—Don't laugh
dont scream to your people
Don't even cry to your sister—
Pagi ini Cakka berangkat lebih
pagi karena ia ingin tidur terlebih dahulu di kelas. Rasanya pusing memikirkan
masalah keluarganya. Ide kakaknya untuk mencari kerja itu sering membuatnya tak
bisa tidur semalaman. Padahal, Cakka sudah berusaha menolak. Tapi, kakaknya itu
tetap saja mendesak Cakka untuk ikut bantu-bantu orang tua. Tapi, cari
pekerjaan itu kan tidak gampang? Apalagi untuk anak SMA seperti dia. Waktunya
sudah tersita untuk belajar. Kalau dia memiliki banyak waktu luang seperti
Elang, mungkin ia akan lebih leluasa bekerja.
Di tengah acara tidur Cakka,
Rio dan Gabriel masuk ke dalam kelas. Rio sampai menggelengkan kepalanya
melihat sahabatnya itu tertidur di sana. Ia sudah tidak heran lagi dengan sifat
buruk Cakka itu.
“Yel, coba lo bangunin deh.”
bisik Rio pelan kepada kakaknya.
Gabriel bergidik. “Harus gue
yang bangunin?”
“Ya enggak sih, tapi lo kan
temen sebangkunya,” kata Rio cengengesan. “Lagipula, Cakka kan nggak gigit. Dia
udah baik kan sama lo? Ini kesempatan lo buat hadepin rasa takut lo. Oke?”
“Yo, lo kan tahu gue—“
“Udah, nggak apa-apa. Kan gue
temenin, gue juga penasaran itu anak kenapa lagi sampai harus tidur di kelas.
Perasaan sekarang bukan musim bola deh.” kata Rio lagi. Ia mengisyaratkan
Gabriel untuk menghampiri Cakka.
Gabriel diam, kemudian
langsung berjalan di depan adiknya. Setelah menaruh tas, ia perlahan-lahan memegang
sebelah bahu Cakka. Meskipun ia masih ragu, tapi Rio tetap menyemangatinya dari
belakang dengan senyuman.
“Kka...” sahut Gabriel pelan,
nyaris seperti berbisik.
“Lebih keras, Yel, Cakka mana
denger kalau lo bisik-bisik begitu.” kata Rio.
Gabriel menatap Rio diam. Ia
kembali menoleh ke arah Cakka dan memanggilnya sekali lagi dengan lebih keras.
Namun, suaranya tetap saja terdengar kecil untuk membangunkan Cakka yang sudah
pulas. Rio akhirnya menyerah. Sepertinya Gabriel masih belum bisa mempercayai
teman-temannya.
“Woi! Cakka! Bangun lo!”
teriak Rio nyaring sambil menjitak pelipis Cakka. Ga
Cakka bergerak-gerak sejenak,
kemudian langsung mengomel. “Apaan sih lo, Yo, nggak bisa ya, nggak ngegangguin
gue? Udah tahu gue lagi tidur juga!”
“Justru karena lo lagi tidur
makanya gue gangguin,” kata Rio sambil menggelengkan kepala. Ia langsung duduk
di sebelah Cakka, sementara Gabriel menumpang di kursi Rio dulu di belakang.
“Lo kenapa sih?”
“Kenapa apanya?” tanya Cakka.
“Ya begini. Nggak biasanya deh
lo tidur pagi-pagi. Kurang tidur lo?” tanya Rio. “Perasaan bola lagi nggak ada
pertandingan deh.”
“Apaan sih, kalau lo nggak
tahu, nggak usah sok tahu!” kata Cakka sebal. Kemudian, dia menenggelamkan
kepalanya kembali ke atas kedua tangannya untuk tidur kembali.
“Yah, dia malah tidur lagi.
Kka, lo kenapa sih?” tanya Rio. “Kalau ada masalah, cerita aja sama gue, atau sama
Gabriel. Kita pasti bisa bantuin lo kok.”
“Hm.” jawab Cakka tak jelas.
“Lo ada masalah lagi sama
keluarga lo?” tanya Rio menebak-nebak. Tapi, Cakka sama sekali tidak menanggapi
ucapannya tersebut.
“Lo diem berarti gue bener,”
kata Rio sambil tersenyum. “Cerita dong, ada apa lagi di rumah? Kayaknya udah
lama lo nggak curhat sama gue. Terakhir juga gue yang paksa cerita.”
“Tahu ah, bukan urusan lo!”
“Ah, nggak asyik lo, Kka!”
kata Rio sambil meninju pundak Cakka pelan. “Eh, nanti mau main ke rumah Deva, nggak?
