—Betapa
bahagianya dapat saling menyayangi,
mensyukuri
karunia-Nya—
“Bro, lo kenapa sih?” tanya
Alvin begitu Cakka berhenti dan segera duduk di pinggir lapangan. Padahal,
Alvin baru saja mau melanjutkan aksinya lagi sebagai anak basket.
Cakka menggelengkan kepalanya
cuek.
“Nggak biasanya lo gampang
nyerah, pasti ada masalah,” kata Alvin sambil mendribel bola menuju tempat
dimana Cakka duduk. Ia langsung mengambil tempat di sebelah Cakka. “Lo berantem
sama Rio dan Deva?”
Cakka diam saja, tak berniat
menjawab teman satu timnya tersebut.
Alvin tersenyum. “Ayolah,
cerita sama gue. Kita udah berapa tahun sih temenan, nggak pernah gue kenal
Cakka yang bakal berhenti latihan basket kalau belum bener-bener tepar.”
“Nggak ada apa-apa.” Cakka
tetap bersikeras tak mau bercerita.
“Kalau nggak ada apa-apa,
kenapa lo tiba-tiba ngajak gue ke sini? Biasanya kan lo mainnya sama Rio kalau
basketan,” kata Alvin membuat Cakka bungkam. Alvin langsung menepuk pundak
Cakka. “Lo itu ya sama Rio udah kayak perangko sama amplop. Sekalinya si
perangko lepas kena angin, terpisahnya jauh banget.”
Cakka bergidik malas. “Apaan
sih lo, nggak jelas banget.”
Alvin tertawa. “Ya udah, masih
mau lanjut nggak nih?”
“Main aja sendiri sana.”
“Yah, lo ngambek nih
ceritanya?”
Cakka menggeleng.
“Ayo main kalau lo nggak ngambek,
baru juga satu jam,” kata Alvin. “Ekskul yang dua jam setengah aja lo kuat,
masa kayak begini aja udah males? Bukan sohib gue nih kayaknya.”
Cakka menggelengkan kepalanya.
“Ayolah!” Alvin tetap tidak
menyerah. Dia melempar pelan bola basketnya untuk menepuk pundak Cakka dari
samping.
“Apaan sih lo? Udah ah, main
sendiri aja. Gue mau istirahat dulu.”
Alvin menggelengkan kepalanya.
“Ya udah deh, setengah jam lagi lo main ya? Tanding satu lawan satu. Mumpung
dompet gue lagi tebel nih. Bisa traktir loh kalau lo menang lawan gue!”
“Lo pikir gue takut?”
Alvin mengangkat kedua
bahunya. “Siapa tahu aja.”
“Sialan lo!” kata Cakka kesal.
Dia langsung berdiri dan mengikuti Alvin ke tengah lapangan, tak jadi
beristirahat.
Alvin hanya tertawa
menanggapinya. Dia benar-benar tahu kalau Cakka paling tidak suka diremehkan.
Satu-satunya cara untuk membuat Cakka kembali bersemangat hanyalah dengan
‘merendahkan’-nya sedikit agar emosinya terpompa. Semua yang dekat dengan Cakka
pasti tahu itu.
J L J
Siang ini, Gabriel sendirian
saja di kamarnya. Rio sedang pergi sebentar, katanya ingin membeli lauk untuk
makan siang. Tadinya Bunda ingin masak, tapi ternyata kulkas sudah kosong,
jadilah Rio yang dimintai tolong untuk membeli beberapa lauk di restoran
langganan mereka di dekat rumah.
Rasa sepi di rumah selalu
membuat Gabriel bosan. Walaupun dia sudah terbiasa tidak memiliki teman di
sekolah, sendirian tanpa adiknya itu terasa berbeda. Jadi, daripada bosan,
Gabriel memutuskan untuk membaca buku yang diberikan Ray tempo hari.
Kehidupan adalah hal yang indah, apa saja dapat terjadi
di dalamnya. Tergantung bagaimana kau menjalankannya.
Kalimat pendek tersebut
tertera pada halaman pertama dari buku itu. Gabriel diam sejenak, kemudian
membalikkan halamannya lagi. Sepertinya ini semacam buku motivasi. Banyak
kalimat-kalimat serupa yang tertera di dalamnya. Namun, kalau dilihat dari
halaman-halaman awal, buku tersebut seperti ingin menunjukkan bahwa hidup itu
bisa menjadi indah jika kita percaya kebahagiaan itu ada.
