Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #8 [PERFECT]


—I'm never gonna be good enough for you,
can't pretend that I'm alright

Devi menggelengkan kepalanya ketika melihat Deva masih tertidur lelap di tempat tidurnya ketika semua adik-adiknya sudah ada di meja makan. Padahal, biasanya Devalah yang membangunkan semua anggota keluarga di pagi hari. Namun, lihatlah sekarang, dia masih sibuk mendengkur keras dan bergelayut dengan bantal gulingnya.

Sebenarnya, Devi sangat penasaran. Sejak kemarin kakaknya itu terlihat berbeda. Wajahnya terlihat lelah dan terkesan banyak pikiran. Dia tidak keluar kamar kalau tidak ada urusan. Tugas menjaga adik-adik diserahkan semuanya kepada Devi. Rasanya ada yang aneh. Tapi, semalam Devi tidak berani bertanya. Devi tahu Deva tak pernah mau membuat keluarganya khawatir.
“Kak Deva!” seru Devi nyaring sambil duduk di pinggir tempat tidur kakaknya. Dia merapikan selimut kakaknya yang sudah berantakan di antara kaki Deva dan segera mengguncang tubuhnya. “Bangun, Kak! Udah jam delapan, nih!”
“Nggg...” keluh Deva justru memeluk gulingnya lebih erat dan bergerak untuk menyingkirkan tangan adiknya.
“Aduh, Kak! Yang lain udah pada sarapan semua di bawah, kakak kok masih tidur aja? Biasanya juga paling pagi. Ayolah, bangun! Bunda masak makanan kesukaan Kak Deva loh!” pancing Devi. Berharap kakaknya mau bangun, tapi ternyata tidak.
“Ahh... bilang sama Bunda kakak nggak usah sarapan deh. Kakak mau tidur...” kata Deva tak jelas dan langsung menenggelamkan kepalanya pada guling. Kedua matanya benar-benar masih berat. Tubuhnya juga masih lelah.
“Kakak kenapa sih? Dari kemarin kayaknya stress banget?” tanya Devi akhirnya memutuskan untuk mencari tahu. “Ada masalah ya di sekolah?”
Tak ada jawaban dari Deva. Kakaknya itu justru kembali terlelap. Devi menghela nafasnya sejenak kemudian memutuskan untuk menyelimuti kakaknya kembali agar dia bisa tidur sepuasnya. Kasihan juga, selama ini Deva sudah bekerja keras. Waktu istirahatnya bisa jadi kurang karena kesibukan sekolah dan keluarga. Mungkin juga hipotesanya bahwa Deva sedang ada masalah juga benar.
“Ya udah, Kakak tidur deh sampai siang, Devi nggak bakal ganggu, tapi nanti cerita ya kalau udah bangun?” katanya mengacak rambut Deva sampai acak-acakan sebelum ia meninggalkan kamar.
Tetap saja tidak ada jawaban. Devi berani bertaruh kalau kakaknya itu sudah tidak bisa mendengar lagi apa yang dikatakannya. Mau bagaimana lagi? Deva memang tidak hobi tidur. Tapi, kalau Deva sudah terlalu lelah, pasti jam tidurnya tidak diganggu sama sekali. Paling tidak harus ditunggu sampai jam dua belas siang baru bisa bangun.

