Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #6 [HEAVEN]


Don't laugh dont scream to your people
Don't even cry to your sister

Pagi ini Cakka berangkat lebih pagi karena ia ingin tidur terlebih dahulu di kelas. Rasanya pusing memikirkan masalah keluarganya. Ide kakaknya untuk mencari kerja itu sering membuatnya tak bisa tidur semalaman. Padahal, Cakka sudah berusaha menolak. Tapi, kakaknya itu tetap saja mendesak Cakka untuk ikut bantu-bantu orang tua. Tapi, cari pekerjaan itu kan tidak gampang? Apalagi untuk anak SMA seperti dia. Waktunya sudah tersita untuk belajar. Kalau dia memiliki banyak waktu luang seperti Elang, mungkin ia akan lebih leluasa bekerja.

Di tengah acara tidur Cakka, Rio dan Gabriel masuk ke dalam kelas. Rio sampai menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu tertidur di sana. Ia sudah tidak heran lagi dengan sifat buruk Cakka itu.
“Yel, coba lo bangunin deh.” bisik Rio pelan kepada kakaknya.
Gabriel bergidik. “Harus gue yang bangunin?”
“Ya enggak sih, tapi lo kan temen sebangkunya,” kata Rio cengengesan. “Lagipula, Cakka kan nggak gigit. Dia udah baik kan sama lo? Ini kesempatan lo buat hadepin rasa takut lo. Oke?”
“Yo, lo kan tahu gue—“
“Udah, nggak apa-apa. Kan gue temenin, gue juga penasaran itu anak kenapa lagi sampai harus tidur di kelas. Perasaan sekarang bukan musim bola deh.” kata Rio lagi. Ia mengisyaratkan Gabriel untuk menghampiri Cakka.
Gabriel diam, kemudian langsung berjalan di depan adiknya. Setelah menaruh tas, ia perlahan-lahan memegang sebelah bahu Cakka. Meskipun ia masih ragu, tapi Rio tetap menyemangatinya dari belakang dengan senyuman.
“Kka...” sahut Gabriel pelan, nyaris seperti berbisik.
“Lebih keras, Yel, Cakka mana denger kalau lo bisik-bisik begitu.” kata Rio.
Gabriel menatap Rio diam. Ia kembali menoleh ke arah Cakka dan memanggilnya sekali lagi dengan lebih keras. Namun, suaranya tetap saja terdengar kecil untuk membangunkan Cakka yang sudah pulas. Rio akhirnya menyerah. Sepertinya Gabriel masih belum bisa mempercayai teman-temannya.
“Woi! Cakka! Bangun lo!” teriak Rio nyaring sambil menjitak pelipis Cakka. Ga
Cakka bergerak-gerak sejenak, kemudian langsung mengomel. “Apaan sih lo, Yo, nggak bisa ya, nggak ngegangguin gue? Udah tahu gue lagi tidur juga!”
“Justru karena lo lagi tidur makanya gue gangguin,” kata Rio sambil menggelengkan kepala. Ia langsung duduk di sebelah Cakka, sementara Gabriel menumpang di kursi Rio dulu di belakang. “Lo kenapa sih?”
“Kenapa apanya?” tanya Cakka.
“Ya begini. Nggak biasanya deh lo tidur pagi-pagi. Kurang tidur lo?” tanya Rio. “Perasaan bola lagi nggak ada pertandingan deh.”
“Apaan sih, kalau lo nggak tahu, nggak usah sok tahu!” kata Cakka sebal. Kemudian, dia menenggelamkan kepalanya kembali ke atas kedua tangannya untuk tidur kembali.
“Yah, dia malah tidur lagi. Kka, lo kenapa sih?” tanya Rio. “Kalau ada masalah, cerita aja sama gue, atau sama Gabriel. Kita pasti bisa bantuin lo kok.”
“Hm.” jawab Cakka tak jelas.
“Lo ada masalah lagi sama keluarga lo?” tanya Rio menebak-nebak. Tapi, Cakka sama sekali tidak menanggapi ucapannya tersebut.
“Lo diem berarti gue bener,” kata Rio sambil tersenyum. “Cerita dong, ada apa lagi di rumah? Kayaknya udah lama lo nggak curhat sama gue. Terakhir juga gue yang paksa cerita.”
“Tahu ah, bukan urusan lo!”
“Ah, nggak asyik lo, Kka!” kata Rio sambil meninju pundak Cakka pelan. “Eh, nanti mau main ke rumah Deva, nggak? Belajar bareng, kita kan lagi banyak PR tuh. Sekalian nemenin dia di rumah, orang tuanya lagi keluar kota.”
“Terserah lo deh, Yo.” kata Cakka malas menjawab.
“Terserah, terserah, capek gue ngomong sama lo.” kata Rio menghela nafas.
“Ya udah, nggak usah ngomong sama gue.”
“Tahu ah!” kata Rio sambil mengelus dada. Kemudian, ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, nih lo balik ke bangku deh. Gue yang di situ. Mendingan kita nungguin Deva aja daripada ngurusin Cakka.”
Gabriel langsung kembali ke tempat duduknya tanpa banyak bicara. Suasana kelas seketika hening hingga Deva dan yang lainnya datang. Rio lebih memilih untuk membaca buku daripada menghabiskan tenaga menghadapi sahabatnya.

