Minggu, 05 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #10 [PERSAHABATAN]


Betapa bahagianya dapat saling menyayangi,
mensyukuri karunia-Nya

“Bro, lo kenapa sih?” tanya Alvin begitu Cakka berhenti dan segera duduk di pinggir lapangan. Padahal, Alvin baru saja mau melanjutkan aksinya lagi sebagai anak basket.
Cakka menggelengkan kepalanya cuek.
“Nggak biasanya lo gampang nyerah, pasti ada masalah,” kata Alvin sambil mendribel bola menuju tempat dimana Cakka duduk. Ia langsung mengambil tempat di sebelah Cakka. “Lo berantem sama Rio dan Deva?”

Cakka diam saja, tak berniat menjawab teman satu timnya tersebut.
Alvin tersenyum. “Ayolah, cerita sama gue. Kita udah berapa tahun sih temenan, nggak pernah gue kenal Cakka yang bakal berhenti latihan basket kalau belum bener-bener tepar.”
“Nggak ada apa-apa.” Cakka tetap bersikeras tak mau bercerita.
“Kalau nggak ada apa-apa, kenapa lo tiba-tiba ngajak gue ke sini? Biasanya kan lo mainnya sama Rio kalau basketan,” kata Alvin membuat Cakka bungkam. Alvin langsung menepuk pundak Cakka. “Lo itu ya sama Rio udah kayak perangko sama amplop. Sekalinya si perangko lepas kena angin, terpisahnya jauh banget.”
Cakka bergidik malas. “Apaan sih lo, nggak jelas banget.”  
Alvin tertawa. “Ya udah, masih mau lanjut nggak nih?”
“Main aja sendiri sana.”
“Yah, lo ngambek nih ceritanya?”
Cakka menggeleng.
“Ayo main kalau lo nggak ngambek, baru juga satu jam,” kata Alvin. “Ekskul yang dua jam setengah aja lo kuat, masa kayak begini aja udah males? Bukan sohib gue nih kayaknya.”
Cakka menggelengkan kepalanya.
“Ayolah!” Alvin tetap tidak menyerah. Dia melempar pelan bola basketnya untuk menepuk pundak Cakka dari samping.
“Apaan sih lo? Udah ah, main sendiri aja. Gue mau istirahat dulu.”
Alvin menggelengkan kepalanya. “Ya udah deh, setengah jam lagi lo main ya? Tanding satu lawan satu. Mumpung dompet gue lagi tebel nih. Bisa traktir loh kalau lo menang lawan gue!”
“Lo pikir gue takut?”
Alvin mengangkat kedua bahunya. “Siapa tahu aja.”
“Sialan lo!” kata Cakka kesal. Dia langsung berdiri dan mengikuti Alvin ke tengah lapangan, tak jadi beristirahat.
Alvin hanya tertawa menanggapinya. Dia benar-benar tahu kalau Cakka paling tidak suka diremehkan. Satu-satunya cara untuk membuat Cakka kembali bersemangat hanyalah dengan ‘merendahkan’-nya sedikit agar emosinya terpompa. Semua yang dekat dengan Cakka pasti tahu itu.

