Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #7 [MISTERI ILAHI]


Lelah kaki melangkah, tersesat tiada arah, suara hati smakin lemah
terkikis oleh amarah

Rio menghela nafasnya menatap Gabriel yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya. Kakak kembarnya itu ia temukan di taman komplek, tempat dulu biasanya mereka bermain. Kedua tangannya yang besar dikatupkan kuat. Badannya bergetar karena tangisan yang keluar darinya tak berhenti. Yang terdengar di telinga Rio hanyalah isakan sedihnya.

Ia benci melihat Rio dan Cakka bertengkar. Makanya, dia pergi diam-diam saat mereka masih sibuk berteriak satu sama lain. Rio baru sadar, ternyata pertengkarannya dengan Cakka berdampak sangat buruk terhadap hidup Gabriel. Ia benar-benar menyesal telah menghabisi sahabatnya itu jika akhirnya ia harus membuat kakaknya seperti ini.
“Yel...” Rio bersuara. Ia segera duduk di sebelah kakaknya dan memegang sebelah pundaknya. “Udah dong nangisnya...”
Gabriel tampak tidak peduli, ia tetap sibuk terisak.
“Yel, gue minta maaf kalau gue salah,” kata Rio mengelus pundak Gabriel. “Gue sama sekali nggak tahu lo ketakutan.”
“Harusnya lo ngerti gue, Yo!” kata Gabriel. Ia menoleh ke arah adiknya, menampakkan matanya yang sudah sembab. Hidungnya juga merah akibat menangis. “Lo bukannya melindungi, malah justru melempar gue ke masa lalu lagi! Gue benci masa itu, Yo! Gue benci!”
“Iya, gue tahu,” kata Rio sedih. “Gue minta maaf. Mewakili Cakka juga.”
Gabriel menggeleng. “Nggak usah, Yo. Nggak penting, Yo.”
“Tapi...”
“Gue udah berkali-kali bilang sama lo, Yo. Semua orang itu sama aja! Mereka itu selalu baik di hadapan gue, padahal sebenarnya mereka benci banget,” kata Gabriel menyela. “Selalu aja kayak begini.”
“Tapi, gue yakin Cakka nggak bermaksud kayak begitu, Yel,” kata Rio lagi. “Gue udah temenan sama dia bertahun-tahun. Dan sebenci-bencinya dia sama orang, dia nggak akan nekat kayak begitu.”
“Lo nggak usah belain dia, Yo!” kata Gabriel. “Percuma lo nyemangatin gue terus kalau semua orang di dunia ini tetep musuhin gue! Lo nggak tahu rasanya difitnah berkali-kali, masuk ruang BP karena kesalahan yang nggak gue lakukan, dihina sampai dikeluarin! Sakit, Yo! SAKIT!”
“Oke, kalau lo nggak mau mikirin gue, setidaknya lo pikir soal Bunda! Kalau lo begini terus, Bunda bagaimana?! Lo mau Bunda nangis terus gara-gara lo frustasi kayak dulu, hah?!” tanya Rio lagi. “Gue begini juga karena gue sayang sama lo, Gabriel!”