“Kejadian buruk pasti terjadi, namun bagaimana kita mengatasi
kejadian tersebut yang menjadi bagian penting dari kehidupanmu...” suara
Gabriel membaca kembali satu kalimat menarik dari buku itu. Ia kembali terdiam,
kemudian menghela nafasnya pelan. Rasanya buku ini selalu menyindirnya dengan
setiap kata yang tercantum di sana.
Bunda yang melihat anaknya
sedang sendirian di kamar langsung tersenyum dan menghampirinya. Ia duduk di
pinggir tempat tidur Gabriel dan menyapa, “Sendirian aja nih. Lagi baca apa,
Yel?”
Gabriel mengangkat kepala. Ia
tersenyum balik ke arah Bundanya. “Nggak kok, Bun. Ini buku temannya Rio sama
Gabriel. Katanya bagus.”
“Iya, Rio juga sempat cerita
kemarin. Katanya, buku itu bisa membuat kamu lebih bahagia. Bunda hanya
berharap buku itu bisa menghilangkan rasa takutmu, Nak.”
Gabriel diam. Ia menundukkan
kepalanya sejenak.
Bunda tersenyum. “Yel...”
Gabriel menatap Bundanya
kembali. “Iya, Bun?”
“Walaupun kamu punya masa lalu
yang kurang menyenangkan, kamu nggak perlu takut, Nak. Karena kejadian buruk
itu hanya bermaksud menjadikan kamu kuat.” kata Bunda.
“Apa Iel sudah kuat, Bunda?”
tanya Gabriel pelan.
Bunda mengangguk. “Tentu aja
Iel kuat. Buktinya dulu kalau dijahatin temen, kamu selalu marah sama siapapun.
Selalu menyalahkan Tuhan. Tapi, sekarang udah nggak.”
“Itu karena Iel sudah terlalu
kebal disakiti, Bunda.”
“Itu kan artinya kamu sudah
kuat, Yel,” kata Bunda lagi. “Tapi, kamu salah mengartikan kekuatan itu.
Seharusnya kalau kamu sudah kebal, kamu tidak membiarkan semua orang
menyakitimu begitu saja.”
Gabriel mengerutkan dahinya.
“Maksudnya?”
“Jangan menjadi pribadi yang
tertutup karena masa lalu, Yel. Buktikan pada mereka semua kalau kamu bisa
hidup dengan bahagia walaupun kamu sering disakiti. Maafkan dan lupakan semua
kesalahan di masa lalumu.” kata Bunda.
“Tapi, mereka jahat, Bunda.
Iel bisa memaafkan mereka, tapi Iel nggak akan pernah bisa melupakan apa yang
mereka lakukan ke Iel, Bun.” kata Gabriel menunduk.
Bunda menganggukan kepalanya.
“Iya, Bunda mengerti, Yel. Tapi, jangan karena itu, kamu menjadi menutup diri.
Percayalah, dunia sudah menunggumu. Sahabat sejatimu sudah menunggu di luar
sana.”
“Apa ada yang namanya sahabat
sejati, Bun?”
“Tentu aja ada. Di saat semua
orang musuhin kamu, dia yang akan membela kamu mati-matian,” kata Bunda lembut.
“Contohnya Deva, dia sangat baik padamu, kan?”
Gabriel diam sejenak, kemudian
tersenyum kecil mengingat banyak kebaikan yang telah dilakukan Deva padanya.
Benar juga, selama ini jika Rio dan Cakka bertengkar, dia yang selalu membela
dan membelainya. Dia selalu melihat Gabriel dari sisi positif.
“Bunda benar, kan?” tanya
Bunda lagi.
Gabriel mengangguk.
“Bunda! Iel! Rio udah pulang
nih! Makan yuk!” tiba-tiba terdengar suara nyaring Rio dari luar.
“Tuh Rio udah pulang, ayo kita
makan dulu. Nanti kita lanjutkan lagi ngobrolnya ya, Yel. Udah lama Bunda nggak
denger cerita kamu.” kata Bunda mengelus puncak kepala Gabriel.
Gabriel tersenyum, kemudian
mengangguk.
“Hei, kalian lagi ngobrol apa
sih? Seru banget sampai nggak menjawab panggilan Rio.” Belum sempat Gabriel dan
Bunda keluar kamar, Rio sudah muncul di ambang pintu.
“Ah, nggak ada kok, Yo. Cuma
ngobrol biasa aja, habisnya Iel kesepian tuh nggak ada kamu,” kata Bunda sambil
tertawa. “Lain kali kamu ajak main dong, Yo. Mumpung lagi liburan.”
Rio menepuk dahinya mendengar
ucapan Bunda. “Wah, Bunda, untung ngomongin soal main. Rio baru inget mau main
ke rumah Cakka buat menyelesaikan masalah.”