J L J

Siang ini, Gabriel sendirian saja di kamarnya. Rio sedang pergi sebentar, katanya ingin membeli lauk untuk makan siang. Tadinya Bunda ingin masak, tapi ternyata kulkas sudah kosong, jadilah Rio yang dimintai tolong untuk membeli beberapa lauk di restoran langganan mereka di dekat rumah.
Rasa sepi di rumah selalu membuat Gabriel bosan. Walaupun dia sudah terbiasa tidak memiliki teman di sekolah, sendirian tanpa adiknya itu terasa berbeda. Jadi, daripada bosan, Gabriel memutuskan untuk membaca buku yang diberikan Ray tempo hari.
Kehidupan adalah hal yang indah, apa saja dapat terjadi di dalamnya. Tergantung bagaimana kau menjalankannya.
Kalimat pendek tersebut tertera pada halaman pertama dari buku itu. Gabriel diam sejenak, kemudian membalikkan halamannya lagi. Sepertinya ini semacam buku motivasi. Banyak kalimat-kalimat serupa yang tertera di dalamnya. Namun, kalau dilihat dari halaman-halaman awal, buku tersebut seperti ingin menunjukkan bahwa hidup itu bisa menjadi indah jika kita percaya kebahagiaan itu ada.
 “Kejadian buruk pasti terjadi, namun bagaimana kita mengatasi kejadian tersebut yang menjadi bagian penting dari kehidupanmu...” suara Gabriel membaca kembali satu kalimat menarik dari buku itu. Ia kembali terdiam, kemudian menghela nafasnya pelan. Rasanya buku ini selalu menyindirnya dengan setiap kata yang tercantum di sana.
Bunda yang melihat anaknya sedang sendirian di kamar langsung tersenyum dan menghampirinya. Ia duduk di pinggir tempat tidur Gabriel dan menyapa, “Sendirian aja nih. Lagi baca apa, Yel?”
Gabriel mengangkat kepala. Ia tersenyum balik ke arah Bundanya. “Nggak kok, Bun. Ini buku temannya Rio sama Gabriel. Katanya bagus.”
“Iya, Rio juga sempat cerita kemarin. Katanya, buku itu bisa membuat kamu lebih bahagia. Bunda hanya berharap buku itu bisa menghilangkan rasa takutmu, Nak.”
Gabriel diam. Ia menundukkan kepalanya sejenak.
Bunda tersenyum. “Yel...”
Gabriel menatap Bundanya kembali. “Iya, Bun?”
“Walaupun kamu punya masa lalu yang kurang menyenangkan, kamu nggak perlu takut, Nak. Karena kejadian buruk itu hanya bermaksud menjadikan kamu kuat.” kata Bunda.
“Apa Iel sudah kuat, Bunda?” tanya Gabriel pelan.
Bunda mengangguk. “Tentu aja Iel kuat. Buktinya dulu kalau dijahatin temen, kamu selalu marah sama siapapun. Selalu menyalahkan Tuhan. Tapi, sekarang udah nggak.”
“Itu karena Iel sudah terlalu kebal disakiti, Bunda.”
“Itu kan artinya kamu sudah kuat, Yel,” kata Bunda lagi. “Tapi, kamu salah mengartikan kekuatan itu. Seharusnya kalau kamu sudah kebal, kamu tidak membiarkan semua orang menyakitimu begitu saja.”
Gabriel mengerutkan dahinya. “Maksudnya?”
“Jangan menjadi pribadi yang tertutup karena masa lalu, Yel. Buktikan pada mereka semua kalau kamu bisa hidup dengan bahagia walaupun kamu sering disakiti. Maafkan dan lupakan semua kesalahan di masa lalumu.” kata Bunda.
“Tapi, mereka jahat, Bunda. Iel bisa memaafkan mereka, tapi Iel nggak akan pernah bisa melupakan apa yang mereka lakukan ke Iel, Bun.” kata Gabriel menunduk.
Bunda menganggukan kepalanya. “Iya, Bunda mengerti, Yel. Tapi, jangan karena itu, kamu menjadi menutup diri. Percayalah, dunia sudah menunggumu. Sahabat sejatimu sudah menunggu di luar sana.”
“Apa ada yang namanya sahabat sejati, Bun?”
“Tentu aja ada. Di saat semua orang musuhin kamu, dia yang akan membela kamu mati-matian,” kata Bunda lembut. “Contohnya Deva, dia sangat baik padamu, kan?”
Gabriel diam sejenak, kemudian tersenyum kecil mengingat banyak kebaikan yang telah dilakukan Deva padanya. Benar juga, selama ini jika Rio dan Cakka bertengkar, dia yang selalu membela dan membelainya. Dia selalu melihat Gabriel dari sisi positif.
“Bunda benar, kan?” tanya Bunda lagi.
Gabriel mengangguk.
“Bunda! Iel! Rio udah pulang nih! Makan yuk!” tiba-tiba terdengar suara nyaring Rio dari luar.
“Tuh Rio udah pulang, ayo kita makan dulu. Nanti kita lanjutkan lagi ngobrolnya ya, Yel. Udah lama Bunda nggak denger cerita kamu.” kata Bunda mengelus puncak kepala Gabriel.
Gabriel tersenyum, kemudian mengangguk.
“Hei, kalian lagi ngobrol apa sih? Seru banget sampai nggak menjawab panggilan Rio.” Belum sempat Gabriel dan Bunda keluar kamar, Rio sudah muncul di ambang pintu.
“Ah, nggak ada kok, Yo. Cuma ngobrol biasa aja, habisnya Iel kesepian tuh nggak ada kamu,” kata Bunda sambil tertawa. “Lain kali kamu ajak main dong, Yo. Mumpung lagi liburan.”
Rio menepuk dahinya mendengar ucapan Bunda. “Wah, Bunda, untung ngomongin soal main. Rio baru inget mau main ke rumah Cakka buat menyelesaikan masalah.”
“Ya ampun, kalian masih bertengkar?” tanya Bunda kaget.
Rio nyengir. “Iya nih, Bun, cuma salah paham sih. Tapi, Rio belum sempet minta maaf sama dia. Rencananya sih besok. Nggak tahu deh dia ada di rumah atau nggak.”
“Coba kamu telepon aja dulu.”
“Ya udah, coba aku telepon pakai telepon rumah sebentar. Temenin yuk, Bun, Yel,” kata Rio. “Kan sekalian mau makan di bawah juga.”
“Ya udah, ayo.”
Rio, Gabriel dan Bunda turun bersama ke bawah dan menemani Rio yang ingin menelepon Cakka dengan harap-harap sahabatnya mau diajak bicara baik-baik. Tapi, ternyata tidak bisa.
“Yah, nggak bisa,” kata Rio kecewa. Ia menatap keluarganya sedih. “Ya udah deh, Bun, mendingan kita makan dulu. Nanti habis makan Rio telepon lagi. Mungkin sekarang Cakka lagi sibuk.”
Bunda tersenyum. “Ya sudah.”
Mereka segera menuju ruang makan dan menyantap makanan yang telah tersedia. Mata Gabriel langsung berbinar-binar begitu melihat ada beberapa makanan kesukaannya yang ada di dalam plastik. Rio memang selalu tahu apa yang bagaimana membuatnya senang.
Suasana makan siang mereka terhias dengan pembicaraan seru di antara mereka bertiga. Rio dan Gabriel menceritakan segala hal yang bisa mereka ceritakan, dari tentang sekolah, tentang persaudaraan mereka dan lain-lain. Pokoknya mereka tidak akan berhenti berbicara jika Bunda mereka belum tertawa. Apalagi Rio yang notabene memang sudah bawel dari dulu.
Setelah makan siang selesai, Rio kembali mencoba menghubungi Cakka. Ia mantapkan hatinya untuk berjiwa besar demi persahabatannya. Berkali-kali ia menekan tombol nomor rumah Cakka, berharap Cakka mengangkat. Tapi, lima kali di antaranya menyatakan penghuni rumah tidak menjawab. Begitu yang keenam kalinya, suara perempuan yang menyapa teleponnya mengubah kalimatnya.
Nomor yang anda tuju sedang sibuk...

