—I'm never gonna be
good enough for you,
can't pretend that I'm
alright—
Devi menggelengkan kepalanya
ketika melihat Deva masih tertidur lelap di tempat tidurnya ketika semua
adik-adiknya sudah ada di meja makan. Padahal, biasanya Devalah yang
membangunkan semua anggota keluarga di pagi hari. Namun, lihatlah sekarang, dia
masih sibuk mendengkur keras dan bergelayut dengan bantal gulingnya.
Sebenarnya, Devi sangat
penasaran. Sejak kemarin kakaknya itu terlihat berbeda. Wajahnya terlihat lelah
dan terkesan banyak pikiran. Dia tidak keluar kamar kalau tidak ada urusan.
Tugas menjaga adik-adik diserahkan semuanya kepada Devi. Rasanya ada yang aneh.
Tapi, semalam Devi tidak berani bertanya. Devi tahu Deva tak pernah mau membuat
keluarganya khawatir.
“Kak Deva!” seru Devi nyaring
sambil duduk di pinggir tempat tidur kakaknya. Dia merapikan selimut kakaknya
yang sudah berantakan di antara kaki Deva dan segera mengguncang tubuhnya.
“Bangun, Kak! Udah jam delapan, nih!”
“Nggg...” keluh Deva justru
memeluk gulingnya lebih erat dan bergerak untuk menyingkirkan tangan adiknya.
“Aduh, Kak! Yang lain udah
pada sarapan semua di bawah, kakak kok masih tidur aja? Biasanya juga paling
pagi. Ayolah, bangun! Bunda masak makanan kesukaan Kak Deva loh!” pancing Devi.
Berharap kakaknya mau bangun, tapi ternyata tidak.
“Ahh... bilang sama Bunda
kakak nggak usah sarapan deh. Kakak mau tidur...” kata Deva tak jelas dan
langsung menenggelamkan kepalanya pada guling. Kedua matanya benar-benar masih
berat. Tubuhnya juga masih lelah.
“Kakak kenapa sih? Dari
kemarin kayaknya stress banget?” tanya Devi akhirnya memutuskan untuk mencari
tahu. “Ada masalah ya di sekolah?”
Tak ada jawaban dari Deva.
Kakaknya itu justru kembali terlelap. Devi menghela nafasnya sejenak kemudian
memutuskan untuk menyelimuti kakaknya kembali agar dia bisa tidur sepuasnya.
Kasihan juga, selama ini Deva sudah bekerja keras. Waktu istirahatnya bisa jadi
kurang karena kesibukan sekolah dan keluarga. Mungkin juga hipotesanya bahwa
Deva sedang ada masalah juga benar.
“Ya udah, Kakak tidur deh
sampai siang, Devi nggak bakal ganggu, tapi nanti cerita ya kalau udah bangun?”
katanya mengacak rambut Deva sampai acak-acakan sebelum ia meninggalkan kamar.
Tetap saja tidak ada jawaban.
Devi berani bertaruh kalau kakaknya itu sudah tidak bisa mendengar lagi apa
yang dikatakannya. Mau bagaimana lagi? Deva memang tidak hobi tidur. Tapi,
kalau Deva sudah terlalu lelah, pasti jam tidurnya tidak diganggu sama sekali.
Paling tidak harus ditunggu sampai jam dua belas siang baru bisa bangun.
J L J
Semenjak melihat pertengkaran
Rio dan Cakka dan mengetahui rencana Cakka dan Anka di belakangnya, Gabriel
menjadi kembali pendiam. Ia datang ke sekolah hanya sebatas ingin menyelesaikan
ujian akhirnya yang masih beberapa hari lagi. Apalagi ditambah Rio dan Cakka
yang diem-dieman dan saling melemparkan tatapan marah. Deva yang berada di
antara mereka hanya bisa menenangkan Gabriel di antara situasi tegang tersebut.
Sebenarnya, masalah ini tak
bisa disalahkan kepada siapapun. Menurut Deva, semuanya memiliki kesalahannya
masing-masing. Kalau dipikirkan secara netral, Cakka salah sudah memperlakukan
Gabriel secara tidak tulus, Rio juga salah karena telah meresponnya dengan
emosi, Gabriel pun salah karena terlalu tertutup dengan pergaulan. Dan yang
bisa menyelesaikan masalah ini ya mereka sendiri. Salah satu dari mereka harus
mengalah dan meminta maaf.