J L J

KRINGG...!!!
“Bel istirahat udah bunyi, ayo ke kantin!” kata Rio dengan semangat. Ia menghela nafas lega karena sejak tadi perutnya sudah berbunyi, minta diisi makanan. “Ayo, guys! Gue bayarin deh hari ini!”
“Wah, dalam rangka apa nih lo mau traktir? Habis dapet bonus?” tanya Deva sambil tertawa. Seperti biasa, dia masih sibuk dengan mejanya. “Kebetulan uang gue juga kurang nih, mau minta bawa bekal malah lupa.”
“Mumpung gue lagi baik aja, Va, lagian sekarang kan kita udah akrab berempat, anggap aja ini sebagai permulaan persahabatan kita.” kata Rio tersenyum. Ia melirik Gabriel yang ada di sampingnya. “Iya nggak, Yel?”
Gabriel hanya tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya.
“Ya udah yuk, kita ke kantin aja, keburu rame!” kata Deva menyingkir dari mejanya dan menghampiri Rio dan Gabriel.
“Tunggu sebentar, Cakka belum selesai, Va.” kata Rio sambil menunjuk sahabatnya itu dengan dagunya. Cakka masih sibuk beres-beres di mejanya. Setelah ia selesai, mereka berempat baru ke kantin.
Kantin sudah sangat ramai begitu mereka sampai. Untungnya masih ada satu meja yang tersisa untuk mereka. Rio duduk di sebelah Gabriel, seberangan dengan Deva yang duduk dengan Cakka.
“Eh, bakso dan teh botol cukup?” tanya Rio sebelum ia pergi memesan makanan.
Semuanya mengangguk.
“Gue bantu deh, Yo.” kata Cakka sambil beranjak dari kursinya.
“Wah, tumben banget lo, makasih ya.” kata Rio tersenyum. Kemudian, ia dan Cakka langsung pergi ke tempat penjual bakso. Selama mereka pergi, Deva mengajak Gabriel berbicara.
“Yel,” kata Deva. “Bagaimana sekolah di sini? Betah?”
Gabriel mengangguk pelan. Wajahnya menunduk, masih tak merasa nyaman berbicara dengan Deva. Entahlah, walaupun ia sudah berbulan-bulan di sini, ia tetap saja tak berlalu terbiasa dengan teman-teman Rio.
Gabriel juga lebih sering diomeli oleh Pak Jo ketika latihan basket karena ia bermalas-malasan mengikuti ekskul. Setiap kali diminta untuk mencetak angka, Gabriel selalu melempar bola asal-asalan. Walaupun masuk, tapi Pak Jo tetap tidak menerima anak yang sama sekali tidak memiliki tenaga dan semangat.
“Gue seneng deh, lo udah lebih terbuka sekarang,” kata Deva. “Walaupun lo masih kelihatan takut sama kita, tapi paling nggak lo udah lebih nyaman, kan?”
Tetap tidak ada jawaban dari mulut Gabriel.
“Lo itu beruntung banget punya adik kayak Rio, dia selalu peduli sama lo. Punya saudara itu memang harus disyukuri, karena saat lo butuh sandaran, saudara lo pasti akan selalu ada,” kata Deva. “Sama kayak gue yang punya banyak adik. Mereka selalu nenangin gue kalau gue lagi sedih. Makanya, gue akan selalu sayang sama mereka. Apapun yang terjadi.”
Gabriel tersenyum.
“Eh, lagi ngobrol apa sih? Seru banget kayaknya!” Rio datang sambil membawa nampan yang berisi dua mangkuk bakso. Dua mangkuk lainnya dipegang oleh Cakka. Mereka langsung membagi jatah mereka masing-masing.
“Nih, Yel.” Cakka meletakkan satu mangkuk bakso di depan Gabriel.
Gabriel hanya menatap Cakka diam sejenak, kemudian langsung menyantap baksonya. Cakka juga sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dari Gabriel, ia tahu Gabriel tidak akan mengucapkan terima kasih. Ia justru langsung sibuk menaburi sambal di mangkuk baksonya.
“Oke! Selamat makan semuanya!” kata Rio sebelum ia mulai melahap makanannya. “Eh, Kka, kasih gue sambelnya ya kalau lo udah selesai.”
“Nih.” jawab Cakka memberikan botol sambal yang dipakainya pada Rio.
Rio langsung menerimanya dengan senang dan memasukkan sambal ke mangkuk baksonya dengan jumlah yang lumayan banyak. Kuah bakso miliknya sampai berubah warna menjadi merah saking banyaknya.
Cakka dan Deva sudah tak heran. Rio memang sangat suka dengan pedas. Makan sambal sebanyak apapun, dia tidak akan pernah mules. Malah justru enak dan memuaskan perut katanya.
Cakka pernah sekali mengerjainya dengan memasukkan banyak cabai rawit ke dalam makanan Rio. Hasilnya? Rio langsung bolak balik kamar mandi selama ia di sekolah. Sakit perutnya nggak kelar-kelar. Padahal, tadinya Cakka pikir Rio akan baik-baik saja kalau makan cabai rawit. Makanya, ia cuek-cuek saja. Tapi, ternyata ia salah.
Rio, Gabriel, Deva dan Cakka menciptakan suasana hangat selama mereka menikmati makanan mereka. Sesekali mereka juga tertawa-tawa karena Rio melontarkan lelucon kepada mereka. Apalagi kalau ia menjaili Cakka. Namun, seperti biasa, Gabriel hanya bisa diam dan tersenyum. Ia masih belum berani untuk melakukan apapun untuk mengubah hidupnya.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan seseorang tampak menatap persahabatan mereka sambil tersenyum miring. Orang itu tampak fokus pada satu orang di antara Rio dan teman-temannya. Di kepalanya terlintas sebuah rencana bagus yang akan ia jalankan sebentar lagi.  