J L J

Cakka membantingkan tubuhnya begitu ia sampai di rumah. Tubuhnya lelah karena seharian bermain basket di lapangan kompleknya. Keringat sudah banjir, membasahi baju basketnya. Tenaganya sudah benar-benar terkuras dan sekarang tak ada yang bisa membantunya untuk menjernihkan otaknya. Pusing dia harus berbuat apa lagi. Elang sepertinya masih ada di kampus, Chiara sedang jalan-jalan dengan Bunda. Ayah sedang bekerja di restoran.
Ia benar-benar bosan liburan sendiri. Tanpa ada Rio maupun Deva. Tapi, dia juga masih enggan untuk mengajak mereka untuk bermain. Selama liburan dua minggu ini, kedua sahabatnya itu tak pernah menghubunginya sekalipun. Pertengkaran mereka masih berlanjut sampai sekarang. Tak ada yang berani meminta maaf duluan.
Sebenarnya, Cakka bukannya tak ingin menyelesaikan masalahnya. Justru Cakka ingin ia cepat berbaikan dengan Rio dan Deva. Tapi, tidak kalau ia harus meminta maaf duluan. Bukankah waktu itu yang memukul pertama kali adalah Rio? Seharusnya, Rio yang merasa bersalah dan menyesali perbuatannya.
Mungkin Cakka juga salah karena dia menerima tawaran Anka sembarangan, tapi tetap saja Cakka ingin mereka yang datang kepadanya. Baginya, persahabatan itu sama sekali bukan hal yang bisa dipaksakan. Jika Rio dan Deva masih membutuhkan dirinya, mereka pasti akan datang untuk meminta maaf. Tapi, kalau tidak, ya Cakka bisa apa? Tidak ada.
Lalu, bagaimana dengan perasaan Cakka sendiri? Apa dia merasa tidak membutuhkan Rio dan Deva lagi, makanya tidak mau memulai duluan? Jawabannya adalah tidak. Sama sekali bukan seperti itu. Cakka hanya tak terbiasa meminta maaf. Ia hanya bisa memohon maaf jika orang lain memulainya duluan. Selalu seperti itu. Dia tak pernah mau berinisiatif sendiri. Itu bukan salahnya, kan?
“Huh...” desahnya pelan sambil beranjak dari tempat tidurnya. Ia mengambil baju piyamanya dari lemari dan segera mandi agar tubuhnya dapat segar kembali. Kalau dia memikirkan beban hidupnya terus, lama-lama dia bisa stres sendiri.
Setelah ia selesai mandi, dia langsung mengutak-atik ponselnya. Awalnya hanya iseng untuk memeriksa apakah ada pemberitahuan yang penting masuk ke dalam ponselnya. Tapi, ternyata ponselnya sedikit lemot, sehingga ia menekan-nekan asal.
“Apa sih? Kok lemot begini?” keluh Cakka sambil terus memijit-mijit tombol ponselnya. Sampai akhirnya ponsel Cakka membawanya ke daftar kontak. Terpampang nama Rio di sana, karena relasinya memang sedikit.
Seketika Cakka diam melihat nama sahabatnya di situ. Hatinya bergejolak. Otak dan perasaannya langsung perang batin. Haruskah dia menghubungi Rio? Tapi dia harus bilang apa?
Cakka memejamkan matanya, mempertimbangkan sejenak. Bagaimana kalau Rio kepedean kalau ia menelepon duluan? Atau bagaimana kalau Rio tidak memaafkannya karena waktu itu mereka sempat tonjok-tonjokan?
Apa lo mau kehilangan sahabat seperti mereka hanya demi uang haram itu?
Cakka membuka matanya kembali ketika suara Elang tiba-tiba menyusup ke dalam pikirannya. Tapi, bukannya justru menemukan jalan terang, ia justru tambah bimbang dengan pertanyaan tersebut. Tentu saja tidak! Dia tidak ingin kehilangan sahabat hanya karena uang. Uang itu kan bukan dasar persahabatannya dengan Rio dan Deva. Mereka memang saling peduli sejak kecil.
Lagian lo ngapain sih belain dia terus? Dibayar berapa sih lo?
Ah! Kalimat itu membuatnya skak mat seketika. Cakka bisa mengatakan kalau uang bukan dasar persahabatan. Tapi, justru senjata itu yang ia gunakan untuk membela diri dulu ketika dimarahi Deva. Kalau dipikir-pikir sekarang, Cakka jadi merasa bersalah. Harusnya dia malu telah mengatakan hal seperti itu.
Cakka menghela nafasnya. Ia memutuskan utuk menelepon Rio. Tak ada gunanya ia berpikir lagi, pasti kesalahannya jauh lebih banyak daripada sahabatnya itu. Lagipula, Cakka juga ingin hidupnya segera tenang kembali. Bukan gelisah seperti ini. Namun, tak lama kemudian...
Nomor yang anda tuju sedang sibuk...