“Mau sampai kapan sih kalian
kayak begini?” tanya Deva di kantin. Rio dan Cakka masih saja kesal satu sama
lain. Padahal, mereka sedang duduk sebelahan. “Lo berdua nggak kasihan sama
Gabriel, hah?”
“Ngapain kasihan sama dia?
Memang dianya aja kok yang cemen, apa-apa takut. Udah kayak ngadepin hantu
aja!” kata Cakka sebal. “Lagian lo ngapain sih belain dia terus? Dibayar berapa
sih lo?”
“Apa menurut lo gue berteman
atas dasar harta?” tanya Deva langsung membuat bungkam. “Gue nggak membela siapa-siapa
di sini. Yang gue mau, lo berdua saling maafan. Apa gunanya lo berdua sahabat
dari kecil kalau ujung-ujungnya begini?”
“Dia yang salah, jadi harusnya
dia yang minta maaf duluan!” kata Rio sambil menunjuk Cakka.
“Oh, jadi nonjok temen sendiri
itu nggak salah?!” tanya Cakka lebih kesal. Bekas lukanya masih terlihat samar
di tepi bibirnya.
“Stop!” kata Deva sambil
memukul meja. “Kalau semuanya udah kayak begini, nggak ada ya main siapa yang
salah. Pokoknya di antara lo berdua harus ada yang minta maaf duluan. Jangan
gengsi! Gue nggak mau persahabatan kita hancur gara-gara masalah sepele!”
Keduanya langsung terdiam.
Deva menatap ke arah Rio. “Yo,
lo lihat kan, kakak kembar lo ini? Bukannya lo bilang lo akan selalu melindungi
dia dari apapun? Kenapa sekarang justru lo yang bikin dia ketakutan?”
Rio diam saja. Ia menundukkan
kepala.
“Gue duluan deh.” kata Gabriel
tiba-tiba. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan
kantin. Deva diam saja melihatnya, ia jelas mengerti Gabriel butuh waktu
sendiri.
“UAS tinggal dua hari. Gue
harap lo berdua bisa baikan sebelum kita libur.” kata Deva singkat, kemudian
langsung ikut meninggalkan kantin sambil memegang kepalanya. Sepertinya ia
sudah sakit kepala menghadapi dua sahabatnya yang keras kepala.
Rio dan Cakka yang tinggal
berdua di sana hanya diam saja. Tak ada yang mau memulai pembicaraan duluan. Entah
apa yang dipikirkan mereka sekarang hingga pada akhirnya mereka tetap saja
saling membuang muka.
Bukan hanya Deva yang pusing,
seorang gadis kecil yang sejak tadi melihat mereka dari jauh itu juga akhirnya
ikut menghela nafasnya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Anka bisa membuat
persahabatan empat orang itu hancur. Tangannya mengepal keras, kemudian
langsung pergi dari sana. Masalah ini tak boleh lama-lama ditunda. Ia tak akan
rela jika persahabatan Rio dan teman-temannya berhenti begitu saja hanya karena
bule egois itu.
Kini kita berjalan berjauh-jauhan
Kau jauhi diriku karena sesuatu
Mungkin ku terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku sayang
(Sindentosca - Kepompong)
J L J
Gadis kecil yang melihat
pertengkaran Rio dan teman-temannya itu langsung menghampiri kelas Anka dengan
penuh tenang. Ia menyuruh salah seorang yang ada di kelas itu untuk memanggil
Anka untuk ia bawa ke belakang sekolah.
Ia tak peduli Anka menolak
untuk mengikutinya, ia tetap menarik tangan Anka dengan paksa agar masalah ini
cepat selesai. Yang penting dia tidak akan memakai kekerasan apapun, seperti
yang pernah dipesankan oleh seseorang kepadanya setiap kali ia menjalankan
tugas.
“Apa-apaan sih lo?! Adik kelas
aja belagu!” kata Anka sebal. Ia sama sekali tak mengenal anak yang menariknya
ini, tapi ia jelas tahu kalau dia masih kelas delapan. “Ngapain lo culik gue ke
sini? Lo mau ngajak gue berantem?! Lo nggak tahu gue siapa, hah?”