J L J

“Wah, Kak Deva bawa banyak tamu nih!” kata Devi saat menyambut kepulangan kakaknya tersebut. Ia langsung mempersilahkan Rio, Cakka dan Gabriel masuk ke dalam. Sambil masuk ke dalam rumah, ia langsung bertanya kepada kakaknya soal Gabriel. “Yang ini kayaknya Devi belum pernah lihat deh. Temen baru ya?”
“Itu anak baru di kelas kakak, Vi, baru berapa bulan satu sekolah sama kita. Jadi, baik-baik sama dia ya. Jangan buat dia nggak nyaman di sini, oke?” kata Deva sambil menepuk pundak Devi pelan.
“Oke deh, Kak!” kata Devi mengacungkan jempol.
“Oh iya, adik-adik pada lagi ngapain?” tanya Deva.
“Diva lagi main sama Dava tuh di kamar, kalau Devani udah tidur. Kakak ke kamar aja, sekalian jagain mereka, kan? Devi mau kerjain PR dulu soalnya.”
“Oh, ya udah, sana belajar yang rajin. Nanti kalau udah selesai, jagain Diva sama Dava lagi ya.” kata Deva mengelus rambut Devi sejenak dengan sayang sebelum membiarkan adiknya pergi.
“Ya udah, yuk, kita belajar di kamar aja. Lo bertiga nggak keberatan kan kalau gue sambil ngejagain mereka? Adik-adik gue agak rewel sih.” kata Deva pada teman-temannya.
Semuanya menggeleng, kemudian langsung mengikuti Deva ke kamarnya. Mereka memulai belajar bersama mereka dengan mengerjakan PR Bahasa, kemudian PR Matematika, baru PR Fisika. Semuanya dikerjakan dengan gotong royong. Mereka membagi-bagi tugas agar cepat selesai. Namun, tentu saja Deva yang paling sibuk karena dia bekerja sambil menjaga adik-adiknya. Apalagi saat Dava tiba-tiba lapar.
“Aduh, Kka, sori banget, tolong bantuin Gabriel dulu dong! Gue masih sibuk sama Dava nih!” pinta Deva sambil menyuapi adiknya makan.
“Nyusahin banget deh lo, Va!” keluh Cakka heran. Kemudian, ia langsung menarik buku tulis Gabriel ke arahnya. “Yel, lo dengerin gue oke, karena gue nggak bakal ngulang dua kali. Jadi, soal yang ini tuh caranya begini, terus...”
“Perlu gue bantu nggak, Va? Gue udah hampir selesai kok!” kata Rio menawarkan diri.
“Nggak usah, Yo, makasih! Gue juga nggak bakalan lama kok. Lo selesaiin PR lo aja dulu. Entar gue lihat punya lo kalau gue nggak bisa.” kata Deva tersenyum menatap Rio sejenak, kemudian kembali fokus pada adiknya.
“Oh, ya udah kalau begitu.” kata Rio sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung kembali sibuk dengan pekerjaannya lagi. Ia sangat mengerti perasaan Deva. Menyayangi saudara itu jauh lebih penting dari apapun. Saat mereka kesusahan, ia harus cepat-cepat membantu. Apalagi Deva kan anak sulung, dia harus jadi contoh yang baik untuk adik-adiknya.