“Ya ampun, kalian masih
bertengkar?” tanya Bunda kaget.
Rio nyengir. “Iya nih, Bun,
cuma salah paham sih. Tapi, Rio belum sempet minta maaf sama dia. Rencananya
sih besok. Nggak tahu deh dia ada di rumah atau nggak.”
“Coba kamu telepon aja dulu.”
“Ya udah, coba aku telepon
pakai telepon rumah sebentar. Temenin yuk, Bun, Yel,” kata Rio. “Kan sekalian
mau makan di bawah juga.”
“Ya udah, ayo.”
Rio, Gabriel dan Bunda turun
bersama ke bawah dan menemani Rio yang ingin menelepon Cakka dengan harap-harap
sahabatnya mau diajak bicara baik-baik. Tapi, ternyata tidak bisa.
“Yah, nggak bisa,” kata Rio
kecewa. Ia menatap keluarganya sedih. “Ya udah deh, Bun, mendingan kita makan
dulu. Nanti habis makan Rio telepon lagi. Mungkin sekarang Cakka lagi sibuk.”
Bunda tersenyum. “Ya sudah.”
Mereka segera menuju ruang
makan dan menyantap makanan yang telah tersedia. Mata Gabriel langsung berbinar-binar
begitu melihat ada beberapa makanan kesukaannya yang ada di dalam plastik. Rio
memang selalu tahu apa yang bagaimana membuatnya senang.
Suasana makan siang mereka
terhias dengan pembicaraan seru di antara mereka bertiga. Rio dan Gabriel
menceritakan segala hal yang bisa mereka ceritakan, dari tentang sekolah,
tentang persaudaraan mereka dan lain-lain. Pokoknya mereka tidak akan berhenti
berbicara jika Bunda mereka belum tertawa. Apalagi Rio yang notabene memang
sudah bawel dari dulu.
Setelah makan siang selesai,
Rio kembali mencoba menghubungi Cakka. Ia mantapkan hatinya untuk berjiwa besar
demi persahabatannya. Berkali-kali ia menekan tombol nomor rumah Cakka,
berharap Cakka mengangkat. Tapi, lima kali di antaranya menyatakan penghuni
rumah tidak menjawab. Begitu yang keenam kalinya, suara perempuan yang menyapa
teleponnya mengubah kalimatnya.
Nomor yang anda tuju sedang sibuk...
J L J
Cakka membantingkan tubuhnya
begitu ia sampai di rumah. Tubuhnya lelah karena seharian bermain basket di
lapangan kompleknya. Keringat sudah banjir, membasahi baju basketnya. Tenaganya
sudah benar-benar terkuras dan sekarang tak ada yang bisa membantunya untuk
menjernihkan otaknya. Pusing dia harus berbuat apa lagi. Elang sepertinya masih
ada di kampus, Chiara sedang jalan-jalan dengan Bunda. Ayah sedang bekerja di
restoran.
Ia benar-benar bosan liburan
sendiri. Tanpa ada Rio maupun Deva. Tapi, dia juga masih enggan untuk mengajak mereka
untuk bermain. Selama liburan dua minggu ini, kedua sahabatnya itu tak pernah
menghubunginya sekalipun. Pertengkaran mereka masih berlanjut sampai sekarang.
Tak ada yang berani meminta maaf duluan.
Sebenarnya, Cakka bukannya tak
ingin menyelesaikan masalahnya. Justru Cakka ingin ia cepat berbaikan dengan
Rio dan Deva. Tapi, tidak kalau ia harus meminta maaf duluan. Bukankah waktu
itu yang memukul pertama kali adalah Rio? Seharusnya, Rio yang merasa bersalah
dan menyesali perbuatannya.
Mungkin Cakka juga salah
karena dia menerima tawaran Anka sembarangan, tapi tetap saja Cakka ingin mereka
yang datang kepadanya. Baginya, persahabatan itu sama sekali bukan hal yang
bisa dipaksakan. Jika Rio dan Deva masih membutuhkan dirinya, mereka pasti akan
datang untuk meminta maaf. Tapi, kalau tidak, ya Cakka bisa apa? Tidak ada.
Lalu, bagaimana dengan
perasaan Cakka sendiri? Apa dia merasa tidak membutuhkan Rio dan Deva lagi,
makanya tidak mau memulai duluan? Jawabannya adalah tidak. Sama sekali bukan
seperti itu. Cakka hanya tak terbiasa meminta maaf. Ia hanya bisa memohon maaf
jika orang lain memulainya duluan. Selalu seperti itu. Dia tak pernah mau
berinisiatif sendiri. Itu bukan salahnya, kan?