J L J

Semenjak melihat pertengkaran Rio dan Cakka dan mengetahui rencana Cakka dan Anka di belakangnya, Gabriel menjadi kembali pendiam. Ia datang ke sekolah hanya sebatas ingin menyelesaikan ujian akhirnya yang masih beberapa hari lagi. Apalagi ditambah Rio dan Cakka yang diem-dieman dan saling melemparkan tatapan marah. Deva yang berada di antara mereka hanya bisa menenangkan Gabriel di antara situasi tegang tersebut.
Sebenarnya, masalah ini tak bisa disalahkan kepada siapapun. Menurut Deva, semuanya memiliki kesalahannya masing-masing. Kalau dipikirkan secara netral, Cakka salah sudah memperlakukan Gabriel secara tidak tulus, Rio juga salah karena telah meresponnya dengan emosi, Gabriel pun salah karena terlalu tertutup dengan pergaulan. Dan yang bisa menyelesaikan masalah ini ya mereka sendiri. Salah satu dari mereka harus mengalah dan meminta maaf.
“Mau sampai kapan sih kalian kayak begini?” tanya Deva di kantin. Rio dan Cakka masih saja kesal satu sama lain. Padahal, mereka sedang duduk sebelahan. “Lo berdua nggak kasihan sama Gabriel, hah?”
“Ngapain kasihan sama dia? Memang dianya aja kok yang cemen, apa-apa takut. Udah kayak ngadepin hantu aja!” kata Cakka sebal. “Lagian lo ngapain sih belain dia terus? Dibayar berapa sih lo?”
“Apa menurut lo gue berteman atas dasar harta?” tanya Deva langsung membuat bungkam. “Gue nggak membela siapa-siapa di sini. Yang gue mau, lo berdua saling maafan. Apa gunanya lo berdua sahabat dari kecil kalau ujung-ujungnya begini?”
“Dia yang salah, jadi harusnya dia yang minta maaf duluan!” kata Rio sambil menunjuk Cakka.
“Oh, jadi nonjok temen sendiri itu nggak salah?!” tanya Cakka lebih kesal. Bekas lukanya masih terlihat samar di tepi bibirnya.
“Stop!” kata Deva sambil memukul meja. “Kalau semuanya udah kayak begini, nggak ada ya main siapa yang salah. Pokoknya di antara lo berdua harus ada yang minta maaf duluan. Jangan gengsi! Gue nggak mau persahabatan kita hancur gara-gara masalah sepele!”
Keduanya langsung terdiam.
Deva menatap ke arah Rio. “Yo, lo lihat kan, kakak kembar lo ini? Bukannya lo bilang lo akan selalu melindungi dia dari apapun? Kenapa sekarang justru lo yang bikin dia ketakutan?”
Rio diam saja. Ia menundukkan kepala.
“Gue duluan deh.” kata Gabriel tiba-tiba. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan kantin. Deva diam saja melihatnya, ia jelas mengerti Gabriel butuh waktu sendiri.
“UAS tinggal dua hari. Gue harap lo berdua bisa baikan sebelum kita libur.” kata Deva singkat, kemudian langsung ikut meninggalkan kantin sambil memegang kepalanya. Sepertinya ia sudah sakit kepala menghadapi dua sahabatnya yang keras kepala.
Rio dan Cakka yang tinggal berdua di sana hanya diam saja. Tak ada yang mau memulai pembicaraan duluan. Entah apa yang dipikirkan mereka sekarang hingga pada akhirnya mereka tetap saja saling membuang muka.
Bukan hanya Deva yang pusing, seorang gadis kecil yang sejak tadi melihat mereka dari jauh itu juga akhirnya ikut menghela nafasnya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Anka bisa membuat persahabatan empat orang itu hancur. Tangannya mengepal keras, kemudian langsung pergi dari sana. Masalah ini tak boleh lama-lama ditunda. Ia tak akan rela jika persahabatan Rio dan teman-temannya berhenti begitu saja hanya karena bule egois itu.

Kini kita berjalan berjauh-jauhan
Kau jauhi diriku karena sesuatu
Mungkin ku terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku sayang
(Sindentosca - Kepompong)