J L J

Cakka berjalan cuek setelah ia selesai belajar bersama teman-temannya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah untuk beristirahat. Badan dan otaknya sudah lelah karena harus melihat rumus-rumus matematika fisika tadi. Untung juga ternyata memiliki teman cerdas seperti Deva.
“Heh, lo!” tiba-tiba seseorang datang menghampiri Cakka.
Cakka menoleh, kemudian memutar bolanya melihat siapa yang datang.
“Dari mana lo?” tanya orang itu basa-basi. Di tangannya tampak memegang amplop cokelat yang pernah Cakka tolak. Dari amplop tersebut, Cakka sudah bisa menebak apa yang diinginkannya.
“Nggak usah sok peduli deh, Priyanka Astellene, to the point aja. Lo mau apa lagi? Masih mau ngehasut gue?” tanya Cakka sebal menatap orang tersebut yang ternyata Anka. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.
“Ah, nggak. Gue cuma mau bilang, lo jago juga bersandiwara.” kata Anka tenang.
Cakka mengernyitkan dahinya.
“Lo pikir gue nggak tahu? Lo itu sebel banget karena sekarang ada Gabriel di antara lo, Rio dan Deva, tapi gara-gara Rio maksa lo, akhirnya lo pura-pura baik sama dia, kan?” tanya Anka.
“Sok tahu banget ya lo.” kata Cakka datar.
“Gue nggak sok tahu, gue memang tahu lo bukan tipe orang yang mau berubah pendirian begitu aja. Lo itu cuma nggak mau persahabatan lo retak gara-gara anak baru itu, kan?” kata Anka tersenyum sinis.
“Terserah!” kata Cakka sebal. “Kalau memang gue pura-pura, nggak ada urusannya sama lo kan?”
“Jelas ada urusannya. Gue kan udah bilang, kita bisa nyingkirin anak baru itu bareng-bareng. Dengan begitu kita bisa sama-sama untung! Nanti saat anak itu udah keluar dari sekolah, kita kan bisa tenang lagi!” kata Anka membuat Cakka kembali memutar bola matanya.
“Mau banget kerja sama bareng gue?” tanya Cakka heran sekaligus kesal. “Gue kan udah bilang. Gue nggak mau berurusan sama Gabriel. Capek gue tahu nggak ngurusin cowok bisu kayak dia! Maksa banget sih! Dan satu lagi, gue nggak butuh uang lo, oke?!”
Cakka membalikkan badannya, hendak meninggalkan Anka di sana. Namun, lagi-lagi Anka menghalangi jalannya agar Cakka tidak bisa kabur. Cakka sampai emosi dibuatnya.
“Apa-apaan sih lo?!” seru Cakka nyaring. Lama-lama kesabarannya bisa habis menghadapi bule yang satu ini. Tangannya mengepal keras karena menahan emosi. “Minggir, gue mau balik!”
“Halah, udah deh! Bokis banget lo jadi orang. Banyak ngomong padahal butuh!” kata Anka. Dia langsung menaruh amplop cokelat yang dipegangnya itu ke tangan Cakka. “Nih, pegang. Gue kasih itu buat lo, tapi lo harus ikutin rencana gue!”
“Memangnya lo mau ngapain sih? Nggak bisa ya sama orang lain aja?!”
“Eh, ngapain gue kasih tahu kalau lo aja ogah-ogahan nerima tawaran gue?”
“Harus gitu gue terima tawaran lo?”
“Gue nggak akan pergi sebelum lo terima tawaran gue!” kata Anka. “Jadi, kalau lo mau pulang dengan selamat, mendingan nurut sama gue sekarang. Atau lo mau sahabat-sahabat lo gue celakain? Atau keluarga lo yang jatuh miskin?”
Cakka diam.
“Heh! Malah diem aja!” kata Anka sambil mendorong sebelah bahu Cakka. “Mau diajak kerja sama aja susah banget sih?!”
“Oke, oke! Gue terima tawaran lo! Puas?! Sekarang, bisa lo minggir dan biarin gue pulang?” tanya Cakka akhirnya. Ia segera menyimpan amplop cokelat itu ke dalam jaketnya.
“Oke, bagus! Pulang sana! Dan jangan berhenti bersandiwara, buat anak baru itu yakin kalau lo itu bener-bener udah menerima lo apa adanya! Oke!” kata Anka sambil menepuk pundak Cakka.
“Terserah lo! Minggir!” seru Cakka langsung menerobos Anka sembarangan dan meninggalkan gadis itu sendirian. Dia benar-benar sudah tidak tahu lagi harus berbicara apa kepada temannya itu. Seenaknya saja memaksanya.
Anka  tersenyum sinis menatap kepergian Cakka, kemudian langsung meninggalkan tempat itu juga. Bersamaan dengan seseorang yang sejak tadi menyaksikan pertengkaran Anka dan Cakka dari tempat persembunyiannya.