“Huh...” desahnya pelan sambil
beranjak dari tempat tidurnya. Ia mengambil baju piyamanya dari lemari dan
segera mandi agar tubuhnya dapat segar kembali. Kalau dia memikirkan beban
hidupnya terus, lama-lama dia bisa stres sendiri.
Setelah ia selesai mandi, dia
langsung mengutak-atik ponselnya. Awalnya hanya iseng untuk memeriksa apakah
ada pemberitahuan yang penting masuk ke dalam ponselnya. Tapi, ternyata ponselnya
sedikit lemot, sehingga ia menekan-nekan asal.
“Apa sih? Kok lemot begini?”
keluh Cakka sambil terus memijit-mijit tombol ponselnya. Sampai akhirnya ponsel
Cakka membawanya ke daftar kontak. Terpampang nama Rio di sana, karena
relasinya memang sedikit.
Seketika Cakka diam melihat
nama sahabatnya di situ. Hatinya bergejolak. Otak dan perasaannya langsung
perang batin. Haruskah dia menghubungi Rio? Tapi dia harus bilang apa?
Cakka memejamkan matanya,
mempertimbangkan sejenak. Bagaimana kalau Rio kepedean kalau ia menelepon
duluan? Atau bagaimana kalau Rio tidak memaafkannya karena waktu itu mereka
sempat tonjok-tonjokan?
Apa lo mau kehilangan sahabat seperti mereka
hanya demi uang haram itu?
Cakka membuka matanya kembali
ketika suara Elang tiba-tiba menyusup ke dalam pikirannya. Tapi, bukannya
justru menemukan jalan terang, ia justru tambah bimbang dengan pertanyaan
tersebut. Tentu saja tidak! Dia tidak ingin kehilangan sahabat hanya karena
uang. Uang itu kan bukan dasar persahabatannya dengan Rio dan Deva. Mereka
memang saling peduli sejak kecil.
Lagian lo ngapain sih belain dia terus? Dibayar berapa
sih lo?
Ah! Kalimat itu membuatnya
skak mat seketika. Cakka bisa mengatakan kalau uang bukan dasar persahabatan.
Tapi, justru senjata itu yang ia gunakan untuk membela diri dulu ketika
dimarahi Deva. Kalau dipikir-pikir sekarang, Cakka jadi merasa bersalah.
Harusnya dia malu telah mengatakan hal seperti itu.
Cakka menghela nafasnya. Ia
memutuskan utuk menelepon Rio. Tak ada gunanya ia berpikir lagi, pasti
kesalahannya jauh lebih banyak daripada sahabatnya itu. Lagipula, Cakka juga
ingin hidupnya segera tenang kembali. Bukan gelisah seperti ini. Namun, tak
lama kemudian...
Nomor yang anda tuju sedang sibuk...
J L J
Beberapa hari kemudian...
Siang yang begitu terik
membuat Rio malas melakukan apapun di rumah. Rasanya ia ingin tidur seharian
sampai malam tiba, tapi ia tak bisa terlelap bagaimanapun caranya. Sementara
itu, Gabriel sedang menulis-nulis sendiri di meja belajar, menemani adiknya
yang merasa bosan tersebut.
“Yel, enaknya ngapain ya?
Kayaknya mau ngapa-ngapain males. Pengen keluar tapi nggak tahu mau kemana.”
keluh Rio sambil membolak-balikkan posisi tidurnya, berusaha mencari posisi
yang enak.
Gabriel menoleh dan tersenyum
ke arah Rio. “Main basket?”
“Main basket mau ngajak siapa?
Lo mau main?”
Gabriel menggeleng. “Gue
pengen di rumah aja sih.”
“Ya udah, kalau begitu jangan
main basket dong. Udah tahu dari kemarin gue mau baikan sama Cakka nggak
jadi-jadi melulu,” kata Rio sambil menghela nafas. “Bunda kan lagi kerja, Deva
lagi keluar kota.”
Ah ya, benar. Deva memang
sedang keluar kota dengan keluarganya. Dalam liburan ini mereka berusaha
memanfaatkan waktu agar sekeluarga bisa berkumpul dan bermain bersama. Nanti
kalau sudah masuk sekolah dan kerja, pasti akan susah untuk berkumpul lagi
karena sibuk masing-masing. Katanya sih, mereka ke Surabaya sampai minggu
depan.
“Udah, tidur aja, Yo.” kata
Gabriel lagi.
