seperti ini. Semenjak mereka dewasa, mereka lebih
sering bertengkar daripada bicara baik-baik.
Cakka melepaskan
pelukannya, kemudian tersenyum tipis.
Elang menepuk
pundak Cakka pelan. “Begitu dong, senyum. Daripada sehari-hari mukanya ditekuk.
Asem banget muka lo tau nggak?”
“Sialan lo. Lo
pikir muka lo nggak asem?” ejek Cakka balik.
“Ganteng begini
kok!” kata Elang sambil tertawa. “Ya udah, gue mau ke kamar dulu ngerjain
tugas. Lo pikirin baik-baik deh omongan gue tadi.”
Cakka mengangguk.
Elang segera
berjalan menuju kamarnya, namun sebelum ia benar-benar hilang dari pandangan
Cakka, ia kembali berbalik menatap adiknya karena teringat dengan sesuatu.
“Hampir lupa. Kalau lo mau baikan sama temen-temen lo, sebaiknya lo balikin
dulu uang haram itu. Uang yang nggak halal itu nggak akan selamanya nyelametin
lo dari omelan gue.”
Cakka nyengir
mendengar ucapan kakaknya. Amplop yang diberikan Anka waktu itu memang masih
ada di kamarnya. Ia menganggukkan kepalanya cepat, sebelum akhirnya Elang
menghilang di balik pintu kamarnya.
“Kak Cakka...”
tiba-tiba Chiara memegang ujung baju Cakka.
Cakka menoleh ke
arah Chiara, kemudian langsung menggendong adik bungsunya tersebut. “Yuk, kita
main lagi, Ra.”
J L J
Sesuai dengan
kesepakatan Rio, Deva dan Gabriel kemarin, mereka langsung pergi ke rumah Ray.
Mereka bertiga berkumpul terlebih dahulu di rumah Deva sekitar jam sepuluh pagi,
baru berjalan bersama ke sana agar dapat menghemat waktu.
Sudah lama mereka
bertiga tidak bertemu dengan Cakka, rasanya persahabatan mereka yang renggang
pelan-pelan bisa membaik. Walaupun Gabriel tetap waspada, ia sudah bisa
merespon Deva jika diajak bicara. Rasanya bahagia jika melihat kakak kembarnya
itu bisa tersenyum kepada orang lain selain keluarganya. Ia sangat bersyukur
melihat hal itu.
Rio juga lega bisa
mengenal dan bersahabat dengan Deva yang begitu pengertian. Dia sudah banyak
membantunya dalam masalah Gabriel. Kalau tidak ada dia, mungkin Rio akan pusing
sendiri bagaimana caranya agar Gabriel dapat membuka sedikit pintu hatinya
untuk orang lain. Bagaimanpun juga, Rio tidak mungkin selamanya menjadi
sandaran Gabriel. Pada saatnya nanti, ketika ia harus kembali ke sisi Tuhan,
bagaimana dia bisa tenang jika dia tahu Gabriel hanya sendirian? Semoga saja
Cakka juga sudah melunak di luar sana.
Pikiran Rio memang
selalu berpikir jauh ke depan. Terdengar berlebihan, tapi bagi Rio hal ini
perlu dipertimbangkan sejak dini. Masa depan itu memang harus direncanakan dari
awal, kan? Dan inilah salah satu caranya.
Begitu sampai di
rumah Ray, mereka bertiga disambut oleh teman mereka itu dengan gembira. Untung
mereka memiliki waktu yang tepat. Ternyata, Ray ada di rumah dan sedang tidak
sibuk.
“Ayo ke ruang
kerja gue.” kata Ray ramah mengajak ketiga temannya ke ruang yang ada di lantai
atas. Tepatnya pintu yang terdapat di ujung lorong lantai dua. Rumahnya memang
tidak terlalu besar. Dindingnya bernuansa kayu dengan desain lorong sempit
dengan beberapa ruangan. Tapi, tetap nyaman untuk ditinggali.
“Silahkan duduk!”
kata Ray mempersilahkan ketika mereka sampai di ruang kerja. Ia segera
mengambil satu kursi tambahan karena ia hanya memiliki dua kursi di hadapan
meja kerjanya.
Ternyata lantai
dua rumahnya dibuat khusus untuk ruang kerjanya, sehingga ruangannya bisa luas.
Lantainya terlapisi dengan karpet merah marun dengan meja kerja yang cukup
besar di sudut ruangan. Selain itu juga, terdapat rak-rak buku yang membuatnya
seperti perpustakaan kecil. Cukup mengagumkan bagi Rio. Ia tak pernah tahu Ray
memiliki ini semua.