J L J

“Kak, ada masalah baru lagi,” kata seorang gadis remaja begitu ia sampai di ruang kerja kakak laki-lakinya. Ia menghampiri kakaknya yang sedang duduk di meja kerja dan menunjukkan sebuah foto. “Lihat ini, Kak.”
Laki-laki berkacamata itu membetulkan kacamatanya sebelum meneliti foto tersebut. Kemudian, ia menaruh foto itu di atas mejanya. “Darimana kamu dapat foto ini?”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tadi sore,” kata gadis itu lagi. “Aku rasa mereka juga terlibat di masalah yang pernah kakak ceritakan itu, kan? Makanya sengaja kufoto untuk kakak. Aku juga merekam kejadian tadi. Lihat saja di folder perekam suara.”
“Ya udah, terima kasih ya, Dik! Kakak akan mempelajarinya terlebih dahulu. Kamu pergi mandi sana, sebentar lagi makan malam tiba.” kata laki-laki itu sambil tersenyum kepada adiknya.
“Tapi, Kak, boleh aku beritahu teman kakak tentang hal ini?” tanya gadis itu lagi.
“Hmm... kurasa dia nggak akan percaya, jadi mendingan nggak usah. Nanti pada saat yang tepat dia juga akan tahu apa yang sedang terjadi dalam persahabatannya.” kata laki-laki itu sambil tersenyum. “Tapi, tugasmu untuk memantau tetap berjalan, oke?”
“Oke, Kak.” Gadis berambut panjang itu melangkah pergi dari ruang kerja.
Sementara itu, kakak laki-lakinya segera membuka kacamatanya. Ia mengutak-atik ponsel milik adiknya dan mencoba mendengarkan apa yang telah ia rekam. Setiap kata yang keluar di rekaman tersebut ia pelajari agar selanjutnya ia dapat melakukan analisa. Sesekali ia mengernyitkan dahinya juga tersenyum di sela-sela mendengarkan rekaman tersebut.

J L J

“Nih, Mas!” kata Cakka sambil menaruh sebuah amplop cokelat di atas meja belajar kakaknya. Saat itu, Elang sedang tiduran di tempat tidurnya. Saat melihat amplop cokelat tersebut, dia langsung bangkit.
“Apaan tuh?” tanya Elang menatap amplop cokelat tersebut.
“Uang.”
“Uang?” kata Elang heran. Ia mengintip isinya sejenak kemudian tersenyum. “Udah berhasil kerja ya? Kerja apaan lo sampai digaji harian begini?”
“Ada lah, pokoknya,” kata Cakka cuek. “Yang penting kan gue dapet uang.”
“Halal, kan?” kata Elang memastikan. “Gue nggak mau ya, gara-gara gue nyuruh lo kerja, lonya malah cari kerja sembarangan. Bagaimanapun kita harus cari penghasilan dengan kerja yang positif.”
“Tahu ah, terserah lo! Bawel banget jadi orang! Gue mau mandi, terus tidur. Jangan coba-coba ganggu!” kata Cakka sambil meninggalkan kamar kakaknya agar tidak diomeli lagi olehnya.
Elang menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Cakka. Ia kembali mengintip isi amplop cokelat yang diberikan Cakka tersebut, kemudian berpikir keras sendiri. “Sebenarnya kerja apa sih anak itu? Jadi penasaran deh gue.” 