“Apa gue terlihat ingin ngajak
lo berantem?” tanyanya tenang. Ia justru menampilkan senyum manisnya kepada
Anka. “Gue cuma nggak habis pikir aja ya, lo ternyata pinter banget mengubah
kenyataan.”
“Apa maksud lo?” kata Anka
melotot.
“Lo nggak usah pura-pura
bodoh. Gue tahu lo yang udah membuat kekacauan di sekolah ini. Bisa terlihat
dari persahabatan Rio, Cakka, Deva dan Gabriel belakangan,” katanya lagi.
“Untung banget ya lo bikin mereka musuhan?”
“Apa urusannya sama lo?” tanya
Anka. “Sok jadi pahlawan kesiangan banget.”
“Oh, gue justru mau berbaik
hati mengingatkan lo kalau karma itu selalu berlaku untuk orang macam lo,” kata
gadis kecil itu lagi sambil tetap tersenyum. “Kalau lo nggak segera bertobat,
lebih baik lo bersiap-siap saja menerima karma itu.”
Anka semakin emosi mendengar
ucapan gadis kecil itu. Terdengar lembut, namun tentu saja maksudnya menyindir.
“Siapa lo bisa seenaknya nyumpahin gue?!”
“Yang nyumpahin lo siapa? Kan
gue udah bilang kalau gue cuma ingetin lo. Kalau lo nggak mau dengerin, ya
sudah. Kan tinggal terima aja karmanya dari Tuhan nanti. Gue juga nggak bisa
maksa, bukan begitu, Kak Priyanka Astellene?”
“Siapa sih lo sebenernya?! Bodyguard mereka?! Main ngelabrak gue
kayak begini! Kayak lo kenal aja sama mereka!” tanya Anka nyaring. Ia langsung
mendorong bahu gadis itu dengan
kasar. “Denger ya, apapun yang gue lakukan sama mereka, itu sama sekali bukan
urusan lo! Jangan ikut campur deh!”
Gadis kecil tersenyum. Ia
tetap diam seperti putri raja sampai akhirnya Anka memilih untuk meninggalkan
sendiri di sana. Ah, walaupun ia kurang berhasil, setidaknya ia sudah bisa
mengeluarkan unek-uneknya kepada perempuan bule itu. Ia yakin, setelah ini Anka
pasti agak takut untuk membuat onar. Nanti kakak laki-lakinya yang akan beraksi.
“Acha!” teriak seseorang dari
balik tembok.
Gadis kecil itu, Acha, menoleh
ke arahnya. Ia mengacungkan jempol.
“Bagus, kamu nggak kepancing.
Tapi, lain kali jangan pakai dimarahin dong. Lembut sedikit kenapa?” kata orang
itu sambil tersenyum.
Acha nyengir. “Bawaan lahir,
Kak. Aku kan nggak sebijak kakak. Yang penting, besok giliran kakak yang
ngejalanin rencana, kan?”
Orang itu mengangguk. “Ya
udah, balik ke kelas sana. Kakak juga mau balik.”
“Oke.”
J L J
“Mike! Gue balik dulu ya!”
teriak Elang dari motornya kepada teman kuliahnya yang ada di lobi kampus. Dia
melambaikan tangannya sejenak, kemudian langsung pergi meninggalkan kampus.
Elang baru saja menyelesaikan
kuliahnya sore itu. Dia menjalankan motornya dengan kecepatan standar menuju
pulang sampai akhirnya dia tak sengaja melihat seorang laki-laki baru saja
keluar dari toko buku setelah ia melewati perempatan. Ia langsung menepi dan
memanggil laki-laki tersebut.
“Deva!” teriaknya langsung
sukses membuat laki-laki tersebut menoleh.
“Eh, Mas Elang, kan?” katanya
sambil tersenyum. Ia langsung menghampiri Elang dengan senang. “Baru pulang
kuliah?”
“Iya nih. Habis ngerjain
tugas, makanya pulangnya agak telat. Lo sendiri? Habis berburu ensiklopedi
lagi?” tanya Elang sambil melirik ke arah satu kantong plastik besar yang
dipegangnya.
Deva nyengir. “Masih inget
aja, Mas.”
