Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #5 [COBALAH MENGERTI]



Hanya perlu mengerti aku bernafas untukmu, jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku

Suasana menjadi tidak enak karena pertengkaran Cakka dan Rio kemarin. Bahkan Deva sampai kaget melihat dua sahabatnya itu diam-diaman di kelas. Padahal, mereka kan duduk depan-belakang. Jangankan Deva, anak-anak yang lain juga ikut-ikutan heran. Rio dan Cakka itu sudah terkenal bersahabat dalam perbedaan. Walaupun suka bertengkar, tapi mereka sebenarnya saling melengkapi. Kalau sudah begini, pasti ada masalah besar.

Deva menutup buku ensiklopedianya dan segera menghampiri kedua temannya tersebut. Ia membetulkan kacamata tebalnya sejenak, kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Cakka. “Hei, Gabriel mana?”
Rio maupun Cakka diam.
“Terus kalian kenapa?” tanya Deva lagi.
Mereka tetap saja diam.
“Gue nggak mau ngomong sama tembok, plis.” sahut Deva menghela nafasnya.
“Kita nggak apa-apa, kok, Va.” kata Rio akhirnya. Kemudian, dia langsung menenggelamkan wajah di atas kedua tangannya, mengikuti posisi Cakka sekarang.
“Pasti terjadi sesuatu nih pas ekskul basket kemarin. Perasaan pas pelajaran kemarin lo berdua masih seneng-seneng aja,” kata Deva menebak-nebak. “Oh, atau ini soal Gabriel ya?”
Cakka yang semula niatnya tidur, langsung menatap Deva malas. “Heh, cowok nerd, mendingan lo diem deh, males banget gue ngeladenin lo hari ini.”
“Ya lo cerita dong kalau nggak mau diganggu,” kata Deva sambil tersenyum. “Gue kan sahabat lo, nggak salah dong gue pengen tahu ada apa sama lo dan Rio. Gue mana rela melihat lo berdua berantem.”
“Tanya aja tuh sama temen lo itu.” kata Cakka cuek. Kemudian, dia kembali tidur, membiarkan Deva diam saja di sana.
Deva menggelengkan kepalanya. Mereka memang sudah SMA, tapi Rio dan Cakka itu masih terlihat seperti anak kecil kalau sudah ada masalah begini. Bukannya diselesaikan baik-baik, malah justru dibiarkan semakin parah.
“Lo berdua hutang cerita sama gue pas istirahat nanti.” kata Deva sebelum akhirnya dia kembali ke tempat duduknya. Sepertinya bukan sekarang waktu yang tepat untuk berdiskusi dengan mereka.
Namun, saat istirahat tiba, keduanya masih saja mengunci mulut. Mereka melahap makanan masing-masing tanpa banyak bicara. Sesekali mereka mendengus sendiri, mungkin melampiaskan kekesalan mereka.
Deva melahap suapan bakso terakhirnya, kemudian menyeruput jus jeruknya. Tangannya menopang kepala mungilnya. “Oke, sekarang salah satu dari lo berdua, cerita apa yang terjadi biar kita bisa cari solusinya. Kalian tahu kan gue sama sekali nggak suka pertengkaran?”
“Kita nggak apa-apa kok, Va, tenang aja,” kata Rio malas cerita. “Lo kan tahu sikap Cakka kayak gimana.”
“Gue nggak mau nuduh siapa-siapa di sini, jadi gue minta lo berdua jangan ada yang nyalahin siapapun. Kalian tinggal cerita masalahnya apa dan kita bisa cari bagaimana cara menyelesaikan masalahnya, itu doang.” kata Deva lagi.
“Oke, kalau lo maksa,” kata Rio terputus sejenak. “Kemarin pas ekskul basket itu, Gabriel kan tes masuk ekskul. Dan Pak Jo juga mengakui kok, Gabriel itu hebat. Tapi, Cakka malah marah-marah! Gabriel sampai pergi dari lapangan, tahu, Va! Dan dia nggak ngebolehin gue ngejar Gabriel! Kan gue kesel!”
“Eh, lo sendiri yang bilang ya kalau minggu lalu itu udah terakhir lo bolos gara-gara kakak lo itu! Lo nggak nepatin kata-kata lo!” kata Cakka sebal.
“Tapi, lo lihat situasi dong! Gue nggak mungkin ninggalin kakak gue sendirian kayak begitu!” kata Rio menatap Cakka tajam. “Susah sih kalau ngomong sama orang kepala batu.”
“Maksud lo apa tuh?” Cakka melotot.
“Pikir aja sendiri, punya otak, kan?!” kata Rio sambil menjitak pelipis Cakka dengan keras.
“DIAM!” teriak Deva muak melihat kedua temannya bertengkar. “Kalian berdua itu udah lama sahabatan, masa begitu aja berantem?! Sekarang lo berdua punya nggak solusinya?!”
Keduanya kembali terdiam menatap betapanya galaknya Deva. Teman mereka itu memang tak bisa dinilai dari fisik. Dia mungkin selalu terlihat kuno dari luar, namun dalam dirinya terdapat sesuatu yang berharga, yaitu rasa bijaksana yang tinggi.
“Ada nggak?” tanya Deva lagi, masih dengan nada tegas.
Mereka berdua menggeleng pelan.
“Gue nggak suka lo berdua kayak begini. Gue pengen lo berdua selalu menjalin persahabatan yang positif, seperti yang kita janjikan saat sekolah dasar dulu. Lo berdua masih inget, kan?” kata Deva. Mereka bertiga langsung melayang ke masa lalu, mengenang masa kecil mereka.