“Bukannya lo juga udah janji kalau temen-temen lo itu nggak bakal nyakitin gue? Tapi, nyatanya apa? Cakka nusuk gue dari belakang! Itu masih belum cukup buat lo?!” tanya Gabriel. Ia berdiri dan menatap adiknya putus asa. “Perasaan gue bukan terbuat dari besi, Yo! Dia nggak bisa terus-terusan disakitin! Tapi, kayaknya takdir seneng banget mempermainkan gue!”
“Terus apa lo bakal terus ngebiarin takdir mengatur hidup lo?” tanya Rio lagi.
“Memangnya gue bisa apa, Yo? Lo lihat sendiri kan, gue udah berkali-kali bangkit dari kejadian serupa. Bahkan dari gue kecil! Tapi, selalu aja terulang lagi! Dan gue nggak tahan!” kata Gabriel. Air matanya mulai menitik kembali membasahi kedua pipinya. Suaranya mulai melemah. “Gue bukan anak kecil yang bisa begitu ngelupain masalah gue, Yo...”
 “Kalau begitu, mau lo bagaimana sekarang, Yel?” tanya Rio akhirnya menyerah.
Gabriel menghapus air matanya sejenak. “Gue mau berhenti sekolah.”
Mata Rio terbelalak begitu mendengar ucapan kakaknya tersebut. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan merangkul kakaknya. “Yel... lo serius?”
Gabriel menunduk. “Gue udah terlalu capek keluar masuk sekolah terus, Yo. Buat apa gue nyusahin lo dan Bunda, kalau ujung-ujungnya gue nggak nyaman juga? Buat apa gue sekolah kalau gue pasti akan dikeluarin juga?”
Rio menggeleng. “Nggak, gue nggak akan ngebiarin lo dikeluarin kali ini.”
“Ini baru permulaan, Yo,” kata Gabriel. “Baru sebulan gue sekolah di sekolah lo, Cakka udah nusuk gue dari belakang, mungkin esok hari dia bisa melakukan hal yang lebih kejam. Belum lagi, ada Anka. Bukannya gue lebih baik keluar? Bukan cuma gue yang terluka, lo juga. Lihat aja lo sekarang. Lebam dimana-mana.”
“Gue nggak apa-apa, Yel. Demi melindungi saudara gue, apapun bakal gue lakukan,” kata Rio tersenyum. Ia menghela nafasnya. “Gue mohon, Yel, lo bangkit sekali lagi.”
“Yo, untuk bangkit itu nggak segampang yang lo kira,” kata Gabriel. “Ada kalanya luka yang gue terima nggak akan bisa gue sembuhin lagi. Kayak sekarang.”
 Rio terdiam, kemudian duduk kembali di kursi panjang. Ia benar-benar kehabisan cara untuk membuat Gabriel untuk tetap semangat. Bodoh! Seharusnya ia tahu Gabriel justru akan semakin frustasi kalau ia bertengkar dengan Cakka seperti ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Misinya mengubah Gabriel bukannya berhasil, justru malah mengorbankan persahabatannya juga.
“Ya udah, nanti aja baru kita bicarakan lagi, Yel, mendingan kita pulang. Lo harus istirahat. Tenaga lo pasti terkuras gara-gara emosi dari tadi.” kata Rio akhirnya. Ia beranjak dari kursinya dan merangkul Gabriel meninggalkan taman itu.

Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Kan terwujud harmony
(Harmony – Padi)

J L J

“ADUH!” teriak Cakka nyaring begitu kakaknya menempelkan obat kepada luka di bibirnya. Begitu tahu adiknya itu berkelahi, ia langsung buru-buru mengambil kotak P3K dan mengajak Cakka duduk di ruang keluarga terlebih dahulu. Tak peduli apa motif pertengkaran Cakka hari ini. Adiknya itu tidak akan pernah bercerita apapun yang terjadi kepadanya. Yang pasti, Elang tahu Cakka harus segera diobati kalau tidak ingin membuat orang tua mereka khawatir.
“Pelan-pelan kenapa sih, Mas? Sakit tahu!” kata Cakka sebal.
Elang menghela nafasnya menatap Cakka. “Makanya, jangan berantem terus. Ngapain sih pakai tonjok-tonjokan segala? Sama sahabat sendiri juga! Bukannya baik-baik belajar di sekolah, malah nggak bener.”
“Ih, Mas, udah tahu lagi sakit, malah diomelin! Lagian Rio yang mulai nonjok, bukan gue!” kata Cakka sambil meringis. “Kalau dia nggak kasar sama gue kayak begitu, gue nggak akan nonjok dia juga!”
“Tapi, lo bisa kan nggak usah ngebales? Udah dapet luka, lo juga jadi musuhan sama Rio, kan?” kata Elang sambil mengobati Cakka pelan-pelan. “Tadi Ayah dan Bunda nggak ngomong apa-apa sama lo di bawah?”
“Nggak,” Cakka kembali meringis. “Udah deh, obatin gue aja cepet. Nggak usah banyak ngomong. Gue mau istirahat kali, Mas!”
“Yeee... gue bawel begini kan karena gue peduli sama lo. Gue kenal lo, Rio dan Deva itu bukan sehari dua hari. Tapi, udah bertahun-tahun! Dan tiap kali ada masalah pasti lo penyebabnya.” kata Elang.
Cakka menyingkirkan tangan Elang dari wajahnya. Ia melotot tajam ke arah kakaknya. “Oh, jadi lo nyalahin gue juga?”
“Gue nggak ngomong begitu,” kata Elang cuek. “Gue hanya bicara fakta. Kalau lo udah sentimen begini, biasanya lo yang salah. Cuma lo aja yang nggak mau ngaku.”
“Lo tahu apa sih soal masalah gue?” kata Cakka bergidik kesal. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya. “Lo sama sekali nggak ada di tempat kejadian malah seenaknya nuduh orang. Udah tahu adiknya luka begini!”
“Gue bukannya nyalahin lo, tapi gue pengen lo sadar diri. Dalam masalah begini, lo juga nggak bisa selamanya merasa bener. Lo lihat posisi orang lain. Pikirkan bagaimana perasaan mereka supaya lo bisa nyelesein masalah lo dengan kepala dingin!” kata Elang.
“Huh, terserah lo deh, Mas!” kata Cakka nyaring. Ia meringis sejenak merasakan lukanya, kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Semuanya aja nyalahin gue! Memang gue nggak pernah penting kan buat lo semua?”
“Eh, lo mau kemana?!” tanya Elang melihat adiknya berjalan pergi.
“BUKAN URUSAN LO!” teriak Cakka.
Elang hanya bisa menghela nafasnya melihat tingkah adiknya. Kalau sudah bertengkar, pasti Cakka akan mengurungkan diri. Dalam menghadapi masalah, ia tak pernah mau peduli dengan orang lain.
Cakka membantingkan tubuhnya di tempat tidur begitu sampai di kamar. Ia meraba lukanya sejenak, kemudian kembali meringis. Masih terasa sakit karena kakaknya belum selesai membersihkannya. Tapi, ia sama sekali tidak peduli dengan itu lagi. Yang terpenting sekarang, Cakka marah dengan semuanya.
Memang sih, waktu itu Cakka menerima tawaran Anka, tapi itu kan terpaksa? Cakka hanya menerimanya karena Anka tidak membiarkannya pulang. Jadi, Cakka sama sekali tidak merasa bersalah. Ia tidak mengiyakan tawaran Anka, tapi tidak menolaknya juga. Soal bayaran Anka, Cakka hanya ingin memakainya agar Elang tidak cerewet lagi menyuruh-nyuruhnya mencari pekerjaan.
