—Lelah kaki
melangkah, tersesat tiada arah, suara hati smakin lemah
terkikis oleh amarah—
Rio menghela nafasnya menatap
Gabriel yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. Kakak kembarnya itu ia
temukan di taman komplek, tempat dulu biasanya mereka bermain. Kedua tangannya
yang besar dikatupkan kuat. Badannya bergetar karena tangisan yang keluar
darinya tak berhenti. Yang terdengar di telinga Rio hanyalah isakan sedihnya.
Ia benci melihat Rio dan Cakka
bertengkar. Makanya, dia pergi diam-diam saat mereka masih sibuk berteriak satu
sama lain. Rio baru sadar, ternyata pertengkarannya dengan Cakka berdampak
sangat buruk terhadap hidup Gabriel. Ia benar-benar menyesal telah menghabisi
sahabatnya itu jika akhirnya ia harus membuat kakaknya seperti ini.
“Yel...” Rio bersuara. Ia
segera duduk di sebelah kakaknya dan memegang sebelah pundaknya. “Udah dong
nangisnya...”
Gabriel tampak tidak peduli,
ia tetap sibuk terisak.
“Yel, gue minta maaf kalau gue
salah,” kata Rio mengelus pundak Gabriel. “Gue sama sekali nggak tahu lo
ketakutan.”
“Harusnya lo ngerti gue, Yo!”
kata Gabriel. Ia menoleh ke arah adiknya, menampakkan matanya yang sudah
sembab. Hidungnya juga merah akibat menangis. “Lo bukannya melindungi, malah
justru melempar gue ke masa lalu lagi! Gue benci masa itu, Yo! Gue benci!”
“Iya, gue tahu,” kata Rio
sedih. “Gue minta maaf. Mewakili Cakka juga.”
Gabriel menggeleng. “Nggak
usah, Yo. Nggak penting, Yo.”
“Tapi...”
“Gue udah berkali-kali bilang
sama lo, Yo. Semua orang itu sama aja! Mereka itu selalu baik di hadapan gue,
padahal sebenarnya mereka benci banget,” kata Gabriel menyela. “Selalu aja
kayak begini.”
“Tapi, gue yakin Cakka nggak
bermaksud kayak begitu, Yel,” kata Rio lagi. “Gue udah temenan sama dia
bertahun-tahun. Dan sebenci-bencinya dia sama orang, dia nggak akan nekat kayak
begitu.”
“Lo nggak usah belain dia,
Yo!” kata Gabriel. “Percuma lo nyemangatin gue terus kalau semua orang di dunia
ini tetep musuhin gue! Lo nggak tahu rasanya difitnah berkali-kali, masuk ruang
BP karena kesalahan yang nggak gue lakukan, dihina sampai dikeluarin! Sakit,
Yo! SAKIT!”
“Oke, kalau lo nggak mau
mikirin gue, setidaknya lo pikir soal Bunda! Kalau lo begini terus, Bunda
bagaimana?! Lo mau Bunda nangis terus gara-gara lo frustasi kayak dulu, hah?!”
tanya Rio lagi. “Gue begini juga karena gue sayang sama lo, Gabriel!”
“Bukannya lo juga udah janji
kalau temen-temen lo itu nggak bakal nyakitin gue? Tapi, nyatanya apa? Cakka
nusuk gue dari belakang! Itu masih belum cukup buat lo?!” tanya Gabriel. Ia
berdiri dan menatap adiknya putus asa. “Perasaan gue bukan terbuat dari besi,
Yo! Dia nggak bisa terus-terusan disakitin! Tapi, kayaknya takdir seneng banget
mempermainkan gue!”
“Terus apa lo bakal terus
ngebiarin takdir mengatur hidup lo?” tanya Rio lagi.
“Memangnya gue bisa apa, Yo?
Lo lihat sendiri kan, gue udah berkali-kali bangkit dari kejadian serupa.
Bahkan dari gue kecil! Tapi, selalu aja terulang lagi! Dan gue nggak tahan!”
kata Gabriel. Air matanya mulai menitik kembali membasahi kedua pipinya.
Suaranya mulai melemah. “Gue bukan anak kecil yang bisa begitu ngelupain
masalah gue, Yo...”