J L J

Beberapa hari kemudian...
Siang yang begitu terik membuat Rio malas melakukan apapun di rumah. Rasanya ia ingin tidur seharian sampai malam tiba, tapi ia tak bisa terlelap bagaimanapun caranya. Sementara itu, Gabriel sedang menulis-nulis sendiri di meja belajar, menemani adiknya yang merasa bosan tersebut.
“Yel, enaknya ngapain ya? Kayaknya mau ngapa-ngapain males. Pengen keluar tapi nggak tahu mau kemana.” keluh Rio sambil membolak-balikkan posisi tidurnya, berusaha mencari posisi yang enak.
Gabriel menoleh dan tersenyum ke arah Rio. “Main basket?”
“Main basket mau ngajak siapa? Lo mau main?”
Gabriel menggeleng. “Gue pengen di rumah aja sih.”
“Ya udah, kalau begitu jangan main basket dong. Udah tahu dari kemarin gue mau baikan sama Cakka nggak jadi-jadi melulu,” kata Rio sambil menghela nafas. “Bunda kan lagi kerja, Deva lagi keluar kota.”
Ah ya, benar. Deva memang sedang keluar kota dengan keluarganya. Dalam liburan ini mereka berusaha memanfaatkan waktu agar sekeluarga bisa berkumpul dan bermain bersama. Nanti kalau sudah masuk sekolah dan kerja, pasti akan susah untuk berkumpul lagi karena sibuk masing-masing. Katanya sih, mereka ke Surabaya sampai minggu depan.
“Udah, tidur aja, Yo.” kata Gabriel lagi.
“Astaga, kalau gue bisa tidur, dari tadi gue juga udah ngebo kali, Yel. Masalahnya, gue nggak bisa pules dari tadi!” kata Rio. “Atau lo mau nemenin gue beli es nggak sebentar?”
Gabriel tersenyum. “Boleh.”
“Ya udah, ayo. Nanti baru mikirin lagi deh mau ngapain.” Rio langsung beranjak dari tempat tidurnya dan memakai jaket abu-abu. Gabriel juga ikut bersiap-siap, kemudian mereka langsung melesat ke taman, dimana biasanya tukang es berjualan.
“Lo mau juga nggak, Yel?” tanya Rio ketika mereka sudah ada di tukang es.
Gabriel menggeleng.
“Ya udah, es cokelatnya satu ya, Bu!” pesan Rio kepada tukang es tersebut.
“Iya, Nak. Nih!” kata tukang es tersebut dengan cepat menyiapkan es cokelat dan memberikannya kepada Rio. “Semuanya lima ribu, Dik.”
“Oke, Bu, ini uangnya, makasih ya!” kata Rio. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, duduk dulu yuk.”
Gabriel mengangguk. Ia mengikuti langkah kaki adiknya menuju bangku panjang yang ada di taman. Sambil menunggu Rio menghabiskan esnya, Gabriel hanya melihat sekeliling taman yang sedang sepi. Hanya ada beberapa anak kecil sedang berlarian di sana. Sepertinya mereka juga mengisi liburan sekolah.
Gabriel tersenyum melihat anak-anak tersebut. Rasanya sudah lama dia tidak merasakan bahagianya bisa bebas berlarian di luar seperti itu. Bertahun-tahun dia selalu mengurungkan diri di kamar karena takut dengan dunia luar. Kalau tidak bersama adiknya, dia pasti lebih memilih untuk tidur daripada keluar bermain.
Ketakutannya akan masa lalu setiap hari selalu menghantui pikiran. Bukan hanya saat berhadapan dengan orang lain, namun juga saat ia akan tidur di malam hari. Tidur nyenyaknya seringkali diganggu oleh apa yang pernah dilakukan oleh Kiki, Olin dan Abner dulu. Apalagi ketika mereka tawuran dengan sekolah lain.