“Ray, lo nggak
pernah cerita lo punya ruangan kayak begini,” kata Rio sambil tersenyum ketika
Ray sudah duduk di hadapan mereka bertiga. “Bagus banget desainnya.”
Ray tersenyum
sambil membetulkan kacamata minusnya. “Terima kasih, Yo. Tapi, sepertinya lo
lebih hebat karena bisa tahu apa maksud kartu nama gue.”
Rio tertawa. “Deva
kok yang berhasil nebak, bukan gue.”
“Ya sama saja.
Kalian pasti bekerja sama untuk menebaknya,” kata Ray. “Jadi, bagaimana kabar
kalian? Sudah lebih baik?”
Seketika senyum
Rio memudar, berganti dengan raut wajah heran. Ia langsung mengernyitkan
dahinya mendengar ucapan Ray. “Maksud lo?”
“Ini sudah liburan
sekolah, paling tidak masalah ini sudah berjalan sekitar tiga bulan. Apa ada
perubahan?” tanya Ray tenang. “Atau justru semakin parah?”
"Jadi begini, Ray, gue..."
kata Rio langsung ingin menceritakan semua yang terjadi pada Gabriel dengan
detail agar Ray cepat mengerti dengan maksud kedatangannya, namun Ray keburu memotong
pembicaraannya.
"Gue udah tahu."
"Hah?"
Ray hanya tersenyum, kemudian
mengambil salah satu buku yang sudah ada di mejanya. Ia meletakkan buku
tersebut di hadapan Gabriel. "Ini buat lo."
Gabriel diam saja. Justru Rio
yang bereaksi. Dahinya berkerut melihat buku itu. "Buat apa?"
"Banyak cerita-cerita
menyenangkan di sana," kata Ray sambil tersenyum. "Gabriel pasti
senang membacanya."
"Apa? Ini solusi
lo?" tanya Rio tak percaya.
"Yo, dengerin dulu."
kata Deva yang berdiri di belakang Rio langsung menepuk pundak sahabatnya
pelan.
Ray membetulkan kacamatanya
sejenak, kemudian kembali tersenyum. "Percayalah, gue sudah lama tau dan
mempelajari masalah Gabriel. Jadi gue yakin, ini solusi terbaik yang bisa gue
kasih."
Rio lagi-lagi mengernyitkan
dahi. "Lo udah tau? Dari mana?"
Bukannya menjawab, Ray hanya
tersenyum sampai Acha masuk ke dalam ruang kerjanya sambil membawa nampan
berisi teh manis.
"Ada yang
haus?" tanyanya sopan sambil tersenyum.
“Oh, terima kasih,
Cha. Taruh aja di meja. Nanti kita pasti minum kok sambil ngobrol sama kakak
lo.” kata Deva tersenyum kepada gadis itu.
“Sudah lama nggak
ketemu, Dev.” balas gadis itu yang tak lain adalah Acha. Ia segera menaruh
nampan yang dibawanya di atas meja, kemudian langsung berdiri di samping
kakaknya. “Akhirnya, kita bisa bertemu dengan mereka bertiga ya, Kak?”
Ray tersenyum.
“Iya, Cha.”
“Akhirnya?” kata
Rio heran. “Ini maksudnya apa sih?”
“Kakak gue ini
sudah lama bekerja sebagai problem solver,
kami berdua selalu mencari-cari masalah apa yang sedang terjadi dengan
teman-teman kita agar kami dapat mencari solusinya,” kata Acha menjelaskan.
“Mungkin kalian tak sadar kalau kami selalu melihat pertengkaran kalian dengan
Cakka dan Anka.”
“Apa? Jadi kalian
memata-matai kami?” kata Rio kaget.
“Tepatnya
mengumpulkan data untuk membantu kalian.” kata Acha tertawa.
“Kenapa nggak
terang-terangan aja sih? Nyusahin aja deh kalian berdua.”
“Kami bukan
siapa-siapa kalian, kami tidak mungkin tiba-tiba muncul menjadi pahlawan
kesiangan. Lagipula, kakak gue ini tak ingin pekerjaannya diketahui banyak
orang. Hanya orang tertentu saja yang boleh tahu.” kata Acha. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya. “Oh iya,
mungkin lo bertiga perlu dengerin ini.”
Acha membuka
sebuah rekaman yang ia rekam sendiri di tempat kejadian dulu.