“Kalau begitu, mau lo bagaimana sekarang, Yel?” tanya Rio
akhirnya menyerah.
Gabriel menghapus air matanya
sejenak. “Gue mau berhenti sekolah.”
Mata Rio terbelalak begitu
mendengar ucapan kakaknya tersebut. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya
dan merangkul kakaknya. “Yel... lo serius?”
Gabriel menunduk. “Gue udah
terlalu capek keluar masuk sekolah terus, Yo. Buat apa gue nyusahin lo dan
Bunda, kalau ujung-ujungnya gue nggak nyaman juga? Buat apa gue sekolah kalau
gue pasti akan dikeluarin juga?”
Rio menggeleng. “Nggak, gue
nggak akan ngebiarin lo dikeluarin kali ini.”
“Ini baru permulaan, Yo,” kata
Gabriel. “Baru sebulan gue sekolah di sekolah lo, Cakka udah nusuk gue dari
belakang, mungkin esok hari dia bisa melakukan hal yang lebih kejam. Belum
lagi, ada Anka. Bukannya gue lebih baik keluar? Bukan cuma gue yang terluka, lo
juga. Lihat aja lo sekarang. Lebam dimana-mana.”
“Gue nggak apa-apa, Yel. Demi
melindungi saudara gue, apapun bakal gue lakukan,” kata Rio tersenyum. Ia
menghela nafasnya. “Gue mohon, Yel, lo bangkit sekali lagi.”
“Yo, untuk bangkit itu nggak
segampang yang lo kira,” kata Gabriel. “Ada kalanya luka yang gue terima nggak
akan bisa gue sembuhin lagi. Kayak sekarang.”
Rio terdiam, kemudian duduk kembali di kursi panjang. Ia
benar-benar kehabisan cara untuk membuat Gabriel untuk tetap semangat. Bodoh!
Seharusnya ia tahu Gabriel justru akan semakin frustasi kalau ia bertengkar
dengan Cakka seperti ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Misinya mengubah
Gabriel bukannya berhasil, justru malah mengorbankan persahabatannya juga.
“Ya udah, nanti aja baru kita
bicarakan lagi, Yel, mendingan kita pulang. Lo harus istirahat. Tenaga lo pasti
terkuras gara-gara emosi dari tadi.” kata Rio akhirnya. Ia beranjak dari
kursinya dan merangkul Gabriel meninggalkan taman itu.
Kau membuatku
mengerti hidup ini
Kita terlahir
bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis
dengan tinta pesan damai
Kan terwujud harmony
(Harmony – Padi)
J L J
“ADUH!” teriak Cakka nyaring
begitu kakaknya menempelkan obat kepada luka di bibirnya. Begitu tahu adiknya
itu berkelahi, ia langsung buru-buru mengambil kotak P3K dan mengajak Cakka
duduk di ruang keluarga terlebih dahulu. Tak peduli apa motif pertengkaran
Cakka hari ini. Adiknya itu tidak akan pernah bercerita apapun yang terjadi
kepadanya. Yang pasti, Elang tahu Cakka harus segera diobati kalau tidak ingin
membuat orang tua mereka khawatir.
“Pelan-pelan kenapa sih, Mas?
Sakit tahu!” kata Cakka sebal.
Elang menghela nafasnya
menatap Cakka. “Makanya, jangan berantem terus. Ngapain sih pakai
tonjok-tonjokan segala? Sama sahabat sendiri juga! Bukannya baik-baik belajar
di sekolah, malah nggak bener.”
“Ih, Mas, udah tahu lagi
sakit, malah diomelin! Lagian Rio yang mulai nonjok, bukan gue!” kata Cakka
sambil meringis. “Kalau dia nggak kasar sama gue kayak begitu, gue nggak akan
nonjok dia juga!”
“Tapi, lo bisa kan nggak usah
ngebales? Udah dapet luka, lo juga jadi musuhan sama Rio, kan?” kata Elang
sambil mengobati Cakka pelan-pelan. “Tadi Ayah dan Bunda nggak ngomong apa-apa
sama lo di bawah?”
“Nggak,” Cakka kembali
meringis. “Udah deh, obatin gue aja cepet. Nggak usah banyak ngomong. Gue mau
istirahat kali, Mas!”