Belajar bareng, kita kan lagi banyak PR tuh. Sekalian nemenin dia di rumah,
orang tuanya lagi keluar kota.”
“Terserah lo deh, Yo.” kata
Cakka malas menjawab.
“Terserah, terserah, capek gue
ngomong sama lo.” kata Rio menghela nafas.
“Ya udah, nggak usah ngomong
sama gue.”
“Tahu ah!” kata Rio sambil
mengelus dada. Kemudian, ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, nih lo balik ke
bangku deh. Gue yang di situ. Mendingan kita nungguin Deva aja daripada
ngurusin Cakka.”
Gabriel langsung kembali ke
tempat duduknya tanpa banyak bicara. Suasana kelas seketika hening hingga Deva
dan yang lainnya datang. Rio lebih memilih untuk membaca buku daripada
menghabiskan tenaga menghadapi sahabatnya.
J L J
KRINGG...!!!
“Bel istirahat udah bunyi, ayo
ke kantin!” kata Rio dengan semangat. Ia menghela nafas lega karena sejak tadi
perutnya sudah berbunyi, minta diisi makanan. “Ayo, guys! Gue bayarin deh hari
ini!”
“Wah, dalam rangka apa nih lo
mau traktir? Habis dapet bonus?” tanya Deva sambil tertawa. Seperti biasa, dia
masih sibuk dengan mejanya. “Kebetulan uang gue juga kurang nih, mau minta bawa
bekal malah lupa.”
“Mumpung gue lagi baik aja,
Va, lagian sekarang kan kita udah akrab berempat, anggap aja ini sebagai
permulaan persahabatan kita.” kata Rio tersenyum. Ia melirik Gabriel yang ada
di sampingnya. “Iya nggak, Yel?”
Gabriel hanya tersenyum tipis
mendengar ucapan adiknya.
“Ya udah yuk, kita ke kantin
aja, keburu rame!” kata Deva menyingkir dari mejanya dan menghampiri Rio dan
Gabriel.
“Tunggu sebentar, Cakka belum
selesai, Va.” kata Rio sambil menunjuk sahabatnya itu dengan dagunya. Cakka
masih sibuk beres-beres di mejanya. Setelah ia selesai, mereka berempat baru ke
kantin.
Kantin sudah sangat ramai
begitu mereka sampai. Untungnya masih ada satu meja yang tersisa untuk mereka.
Rio duduk di sebelah Gabriel, seberangan dengan Deva yang duduk dengan Cakka.
“Eh, bakso dan teh botol
cukup?” tanya Rio sebelum ia pergi memesan makanan.
Semuanya mengangguk.
“Gue bantu deh, Yo.” kata
Cakka sambil beranjak dari kursinya.
“Wah, tumben banget lo,
makasih ya.” kata Rio tersenyum. Kemudian, ia dan Cakka langsung pergi ke
tempat penjual bakso. Selama mereka pergi, Deva mengajak Gabriel berbicara.
“Yel,” kata Deva. “Bagaimana
sekolah di sini? Betah?”
Gabriel mengangguk pelan.
Wajahnya menunduk, masih tak merasa nyaman berbicara dengan Deva. Entahlah,
walaupun ia sudah berbulan-bulan di sini, ia tetap saja tak berlalu terbiasa
dengan teman-teman Rio.
Gabriel juga lebih sering
diomeli oleh Pak Jo ketika latihan basket karena ia bermalas-malasan mengikuti
ekskul. Setiap kali diminta untuk mencetak angka, Gabriel selalu melempar bola
asal-asalan. Walaupun masuk, tapi Pak Jo tetap tidak menerima anak yang sama
sekali tidak memiliki tenaga dan semangat.
“Gue seneng deh, lo udah lebih
terbuka sekarang,” kata Deva. “Walaupun lo masih kelihatan takut sama kita,
tapi paling nggak lo udah lebih nyaman, kan?”
Tetap tidak ada jawaban dari
mulut Gabriel.
“Lo itu beruntung banget punya
adik kayak Rio, dia selalu peduli sama lo. Punya saudara itu memang harus
disyukuri, karena saat lo butuh sandaran, saudara lo pasti akan selalu ada,”
kata Deva. “Sama kayak gue yang punya banyak adik. Mereka selalu nenangin gue
kalau gue lagi sedih. Makanya, gue akan selalu sayang sama mereka. Apapun yang
terjadi.”
Gabriel tersenyum.
“Eh, lagi ngobrol apa sih?