“Kak Cakka?” seru Chiara dengan takut-takut dari balik pintu saat Cakka masih tengah melamun. Ia bersembunyi di balik pintu, takut kakaknya terganggu dengan kehadirannya. Suaranya agak serak lantaran sudah siap menangis. Matanya berkaca-kaca.
Cakka bangkit dari tidurnya. Ia menatap gadis kecil itu sendu. “Chiara?”
“Chiara boleh masuk?” kata Chiara pelan.
“Sini, Ra.” kata Cakka langsung merentangkan tangannya, mengisyaratkan Chiara untuk menghampirinya. Namun, Chiara justru menyembunyikan kepalanya dan menangis.
Cakka berjalan menuju tempat dimana Chiara berdiri, kemudian menyamakan tingginya dengan adik kecilnya itu. “Kamu kenapa? Kok nangis sih?”
Cakka berusaha untuk mengelus puncak kepala Chiara, namun Chiara justru terkesan menghindar. Ia mundur satu langkah Cakka tidak bisa menyentuhnya. Cakka sampai kaget dengan respon adiknya tersebut.
“Chiara...”
“Kak Cakka luka...” kata Chiara sambil terisak.
Cakka tersenyum. “Kak Cakka nggak apa-apa kok, Ra...”
“Kak Cakka galak sama Mas Elang.” kata Chiara lagi.
Raut wajah Cakka seketika berubah. Ia baru menyadari sesuatu. Pasti tadi Chiara melihat pertengkarannya dengan Elang sehingga dia bisa seperti ini. Cakka menjadi merasa bersalah telah mencontoh sikap buruk kepada adik kesayangannya ini.
“Chiara, Kak Cakka minta maaf ya. Kakak nggak bakalan galak lagi sama Mas Elang. Kakak nggak mau Chiara nangis kayak begini,” kata Cakka pelan. “Chiara maafin kakak ya?”
Chiara menyembunyikan kepalanya lagi. Tak ingin melihat kakaknya.
“Sini, sama Kakak.” kata Cakka, bermaksud menggendong Chiara. Namun, untuk yang pertama kalinya Chiara berontak.
“Nggak mau! Chiara nggak mau digendong sama Kak Cakka!” katanya nyaring.
“Chiara, Kak Cakka kan udah minta maaf,” kata Cakka tetap saja memeluk Chiara dalam gendongannya. “Dulu bukannya Chiara yang bilang, kalau ibu guru di sekolah ajarin Chiara supaya baik sama semua orang, iya kan?”
Chiara tidak menjawab, ia tetap saja menangis.
“Udah, udah, Chiara jangan nangis. Kak Cakka nggak mau punya adik yang cengeng. Kakak pengen Chiara kuat!” kata Cakka sambil tersenyum. “Kak Cakka janji nggak bakal galak lagi sama Mas Elang. Ya?”
“Tapi, Kak Cakka jangan berantem lagi sama Mas Elang.” kata Chiara.
“Iya, sayang. Kak Cakka nggak akan berantem lagi sama Mas Elang, percaya deh,” kata Cakka. “Chiara percaya kan sama Kak Cakka? Chiara sayang kan sama Kak Cakka?”
Chiara mengangguk-angguk. “Sayang, Kak.”
“Ya udah, Chiara nggak usah khawatir ya. Kak Cakka nggak apa-apa, kok. Nih, buktinya Kakak masih kuat angkat Chiara. Jadi, Chiara nggak usah takut ya?”
“Pokoknya, Chiara nggak mau kakak berantem lagi.” kata Chiara cemberut. Ia mengulangi lagi permintaannya kepada kakak kesayangannya.
“Iya iya, Kak Cakka nggak akan berantem lagi! Tadi kan Kakak udah janji sama Chiara!” kata Cakka sambil tertawa kecil. Kemudian, ia langsung menghapus air mata Chiara. “Udah, nggak usah nangis. Chiara jelek tahu kalau nangis kayak begitu. Nakal nggak sama Mas Elang selama kakak pergi?”
“Nggak dong, Kak! Chiara kan anak baik! Jadi, Chiara udah belajar dari pulang sekolah tadi. Terus tadi juga sempet bantuin Ayah sama Bunda!” kata Chiara sambil tersenyum. Tangisannya perlahan-lahan berhenti.
“Kalau begitu, Chiara pinter! Kak Cakka jadi makin sayang sama Chiara deh!” kata Cakka sambil tertawa senang. Kemudian, dia langsung mencium pelipis Chiara pelan. Ia benar-benar gemas dengan adiknya yang satu ini.