“Yeee... gue bawel begini kan
karena gue peduli sama lo. Gue kenal lo, Rio dan Deva itu bukan sehari dua
hari. Tapi, udah bertahun-tahun! Dan tiap kali ada masalah pasti lo
penyebabnya.” kata Elang.
Cakka menyingkirkan tangan Elang
dari wajahnya. Ia melotot tajam ke arah kakaknya. “Oh, jadi lo nyalahin gue
juga?”
“Gue nggak ngomong begitu,”
kata Elang cuek. “Gue hanya bicara fakta. Kalau lo udah sentimen begini,
biasanya lo yang salah. Cuma lo aja yang nggak mau ngaku.”
“Lo tahu apa sih soal masalah
gue?” kata Cakka bergidik kesal. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya. “Lo
sama sekali nggak ada di tempat kejadian malah seenaknya nuduh orang. Udah tahu
adiknya luka begini!”
“Gue bukannya nyalahin lo,
tapi gue pengen lo sadar diri. Dalam masalah begini, lo juga nggak bisa
selamanya merasa bener. Lo lihat posisi orang lain. Pikirkan bagaimana perasaan
mereka supaya lo bisa nyelesein masalah lo dengan kepala dingin!” kata Elang.
“Huh, terserah lo deh, Mas!”
kata Cakka nyaring. Ia meringis sejenak merasakan lukanya, kemudian melanjutkan
ucapannya lagi. “Semuanya aja nyalahin gue! Memang gue nggak pernah penting kan
buat lo semua?”
“Eh, lo mau kemana?!” tanya
Elang melihat adiknya berjalan pergi.
“BUKAN URUSAN LO!” teriak
Cakka.
Elang hanya bisa menghela
nafasnya melihat tingkah adiknya. Kalau sudah bertengkar, pasti Cakka akan
mengurungkan diri. Dalam menghadapi masalah, ia tak pernah mau peduli dengan
orang lain.
Cakka membantingkan tubuhnya
di tempat tidur begitu sampai di kamar. Ia meraba lukanya sejenak, kemudian
kembali meringis. Masih terasa sakit karena kakaknya belum selesai
membersihkannya. Tapi, ia sama sekali tidak peduli dengan itu lagi. Yang
terpenting sekarang, Cakka marah dengan semuanya.
Memang sih, waktu itu Cakka menerima
tawaran Anka, tapi itu kan terpaksa? Cakka hanya menerimanya karena Anka tidak
membiarkannya pulang. Jadi, Cakka sama sekali tidak merasa bersalah. Ia tidak
mengiyakan tawaran Anka, tapi tidak menolaknya juga. Soal bayaran Anka, Cakka
hanya ingin memakainya agar Elang tidak cerewet lagi menyuruh-nyuruhnya mencari
pekerjaan.
“Kak Cakka?” seru Chiara
dengan takut-takut dari balik pintu saat Cakka masih tengah melamun. Ia bersembunyi
di balik pintu, takut kakaknya terganggu dengan kehadirannya. Suaranya agak
serak lantaran sudah siap menangis. Matanya berkaca-kaca.
Cakka bangkit dari tidurnya.
Ia menatap gadis kecil itu sendu. “Chiara?”
“Chiara boleh masuk?” kata
Chiara pelan.
“Sini, Ra.” kata Cakka
langsung merentangkan tangannya, mengisyaratkan Chiara untuk menghampirinya. Namun,
Chiara justru menyembunyikan kepalanya dan menangis.
Cakka berjalan menuju tempat
dimana Chiara berdiri, kemudian menyamakan tingginya dengan adik kecilnya itu. “Kamu
kenapa? Kok nangis sih?”
Cakka berusaha untuk mengelus
puncak kepala Chiara, namun Chiara justru terkesan menghindar. Ia mundur satu
langkah Cakka tidak bisa menyentuhnya. Cakka sampai kaget dengan respon adiknya
tersebut.
“Chiara...”
“Kak Cakka luka...” kata
Chiara sambil terisak.
Cakka tersenyum. “Kak Cakka nggak
apa-apa kok, Ra...”
“Kak Cakka galak sama Mas
Elang.” kata Chiara lagi.