Seru banget kayaknya!” Rio datang sambil membawa nampan yang berisi dua mangkuk
bakso. Dua mangkuk lainnya dipegang oleh Cakka. Mereka langsung membagi jatah
mereka masing-masing.
“Nih, Yel.” Cakka meletakkan
satu mangkuk bakso di depan Gabriel.
Gabriel hanya menatap Cakka
diam sejenak, kemudian langsung menyantap baksonya. Cakka juga sama sekali
tidak mengharapkan apa-apa dari Gabriel, ia tahu Gabriel tidak akan mengucapkan
terima kasih. Ia justru langsung sibuk menaburi sambal di mangkuk baksonya.
“Oke! Selamat makan semuanya!”
kata Rio sebelum ia mulai melahap makanannya. “Eh, Kka, kasih gue sambelnya ya
kalau lo udah selesai.”
“Nih.” jawab Cakka memberikan
botol sambal yang dipakainya pada Rio.
Rio langsung menerimanya
dengan senang dan memasukkan sambal ke mangkuk baksonya dengan jumlah yang
lumayan banyak. Kuah bakso miliknya sampai berubah warna menjadi merah saking
banyaknya.
Cakka dan Deva sudah tak
heran. Rio memang sangat suka dengan pedas. Makan sambal sebanyak apapun, dia
tidak akan pernah mules. Malah justru enak dan memuaskan perut katanya.
Cakka pernah sekali
mengerjainya dengan memasukkan banyak cabai rawit ke dalam makanan Rio.
Hasilnya? Rio langsung bolak balik kamar mandi selama ia di sekolah. Sakit perutnya
nggak kelar-kelar. Padahal, tadinya Cakka pikir Rio akan baik-baik saja kalau
makan cabai rawit. Makanya, ia cuek-cuek saja. Tapi, ternyata ia salah.
Rio, Gabriel, Deva dan Cakka
menciptakan suasana hangat selama mereka menikmati makanan mereka. Sesekali
mereka juga tertawa-tawa karena Rio melontarkan lelucon kepada mereka. Apalagi
kalau ia menjaili Cakka. Namun, seperti biasa, Gabriel hanya bisa diam dan
tersenyum. Ia masih belum berani untuk melakukan apapun untuk mengubah hidupnya.
Tanpa mereka sadari, dari
kejauhan seseorang tampak menatap persahabatan mereka sambil tersenyum miring.
Orang itu tampak fokus pada satu orang di antara Rio dan teman-temannya. Di
kepalanya terlintas sebuah rencana bagus yang akan ia jalankan sebentar lagi.
J L J
“Wah, Kak Deva bawa banyak
tamu nih!” kata Devi saat menyambut kepulangan kakaknya tersebut. Ia langsung
mempersilahkan Rio, Cakka dan Gabriel masuk ke dalam. Sambil masuk ke dalam
rumah, ia langsung bertanya kepada kakaknya soal Gabriel. “Yang ini kayaknya Devi
belum pernah lihat deh. Temen baru ya?”
“Itu anak baru di kelas kakak,
Vi, baru berapa bulan satu sekolah sama kita. Jadi, baik-baik sama dia ya.
Jangan buat dia nggak nyaman di sini, oke?” kata Deva sambil menepuk pundak
Devi pelan.
“Oke deh, Kak!” kata Devi
mengacungkan jempol.
“Oh iya, adik-adik pada lagi
ngapain?” tanya Deva.
“Diva lagi main sama Dava tuh
di kamar, kalau Devani udah tidur. Kakak ke kamar aja, sekalian jagain mereka,
kan? Devi mau kerjain PR dulu soalnya.”
“Oh, ya udah, sana belajar yang
rajin. Nanti kalau udah selesai, jagain Diva sama Dava lagi ya.” kata Deva
mengelus rambut Devi sejenak dengan sayang sebelum membiarkan adiknya pergi.
“Ya udah, yuk, kita belajar di
kamar aja. Lo bertiga nggak keberatan kan kalau gue sambil ngejagain mereka?
Adik-adik gue agak rewel sih.” kata Deva pada teman-temannya.
Semuanya menggeleng, kemudian
langsung mengikuti Deva ke kamarnya. Mereka memulai belajar bersama mereka
dengan mengerjakan PR Bahasa, kemudian PR Matematika, baru PR Fisika. Semuanya
dikerjakan dengan gotong royong. Mereka membagi-bagi tugas agar cepat selesai.
Namun, tentu saja Deva yang paling sibuk karena dia bekerja sambil menjaga
adik-adiknya. Apalagi saat Dava tiba-tiba lapar.