J L J

Semenjak hari itu, Cakka mulai terlihat benar-benar menerima Gabriel dengan baik. Sifat cueknya hari demi hari menjadi berkurang dan ia sudah tak pernah lagi mengejek Gabriel sebagai laki-laki bisu. Selain itu, Cakka juga sering membantu Gabriel dalam hal apapun. Meskipun wajahnya masih datar, tapi kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan Cakka itu akhirnya berhasil membuat Gabriel lebih terbuka. Rio sampai heran dibuatnya, namun Deva selalu menenangkan dan menyarankan untuk melihat ke sisi positifnya saja. Kalau Cakka sudah menerima kehadiran Gabriel seperti itu, persahabatan mereka pasti tidak akan retak lagi seperti dulu. Walaupun memang sih, Cakka masih suka kesal jika Rio terlalu protektif dengan Gabriel.
Saat ekskul basket juga sama. Gabriel dan Cakka bahkan tampak berlatih bersama semasa yang lain sedang beristirahat. Yang paling bahagia dengan perubahan Gabriel tersebut tentu saja Pak Jo. Beliau senang sekali karena sekarang Gabriel bisa lebih semangat berlatih.
“Ternyata, orang sedingin Cakka bisa juga membuat Gabriel nyaman, ya?” kata Deva dari pinggir lapangan. Ia tersenyum melihat pemandangan langka itu bersama Rio.
“Gue masih penasaran, sebenernya dapet pencerahan darimana si Cakka? Tiba-tiba bisa baik begitu. Jangan-jangan kemarin kepalanya terbentur!” kata Rio sambil tertawa. “Tapi, gue seneng banget kakak gue udah terlihat bahagia.”
Deva tersenyum. Ia menepuk pundak Rio pelan. “Gue udah bilang kan, Yo, semuanya pasti berjalan lancar.”
Rio mengangguk. “Makasih ya, Va.”
Deva memamerkan giginya. “Udahlah, ayo kita ikut latihan bareng mereka!”
“Yuk!”
Rio dan Deva segera berlari ke lapangan dan ikut bergabung dengan teman-temannya. Selama jam istirahat ekskul, mereka berlatih mencetak angka juga mendribel. Setelah itu, mereka juga sempat-sempatnya bertanding dua lawan dua untuk iseng-iseng. Canda tawa mereka di lapangan sampai membuat anak-anak basket lainnya menggelengkan kepala di pinggir lapangan.
Namun, sayangnya hangatnya persahabatan harus renggang kembali setelah beberapa bulan berlalu. Saat itu, ulangan umum sudah dimulai. Dan Rio, Gabriel, Deva dan Cakka belajar bersama selama pekan ulangan tersebut. Masalahnya, Gabriel selalu menerima pesan-pesan mengerikan saat mereka belajar.
Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal. Isi pesan tersebut juga tidak mencantumkan nama pengirim. Tapi, yang pasti, isinya selalu kalimat-kalimat yang dapat membuat Gabriel takut kembali dengan teman-temannya.
“Apa sih isinya? Lihat, Yel!” kata Rio penasaran ketika pertama kali kakaknya menerima pesan tidak jelas itu. “Berhati-hatilah karena ada bencana yang akan menimpa lo setelah ini.”
Bukan hanya itu saja. Beberapa hari berikutnya juga dia menerima pesan dengan kalimat: “kegelapan itu selalu berada di sekitarmu. Sewaktu-waktu, lo akan dicekiknya sampai mati. HAHAHA!” Rio juga sampai merasa ngeri membacanya. Tapi, ia masih berpikir kalau itu hanya sms nyasar.
“Yo, maksudnya apa sih?” kata Gabriel cemas. Hatinya benar-benar tak tenang membaca kalimat-kalimat itu. Ia jadi tak bisa konsentrasi belajar karena rasa takut yang mulai menguasai dirinya. “Gue belajarnya nanti aja ya?”
“Yah, Yel, jangan dong. Nggak apa-apa kok, nggak usah khawatir sama sms itu. Palingan juga nyasar, salah kirim,” kata Rio sambil menepuk pundak Gabriel. “Lo kan udah lihat sendiri, sekarang Deva dan Cakka udah baik sama lo.”