Raut wajah Cakka seketika
berubah. Ia baru menyadari sesuatu. Pasti tadi Chiara melihat pertengkarannya
dengan Elang sehingga dia bisa seperti ini. Cakka menjadi merasa bersalah telah
mencontoh sikap buruk kepada adik kesayangannya ini.
“Chiara, Kak Cakka minta maaf
ya. Kakak nggak bakalan galak lagi sama Mas Elang. Kakak nggak mau Chiara
nangis kayak begini,” kata Cakka pelan. “Chiara maafin kakak ya?”
Chiara menyembunyikan kepalanya
lagi. Tak ingin melihat kakaknya.
“Sini, sama Kakak.” kata
Cakka, bermaksud menggendong Chiara. Namun, untuk yang pertama kalinya Chiara
berontak.
“Nggak mau! Chiara nggak mau
digendong sama Kak Cakka!” katanya nyaring.
“Chiara, Kak Cakka kan udah
minta maaf,” kata Cakka tetap saja memeluk Chiara dalam gendongannya. “Dulu
bukannya Chiara yang bilang, kalau ibu guru di sekolah ajarin Chiara supaya
baik sama semua orang, iya kan?”
Chiara tidak menjawab, ia
tetap saja menangis.
“Udah, udah, Chiara jangan
nangis. Kak Cakka nggak mau punya adik yang cengeng. Kakak pengen Chiara kuat!”
kata Cakka sambil tersenyum. “Kak Cakka janji nggak bakal galak lagi sama Mas
Elang. Ya?”
“Tapi, Kak Cakka jangan
berantem lagi sama Mas Elang.” kata Chiara.
“Iya, sayang. Kak Cakka nggak
akan berantem lagi sama Mas Elang, percaya deh,” kata Cakka. “Chiara percaya
kan sama Kak Cakka? Chiara sayang kan sama Kak Cakka?”
Chiara mengangguk-angguk.
“Sayang, Kak.”
“Ya udah, Chiara nggak usah
khawatir ya. Kak Cakka nggak apa-apa, kok. Nih, buktinya Kakak masih kuat
angkat Chiara. Jadi, Chiara nggak usah takut ya?”
“Pokoknya, Chiara nggak mau
kakak berantem lagi.” kata Chiara cemberut. Ia mengulangi lagi permintaannya
kepada kakak kesayangannya.
“Iya iya, Kak Cakka nggak akan
berantem lagi! Tadi kan Kakak udah janji sama Chiara!” kata Cakka sambil
tertawa kecil. Kemudian, ia langsung menghapus air mata Chiara. “Udah, nggak
usah nangis. Chiara jelek tahu kalau nangis kayak begitu. Nakal nggak sama Mas
Elang selama kakak pergi?”
“Nggak dong, Kak! Chiara kan
anak baik! Jadi, Chiara udah belajar dari pulang sekolah tadi. Terus tadi juga
sempet bantuin Ayah sama Bunda!” kata Chiara sambil tersenyum. Tangisannya
perlahan-lahan berhenti.
“Kalau begitu, Chiara pinter!
Kak Cakka jadi makin sayang sama Chiara deh!” kata Cakka sambil tertawa senang.
Kemudian, dia langsung mencium pelipis Chiara pelan. Ia benar-benar gemas
dengan adiknya yang satu ini.
J L J
Jam satu pagi. Ketika semua
orang sudah terlelap, Rio terbangun dari tidurnya karena haus menyerang
tenggorokan. Ia melihat keadaan kamarnya yang gelap sejenak, kemudian langsung
keluar kamar untuk mengambil minum dalam keadaan berantakan. Rambut cepaknya
seperti tak disisir berhari-hari, wajahnya juga masih mengantuk sehingga
matanya tidak terbuka sempurna.
Setelah memuaskan
tenggorokannya yang kering, ia langsung kembali ke kamar. Tadinya ia ingin
langsung tidur, namun karena ia tak sengaja melihat kakaknya sedang terlelap di
tempat tidur sebelah, ia mengurungkan niatnya. Ia beranjak kembali dari tempat
tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur Gabriel.