J L J

Jam satu pagi. Ketika semua orang sudah terlelap, Rio terbangun dari tidurnya karena haus menyerang tenggorokan. Ia melihat keadaan kamarnya yang gelap sejenak, kemudian langsung keluar kamar untuk mengambil minum dalam keadaan berantakan. Rambut cepaknya seperti tak disisir berhari-hari, wajahnya juga masih mengantuk sehingga matanya tidak terbuka sempurna.
Setelah memuaskan tenggorokannya yang kering, ia langsung kembali ke kamar. Tadinya ia ingin langsung tidur, namun karena ia tak sengaja melihat kakaknya sedang terlelap di tempat tidur sebelah, ia mengurungkan niatnya. Ia beranjak kembali dari tempat tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur Gabriel.
Tangannya mengacak rambut Gabriel dengan sayang. Entah sudah berapa lama ia tak melihat kakaknya itu bisa tenang menjalani hidupnya. Tawanya yang lepas, senyum yang selalu memamerkan gigi, semua itu hilang ditelan ketakutan yang telah berhasil menghantui hatinya.
Mungkin bagi orang lain, masalah Gabriel itu sepele. Namun, Rio sama sekali tidak berpikir seperti itu. Ia tahu semua yang dialami kakaknya sangat menyakitkan hati. Makanya, kakaknya itu tak pernah bisa satu sekolah dengannya.
Pengkhianatan, fitnah, caci maki. Tiga hal itu yang membuat Gabriel menjadi trauma dengan orang-orang di luar sana. Mulai dari kelas satu SD, ketika Gabriel senang sekali diganggu oleh teman-temannya karena terlalu pendiam. Banyak barangnya yang disembunyikan, termasuk uang jajannya yang sampai sekarang tidak kembali. Benar-benar korban bullying. Tapi, Gabriel sama sekali tidak membalas. Karena masih kecil, mungkin ia berpikir teman-temannya itu hanya bermain-main dengannya.
Tapi, itu sama sekali tidak seberapa. Ketika ia pindah ke sekolah baru saat lulus ke SMP, Gabriel lagi-lagi harus menghadapi lingkungan yang sama. Malah lebih parah. Teman-temannya di kelas delapan adalah puncaknya.
Kalau tidak salah, namanya Kiki, Olin dan Abner. Ya, mereka bertigalah penyebab Gabriel tak mau lagi bergaul dengan dunia luar. Tiga laki-laki pembuat onar itu selalu baik-baik padanya di kelas. Tapi, kalau terjadi masalah, mereka menjadikan Gabriel sebagai sasaran kesalahan. Kalau barang teman ada yang hilang, yang dituduh pasti Gabriel. Uang kas kelas juga pernah disabotase oleh mereka bertiga, agar Gabriel dituduh mencuri uang. Pokoknya, semua kesalahan yang terjadi di kelas mereka pasti Gabriel yang harus menanggung akibatnya. Padahal, kenyataannya mereka yang melakukan semua itu. Yang Rio tangkap dari mereka adalah mereka tidak tulus berteman dengan Gabriel. Baik saat suka, tapi busuk ketika duka.
Gabriel bukannya tidak ingin melawan, Rio tahu itu. Ia hanya sudah terlalu lelah dengan yang namanya berteman. Kalau Gabriel melawan, pasti Kiki, Olin dan Abner akan mengganggunya lebih parah. Bahkan dimasukkan ke dalam tong sampah pun, Gabriel pernah mengalaminya. Dan sampai sekarang, kejadian-kejadian serupa masih menghantui pikirannya. Setiap kali melihat pertengkaran atau hal-hal serupa dengan masa lalunya, dia pasti meledak dan frustasi. Tak heran sekarang dia begitu takut mengenal orang-orang baru.
Dari pengalaman tersebut juga, makanya Bunda dan Rio sangat selektif memilih sekolah. Gabriel tak sama seperti Rio. Walau kembar, tapi mental Gabriel sudah tercemar. Kalau Gabriel mengalami hal yang sama lagi, ia bisa nekat. Dan Rio tak mau itu terjadi.
Jangankan Gabriel, Rio juga lelah melihat kakaknya sedih. Makanya, dengan persetujuan Bunda, Rio memutuskan untuk memasukkan Gabriel ke dalam sekolahnya. Ia tak mau main-main lagi. Ia akan membuat perhitungan semua orang yang berani-beraninya menyakiti kakaknya. Kalau tak ada yang mau peduli dengan Gabriel, biar dia saja yang peduli dengannya. Seperti katanya kepada Gabriel, Rio dan Gabriel selamanya tetap satu. Semua orang boleh berubah sikap kepada Gabriel seenaknya, tapi Rio tidak akan pernah seperti itu. Rio akan baik kepada Gabriel apapun yang terjadi.

Everything that you’ve ever dreamed of
Disappearing when you wake up
But there’s nothing to be afraid of
Even when the night changes
It will never change me and you
(One Direction – Night Changes)

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p