Padahal, Gabriel pikir dikhianati saja sudah parah. Tapi, mereka juga sampai menghabiskan nyawa orang. Saat itu, Gabriel pulang terlambat dari sekolah, sehingga dia menyaksikan kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri. Mereka tawuran dengan membawa senjata tajam. Makanya, Gabriel sangat takut jika melihat pertengkaran. Ingin rasanya ia menghentikan tawuran itu, tapi Gabriel tak mungkin masuk ke dalam area berbahaya dengan tangan kosong. Bagaimana kalau nyawanya juga melayang hanya gara-gara ingin memisahkan mereka?
Bunda dan Rio jelas mengetahui hal ini. Walaupun Gabriel tidak bercerita dengan jelas karena ketakutan, mereka berdua cukup mengerti bahwa Gabriel sudah tidak nyaman berada di sekolah itu. Makanya, mereka langsung memindahkan Gabriel ke sekolah baru. Namun, ternyata lagi-lagi Gabriel menjadi korban bullying dengan teman-temannya yang baru. Mungkin baru sekolah Rio saja yang pergaulannya bisa membuat Gabriel tidak terlalu takut. Walaupun waktu itu Cakka sempat menusuknya dari belakang.
“Yel?” panggil Rio tiba-tiba membuyarkan lamunan Gabriel.
“Hah?” Gabriel menoleh ke arah Rio.
Rio tersenyum. “Ngelamunin apa sih lo? Kayaknya serius banget.”
Gabriel menggeleng. “Nggak ngelamunin apa-apa kok.”
“Serius?”
“Serius,” kata Gabriel. “Gue cuma keinget sama masa lalu gue.”
Rio menepuk pundak Gabriel pelan. “Udahlah, Yel, masa lalu lo itu nggak usah diinget-inget lagi kalau semuanya bikin lo sakit. Bukannya sekarang lo tetep punya gue? Deva? Cakka juga. Apa yang udah terjadi di masa lalu lo itu pasti nggak bakal terjadi lagi.”
Gabriel diam saja.
“Dengerin gue deh, waktu itu Bunda sempet bilang sama gue. Kalau kita itu nggak bisa menebak sifat manusia. Bahkan sahabatpun bisa jahat sama kita,” kata Rio. “Setiap orang itu nggak disukai semua orang. Pasti ada aja yang nggak suka sama kita. Contohnya Anka.”
“Untuk apa kita punya sahabat kalau mereka juga bisa mencelakai kita?”
“Justru itu, Yel. Bunda bilang, semua orang itu pada dasarnya baik. Tapi, ada beberapa hal yang membuat mereka jahat,” kata Rio. “Sama kayak lo, Yel, lo itu sebenarnya nggak pengen merasa takut sama orang, tapi lo punya alasan, kan?”
Gabriel diam sejenak.
“Jadi gue harus ngapain?” tanya Gabriel.
“Lo harus berani menghadapi apa yang ada di hidup lo. Nggak usah peduli deh apa kata orang lain tentang lo. Yang penting lo menjadi diri lo sendiri,” kata Rio. “Lo juga nggak usah takut dijahatin sama orang lain. Justru itu tugas lo buat bikin mereka baik lagi.”
Gabriel mengernyitkan dahinya heran. “Bikin mereka yang jahat jadi baik? Bagaimana caranya?”
“Tetep baik sama semua orang,” jawab Rio sambil tersenyum. “Nggak usah jauh-jauh, Yel. Mulai dari Cakka aja dulu. Lo pasti tambah takut sama Cakka gara-gara dia jahat sama lo waktu itu, kan? Nah, seharusnya lo tetep baik sama dia, supaya dia tau kalau lo itu sebenarnya baik.”
Gabriel menghela nafasnya. “Lo yakin dia mau menerima gue? Dari awal aja dia udah bilang gue kayak monster.”
“Itu karena dia belum kenal sama lo,” kata Rio lagi. “Lo pikir kenapa gue tetep baik sama lo walaupun lo bersikap takut dan aneh? Itu karena gue tahu lo itu sebenarnya baik. Makanya, lo harus tunjukkin ke semua orang kalau lo itu bukan pecundang yang bisanya sembunyi doang.”
“Begitu ya?” kata Gabriel.
Rio mengangguk cepat. “Udah deh, nggak usah galau begitu gara-gara dijahatin Cakka. Gue mau ke rumah Cakka sekarang, mendingan kita bareng-bareng minta maaf.”
Gabriel diam.
“Oke?” tanya Rio lagi sambil tersenyum.
Gabriel tersenyum. “Oke.”