“Iya, Yel, lo nggak usah takut sama kita.” kata Deva sambil tersenyum.
“Tapi...”
“Udah, nggak apa-apa ya, sekarang kita belajar aja yuk? Keburu sore, Cakka dan Deva kan nggak bisa lama-lama di sini. Oke? Lo tenang aja, ada kita kok di sini yang bakalan jagain lo!” kata Rio menenangkan kakaknya. Setelah itu, mereka belajar kembali.
Tadinya, Rio sudah berhasil membuat Gabriel tenang dan kembali seperti semula, tapi ternyata keesokkan harinya Gabriel terkena masalah lagi. Kakaknya tersebut dituduh menyontek karena dia mengambil kertas yang dilempar ke arahnya. Belum lagi, teman-teman sekelasnya yang cenderung menyalahkan Gabriel.
“Wah, ternyata bukan aneh doang, tukang nyontek juga!”
“Ih, mau nilai bagus tapi pakai cara curang!”
“Gabriel parah banget, masa nyontek sih? Pecundang banget!”
Gabriel hanya bisa menunduk dan menahan tangis saat itu. Rio sudah berusaha menyelamatkan Gabriel dari hukuman, tapi guru yang mengawasi mereka sepertinya tidak peduli. Pada akhirnya, ulangan kimia Gabriel dianggap nol. Dan Gabriel hanya bisa pasrah.
Belum selesai sampai di situ saja. Saat mereka akan pulang, Cakka dipanggil oleh Anka untuk berbicara di belakang sekolah sehingga Cakka menyuruh Rio, Gabriel dan Deva pulang duluan. Namun, karena rasa penasaran, mereka bertiga bukannya pulang, malah justru diam-diam mengikuti mereka berdua.
“Nih,” kata Anka sambil memberikan amplop cokelat lagi kepada Cakka. “Ini tambahan buat lo, karena kerja lo udah bagus banget. Tapi, ini belum cukup buat gue. Jadi, besok ada tugas baru buat lo.”
“Tugas apa lagi?” tanya Cakka.
“Besok lo harus buat anak baru itu lebih takut lagi, oke?” kata Anka. “Pokoknya, gue nggak mau tau, contekan yang lo buat tadi itu belum cukup. Lo harus ada ide lagi buat bikin Gabriel tersingkir! Dikeluarin lebih bagus!”
“APA?!” Rio langsung muncul dari persembunyiannya setelah mendengar cukup banyak pembicaraan Anka dan Cakka. Di belakangnya ada Deva dan Gabriel. “Jadi, lo berdua pelakunya?!”
“Kalau iya, kenapa? Nggak ada urusannya sama lo kan, Mario Astroken?” tanya Anka tenang. Ia sama sekali tidak takut pada Rio.
Rio menahan emosinya. “Jelas ada urusannya sama gue! Gabriel itu kakak gue satu-satunya dan gue nggak akan membiarkan siapapun nyakitin dia!”
“Heh! Denger ya, semua anak-anak di SMA MIFI itu nggak mengharapkan kehadiran Gabriel! Jadi, lo nggak usah mimpi deh buat bikin kakak lo sekolah di sini!” kata Anka.
“Siapa bilang? Gue dan Deva menerima kok kehadiran Gabriel selama ini! Lo aja yang selalu merasa paling hebat! Egois!” kata Rio sebal dengan Anka. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Dan lo, Kka! Ngapain sih lo nurut sama bule nggak jelas ini?! Punya dendam apa lo sama Gabriel sampai lo tega kayak begini, hah?!”
Cakka diam saja, tak berniat menjawab.
“Heh, asal lo tahu ya, Yo! Cakka itu sama sekali nggak suka ada Gabriel di sekolah ini! Dia itu menganggap Gabriel itu pengganggu! Selama ini lo udah kehasut kan sama kepura-puraan dia! Cakka itu cuma bersandiwara di depan lo! Padahal, dia males banget baik-baikin kakak lo!” kata Anka lagi.
Rio kaget mendengar ucapan Anka. Ia menoleh ke arah Cakka tak percaya.