“Astaga, kalau gue bisa tidur,
dari tadi gue juga udah ngebo kali, Yel. Masalahnya, gue nggak bisa pules dari
tadi!” kata Rio. “Atau lo mau nemenin gue beli es nggak sebentar?”
Gabriel tersenyum. “Boleh.”
“Ya udah, ayo. Nanti baru
mikirin lagi deh mau ngapain.” Rio langsung beranjak dari tempat tidurnya dan
memakai jaket abu-abu. Gabriel juga ikut bersiap-siap, kemudian mereka langsung
melesat ke taman, dimana biasanya tukang es berjualan.
“Lo mau juga nggak, Yel?”
tanya Rio ketika mereka sudah ada di tukang es.
Gabriel menggeleng.
“Ya udah, es cokelatnya satu
ya, Bu!” pesan Rio kepada tukang es tersebut.
“Iya, Nak. Nih!” kata tukang
es tersebut dengan cepat menyiapkan es cokelat dan memberikannya kepada Rio.
“Semuanya lima ribu, Dik.”
“Oke, Bu, ini uangnya, makasih
ya!” kata Rio. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, duduk dulu yuk.”
Gabriel mengangguk. Ia
mengikuti langkah kaki adiknya menuju bangku panjang yang ada di taman. Sambil
menunggu Rio menghabiskan esnya, Gabriel hanya melihat sekeliling taman yang
sedang sepi. Hanya ada beberapa anak kecil sedang berlarian di sana. Sepertinya
mereka juga mengisi liburan sekolah.
Gabriel tersenyum melihat
anak-anak tersebut. Rasanya sudah lama dia tidak merasakan bahagianya bisa
bebas berlarian di luar seperti itu. Bertahun-tahun dia selalu mengurungkan
diri di kamar karena takut dengan dunia luar. Kalau tidak bersama adiknya, dia
pasti lebih memilih untuk tidur daripada keluar bermain.
Ketakutannya akan masa lalu
setiap hari selalu menghantui pikiran. Bukan hanya saat berhadapan dengan orang
lain, namun juga saat ia akan tidur di malam hari. Tidur nyenyaknya seringkali
diganggu oleh apa yang pernah dilakukan oleh Kiki, Olin dan Abner dulu. Apalagi
ketika mereka tawuran dengan sekolah lain.
Padahal, Gabriel pikir
dikhianati saja sudah parah. Tapi, mereka juga sampai menghabiskan nyawa orang.
Saat itu, Gabriel pulang terlambat dari sekolah, sehingga dia menyaksikan
kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri. Mereka tawuran dengan membawa
senjata tajam. Makanya, Gabriel sangat takut jika melihat pertengkaran. Ingin
rasanya ia menghentikan tawuran itu, tapi Gabriel tak mungkin masuk ke dalam
area berbahaya dengan tangan kosong. Bagaimana kalau nyawanya juga melayang
hanya gara-gara ingin memisahkan mereka?
Bunda dan Rio jelas mengetahui
hal ini. Walaupun Gabriel tidak bercerita dengan jelas karena ketakutan, mereka
berdua cukup mengerti bahwa Gabriel sudah tidak nyaman berada di sekolah itu.
Makanya, mereka langsung memindahkan Gabriel ke sekolah baru. Namun, ternyata
lagi-lagi Gabriel menjadi korban bullying
dengan teman-temannya yang baru. Mungkin baru sekolah Rio saja yang
pergaulannya bisa membuat Gabriel tidak terlalu takut. Walaupun waktu itu Cakka
sempat menusuknya dari belakang.
“Yel?” panggil Rio tiba-tiba
membuyarkan lamunan Gabriel.
“Hah?” Gabriel menoleh ke arah
Rio.
Rio tersenyum. “Ngelamunin apa
sih lo? Kayaknya serius banget.”
Gabriel menggeleng. “Nggak
ngelamunin apa-apa kok.”
“Serius?”
“Serius,” kata Gabriel. “Gue
cuma keinget sama masa lalu gue.”
Rio menepuk pundak Gabriel
pelan. “Udahlah, Yel, masa lalu lo itu nggak usah diinget-inget lagi kalau
semuanya bikin lo sakit. Bukannya sekarang lo tetep punya gue? Deva? Cakka
juga. Apa yang udah terjadi di masa lalu lo itu pasti nggak bakal terjadi
lagi.”
Gabriel diam saja.
“Dengerin gue deh, waktu itu
Bunda sempet bilang sama gue. Kalau kita itu nggak bisa menebak sifat manusia.
Bahkan sahabatpun bisa jahat sama kita,” kata Rio. “Setiap orang itu nggak
disukai semua orang. Pasti ada aja yang nggak suka sama kita. Contohnya Anka.”