“Aduh, Kka, sori banget,
tolong bantuin Gabriel dulu dong! Gue masih sibuk sama Dava nih!” pinta Deva
sambil menyuapi adiknya makan.
“Nyusahin banget deh lo, Va!”
keluh Cakka heran. Kemudian, ia langsung menarik buku tulis Gabriel ke arahnya.
“Yel, lo dengerin gue oke, karena gue nggak bakal ngulang dua kali. Jadi, soal
yang ini tuh caranya begini, terus...”
“Perlu gue bantu nggak, Va?
Gue udah hampir selesai kok!” kata Rio menawarkan diri.
“Nggak usah, Yo, makasih! Gue
juga nggak bakalan lama kok. Lo selesaiin PR lo aja dulu. Entar gue lihat punya
lo kalau gue nggak bisa.” kata Deva tersenyum menatap Rio sejenak, kemudian
kembali fokus pada adiknya.
“Oh, ya udah kalau begitu.”
kata Rio sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung kembali sibuk dengan
pekerjaannya lagi. Ia sangat mengerti perasaan Deva. Menyayangi saudara itu
jauh lebih penting dari apapun. Saat mereka kesusahan, ia harus cepat-cepat
membantu. Apalagi Deva kan anak sulung, dia harus jadi contoh yang baik untuk
adik-adiknya.
J L J
Cakka berjalan cuek setelah ia
selesai belajar bersama teman-temannya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah
untuk beristirahat. Badan dan otaknya sudah lelah karena harus melihat
rumus-rumus matematika fisika tadi. Untung juga ternyata memiliki teman cerdas
seperti Deva.
“Heh, lo!” tiba-tiba seseorang
datang menghampiri Cakka.
Cakka menoleh, kemudian
memutar bolanya melihat siapa yang datang.
“Dari mana lo?” tanya orang
itu basa-basi. Di tangannya tampak memegang amplop cokelat yang pernah Cakka
tolak. Dari amplop tersebut, Cakka sudah bisa menebak apa yang diinginkannya.
“Nggak usah sok peduli deh,
Priyanka Astellene, to the point aja.
Lo mau apa lagi? Masih mau ngehasut gue?” tanya Cakka sebal menatap orang
tersebut yang ternyata Anka. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.
“Ah, nggak. Gue cuma mau
bilang, lo jago juga bersandiwara.” kata Anka tenang.
Cakka mengernyitkan dahinya.
“Lo pikir gue nggak tahu? Lo
itu sebel banget karena sekarang ada Gabriel di antara lo, Rio dan Deva, tapi
gara-gara Rio maksa lo, akhirnya lo pura-pura baik sama dia, kan?” tanya Anka.
“Sok tahu banget ya lo.” kata
Cakka datar.
“Gue nggak sok tahu, gue
memang tahu lo bukan tipe orang yang mau berubah pendirian begitu aja. Lo itu
cuma nggak mau persahabatan lo retak gara-gara anak baru itu, kan?” kata Anka
tersenyum sinis.
“Terserah!” kata Cakka sebal.
“Kalau memang gue pura-pura, nggak ada urusannya sama lo kan?”
“Jelas ada urusannya. Gue kan
udah bilang, kita bisa nyingkirin anak baru itu bareng-bareng. Dengan begitu
kita bisa sama-sama untung! Nanti saat anak itu udah keluar dari sekolah, kita
kan bisa tenang lagi!” kata Anka membuat Cakka kembali memutar bola matanya.
“Mau banget kerja sama bareng
gue?” tanya Cakka heran sekaligus kesal. “Gue kan udah bilang. Gue nggak mau
berurusan sama Gabriel. Capek gue tahu nggak ngurusin cowok bisu kayak dia!
Maksa banget sih! Dan satu lagi, gue nggak butuh uang lo, oke?!”
Cakka membalikkan badannya,
hendak meninggalkan Anka di sana. Namun, lagi-lagi Anka menghalangi jalannya
agar Cakka tidak bisa kabur. Cakka sampai emosi dibuatnya.
“Apa-apaan sih lo?!” seru
Cakka nyaring. Lama-lama kesabarannya bisa habis menghadapi bule yang satu ini.
Tangannya mengepal keras karena menahan emosi. “Minggir, gue mau balik!”
“Halah, udah deh! Bokis banget
lo jadi orang. Banyak ngomong padahal butuh!” kata Anka. Dia langsung menaruh
amplop cokelat yang dipegangnya itu ke tangan Cakka. “Nih, pegang. Gue kasih
itu buat lo, tapi lo harus ikutin rencana gue!”
“Memangnya lo mau ngapain sih?