“Iya dong, lo kan satu-satunya
temen Cakka yang kutu buku banget,” kata Elang sambil tertawa. “Eh, lo ada
waktu nggak? Ikut gue ke kafe dulu yuk, banyak yang pengen gue ceritain sama
lo.”
Deva tersenyum. “Boleh, Mas.”
“Ya udah, naik ke motor gue
aja.” kata Elang menunjuk ke ara tempat kosong di belakangnya. Deva langsung
menurut, kemudian mereka langsung melesat menuju kafe terdekat.
Saat itu, kafe cukup sepi.
Suasana yang cocok untuk mereka berbincang-bincang. Deva dan Elang mengambil
tempat duduk di tengah ruangan, kemudian memesan minuman untuk menemani
perbincangan mereka. Elang memesan kopi panas, sementara Deva memesan susu
milo. Obrolan mereka mulai setelah pesanan mereka datang.
“Jadi, bagaimana sekolah lo?
Lagi UAS, kan?” tanya Elang mulai duluan.
“Ya begitulah,” kata Deva
sambil tersenyum. “Kuliah kakak bagaimana?”
“Sama,” kata Elang sambil
tertawa kecil. “Sebenarnya sih ada yang mau gue tanyain sama lo. Soal lo, Rio
dan Cakka. Lo bertiga lagi berantem ya?”
Deva tersenyum samar. “Cakka
cerita ya?”
Elang menggeleng. “Justru
karena Cakka nggak cerita, makanya gue mau nanya sama lo. Gue sih cuma tahu
Cakka pulang sekolah luka-luka. Terus dia marah-marah gitu gara-gara dikiranya
gue nyalahin dia.”
Deva menghela nafas.
“Sebenarnya gue bingung, Mas, harus ngapain supaya kita nggak musuhan begini.
Gara-gara Rio sama Cakka berantem hebat, Gabriel jadi ketakutan banget.”
Elang mengernyitkan dahinya.
“Gabriel?”
Deva menyeruput susunya
sejenak, kemudian menjawab. “Oh iya, lo belum tahu ya soal Gabriel? Dia tuh
anak baru di kelas kita, Mas, kakak kembarnya Rio. Tapi, masalahnya...”
Deva menceritakan semua yang
terjadi semenjak Gabriel masuk ke dalam SMA MIFI. Tentang Anka, sikap Cakka
yang tidak menerima Gabriel sampai akhirnya Rio memergoki bahwa Cakka hanya
pura-pura baik dan bekerja sama dengan Anka untuk menyingkirkan kakak kembar
Rio. Pertengkaran di kantin tadi pagi juga ia ceritakan.
“Begitu, Mas.” kata Deva
mengakhiri ceritanya.
Elang terdiam sejenak. Ia
menghela nafasnya. “Pantas aja.”
“Pantas aja?” giliran Deva
yang mengernyitkan dahinya heran.
“Eh, nggak, nggak apa-apa
kok,” kata Elang nyengir. “Tapi, Va, gue rasa pasti ada jalan kok selama lo
berusaha. Gue sih bantu doa aja ya? Gue nggak bisa bantu apa-apa selain
nenangin adik gue.”
Deva tersenyum. “Itu udah
cukup kok, Mas.”
“Ya udah, kalau begitu,
mendingan kita pulang deh. Nggak enak gue nahan lo lama-lama. Lo kan harus jaga
adik-adik lo di rumah. Entar orang tua lo nyariin lagi.” kata Elang menyingkir
dari kursinya.
“Nyadar juga lo, Mas.”
Elang nyengir.
J L J
Rio dan Gabriel baru saja
sampai di rumah. Begitu melepas sepatu, Gabriel langsung berlari menuju
kamarnya tanpa memperdulikan Rio. Ia tak peduli Rio mau kesal, sedih atau apapun,
yang penting dia sedang tidak ingin diganggu. Beberapa hari ini sudah cukup
buruk baginya.
“Iel? Kamu nggak makan, Nak?”
terdengar suara Bunda yang memanggil ketika ia melihat salah satu anaknya pergi
ke kamar. Tapi, ucapan Bunda tersebut juga tak digubrisnya.