Tangannya mengacak rambut
Gabriel dengan sayang. Entah sudah berapa lama ia tak melihat kakaknya itu bisa
tenang menjalani hidupnya. Tawanya yang lepas, senyum yang selalu memamerkan
gigi, semua itu hilang ditelan ketakutan yang telah berhasil menghantui
hatinya.
Mungkin bagi orang lain,
masalah Gabriel itu sepele. Namun, Rio sama sekali tidak berpikir seperti itu.
Ia tahu semua yang dialami kakaknya sangat menyakitkan hati. Makanya, kakaknya
itu tak pernah bisa satu sekolah dengannya.
Pengkhianatan, fitnah, caci
maki. Tiga hal itu yang membuat Gabriel menjadi trauma dengan orang-orang di
luar sana. Mulai dari kelas satu SD, ketika Gabriel senang sekali diganggu oleh
teman-temannya karena terlalu pendiam. Banyak barangnya yang disembunyikan,
termasuk uang jajannya yang sampai sekarang tidak kembali. Benar-benar korban bullying. Tapi, Gabriel sama sekali
tidak membalas. Karena masih kecil, mungkin ia berpikir teman-temannya itu
hanya bermain-main dengannya.
Tapi, itu sama sekali tidak
seberapa. Ketika ia pindah ke sekolah baru saat lulus ke SMP, Gabriel lagi-lagi
harus menghadapi lingkungan yang sama. Malah lebih parah. Teman-temannya di
kelas delapan adalah puncaknya.
Kalau tidak salah, namanya Kiki,
Olin dan Abner. Ya, mereka bertigalah penyebab Gabriel tak mau lagi bergaul
dengan dunia luar. Tiga laki-laki pembuat onar itu selalu baik-baik padanya di
kelas. Tapi, kalau terjadi masalah, mereka menjadikan Gabriel sebagai sasaran
kesalahan. Kalau barang teman ada yang hilang, yang dituduh pasti Gabriel. Uang
kas kelas juga pernah disabotase oleh mereka bertiga, agar Gabriel dituduh
mencuri uang. Pokoknya, semua kesalahan yang terjadi di kelas mereka pasti
Gabriel yang harus menanggung akibatnya. Padahal, kenyataannya mereka yang
melakukan semua itu. Yang Rio tangkap dari mereka adalah mereka tidak tulus
berteman dengan Gabriel. Baik saat suka, tapi busuk ketika duka.
Gabriel bukannya tidak ingin
melawan, Rio tahu itu. Ia hanya sudah terlalu lelah dengan yang namanya
berteman. Kalau Gabriel melawan, pasti Kiki, Olin dan Abner akan mengganggunya
lebih parah. Bahkan dimasukkan ke dalam tong sampah pun, Gabriel pernah
mengalaminya. Dan sampai sekarang, kejadian-kejadian serupa masih menghantui
pikirannya. Setiap kali melihat pertengkaran atau hal-hal serupa dengan masa
lalunya, dia pasti meledak dan frustasi. Tak heran sekarang dia begitu takut
mengenal orang-orang baru.
Dari pengalaman tersebut juga,
makanya Bunda dan Rio sangat selektif memilih sekolah. Gabriel tak sama seperti
Rio. Walau kembar, tapi mental Gabriel sudah tercemar. Kalau Gabriel mengalami
hal yang sama lagi, ia bisa nekat. Dan Rio tak mau itu terjadi.
Jangankan Gabriel, Rio juga
lelah melihat kakaknya sedih. Makanya, dengan persetujuan Bunda, Rio memutuskan
untuk memasukkan Gabriel ke dalam sekolahnya. Ia tak mau main-main lagi. Ia
akan membuat perhitungan semua orang yang berani-beraninya menyakiti kakaknya.
Kalau tak ada yang mau peduli dengan Gabriel, biar dia saja yang peduli
dengannya. Seperti katanya kepada Gabriel, Rio dan Gabriel selamanya tetap
satu. Semua orang boleh berubah sikap kepada Gabriel seenaknya, tapi Rio tidak
akan pernah seperti itu. Rio akan baik kepada Gabriel apapun yang terjadi.
Everything
that you’ve ever dreamed of
Disappearing
when you wake up
But there’s
nothing to be afraid of
Even when the
night changes
It will never change me and you
(One Direction – Night
Changes)
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p