Nggak bisa ya sama orang lain aja?!”
“Eh, ngapain gue kasih tahu
kalau lo aja ogah-ogahan nerima tawaran gue?”
“Harus gitu gue terima tawaran
lo?”
“Gue nggak akan pergi sebelum
lo terima tawaran gue!” kata Anka. “Jadi, kalau lo mau pulang dengan selamat,
mendingan nurut sama gue sekarang. Atau lo mau sahabat-sahabat lo gue celakain?
Atau keluarga lo yang jatuh miskin?”
Cakka diam.
“Heh! Malah diem aja!” kata
Anka sambil mendorong sebelah bahu Cakka. “Mau diajak kerja sama aja susah
banget sih?!”
“Oke, oke! Gue terima tawaran
lo! Puas?! Sekarang, bisa lo minggir dan biarin gue pulang?” tanya Cakka
akhirnya. Ia segera menyimpan amplop cokelat itu ke dalam jaketnya.
“Oke, bagus! Pulang sana! Dan
jangan berhenti bersandiwara, buat anak baru itu yakin kalau lo itu bener-bener
udah menerima lo apa adanya! Oke!” kata Anka sambil menepuk pundak Cakka.
“Terserah lo! Minggir!” seru
Cakka langsung menerobos Anka sembarangan dan meninggalkan gadis itu sendirian.
Dia benar-benar sudah tidak tahu lagi harus berbicara apa kepada temannya itu.
Seenaknya saja memaksanya.
Anka tersenyum sinis menatap kepergian Cakka, kemudian langsung
meninggalkan tempat itu juga. Bersamaan dengan seseorang yang sejak tadi
menyaksikan pertengkaran Anka dan Cakka dari tempat persembunyiannya.
J L J
“Kak, ada masalah baru lagi,”
kata seorang gadis remaja begitu ia sampai di ruang kerja kakak laki-lakinya.
Ia menghampiri kakaknya yang sedang duduk di meja kerja dan menunjukkan sebuah
foto. “Lihat ini, Kak.”
Laki-laki berkacamata itu
membetulkan kacamatanya sebelum meneliti foto tersebut. Kemudian, ia menaruh
foto itu di atas mejanya. “Darimana kamu dapat foto ini?”
“Aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri tadi sore,” kata gadis itu lagi. “Aku rasa mereka juga
terlibat di masalah yang pernah kakak ceritakan itu, kan? Makanya sengaja
kufoto untuk kakak. Aku juga merekam kejadian tadi. Lihat saja di folder perekam suara.”
“Ya udah, terima kasih ya,
Dik! Kakak akan mempelajarinya terlebih dahulu. Kamu pergi mandi sana, sebentar
lagi makan malam tiba.” kata laki-laki itu sambil tersenyum kepada adiknya.
“Tapi, Kak, boleh aku beritahu
teman kakak tentang hal ini?” tanya gadis itu lagi.
“Hmm... kurasa dia nggak akan
percaya, jadi mendingan nggak usah. Nanti pada saat yang tepat dia juga akan
tahu apa yang sedang terjadi dalam persahabatannya.” kata laki-laki itu sambil
tersenyum. “Tapi, tugasmu untuk memantau tetap berjalan, oke?”
“Oke, Kak.” Gadis berambut
panjang itu melangkah pergi dari ruang kerja.
Sementara itu, kakak
laki-lakinya segera membuka kacamatanya. Ia mengutak-atik ponsel milik adiknya
dan mencoba mendengarkan apa yang telah ia rekam. Setiap kata yang keluar di
rekaman tersebut ia pelajari agar selanjutnya ia dapat melakukan analisa.
Sesekali ia mengernyitkan dahinya juga tersenyum di sela-sela mendengarkan
rekaman tersebut.
J L J
“Nih, Mas!” kata Cakka sambil
menaruh sebuah amplop cokelat di atas meja belajar kakaknya. Saat itu, Elang
sedang tiduran di tempat tidurnya. Saat melihat amplop cokelat tersebut, dia
langsung bangkit.
“Apaan tuh?” tanya Elang
menatap amplop cokelat tersebut.
“Uang.”
“Uang?” kata Elang heran. Ia
mengintip isinya sejenak kemudian tersenyum. “Udah berhasil kerja ya? Kerja
apaan lo sampai digaji harian begini?”
“Ada lah, pokoknya,” kata
Cakka cuek. “Yang penting kan gue dapet uang.”
“Halal, kan?” kata Elang
memastikan. “Gue nggak mau ya, gara-gara gue nyuruh lo kerja, lonya malah cari
kerja sembarangan. Bagaimanapun kita harus cari penghasilan dengan kerja yang
positif.”