“Harus gitu gue terima tawaran lo?”
“Ini suara Kak Cakka, kan?”
kata Acha.
“Gue nggak akan pergi sebelum lo terima tawaran gue!
Jadi, kalau lo mau pulang dengan selamat, mendingan nurut sama gue sekarang.
Atau lo mau sahabat-sahabat lo gue celakain? Atau keluarga lo yang jatuh
miskin?”
“Ini suara Kak Anka.” kata
Acha lagi.
Terdapat jeda sejenak.
“Heh! Malah diem aja! Mau diajak kerja sama aja susah
banget sih?!”
“Oke, oke! Gue terima tawaran lo! Puas?! Sekarang, bisa
lo minggir dan biarin gue pulang?”
“Oke, bagus! Pulang sana! Dan jangan berhenti
bersandiwara, buat anak baru itu yakin kalau lo itu bener-bener udah menerima
lo apa adanya! Oke!”
“Terserah lo! Minggir!”
TIK!
Rio langsung terdiam setelah
mendengar rekaman tersebut. Ia benar-benar kaget dengan apa yang dibicarakan
Cakka dan Anka. Jadi begitu kronologi bagiamana Cakka menerima tawaran Anka.
Sepertinya dia sudah salah paham. Cakka menerima tawaran itu karena terpaksa.
Ya, terlepas dari Anka tidak membiarkannya pulang, dia juga tak ingin
sahabat-sahabatnya maupun keluarganya celaka karena dirinya.
“Kejadian itu terjadi di dekat
rumah lo, Dev. Gue pikir lo justru udah tahu.” kata Acha sambil mengutak-atik
ponselnya, mencari bukti lain yang bisa ia tunjukkan.
Deva menggelengkan kepalanya.
“Gue sama sekali nggak tahu. Kapan itu terjadi, Cha?”
“Nggak lama setelah Gabriel
masuk ke kelas kalian. Mungkin kalian habis belajar bareng atau bagaimana?
Makanya, Cakka bisa di sana. Terus tiba-tiba disamperin sama Kak Anka.” kata Acha.
Ia kembali menunjukkan layar ponselnya. “Ini fotonya.”
Mereka bertiga langsung
mendekat untuk melihat foto itu bersama-sama.
“Hei, baju Cakka... Itu
kayaknya habis kita belajar bareng deh, menjelas UAS, kan?” kata Deva sambil
menoleh ke arah Rio. “Makanya, waktu itu Cakka mulai nerima uang dari Anka.”
“Bener juga, Va!” kata Rio.
Sekarang semuanya sudah jelas. Ternyata, masalah ini tak sepenuhnya salah
Cakka. Anka yang memaksanya untuk menerima tawaran itu. Walaupun tadinya Cakka
memang berpura-pura baik, tapi semuanya tidak akan menjadi seperti ini kalau Anka
tidak memanas-manasinya.
Keadaan hening sejenak karena
Rio, Deva dan Gabriel kaget dengan kenyataannya. Hingga pada akhirnya, Ray
sendiri yang memecahkan keheningan tersebut.
“Sudah, kalian tak perlu
kaget, masalah ini biasa terjadi dan gue hanya seorang psikolog yang berusaha
menolong semua orang,” kata Ray. Ia menghela nafasnya sejenak, kemudian
melanjutkan ucapannya. “Soal Gabriel, buku yang gue kasih ini pasti bisa
membantu. Gue sudah mencobanya dulu.”
“Lo juga pernah mengalami hal
yang sama?” tanya Deva.
Ray tersenyum. “Semua orang
pasti pernah merasa takut, Va. Lo pasti juga pernah. Dan buku itu berhasil
membuat gue tenang kembali dan menjadi seperti sekarang.”
“Tapi ini bukan hanya rasa
takut, Ray, trauma.” kata Rio.
“Trauma dan takut itu sama.
Solusinya hanya keberanian. Jika Gabriel berani untuk menghadapi masa lalunya
dengan baik, dia pasti bisa kembali seperti dulu. Dan tugas lo dan Deva untuk
memunculkan keberanian itu dari dalam diri Gabriel.” kata Ray. Senyumannya sama
sekali tidak memudar. Sepertinya dia yakin dengan ucapannya.
“Bener nih?”
“Lo bisa datang pada gue
kapanpun jika cara itu tidak berhasil, Yo. Gue selalu siap ngebantuin lo. Itu
udah jadi tugas gue.” kata Ray lagi menyakinkan.
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p