J L J

Gadis kecil yang melihat pertengkaran Rio dan teman-temannya itu langsung menghampiri kelas Anka dengan penuh tenang. Ia menyuruh salah seorang yang ada di kelas itu untuk memanggil Anka untuk ia bawa ke belakang sekolah.
Ia tak peduli Anka menolak untuk mengikutinya, ia tetap menarik tangan Anka dengan paksa agar masalah ini cepat selesai. Yang penting dia tidak akan memakai kekerasan apapun, seperti yang pernah dipesankan oleh seseorang kepadanya setiap kali ia menjalankan tugas.
“Apa-apaan sih lo?! Adik kelas aja belagu!” kata Anka sebal. Ia sama sekali tak mengenal anak yang menariknya ini, tapi ia jelas tahu kalau dia masih kelas delapan. “Ngapain lo culik gue ke sini? Lo mau ngajak gue berantem?! Lo nggak tahu gue siapa, hah?”
“Apa gue terlihat ingin ngajak lo berantem?” tanyanya tenang. Ia justru menampilkan senyum manisnya kepada Anka. “Gue cuma nggak habis pikir aja ya, lo ternyata pinter banget mengubah kenyataan.”
“Apa maksud lo?” kata Anka melotot.
“Lo nggak usah pura-pura bodoh. Gue tahu lo yang udah membuat kekacauan di sekolah ini. Bisa terlihat dari persahabatan Rio, Cakka, Deva dan Gabriel belakangan,” katanya lagi. “Untung banget ya lo bikin mereka musuhan?”
“Apa urusannya sama lo?” tanya Anka. “Sok jadi pahlawan kesiangan banget.”
“Oh, gue justru mau berbaik hati mengingatkan lo kalau karma itu selalu berlaku untuk orang macam lo,” kata gadis kecil itu lagi sambil tetap tersenyum. “Kalau lo nggak segera bertobat, lebih baik lo bersiap-siap saja menerima karma itu.”
Anka semakin emosi mendengar ucapan gadis kecil itu. Terdengar lembut, namun tentu saja maksudnya menyindir. “Siapa lo bisa seenaknya nyumpahin gue?!”
“Yang nyumpahin lo siapa? Kan gue udah bilang kalau gue cuma ingetin lo. Kalau lo nggak mau dengerin, ya sudah. Kan tinggal terima aja karmanya dari Tuhan nanti. Gue juga nggak bisa maksa, bukan begitu, Kak Priyanka Astellene?”
“Siapa sih lo sebenernya?! Bodyguard mereka?! Main ngelabrak gue kayak begini! Kayak lo kenal aja sama mereka!” tanya Anka nyaring. Ia langsung mendorong  bahu gadis itu dengan kasar. “Denger ya, apapun yang gue lakukan sama mereka, itu sama sekali bukan urusan lo! Jangan ikut campur deh!”
Gadis kecil tersenyum. Ia tetap diam seperti putri raja sampai akhirnya Anka memilih untuk meninggalkan sendiri di sana. Ah, walaupun ia kurang berhasil, setidaknya ia sudah bisa mengeluarkan unek-uneknya kepada perempuan bule itu. Ia yakin, setelah ini Anka pasti agak takut untuk membuat onar. Nanti kakak laki-lakinya yang akan beraksi.
“Acha!” teriak seseorang dari balik tembok.
Gadis kecil itu, Acha, menoleh ke arahnya. Ia mengacungkan jempol.
“Bagus, kamu nggak kepancing. Tapi, lain kali jangan pakai dimarahin dong. Lembut sedikit kenapa?” kata orang itu sambil tersenyum.
Acha nyengir. “Bawaan lahir, Kak. Aku kan nggak sebijak kakak. Yang penting, besok giliran kakak yang ngejalanin rencana, kan?”
Orang itu mengangguk. “Ya udah, balik ke kelas sana. Kakak juga mau balik.”
“Oke.”