“Tahu ah, terserah lo! Bawel
banget jadi orang! Gue mau mandi, terus tidur. Jangan coba-coba ganggu!” kata
Cakka sambil meninggalkan kamar kakaknya agar tidak diomeli lagi olehnya.
Elang menggelengkan kepalanya
melihat tingkah laku Cakka. Ia kembali mengintip isi amplop cokelat yang
diberikan Cakka tersebut, kemudian berpikir keras sendiri. “Sebenarnya kerja
apa sih anak itu? Jadi penasaran deh gue.”
J L J
Semenjak hari itu, Cakka mulai
terlihat benar-benar menerima Gabriel dengan baik. Sifat cueknya hari demi hari
menjadi berkurang dan ia sudah tak pernah lagi mengejek Gabriel sebagai
laki-laki bisu. Selain itu, Cakka juga sering membantu Gabriel dalam hal
apapun. Meskipun wajahnya masih datar, tapi kebaikan-kebaikan kecil yang
dilakukan Cakka itu akhirnya berhasil membuat Gabriel lebih terbuka. Rio sampai
heran dibuatnya, namun Deva selalu menenangkan dan menyarankan untuk melihat ke
sisi positifnya saja. Kalau Cakka sudah menerima kehadiran Gabriel seperti itu,
persahabatan mereka pasti tidak akan retak lagi seperti dulu. Walaupun memang
sih, Cakka masih suka kesal jika Rio terlalu protektif dengan Gabriel.
Saat ekskul basket juga sama.
Gabriel dan Cakka bahkan tampak berlatih bersama semasa yang lain sedang
beristirahat. Yang paling bahagia dengan perubahan Gabriel tersebut tentu saja
Pak Jo. Beliau senang sekali karena sekarang Gabriel bisa lebih semangat
berlatih.
“Ternyata, orang sedingin
Cakka bisa juga membuat Gabriel nyaman, ya?” kata Deva dari pinggir lapangan.
Ia tersenyum melihat pemandangan langka itu bersama Rio.
“Gue masih penasaran,
sebenernya dapet pencerahan darimana si Cakka? Tiba-tiba bisa baik begitu.
Jangan-jangan kemarin kepalanya terbentur!” kata Rio sambil tertawa. “Tapi, gue
seneng banget kakak gue udah terlihat bahagia.”
Deva tersenyum. Ia menepuk
pundak Rio pelan. “Gue udah bilang kan, Yo, semuanya pasti berjalan lancar.”
Rio mengangguk. “Makasih ya,
Va.”
Deva memamerkan giginya.
“Udahlah, ayo kita ikut latihan bareng mereka!”
“Yuk!”
Rio dan Deva segera berlari ke
lapangan dan ikut bergabung dengan teman-temannya. Selama jam istirahat ekskul,
mereka berlatih mencetak angka juga mendribel. Setelah itu, mereka juga
sempat-sempatnya bertanding dua lawan dua untuk iseng-iseng. Canda tawa mereka
di lapangan sampai membuat anak-anak basket lainnya menggelengkan kepala di
pinggir lapangan.
Namun, sayangnya hangatnya
persahabatan harus renggang kembali setelah beberapa bulan berlalu. Saat itu,
ulangan umum sudah dimulai. Dan Rio, Gabriel, Deva dan Cakka belajar bersama
selama pekan ulangan tersebut. Masalahnya, Gabriel selalu menerima pesan-pesan
mengerikan saat mereka belajar.
Pesan itu datang dari nomor
yang tidak dikenal. Isi pesan tersebut juga tidak mencantumkan nama pengirim.
Tapi, yang pasti, isinya selalu kalimat-kalimat yang dapat membuat Gabriel
takut kembali dengan teman-temannya.
“Apa sih isinya? Lihat, Yel!”
kata Rio penasaran ketika pertama kali kakaknya menerima pesan tidak jelas itu.
“Berhati-hatilah karena ada bencana yang akan menimpa lo setelah ini.”
Bukan hanya itu saja. Beberapa
hari berikutnya juga dia menerima pesan dengan kalimat: “kegelapan itu selalu berada di sekitarmu. Sewaktu-waktu, lo akan
dicekiknya sampai mati. HAHAHA!” Rio juga sampai merasa ngeri membacanya.
Tapi, ia masih berpikir kalau itu hanya sms nyasar.