Rio hanya diam saja melihat
sikap Gabriel. Ia tahu ia juga salah. Gabriel juga kesal padanya karena masalah
di kantin tadi. Mau dia ajak bicara sesering apapun, dia pasti tidak akan
menjawab.
“Bunda...” panggil Rio ketika
ia melihat Bunda yang masih menatap tangga, dimana Gabriel berlari tadi.
Bunda menoleh. “Yo, Iel
kenapa? Dia lagi ada masalah di sekolah?”
“Ini semua salah Rio, Bun,”
kata Rio mengaku. “Dia kesal sama Rio karena belakangan Rio sama Cakka berantem
terus di depan dia. Mungkin dia teringat lagi sama masa lalunya.”
“Kamu kenapa berantem sama
Cakka, Yo? Cakka kan sahabat kamu,” kata Bunda langsung merangkul anaknya
tersebut. “Kalau ada sesuatu yang bikin kamu kesal, kamu harus bicarakan
baik-baik dong, sama Cakka. Jangan sampai berantem kayak begini.”
“Tapi, Rio nggak terima Cakka
bilang Iel nggak normal, Bun,” kata Rio menatap Bundanya. “Rio juga sebel
karena Cakka pura-pura baik sama Iel. Dia dibayar Anka supaya mereka bisa
nyingkirin Iel dari sekolah. Padahal, tadinya Rio pikir Cakka udah bisa
menerima Iel. Rio marah dong.”
“Mungkin dia punya alasan
sendiri, Nak,” kata Bunda bijak. “Cakka nggak mungkin begitu aja mau menerima
tawaran orang lain, kan? Coba tanya dulu kenapa dia kayak begitu.”
“Rio udah tanya Bun, tapi
Cakka nggak mau jawab.”
“Ya udah, mungkin Cakka belum
bisa cerita aja sama kamu,” kata Bunda sambil tersenyum. “Bunda minta kamu
bersikap dewasa ya sayang, jangan tunggu Cakka yang minta maaf karena dasarnya
kamu juga salah.”
Rio menunduk sedih.
Bunda mengacak rambut Rio dengan
sayang. “Udah, sana baikan sama Gabriel dulu. Habis itu ganti baju. Makan malam
udah siap loh buat kalian.”
“Bunda kok bisa pulang cepet?”
tanya Rio.
“Bisa dong, kan kerjaan Bunda
udah selesai. Jadi, Bunda nggak usah lembur,” kata Bunda sambil tersenyum.
“Mandi sana, Yo. Bau tahu badanmu.”
Rio tertawa, kemudian langsung
pamit pada Bundanya untuk ke kamar. Ia segera mandi dan mengganti bajunya
dengan baju piyama. Langit memang sudah gelap, tadi saat pulang ujian, Rio dan
Gabriel pergi makan bakso dulu di pinggir jalan. Berhubung hari ini masuk
siang, jadinya saat mereka pulang sudah malam.
Rio mengeringkan rambutnya
sejenak setelah ia selesai mandi. Setelah itu, dia langsung menyisirnya dengan
rapi, sebelum dia kembali menatap ke arah Gabriel yang tertidur di atas tempat
tidurnya. Bukannya mandi dulu, malah langsung tidur.
Rio menghela nafasnya kasar.
“Andai ada Ayah di sini, beliau pasti kecewa karena gue nggak bisa ngejagain
lo, Yel.”
“Padahal, waktu kecil gue
selalu bilang sama Ayah kalau gue pasti bisa jagain lo dari bahaya apapun. Lo
pun juga begitu. Tapi, gue nggak berhasil, Yel, justru gue yang membawa bahaya
itu buat lo.” kata Rio lirih. Ia membuka pintu balkon kamarnya, membiarkan
angin berhembus masuk dan menerbangkan ujung-ujung rambutnya. Kedua matanya
menatap satu-satunya bintang yang kini mendapat giliran menerangi malam.
“Yah, maafin Rio. Rio ingkar
janji sama Ayah,” kata Rio. “Tapi, tenang aja, Yah, ini terakhir kalinya Rio
bandel. Rio nggak akan bikin Ayah kesal lagi dengan perilaku Rio. Seperti yang
Rio bilang waktu itu, kita akan baik-baik, Yah.”