J L J

“Woi! Kalem kali!” seru Elang begitu sebuah bola basket tiba-tiba menghampirinya karena lemparan asal Cakka. Ini sudah kedua kalinya bola melambung ke arahnya. Padahal, Elang ada di pinggir lapangan.
“Bodo! Biar puas gue!” seru Cakka dari lapangan.
“Terus sampai kapan gue harus nemenin lo kayak begini, hah?”
“Sampai gue puas! Malem kali!” seru Cakka seenaknya.
Elang langsung melotot. “Gila aja lo! Chiara siapa yang jagain di rumah?!”
“Bunda sama Ayah kan lagi libur! Mereka pasti bisa jagain!”
Elang menghela nafasnya melihat adiknya yang sudah seperti orang stres di lapangan basket. Dari tadi dia hanya melempar bola sembarangan sehingga berkali-kali ia tak mampu mencetak angka. Kalau tidak dilempar ke ring, pasti dilempar seenaknya. Dan tumben-tumbennya dia tidak peduli Chiara tidak ada teman di rumah. Dasar, beginilah Cakka kalau lagi kesal.
Tapi, memang sih, adiknya itu memang sama sekali tak berniat latihan. Dia hanya melampiaskan emosinya yang sudah terkumpul di dalam. Rencananya hari ini untuk berbaikan dengan Rio lagi-lagi gagal. Tadi ia sempat berkunjung ke rumah Rio, tapi ternyata rumah sahabatnya itu sedang kosong. Padahal, Cakka sudah memantapkan hatinya untuk berbicara kepada sahabatnya itu.
Elang sih tidak ikut campur. Dia hanya bertugas untuk menemaninya ke rumah Rio karena Cakka merasa tidak sanggup melakukannya sendiri. Tapi, ternyata seperti ini. Takdir mungkin masih betah mempermainkan adiknya. Ya mau bagaimana lagi? Adiknya itu meraung-raung tak jelas juga tak akan mengubah keadaan. Salah siapa juga dari kemarin gengsi terus!