“Untuk apa kita punya sahabat
kalau mereka juga bisa mencelakai kita?”
“Justru itu, Yel. Bunda
bilang, semua orang itu pada dasarnya baik. Tapi, ada beberapa hal yang membuat
mereka jahat,” kata Rio. “Sama kayak lo, Yel, lo itu sebenarnya nggak pengen
merasa takut sama orang, tapi lo punya alasan, kan?”
Gabriel diam sejenak.
“Jadi gue harus ngapain?”
tanya Gabriel.
“Lo harus berani menghadapi
apa yang ada di hidup lo. Nggak usah peduli deh apa kata orang lain tentang lo.
Yang penting lo menjadi diri lo sendiri,” kata Rio. “Lo juga nggak usah takut
dijahatin sama orang lain. Justru itu tugas lo buat bikin mereka baik lagi.”
Gabriel mengernyitkan dahinya
heran. “Bikin mereka yang jahat jadi baik? Bagaimana caranya?”
“Tetep baik sama semua orang,”
jawab Rio sambil tersenyum. “Nggak usah jauh-jauh, Yel. Mulai dari Cakka aja
dulu. Lo pasti tambah takut sama Cakka gara-gara dia jahat sama lo waktu itu,
kan? Nah, seharusnya lo tetep baik sama dia, supaya dia tau kalau lo itu
sebenarnya baik.”
Gabriel menghela nafasnya. “Lo
yakin dia mau menerima gue? Dari awal aja dia udah bilang gue kayak monster.”
“Itu karena dia belum kenal
sama lo,” kata Rio lagi. “Lo pikir kenapa gue tetep baik sama lo walaupun lo
bersikap takut dan aneh? Itu karena gue tahu lo itu sebenarnya baik. Makanya,
lo harus tunjukkin ke semua orang kalau lo itu bukan pecundang yang bisanya
sembunyi doang.”
“Begitu ya?” kata Gabriel.
Rio mengangguk cepat. “Udah
deh, nggak usah galau begitu gara-gara dijahatin Cakka. Gue mau ke rumah Cakka
sekarang, mendingan kita bareng-bareng minta maaf.”
Gabriel diam.
“Oke?” tanya Rio lagi sambil
tersenyum.
Gabriel tersenyum. “Oke.”
J L J
“Woi! Kalem kali!” seru Elang
begitu sebuah bola basket tiba-tiba menghampirinya karena lemparan asal Cakka.
Ini sudah kedua kalinya bola melambung ke arahnya. Padahal, Elang ada di
pinggir lapangan.
“Bodo! Biar puas gue!” seru
Cakka dari lapangan.
“Terus sampai kapan gue harus
nemenin lo kayak begini, hah?”
“Sampai gue puas! Malem kali!”
seru Cakka seenaknya.
Elang langsung melotot. “Gila
aja lo! Chiara siapa yang jagain di rumah?!”
“Bunda sama Ayah kan lagi
libur! Mereka pasti bisa jagain!”
Elang menghela nafasnya
melihat adiknya yang sudah seperti orang stres di lapangan basket. Dari tadi
dia hanya melempar bola sembarangan sehingga berkali-kali ia tak mampu mencetak
angka. Kalau tidak dilempar ke ring, pasti dilempar seenaknya. Dan
tumben-tumbennya dia tidak peduli Chiara tidak ada teman di rumah. Dasar,
beginilah Cakka kalau lagi kesal.
Tapi, memang sih, adiknya itu
memang sama sekali tak berniat latihan. Dia hanya melampiaskan emosinya yang
sudah terkumpul di dalam. Rencananya hari ini untuk berbaikan dengan Rio
lagi-lagi gagal. Tadi ia sempat berkunjung ke rumah Rio, tapi ternyata rumah
sahabatnya itu sedang kosong. Padahal, Cakka sudah memantapkan hatinya untuk
berbicara kepada sahabatnya itu.
Elang sih tidak ikut campur.
Dia hanya bertugas untuk menemaninya ke rumah Rio karena Cakka merasa tidak
sanggup melakukannya sendiri. Tapi, ternyata seperti ini. Takdir mungkin masih
betah mempermainkan adiknya. Ya mau bagaimana lagi? Adiknya itu meraung-raung tak
jelas juga tak akan mengubah keadaan. Salah siapa juga dari kemarin gengsi
terus!
J L J
Begitu sampai di rumah Cakka,
Rio tanpa ragu langsung mengetuk pintu rumahnya. Namun, sepertinya penghuni
rumah Cakka sedang pergi semua. Berkali-kali ia memanggil sahabatnya itu untuk
keluar membuka pintu, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Rio sampai mengacak
rambutnya karena hal itu.