Ia menutup kembali pintu
balkonnya dan segera menatap Gabriel kembali. Ia tersenyum sejenak, kemudian
langsung mengambil sebuah kertas dan pulpen dari meja belajarnya untuk menulis
surat kecil untuk ia selipkan di dekat kakaknya. Dia tak mungkin berbicara
langsung dengan kakaknya sekarang.
Yel, tidur lo pules banget, gue nggak tega ganggunya.
Pasti lo capek. Gue makan malam duluan ya, nanti kalau lo udah bangun, lo bisa
makan kalau lo laper. Gue bakalan sisain lauk buat lo. Maafin gue.
Adik nyebelin lo, Mario Astroken
J L J
“Nih!” Elang menaruh dua
amplop cokelat di meja belajar Cakka cuek. Cakka yang sedang sibuk sendiri
langsung menoleh ke arah kakaknya.
“Apaan nih?” tanya Cakka.
“Itu uang lo, hasil KERJA
KERAS lo! Gue sama sekali belum pakai dan gue nggak
butuh itu!” kata Elang dengan penuh penekanan. “Kenapa sih lo nggak jujur aja
dari awal? Takut gue marah sama lo, hah?”
Cakka menatap Elang sinis. “Kenapa jadi lo yang marah?
Harusnya gue yang marah karena lo dateng-dateng ganggu waktu gue. Bukannya
waktu itu lo yang bilang kalau gue harus bisa menghasilkan uang. Ya itu gue
menghasilkan kok!”
“Tapi, nggak dengan sekongkolan sama orang yang nggak
bener juga, Cakka!” kata Elang sebal. “Gue udah denger ceritanya dari temen lo
dan gue bener-bener kecewa sama lo, Kka. Lo nggak ngehargain temen sama
sekali.”
“Banyak bawel banget sih lo jadi orang?” kata Cakka.
“Lagian lo kok yang maksa-maksa gue kerja. Udah tahu gue masih SMA, mau kerja
apa sih gue? Lo pikir gampang nyari pekerjaan yang nerima anak SMA?”
“Lo aja yang nggak mau berusaha nyari, makanya lo ngomong
begitu,” kata Elang. “Heh, denger ya, sekalipun lo menghasilkan dari hasil
kerja nggak bener lo itu, Ayah sama Bunda pasti nggak bakalan nerima!”
“Terserah deh ya, lo mau bilang apa. Salahin aja gue
terus! Udah, sana sana, ganggu gue aja lo sih!” kata Cakka langsung mendorong
kakaknya keluar kamar. Kemudian, dia langsung membanting pintu. BRAK!
“Heh! Yang sopan dong sama kakak sendiri!” teriak Elang
dari luar.
“LO SENDIRI NGGAK SOPAN SAMA GUE!” terdengar teriakan
Cakka dari dalam kamar dengan suara yang lebih kencang. Elang hanya
menggelengkan kepalanya.
“Ada apa sih ribut-ribut? Adikmu kenapa, Lang?” tiba-tiba
Ayah Dika, ayah mereka, datang melihat anak sulungnya ada di depan kamar Cakka.
Elang langsung menggelengkan kepalanya cepat begitu
melihat Ayahnya. “Nggak apa-apa. Ayah nggak usah khawatir. Elang masuk kamar
dulu ya, Yah. Mau lihat Chiara dulu.”
“Oh ya sudah. Kalau begitu, Ayah mau ke kamar dulu.” kata
Ayah Dika sambil tersenyum. Kemudian, semuanya langsung masuk ke dalam kamar
masing-masing untuk beristirahat.
☺ ☹ ☺
Hari UAS
terakhir. Hari dimana para murid harusnya senang karena libur akan segera tiba,
justru membuat Rio pusing. Pagi ini Cakka terlihat lebih ganas dari biasanya.
Entah apalagi yang sudah terjadi kemarin sehingga membuat Cakka semakin benci
padanya, Deva dan Gabriel. Padahal, tadinya Rio sudah bersiap-siap untuk
meminta maaf, tapi ia mengurungkan niatnya karena melihat perubahan sikap
Cakka.
Bukan itu
saja. Begitu UAS selesai, Cakka juga langsung pulang tanpa pamit. Walau
kemarin-kemarin dia juga bersikap seperti itu, tapi tidak secuek hari ini.