J L J

“Mike! Gue balik dulu ya!” teriak Elang dari motornya kepada teman kuliahnya yang ada di lobi kampus. Dia melambaikan tangannya sejenak, kemudian langsung pergi meninggalkan kampus.
Elang baru saja menyelesaikan kuliahnya sore itu. Dia menjalankan motornya dengan kecepatan standar menuju pulang sampai akhirnya dia tak sengaja melihat seorang laki-laki baru saja keluar dari toko buku setelah ia melewati perempatan. Ia langsung menepi dan memanggil laki-laki tersebut.
“Deva!” teriaknya langsung sukses membuat laki-laki tersebut menoleh.
“Eh, Mas Elang, kan?” katanya sambil tersenyum. Ia langsung menghampiri Elang dengan senang. “Baru pulang kuliah?”
“Iya nih. Habis ngerjain tugas, makanya pulangnya agak telat. Lo sendiri? Habis berburu ensiklopedi lagi?” tanya Elang sambil melirik ke arah satu kantong plastik besar yang dipegangnya.
Deva nyengir. “Masih inget aja, Mas.”
“Iya dong, lo kan satu-satunya temen Cakka yang kutu buku banget,” kata Elang sambil tertawa. “Eh, lo ada waktu nggak? Ikut gue ke kafe dulu yuk, banyak yang pengen gue ceritain sama lo.”
Deva tersenyum. “Boleh, Mas.”
“Ya udah, naik ke motor gue aja.” kata Elang menunjuk ke ara tempat kosong di belakangnya. Deva langsung menurut, kemudian mereka langsung melesat menuju kafe terdekat.
Saat itu, kafe cukup sepi. Suasana yang cocok untuk mereka berbincang-bincang. Deva dan Elang mengambil tempat duduk di tengah ruangan, kemudian memesan minuman untuk menemani perbincangan mereka. Elang memesan kopi panas, sementara Deva memesan susu milo. Obrolan mereka mulai setelah pesanan mereka datang.
“Jadi, bagaimana sekolah lo? Lagi UAS, kan?” tanya Elang mulai duluan.
“Ya begitulah,” kata Deva sambil tersenyum. “Kuliah kakak bagaimana?”
“Sama,” kata Elang sambil tertawa kecil. “Sebenarnya sih ada yang mau gue tanyain sama lo. Soal lo, Rio dan Cakka. Lo bertiga lagi berantem ya?”
Deva tersenyum samar. “Cakka cerita ya?”
Elang menggeleng. “Justru karena Cakka nggak cerita, makanya gue mau nanya sama lo. Gue sih cuma tahu Cakka pulang sekolah luka-luka. Terus dia marah-marah gitu gara-gara dikiranya gue nyalahin dia.”
Deva menghela nafas. “Sebenarnya gue bingung, Mas, harus ngapain supaya kita nggak musuhan begini. Gara-gara Rio sama Cakka berantem hebat, Gabriel jadi ketakutan banget.”
Elang mengernyitkan dahinya. “Gabriel?”
Deva menyeruput susunya sejenak, kemudian menjawab. “Oh iya, lo belum tahu ya soal Gabriel? Dia tuh anak baru di kelas kita, Mas, kakak kembarnya Rio. Tapi, masalahnya...”
Deva menceritakan semua yang terjadi semenjak Gabriel masuk ke dalam SMA MIFI. Tentang Anka, sikap Cakka yang tidak menerima Gabriel sampai akhirnya Rio memergoki bahwa Cakka hanya pura-pura baik dan bekerja sama dengan Anka untuk menyingkirkan kakak kembar Rio. Pertengkaran di kantin tadi pagi juga ia ceritakan.
“Begitu, Mas.” kata Deva mengakhiri ceritanya.
Elang terdiam sejenak. Ia menghela nafasnya. “Pantas aja.”
“Pantas aja?” giliran Deva yang mengernyitkan dahinya heran.
“Eh, nggak, nggak apa-apa kok,” kata Elang nyengir. “Tapi, Va, gue rasa pasti ada jalan kok selama lo berusaha. Gue sih bantu doa aja ya? Gue nggak bisa bantu apa-apa selain nenangin adik gue.”
Deva tersenyum. “Itu udah cukup kok, Mas.”
“Ya udah, kalau begitu, mendingan kita pulang deh. Nggak enak gue nahan lo lama-lama. Lo kan harus jaga adik-adik lo di rumah. Entar orang tua lo nyariin lagi.” kata Elang menyingkir dari kursinya.
“Nyadar juga lo, Mas.”
Elang nyengir.