“Kayaknya mau baikan aja susah
banget sih,” kata Rio sebal, membuat Gabriel tersenyum. “Ya udah deh, nanti
malem kita balik lagi ke sini. Kalau nggak ada orang juga berarti ini orang
lagi keluar kota juga.”
“Ya udah, yuk,” kata Gabriel
sambil melihat jam tangannya. “Kayaknya Bunda juga bentar lagi pulang deh. Udah
jam satu nih.”
“Hah? Serius? Mampus, kasihan
Bunda kalau pulang nggak ada orang.”
Mereka langsung segera pulang
dengan cepat. Padahal, tadi mereka rencananya akan sebentar saja keluar. Tapi
ternyata molor menjadi berjam-jam. Jam satu seharusnya mereka makan bersama
dengan Bunda di rumah.
“Kami pulang!” seru Rio begitu
mereka sampai di rumah. Ia langsung melepas sepatu dan segera pergi ke ruang
makan, diikuti oleh Gabriel. Dan ternyata benar, Bunda mereka sudah ada di
rumah. Beliau sedang menyiapkan makanan.
“Eh, Rio, Iel, kalian dari
mana?” tanya Bunda sambil tersenyum.
“Habis beli es, Bun, sekalian
mampir ke rumah Cakka. Tapi, ternyata rumahnya Cakka nggak ada orang. Nanti mau
ke sana lagi,” kata Rio nyengir. “Bunda udah nunggu lama ya? Maafin Rio sama
Iel ya, Bun. Habis kita bosen sih di rumah.”
Bunda tertawa. “Ya udah, nggak
apa-apa. Bunda ngerti kok. Ayo sekarang kita makan dulu. Nanti jam dua kan
Bunda mau balik lagi ke kantor.”
“Oke, Bun!” Gabriel dan Rio
langsung mengambil sepiring nasi beserta lauk-lauknya. Perut mereka sejak tadi
sudah keroncongan karena belum makan siang. Untungnya, makanan kesukaan mereka
sudah tersedia di atas meja begitu mereka pulang.
J L J
Saat malam tiba, Rio dan
Gabriel kembali pergi menuju rumah Cakka. Yang lucunya, kali ini ternyata
rencana mereka berjalan lebih lancar daripada yang sudah direncanakan. Padahal,
Rio masih menyiapkan mental selama perjalanan, tapi ternyata takdir
mempertemukan mereka di jalan. Elang yang mengerti suasana langsung kabur untuk
pulang duluan.
Rio diam saja menatap ke arah
Cakka begitu sahabatnya itu ada di hadapannya. Tak tahu harus berbicara apa.
Rasanya canggung karena mereka sudah lama tidak berkomunikasi.
Cakka juga tak mau kalah.
Mereka berdua seperti sedang berlomba-lomba siapa yang tahan untuk berdiam
diri. Sementara Gabriel hanya menatap mereka bingung, padahal ia sudah menunggu
Rio ataupun Cakka untuk berbicara duluan.
Cakka menghela nafasnya. “Hai,
Yo...”
Rio menganggukkan kepalanya
canggung. “Hmm... apa kabar lo?”
“Yah, seperti yang lo
lihat...” kata Cakka, masih canggung menghadapi Rio.
Suasana kembali hening.
Keduanya kembali tak mau berbicara, mungkin karena malu. Selang beberapa menit,
hanya jangkrik yang menemani mereka. Hingga pada akhirnya Rio dan Cakka
sama-sama bersuara.
“Yo...”
“Kka...”
Rio tersenyum. “Lo aja dulu,
Kka.”
Cakka menghela nafasnya. Ia
menatap Rio dan Gabriel sejenak, kemudian baru berbicara. “Pertama-tama, gue
udah lama banget pengen... minta maaf sama lo, Yo. Soal... pertengkaran kita
waktu itu. Seharusnya gue nggak nonjok lo balik.”
Rio menggelengkan kepalanya.
“Pertengkaran itu gue yang mulai, Kka. Gue yang harusnya minta maaf. Harusnya
gue bisa tahan emosi. Itu kan salah Anka, bukan salah lo.”
“Maksud lo?”
Rio tersenyum kembali. “Gue
udah tahu semuanya, Kka. Lo cuma terpaksa kan menerima tawaran Anka? Itupun lo
sebenarnya nggak benar-benar menerima. Tapi, lo juga nggak menolak. Lo cuma
melindungi kita supaya nggak dicelakain Anka. Jadi, lo nggak salah.”