Entahlah, Rio merasa marahnya Cakka kemarin dengan sekarang itu jauh berbeda.
Deva juga tidak tahu apa penyebabnya.
“Gue jadi
penasaran kenapa Cakka jadi kayak begitu. Udah kayak mau makan orang aja dia,” kata
Rio setelah Cakka hilang dari pandangannya. “Lo beneran nggak tahu, Va?”
Deva
menggeleng. “Kalau gue tahu, gue bakal nyari solusi dari tadi.”
Rio menghela
nafasnya. “Tambah rumit aja masalah kita.”
“Udahlah,
nggak usah dipikirin. Gue rasa kita harus fokus ke masalah Anka dan Gabriel
dulu. Gue yakin pasti ada cela-cela yang bisa pakai untuk menyelesaikan masalah
kita,” kata Deva sambil tersenyum. “Mau ke rumah gue?”
“Nggak usah
lah, Va, gue masih mau di sini dulu sebentar. Entar lo aja yang ke rumah gue
kalau gue udah balik. Bagaimana?” tanya Rio.
Deva
mengangguk. Ia menepuk pundak Rio pelan. “Kalau begitu, gue duluan ya, bro.
Semangat!”
Rio
mengangguk.
“Bye, Gab!”
pamit Deva juga kepada Gabriel yang hanya disambut dengan diam, seperti
biasanya. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan sekolah.
Sepeninggalan
Deva, Rio menoleh ke arah Gabriel. “Yel, gue mau main basket dulu sebentar. Lo
tungguin gue ya? Tapi, gue ke toilet dulu.”
Gabriel
tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Ya, dia memang sudah memaafkan Rio. Tidak
tahan juga bermusuhan dengan saudara sendiri. “Gue tunggu di lapangan aja.”
Rio
mengacungkan jempolnya, kemudian langsung segera ke toilet. Ia membasuh mukanya
di sana untuk menyegarkan pikiran, kemudian hendak kembali ke lapangan. Namun,
di tengah perjalanan, ia melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya. Seorang
laki-laki yang familiar. Tapi, pernah lihat dimana ya?
Laki-laki itu
tersenyum ketika Rio sudah ada di hadapannya. “Rio, kan? Anak 10-IPA1?”
Rio
mengangguk. “Siapa ya?”
“Gue Ray, anak
10-IPS2.” katanya sambil tersenyum.
Rio menepuk
dahinya. Baru ingat dengan laki-laki mungil tersebut. Ray kan pernah sekelas
dengannya dulu saat SMP. Tapi, dia jarang sekali berbicara dengannya. “Oh, lo
Ray, udah lama banget nggak ngeliat lo.”
Ray celingak-celinguk
sejenak, seperti mencari seseorang. Rio sampai heran melihat gerak-geriknya.
“Hmm... lo
nyari siapa?” tanya Rio penasaran.
“Gabriel nggak
sama lo?”
Rio
membesarkan matanya. “Lo kenal sama Gabriel?”
Ray tidak
menjawab, ia hanya tersenyum sambil memamerkan giginya, membuat Rio bertambah
bingung dengan temannya yang satu ini. Sejak kecil dulu dia selalu begini,
pendiam akut. Kadang-kadang juga misterius.
“Gabriel ada
di lapangan sih nungguin gue kalau mau ketemu,” kata Rio lagi. “Tapi, ada
urusan apa?”
“Oh, nggak,
nggak apa-apa, gue cuma mau kasih ini doang sih,” kata Ray sambil memberikan
sebuah kartu putih kecil ke tangan Rio. “Gue duluan ya.”
“Eh—“ belum
sempat Rio berbicara lagi, laki-laki mungil itu sudah berlari meninggalkannya
sendiri di sana. Ia menatap ke arah kartu yang diberikannya tadi. “Ketika kamu
membutuhkan ketenangan, kamu akan datang padaku. Raynald Putra.
Hah? Maksudnya apaan ini?”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Find your next gambling job near you - Dr.MCD
BalasHapusFind your 태백 출장샵 next gambling 정읍 출장마사지 job near 화성 출장샵 you near 양주 출장샵 you. We have hundreds of the most exciting slots, video poker and table 성남 출장샵 games! We also have some great table games too!