J L J

Rio dan Gabriel baru saja sampai di rumah. Begitu melepas sepatu, Gabriel langsung berlari menuju kamarnya tanpa memperdulikan Rio. Ia tak peduli Rio mau kesal, sedih atau apapun, yang penting dia sedang tidak ingin diganggu. Beberapa hari ini sudah cukup buruk baginya.
“Iel? Kamu nggak makan, Nak?” terdengar suara Bunda yang memanggil ketika ia melihat salah satu anaknya pergi ke kamar. Tapi, ucapan Bunda tersebut juga tak digubrisnya.
Rio hanya diam saja melihat sikap Gabriel. Ia tahu ia juga salah. Gabriel juga kesal padanya karena masalah di kantin tadi. Mau dia ajak bicara sesering apapun, dia pasti tidak akan menjawab.
“Bunda...” panggil Rio ketika ia melihat Bunda yang masih menatap tangga, dimana Gabriel berlari tadi.
Bunda menoleh. “Yo, Iel kenapa? Dia lagi ada masalah di sekolah?”
“Ini semua salah Rio, Bun,” kata Rio mengaku. “Dia kesal sama Rio karena belakangan Rio sama Cakka berantem terus di depan dia. Mungkin dia teringat lagi sama masa lalunya.”
“Kamu kenapa berantem sama Cakka, Yo? Cakka kan sahabat kamu,” kata Bunda langsung merangkul anaknya tersebut. “Kalau ada sesuatu yang bikin kamu kesal, kamu harus bicarakan baik-baik dong, sama Cakka. Jangan sampai berantem kayak begini.”
“Tapi, Rio nggak terima Cakka bilang Iel nggak normal, Bun,” kata Rio menatap Bundanya. “Rio juga sebel karena Cakka pura-pura baik sama Iel. Dia dibayar Anka supaya mereka bisa nyingkirin Iel dari sekolah. Padahal, tadinya Rio pikir Cakka udah bisa menerima Iel. Rio marah dong.”
“Mungkin dia punya alasan sendiri, Nak,” kata Bunda bijak. “Cakka nggak mungkin begitu aja mau menerima tawaran orang lain, kan? Coba tanya dulu kenapa dia kayak begitu.”
“Rio udah tanya Bun, tapi Cakka nggak mau jawab.”
“Ya udah, mungkin Cakka belum bisa cerita aja sama kamu,” kata Bunda sambil tersenyum. “Bunda minta kamu bersikap dewasa ya sayang, jangan tunggu Cakka yang minta maaf karena dasarnya kamu juga salah.”
Rio menunduk sedih.
Bunda mengacak rambut Rio dengan sayang. “Udah, sana baikan sama Gabriel dulu. Habis itu ganti baju. Makan malam udah siap loh buat kalian.”
“Bunda kok bisa pulang cepet?” tanya Rio.
“Bisa dong, kan kerjaan Bunda udah selesai. Jadi, Bunda nggak usah lembur,” kata Bunda sambil tersenyum. “Mandi sana, Yo. Bau tahu badanmu.”
Rio tertawa, kemudian langsung pamit pada Bundanya untuk ke kamar. Ia segera mandi dan mengganti bajunya dengan baju piyama. Langit memang sudah gelap, tadi saat pulang ujian, Rio dan Gabriel pergi makan bakso dulu di pinggir jalan. Berhubung hari ini masuk siang, jadinya saat mereka pulang sudah malam.
Rio mengeringkan rambutnya sejenak setelah ia selesai mandi. Setelah itu, dia langsung menyisirnya dengan rapi, sebelum dia kembali menatap ke arah Gabriel yang tertidur di atas tempat tidurnya. Bukannya mandi dulu, malah langsung tidur.
Rio menghela nafasnya kasar. “Andai ada Ayah di sini, beliau pasti kecewa karena gue nggak bisa ngejagain lo, Yel.”
“Padahal, waktu kecil gue selalu bilang sama Ayah kalau gue pasti bisa jagain lo dari bahaya apapun. Lo pun juga begitu. Tapi, gue nggak berhasil, Yel, justru gue yang membawa bahaya itu buat lo.” kata Rio lirih. Ia membuka pintu balkon kamarnya, membiarkan angin berhembus masuk dan menerbangkan ujung-ujung rambutnya. Kedua matanya menatap satu-satunya bintang yang kini mendapat giliran menerangi malam.
“Yah, maafin Rio. Rio ingkar janji sama Ayah,” kata Rio. “Tapi, tenang aja, Yah, ini terakhir kalinya Rio bandel. Rio nggak akan bikin Ayah kesal lagi dengan perilaku Rio. Seperti yang Rio bilang waktu itu, kita akan baik-baik, Yah.”
Ia menutup kembali pintu balkonnya dan segera menatap Gabriel kembali. Ia tersenyum sejenak, kemudian langsung mengambil sebuah kertas dan pulpen dari meja belajarnya untuk menulis surat kecil untuk ia selipkan di dekat kakaknya. Dia tak mungkin berbicara langsung dengan kakaknya sekarang.