Mata Cakka terbelalak kaget.
“Lo... lo tahu dari mana soal itu?”
“Ah, nggak penting lah gue
tahu dari mana. Yang pasti gue minta maaf banget sama lo, Kka,” kata Rio. Ia
langsung menarik sahabatnya itu ke dalam pelukannya. “Gue tahu, gue terlalu
mojokin lo selama ini, apalagi kalau udah menyangkut soal Gabriel.”
Cakka membalas pelukan Rio
sejenak, kemudian langsung melepasnya dengan cepat. Dia selalu canggung jika
dipeluk orang. Ia tersenyum tipis. “Harusnya gue yang bilang begitu, Yo. Gue
terlalu egois sampai nggak mau menerima kakak lo.”
“Mulai sekarang, kita baikan,
oke?” kata Rio. “Nggak ada lagi musuhan. Nggak ada lagi berantem. Lo tahu,
kakak gue sampai takut sama lo gara-gara lo nusuk dia dari belakang.”
Cakka nyengir. Ia menoleh ke
arah Gabriel. “Yel...”
Gabriel diam saja menatap
Cakka. Namun, dia juga tidak menolak ketika Cakka menariknya dan menepuk
punggungnya pelan. Kemudian, ia tersenyum. “Gue udah terlalu banyak salah sama
lo. Gue harap setelah ini... Hmm... lo bisa pelan-pelan menerima gue.”
Gabriel tetap diam. Ia hanya
tersenyum tipis.
“Sori juga, karena selama ini
gue selalu mojokin lo gara-gara sikap lo. Padahal, mungkin sikap gue lebih
buruk daripada lo. Justru gue yang membuat lo semakin nggak nyaman, kan?” kata
Cakka lagi.
Gabriel menggeleng. “Nggak
kok, Kka.”
“Lo... mau maafin gue, kan?”
tanya Cakka lagi.
Gabriel melirik Rio sejenak,
kemudian langsung menganggukkan kepalanya.
“Makasih, Yel.” kata Cakka,
sekali lagi memeluk Gabriel.
“Akhirnya, kita baikan juga.
Gue dari kemarin udah coba ngehubungin lo, tapi telepon lo sibuk terus, men!”
kata Rio akhirnya lega dengan hidupnya. “Sok sibuk banget sih lo!”
“Siapa yang sok sibuk?” kata
Cakka sambil melepas pelukannya dan menoleh ke arah Rio. Sifatnya sudah kembali
cuek. “Lo tuh yang sok sibuk! Tiap gue telepon nggak bisa masuk! Nomor yang
anda tuju sedang sibuk... Pusing gue dengerin ibu-ibu operator itu berkicau!”
“Wah, ternyata lo juga nyariin
gue? Ah! Nggak nyangka gue!” kata Rio senang.
“Eh, jangan GR ya, gue itu
nyariin lo karena gue udah nggak tahan! Beban hidup gue udah terlalu banyak
tahu nggak?” kata Cakka sambil membuang muka. Ia jelas tak mau Rio tahu dari
kemarin dia juga berusaha keras untuk meminta maaf.
“Alah, ngaku aja deh lo! Sok
sok pakai beban hidup segala, lo itu tanpa masalah pun beban hidup lo juga
banyak! Marah-marah terus sih kerjanya lo di sekolah!” kata Rio sambil tertawa
melihat reaksi Cakka.
“Yo, pernah ditonjok sama
gitar belum sih lo?”
“Belum tuh, mau dong, Kka!”
kata Rio sambil tertawa. Ia langsung menarik Gabriel kabur dari sana. “Yuk,
Yel, sebentar lagi kayaknya singa kita bakalan bangun lagi.”
“RIOO!!” Cakka langsung
mengejar dua temannya itu dengan kencang.
Rio terus tertawa sambil
berusaha kabur dari Cakka. Gabriel juga hanya tersenyum melihat adiknya. Paling
tidak, masalah mereka sudah selesai. Tidak akan ada lagi kegelisahan yang
dirasakan oleh adiknya tersebut karena bermusuhan dengan teman-temannya.
Gabriel sebenarnya masih takut
dengan Cakka. Apalagi dengan sikapnya yang memang berbeda. Dia menunjukkan
kebaikan dengan sifat cueknya. Tapi, mungkin Gabriel bisa memberinya waktu.
Seperti kata Rio, Cakka hanya perlu mengetahui kalau Gabriel adalah orang baik,
bukan?
Setiap
manusia di dunia
Pasti pernah
sakit hati
Hanya yang
berjiwa satria
Yang mau memaafkan
(Persahabatan – Sherina)
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p