“Yo, maksudnya apa sih?” kata
Gabriel cemas. Hatinya benar-benar tak tenang membaca kalimat-kalimat itu. Ia
jadi tak bisa konsentrasi belajar karena rasa takut yang mulai menguasai
dirinya. “Gue belajarnya nanti aja ya?”
“Yah, Yel, jangan dong. Nggak
apa-apa kok, nggak usah khawatir sama sms itu. Palingan juga nyasar, salah
kirim,” kata Rio sambil menepuk pundak Gabriel. “Lo kan udah lihat sendiri,
sekarang Deva dan Cakka udah baik sama lo.”
“Iya, Yel, lo nggak usah takut
sama kita.” kata Deva sambil tersenyum.
“Tapi...”
“Udah, nggak apa-apa ya,
sekarang kita belajar aja yuk? Keburu sore, Cakka dan Deva kan nggak bisa
lama-lama di sini. Oke? Lo tenang aja, ada kita kok di sini yang bakalan jagain
lo!” kata Rio menenangkan kakaknya. Setelah itu, mereka belajar kembali.
Tadinya, Rio sudah berhasil
membuat Gabriel tenang dan kembali seperti semula, tapi ternyata keesokkan
harinya Gabriel terkena masalah lagi. Kakaknya tersebut dituduh menyontek
karena dia mengambil kertas yang dilempar ke arahnya. Belum lagi, teman-teman
sekelasnya yang cenderung menyalahkan Gabriel.
“Wah, ternyata bukan aneh
doang, tukang nyontek juga!”
“Ih, mau nilai bagus tapi
pakai cara curang!”
“Gabriel parah banget, masa
nyontek sih? Pecundang banget!”
Gabriel hanya bisa menunduk
dan menahan tangis saat itu. Rio sudah berusaha menyelamatkan Gabriel dari
hukuman, tapi guru yang mengawasi mereka sepertinya tidak peduli. Pada
akhirnya, ulangan kimia Gabriel dianggap nol. Dan Gabriel hanya bisa pasrah.
Belum selesai sampai di situ
saja. Saat mereka akan pulang, Cakka dipanggil oleh Anka untuk berbicara di
belakang sekolah sehingga Cakka menyuruh Rio, Gabriel dan Deva pulang duluan.
Namun, karena rasa penasaran, mereka bertiga bukannya pulang, malah justru
diam-diam mengikuti mereka berdua.
“Nih,” kata Anka sambil
memberikan amplop cokelat lagi kepada Cakka. “Ini tambahan buat lo, karena
kerja lo udah bagus banget. Tapi, ini belum cukup buat gue. Jadi, besok ada
tugas baru buat lo.”
“Tugas apa lagi?” tanya Cakka.
“Besok lo harus buat anak baru
itu lebih takut lagi, oke?” kata Anka. “Pokoknya, gue nggak mau tau, contekan
yang lo buat tadi itu belum cukup. Lo harus ada ide lagi buat bikin Gabriel
tersingkir! Dikeluarin lebih bagus!”
“APA?!” Rio langsung muncul
dari persembunyiannya setelah mendengar cukup banyak pembicaraan Anka dan
Cakka. Di belakangnya ada Deva dan Gabriel. “Jadi, lo berdua pelakunya?!”
“Kalau iya, kenapa? Nggak ada
urusannya sama lo kan, Mario Astroken?” tanya Anka tenang. Ia sama sekali tidak
takut pada Rio.
Rio menahan emosinya. “Jelas
ada urusannya sama gue! Gabriel itu kakak gue satu-satunya dan gue nggak akan
membiarkan siapapun nyakitin dia!”
“Heh! Denger ya, semua
anak-anak di SMA MIFI itu nggak mengharapkan kehadiran Gabriel! Jadi, lo nggak
usah mimpi deh buat bikin kakak lo sekolah di sini!” kata Anka.
“Siapa bilang? Gue dan Deva
menerima kok kehadiran Gabriel selama ini! Lo aja yang selalu merasa paling
hebat! Egois!” kata Rio sebal dengan Anka. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka.
“Dan lo, Kka! Ngapain sih lo nurut sama bule nggak jelas ini?! Punya dendam apa
lo sama Gabriel sampai lo tega kayak begini, hah?!”
Cakka diam saja, tak berniat
menjawab.
“Heh, asal lo tahu ya, Yo!
Cakka itu sama sekali nggak suka ada Gabriel di sekolah ini! Dia itu menganggap
Gabriel itu pengganggu! Selama ini lo udah kehasut kan sama kepura-puraan dia!
Cakka itu cuma bersandiwara di depan lo! Padahal, dia males banget baik-baikin
kakak lo!” kata Anka lagi.