"Kka, lo...." kata Rio terputus. Tangannya segera mengepal keras. "Jangan bilang apa yang gue denger barusan itu bener."
Cakka diam saja menatap sahabatnya. Ia membuang mukanya dan langsung memunggungi Rio. Percuma juga dia berbicara, Rio pasti akan tetap marah padanya.
"Kka!" kata Rio memegang sebelah bahunya.
Cakka menepiskan tangan Rio dari bahunya. Akhirnya, dia juga ikut-ikutan kesal karena dari tadi Rio berteriak-teriak. "Apaan sih? Nggak penting tau nggak?"
"Oh, jadi yang dibilang Anka bener?!" tanya Rio mulai emosi. Namun, lagi-lagi Cakka tidak menjawab. Dengan spontan ia langsung menonjok Cakka. BUGH!!! Cakka langsung tersungkur di tempat. Deva syok, sementara Gabriel menjadi takut melihat pertengkaran mereka.
“Oh, jadi lo mau main kasar sekarang? Oke!” tanya Cakka sambil mengelap ujung bibirnya yang berdarah karena perbuatan Rio itu. Ia kembali berdiri dan menonjok balik Rio dengan sekuat tenaga. Sementara itu, Anka yang merasa tak ada keperluan lagi hanya tersenyum puas dan pergi dari sana.
“Rio!” seru Deva langsung membantu temannya itu berdiri. Ia menatap Cakka. “Kka! Udah, cukup! Lo nggak usah kayak anak kecil! Nggak usah berantem!”
“Yang ngajak berantem duluan siapa, hah?!” kata Cakka nyaring.
“Gue nonjok lo supaya lo sadar kalau lo itu udah salah! Lo pembohong, tahu nggak?! Dulu siapa yang ngomong kalau bakalan menerima Gabriel?! Nyatanya lo malah pura-pura! Pakai kerja sama bareng Anka lagi! Mau lo apa sih, hah?!” kata Rio melepaskan diri dari Deva dan mendorong tubuh Cakka.
“Lo yang maunya apa! Sejak kehadiran kakak lo yang bisu ini nih, lo berubah tau nggak! Lo jadi nyebelin, yang lo peduliin cuma kakak lo! Pernah nggak lo pikirin perasaan gue? Perasaan Deva? Hah? Nggak semua orang bisa menerima kakak lo yang nggak normal ini tahu!” kata Cakka dengan pedasnya.
BUGH!!! Satu pukulan keras kembali mendarat di wajah Cakka.
“JAGA MULUT LO!!” teriak Rio sekencang-kencangnya. Emosinya sudah memuncak. Bisa-bisanya orang yang selama ini ia anggap sahabat mengatakan kalau kakaknya tidak normal.
“APA?! MEMANG KITA NGGAK PENTING KAN BUAT LO?! PUKUL AJA TERUS! PUKUL!” Emosi Cakka meledak-ledak. Ia dan Rio terus saja saling mendorong di hadapan Deva dan Gabriel.
“DIAM SEMUANYA!!” teriak Deva akhirnya angkat bicara. Ia langsung membuat jarak antara Rio dan Cakka. “Udah! Lo berdua nggak usah berantem lagi! Kalian pikir tonjok-tonjokan begini bakalan menyelesaikan masalah?! Lo berdua tega banget ya berantem di depan Gabriel!”
“Terserah!!” seru Cakka menyingkirkan tangan Deva dari tubuhnya dan segera pergi dari sana. Ia sama sekali tidak merasa bersalah dalam pertengkaran ini.
Rio diam saja menatap kepergian Cakka. Nafasnya sudah terengah-engah, wajahnya sudah lebam karena ditonjok Cakka tadi. Beruntung masih ada Deva di sana, kalau tidak nafasnya sudah habis menghadapi Cakka. Temannya itu benar-benar musuh di balik selimut. Ia sama sekali tidak menyangka selama ini Cakka hanya berpura-pura baik. Kalau masalah Anka mungkin dia sudah biasa, tapi Cakka? Ah, rasanya ia ingin meledak.
“Gabri—“ kata-kata Rio terputus ketika menyadari ternyata Gabriel sudah tidak ada di sana. Deva juga ikut kaget. Padahal, tadi saat ia menengahi Gabriel masih ada di sampingnya.
Rio jadi semakin panik dengan keadaan. “Deva, Gabriel kemana?!”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p