Yel, tidur lo pules banget, gue nggak tega ganggunya. Pasti lo capek. Gue makan malam duluan ya, nanti kalau lo udah bangun, lo bisa makan kalau lo laper. Gue bakalan sisain lauk buat lo. Maafin gue.
Adik nyebelin lo, Mario Astroken

J L J

“Nih!” Elang menaruh dua amplop cokelat di meja belajar Cakka cuek. Cakka yang sedang sibuk sendiri langsung menoleh ke arah kakaknya.
“Apaan nih?” tanya Cakka.
“Itu uang lo, hasil KERJA KERAS lo! Gue sama sekali belum pakai dan gue nggak butuh itu!” kata Elang dengan penuh penekanan. “Kenapa sih lo nggak jujur aja dari awal? Takut gue marah sama lo, hah?”
Cakka menatap Elang sinis. “Kenapa jadi lo yang marah? Harusnya gue yang marah karena lo dateng-dateng ganggu waktu gue. Bukannya waktu itu lo yang bilang kalau gue harus bisa menghasilkan uang. Ya itu gue menghasilkan kok!”
“Tapi, nggak dengan sekongkolan sama orang yang nggak bener juga, Cakka!” kata Elang sebal. “Gue udah denger ceritanya dari temen lo dan gue bener-bener kecewa sama lo, Kka. Lo nggak ngehargain temen sama sekali.”
“Banyak bawel banget sih lo jadi orang?” kata Cakka. “Lagian lo kok yang maksa-maksa gue kerja. Udah tahu gue masih SMA, mau kerja apa sih gue? Lo pikir gampang nyari pekerjaan yang nerima anak SMA?”
“Lo aja yang nggak mau berusaha nyari, makanya lo ngomong begitu,” kata Elang. “Heh, denger ya, sekalipun lo menghasilkan dari hasil kerja nggak bener lo itu, Ayah sama Bunda pasti nggak bakalan nerima!”
“Terserah deh ya, lo mau bilang apa. Salahin aja gue terus! Udah, sana sana, ganggu gue aja lo sih!” kata Cakka langsung mendorong kakaknya keluar kamar. Kemudian, dia langsung membanting pintu. BRAK!
“Heh! Yang sopan dong sama kakak sendiri!” teriak Elang dari luar.
“LO SENDIRI NGGAK SOPAN SAMA GUE!” terdengar teriakan Cakka dari dalam kamar dengan suara yang lebih kencang. Elang hanya menggelengkan kepalanya.
“Ada apa sih ribut-ribut? Adikmu kenapa, Lang?” tiba-tiba Ayah Dika, ayah mereka, datang melihat anak sulungnya ada di depan kamar Cakka.
Elang langsung menggelengkan kepalanya cepat begitu melihat Ayahnya. “Nggak apa-apa. Ayah nggak usah khawatir. Elang masuk kamar dulu ya, Yah. Mau lihat Chiara dulu.”
“Oh ya sudah. Kalau begitu, Ayah mau ke kamar dulu.” kata Ayah Dika sambil tersenyum. Kemudian, semuanya langsung masuk ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat.