Rio kaget mendengar ucapan
Anka. Ia menoleh ke arah Cakka tak percaya.
"Kka, lo...." kata Rio terputus.
Tangannya segera mengepal keras. "Jangan bilang apa yang gue denger
barusan itu bener."
Cakka diam saja menatap sahabatnya. Ia
membuang mukanya dan langsung memunggungi Rio. Percuma juga dia berbicara, Rio
pasti akan tetap marah padanya.
"Kka!" kata Rio memegang sebelah
bahunya.
Cakka menepiskan tangan Rio dari bahunya. Akhirnya,
dia juga ikut-ikutan kesal karena dari tadi Rio berteriak-teriak. "Apaan
sih? Nggak penting tau nggak?"
"Oh, jadi yang dibilang
Anka bener?!" tanya Rio mulai emosi. Namun, lagi-lagi Cakka tidak
menjawab. Dengan spontan ia langsung menonjok Cakka. BUGH!!! Cakka langsung
tersungkur di tempat. Deva syok, sementara Gabriel menjadi takut melihat
pertengkaran mereka.
“Oh, jadi lo mau main kasar
sekarang? Oke!” tanya Cakka sambil mengelap ujung bibirnya yang berdarah karena
perbuatan Rio itu. Ia kembali berdiri dan menonjok balik Rio dengan sekuat tenaga.
Sementara itu, Anka yang merasa tak ada keperluan lagi hanya tersenyum puas dan
pergi dari sana.
“Rio!” seru Deva langsung
membantu temannya itu berdiri. Ia menatap Cakka. “Kka! Udah, cukup! Lo nggak
usah kayak anak kecil! Nggak usah berantem!”
“Yang ngajak berantem duluan
siapa, hah?!” kata Cakka nyaring.
“Gue nonjok lo supaya lo sadar
kalau lo itu udah salah! Lo pembohong, tahu nggak?! Dulu siapa yang ngomong
kalau bakalan menerima Gabriel?! Nyatanya lo malah pura-pura! Pakai kerja sama
bareng Anka lagi! Mau lo apa sih, hah?!” kata Rio melepaskan diri dari Deva dan
mendorong tubuh Cakka.
“Lo yang maunya apa! Sejak
kehadiran kakak lo yang bisu ini nih, lo berubah tau nggak! Lo jadi nyebelin,
yang lo peduliin cuma kakak lo! Pernah nggak lo pikirin perasaan gue? Perasaan
Deva? Hah? Nggak semua orang bisa menerima kakak lo yang nggak normal ini
tahu!” kata Cakka dengan pedasnya.
BUGH!!! Satu pukulan keras
kembali mendarat di wajah Cakka.
“JAGA MULUT LO!!” teriak Rio
sekencang-kencangnya. Emosinya sudah memuncak. Bisa-bisanya orang yang selama
ini ia anggap sahabat mengatakan kalau kakaknya tidak normal.
“APA?! MEMANG KITA NGGAK
PENTING KAN BUAT LO?! PUKUL AJA TERUS! PUKUL!” Emosi Cakka meledak-ledak. Ia
dan Rio terus saja saling mendorong di hadapan Deva dan Gabriel.
“DIAM SEMUANYA!!” teriak Deva
akhirnya angkat bicara. Ia langsung membuat jarak antara Rio dan Cakka. “Udah!
Lo berdua nggak usah berantem lagi! Kalian pikir tonjok-tonjokan begini bakalan
menyelesaikan masalah?! Lo berdua tega banget ya berantem di depan Gabriel!”
“Terserah!!” seru Cakka
menyingkirkan tangan Deva dari tubuhnya dan segera pergi dari sana. Ia sama
sekali tidak merasa bersalah dalam pertengkaran ini.
Rio diam saja menatap
kepergian Cakka. Nafasnya sudah terengah-engah, wajahnya sudah lebam karena
ditonjok Cakka tadi. Beruntung masih ada Deva di sana, kalau tidak nafasnya
sudah habis menghadapi Cakka. Temannya itu benar-benar musuh di balik selimut.
Ia sama sekali tidak menyangka selama ini Cakka hanya berpura-pura baik. Kalau
masalah Anka mungkin dia sudah biasa, tapi Cakka? Ah, rasanya ia ingin meledak.
“Gabri—“ kata-kata Rio
terputus ketika menyadari ternyata Gabriel sudah tidak ada di sana. Deva juga
ikut kaget. Padahal, tadi saat ia menengahi Gabriel masih ada di sampingnya.
Rio jadi semakin panik dengan
keadaan. “Deva, Gabriel kemana?!”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p