J L J

Begitu sampai di rumah Cakka, Rio tanpa ragu langsung mengetuk pintu rumahnya. Namun, sepertinya penghuni rumah Cakka sedang pergi semua. Berkali-kali ia memanggil sahabatnya itu untuk keluar membuka pintu, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Rio sampai mengacak rambutnya karena hal itu.
“Kayaknya mau baikan aja susah banget sih,” kata Rio sebal, membuat Gabriel tersenyum. “Ya udah deh, nanti malem kita balik lagi ke sini. Kalau nggak ada orang juga berarti ini orang lagi keluar kota juga.”
“Ya udah, yuk,” kata Gabriel sambil melihat jam tangannya. “Kayaknya Bunda juga bentar lagi pulang deh. Udah jam satu nih.”
“Hah? Serius? Mampus, kasihan Bunda kalau pulang nggak ada orang.”
Mereka langsung segera pulang dengan cepat. Padahal, tadi mereka rencananya akan sebentar saja keluar. Tapi ternyata molor menjadi berjam-jam. Jam satu seharusnya mereka makan bersama dengan Bunda di rumah.
“Kami pulang!” seru Rio begitu mereka sampai di rumah. Ia langsung melepas sepatu dan segera pergi ke ruang makan, diikuti oleh Gabriel. Dan ternyata benar, Bunda mereka sudah ada di rumah. Beliau sedang menyiapkan makanan.
“Eh, Rio, Iel, kalian dari mana?” tanya Bunda sambil tersenyum.
“Habis beli es, Bun, sekalian mampir ke rumah Cakka. Tapi, ternyata rumahnya Cakka nggak ada orang. Nanti mau ke sana lagi,” kata Rio nyengir. “Bunda udah nunggu lama ya? Maafin Rio sama Iel ya, Bun. Habis kita bosen sih di rumah.”
Bunda tertawa. “Ya udah, nggak apa-apa. Bunda ngerti kok. Ayo sekarang kita makan dulu. Nanti jam dua kan Bunda mau balik lagi ke kantor.”
“Oke, Bun!” Gabriel dan Rio langsung mengambil sepiring nasi beserta lauk-lauknya. Perut mereka sejak tadi sudah keroncongan karena belum makan siang. Untungnya, makanan kesukaan mereka sudah tersedia di atas meja begitu mereka pulang.