Hari UAS terakhir. Hari dimana para murid harusnya senang karena libur akan segera tiba, justru membuat Rio pusing. Pagi ini Cakka terlihat lebih ganas dari biasanya. Entah apalagi yang sudah terjadi kemarin sehingga membuat Cakka semakin benci padanya, Deva dan Gabriel. Padahal, tadinya Rio sudah bersiap-siap untuk meminta maaf, tapi ia mengurungkan niatnya karena melihat perubahan sikap Cakka.
Bukan itu saja. Begitu UAS selesai, Cakka juga langsung pulang tanpa pamit. Walau kemarin-kemarin dia juga bersikap seperti itu, tapi tidak secuek hari ini. Entahlah, Rio merasa marahnya Cakka kemarin dengan sekarang itu jauh berbeda. Deva juga tidak tahu apa penyebabnya.
“Gue jadi penasaran kenapa Cakka jadi kayak begitu. Udah kayak mau makan orang aja dia,” kata Rio setelah Cakka hilang dari pandangannya. “Lo beneran nggak tahu, Va?”
Deva menggeleng. “Kalau gue tahu, gue bakal nyari solusi dari tadi.”
Rio menghela nafasnya. “Tambah rumit aja masalah kita.”
“Udahlah, nggak usah dipikirin. Gue rasa kita harus fokus ke masalah Anka dan Gabriel dulu. Gue yakin pasti ada cela-cela yang bisa pakai untuk menyelesaikan masalah kita,” kata Deva sambil tersenyum. “Mau ke rumah gue?”
“Nggak usah lah, Va, gue masih mau di sini dulu sebentar. Entar lo aja yang ke rumah gue kalau gue udah balik. Bagaimana?” tanya Rio.
Deva mengangguk. Ia menepuk pundak Rio pelan. “Kalau begitu, gue duluan ya, bro. Semangat!”
Rio mengangguk.
“Bye, Gab!” pamit Deva juga kepada Gabriel yang hanya disambut dengan diam, seperti biasanya. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan sekolah.
Sepeninggalan Deva, Rio menoleh ke arah Gabriel. “Yel, gue mau main basket dulu sebentar. Lo tungguin gue ya? Tapi, gue ke toilet dulu.”
Gabriel tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Ya, dia memang sudah memaafkan Rio. Tidak tahan juga bermusuhan dengan saudara sendiri. “Gue tunggu di lapangan aja.”
Rio mengacungkan jempolnya, kemudian langsung segera ke toilet. Ia membasuh mukanya di sana untuk menyegarkan pikiran, kemudian hendak kembali ke lapangan. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya. Seorang laki-laki yang familiar. Tapi, pernah lihat dimana ya?
Laki-laki itu tersenyum ketika Rio sudah ada di hadapannya. “Rio, kan? Anak 10-IPA1?”
Rio mengangguk. “Siapa ya?”
“Gue Ray, anak 10-IPS2.” katanya sambil tersenyum.
Rio menepuk dahinya. Baru ingat dengan laki-laki mungil tersebut. Ray kan pernah sekelas dengannya dulu saat SMP. Tapi, dia jarang sekali berbicara dengannya. “Oh, lo Ray, udah lama banget nggak ngeliat lo.”
Ray celingak-celinguk sejenak, seperti mencari seseorang. Rio sampai heran melihat gerak-geriknya.
“Hmm... lo nyari siapa?” tanya Rio penasaran.
“Gabriel nggak sama lo?”
Rio membesarkan matanya. “Lo kenal sama Gabriel?”
Ray tidak menjawab, ia hanya tersenyum sambil memamerkan giginya, membuat Rio bertambah bingung dengan temannya yang satu ini. Sejak kecil dulu dia selalu begini, pendiam akut. Kadang-kadang juga misterius.
“Gabriel ada di lapangan sih nungguin gue kalau mau ketemu,” kata Rio lagi. “Tapi, ada urusan apa?”
“Oh, nggak, nggak apa-apa, gue cuma mau kasih ini doang sih,” kata Ray sambil memberikan sebuah kartu putih kecil ke tangan Rio. “Gue duluan ya.”
“Eh—“ belum sempat Rio berbicara lagi, laki-laki mungil itu sudah berlari meninggalkannya sendiri di sana. Ia menatap ke arah kartu yang diberikannya tadi. “Ketika kamu membutuhkan ketenangan, kamu akan datang padaku. Raynald Putra. Hah? Maksudnya apaan ini?”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

1 komentar:

  1. Find your next gambling job near you - Dr.MCD
    Find your 태백 출장샵 next gambling 정읍 출장마사지 job near 화성 출장샵 you near 양주 출장샵 you. We have hundreds of the most exciting slots, video poker and table 성남 출장샵 games! We also have some great table games too!

    BalasHapus

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p