J L J

Saat malam tiba, Rio dan Gabriel kembali pergi menuju rumah Cakka. Yang lucunya, kali ini ternyata rencana mereka berjalan lebih lancar daripada yang sudah direncanakan. Padahal, Rio masih menyiapkan mental selama perjalanan, tapi ternyata takdir mempertemukan mereka di jalan. Elang yang mengerti suasana langsung kabur untuk pulang duluan.
Rio diam saja menatap ke arah Cakka begitu sahabatnya itu ada di hadapannya. Tak tahu harus berbicara apa. Rasanya canggung karena mereka sudah lama tidak berkomunikasi.
Cakka juga tak mau kalah. Mereka berdua seperti sedang berlomba-lomba siapa yang tahan untuk berdiam diri. Sementara Gabriel hanya menatap mereka bingung, padahal ia sudah menunggu Rio ataupun Cakka untuk berbicara duluan.
Cakka menghela nafasnya. “Hai, Yo...”
Rio menganggukkan kepalanya canggung. “Hmm... apa kabar lo?”
“Yah, seperti yang lo lihat...” kata Cakka, masih canggung menghadapi Rio.
Suasana kembali hening. Keduanya kembali tak mau berbicara, mungkin karena malu. Selang beberapa menit, hanya jangkrik yang menemani mereka. Hingga pada akhirnya Rio dan Cakka sama-sama bersuara.
“Yo...”
“Kka...”
Rio tersenyum. “Lo aja dulu, Kka.”
Cakka menghela nafasnya. Ia menatap Rio dan Gabriel sejenak, kemudian baru berbicara. “Pertama-tama, gue udah lama banget pengen... minta maaf sama lo, Yo. Soal... pertengkaran kita waktu itu. Seharusnya gue nggak nonjok lo balik.”
Rio menggelengkan kepalanya. “Pertengkaran itu gue yang mulai, Kka. Gue yang harusnya minta maaf. Harusnya gue bisa tahan emosi. Itu kan salah Anka, bukan salah lo.”
“Maksud lo?”
Rio tersenyum kembali. “Gue udah tahu semuanya, Kka. Lo cuma terpaksa kan menerima tawaran Anka? Itupun lo sebenarnya nggak benar-benar menerima. Tapi, lo juga nggak menolak. Lo cuma melindungi kita supaya nggak dicelakain Anka. Jadi, lo nggak salah.”
Mata Cakka terbelalak kaget. “Lo... lo tahu dari mana soal itu?”
“Ah, nggak penting lah gue tahu dari mana. Yang pasti gue minta maaf banget sama lo, Kka,” kata Rio. Ia langsung menarik sahabatnya itu ke dalam pelukannya. “Gue tahu, gue terlalu mojokin lo selama ini, apalagi kalau udah menyangkut soal Gabriel.”
Cakka membalas pelukan Rio sejenak, kemudian langsung melepasnya dengan cepat. Dia selalu canggung jika dipeluk orang. Ia tersenyum tipis. “Harusnya gue yang bilang begitu, Yo. Gue terlalu egois sampai nggak mau menerima kakak lo.”
“Mulai sekarang, kita baikan, oke?” kata Rio. “Nggak ada lagi musuhan. Nggak ada lagi berantem. Lo tahu, kakak gue sampai takut sama lo gara-gara lo nusuk dia dari belakang.”
Cakka nyengir. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel...”
Gabriel diam saja menatap Cakka. Namun, dia juga tidak menolak ketika Cakka menariknya dan menepuk punggungnya pelan. Kemudian, ia tersenyum. “Gue udah terlalu banyak salah sama lo. Gue harap setelah ini... Hmm... lo bisa pelan-pelan menerima gue.”
Gabriel tetap diam. Ia hanya tersenyum tipis.
“Sori juga, karena selama ini gue selalu mojokin lo gara-gara sikap lo. Padahal, mungkin sikap gue lebih buruk daripada lo. Justru gue yang membuat lo semakin nggak nyaman, kan?” kata Cakka lagi.
Gabriel menggeleng. “Nggak kok, Kka.”
“Lo... mau maafin gue, kan?” tanya Cakka lagi.
Gabriel melirik Rio sejenak, kemudian langsung menganggukkan kepalanya.
“Makasih, Yel.” kata Cakka, sekali lagi memeluk Gabriel.
“Akhirnya, kita baikan juga. Gue dari kemarin udah coba ngehubungin lo, tapi telepon lo sibuk terus, men!” kata Rio akhirnya lega dengan hidupnya. “Sok sibuk banget sih lo!”
“Siapa yang sok sibuk?” kata Cakka sambil melepas pelukannya dan menoleh ke arah Rio. Sifatnya sudah kembali cuek. “Lo tuh yang sok sibuk! Tiap gue telepon nggak bisa masuk! Nomor yang anda tuju sedang sibuk... Pusing gue dengerin ibu-ibu operator itu berkicau!”
“Wah, ternyata lo juga nyariin gue? Ah! Nggak nyangka gue!” kata Rio senang.
“Eh, jangan GR ya, gue itu nyariin lo karena gue udah nggak tahan! Beban hidup gue udah terlalu banyak tahu nggak?” kata Cakka sambil membuang muka. Ia jelas tak mau Rio tahu dari kemarin dia juga berusaha keras untuk meminta maaf.
“Alah, ngaku aja deh lo! Sok sok pakai beban hidup segala, lo itu tanpa masalah pun beban hidup lo juga banyak! Marah-marah terus sih kerjanya lo di sekolah!” kata Rio sambil tertawa melihat reaksi Cakka.
“Yo, pernah ditonjok sama gitar belum sih lo?”
“Belum tuh, mau dong, Kka!” kata Rio sambil tertawa. Ia langsung menarik Gabriel kabur dari sana. “Yuk, Yel, sebentar lagi kayaknya singa kita bakalan bangun lagi.”
“RIOO!!” Cakka langsung mengejar dua temannya itu dengan kencang.
Rio terus tertawa sambil berusaha kabur dari Cakka. Gabriel juga hanya tersenyum melihat adiknya. Paling tidak, masalah mereka sudah selesai. Tidak akan ada lagi kegelisahan yang dirasakan oleh adiknya tersebut karena bermusuhan dengan teman-temannya.
Gabriel sebenarnya masih takut dengan Cakka. Apalagi dengan sikapnya yang memang berbeda. Dia menunjukkan kebaikan dengan sifat cueknya. Tapi, mungkin Gabriel bisa memberinya waktu. Seperti kata Rio, Cakka hanya perlu mengetahui kalau Gabriel adalah orang baik, bukan?

Setiap manusia di dunia
Pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa satria
Yang mau memaafkan
(Persahabatan – Sherina)

 TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p