J L J

FLASHBACK...
“Rio!! Cakka!! Tungguin aku!!” teriak Deva begitu mereka pulang sekolah.
Saat itu kelas enam baru bubar sekolah. Deva buru-buru mengejar kedua teman barunya yang sudah berlari meninggalkan kelas. Ah, padahal ia sudah menyuruh mereka untuk menunggunya beres-beres sebentar.
“Ah, kamu lama, Va! Cakkanya keburu sampai di rumah!” teriak Rio di depan. Ia juga sedang mengejar Cakka yang ada di paling depan. Anak itu tampaknya tidak peduli Rio dan Deva masih di belakang.
“Aduh, kalian ini!” kata Deva langsung berlari dengan setumpuk buku yang dipegangnya. Setelah ia bisa mensejajarkan langkahnya dengan Rio, ia baru berjalan seperti biasa. Nafasnya terengah-engah. “Aduh, capek banget ngejar kamu, Yo.”
“Lagian kamu lelet banget jadi orang, Va.” kata Rio tertawa.
“Lelet apanya? Barang bawaanku banyak nih!” kata Deva manyun.
Rio tertawa. Kemudian, ia menatap depan. Tampak Cakka sudah lebih jauh di depan sana. Dia berjalan cuek tanpa memerdulikan apa yang ada di sekitarnya. “Yah... kita ketinggalan jauh, Va! HEI, CAKKA! Tungguin kita, kenapa sih?!”
Tak ada sahutan balik dari Cakka.
“Ya udah, Va, mendingan kita kejar Cakka sekarang!” kata Rio langsung menarik tangan Deva untuk mengejar Cakka. Mereka berlari sekencang-kencangnya untuk mensejajarkan langkah mereka bertiga.
Aneh memang, mereka bertiga bisa dibilang sudah bisa akrab satu sama lain di hari pertama mereka. Namun, karena sifat mereka yang berbeda-beda, mereka justru lebih terlihat musuhan karena adu mulut terus. Cakka yang terkesan tak pedulian, Rio yang agak cerewet namun baik, juga Deva yang terkesan cupu namun bijaksana. Kalau digabungkan menjadi tiga sekawan sebenarnya kurang pas. Apalagi Cakka yang ternyata hobi ninggalin orang.
“Astaga, Kka, lain kali jangan tinggalin kita dong!” keluh Rio lagi.
“Apa sih? Bawel banget!” kata Cakka akhirnya menyahut.
“Ya kamu buru-buru banget!”
“Biarin! Kalian aja yang lama,” kata Cakka mencibir. “Udah tahu aku ngantuk, aku pengen tidur tahu!”
“Tidur terus kerjaanmu, Kka!”
“Biarin!”
“Eh, udah, udah! Apaan sih kalian! Kali ini kita ngaku salah deh, Kka, tapi lain kali jangan tinggalin kita oke?” kata Deva memamerkan giginya. Ia merangkul kedua temannya. Agak susah sih karena dia pendek sendiri, tapi ia berusaha.
“Omong-omong, teman-temanku di kelas lima pada pindah sekolah semuanya. Kalian adalah teman pertamaku di kelas enam. Jadi, aku ingin kita janji, apapun yang terjadi, kita harus tetep temenan ya?” kata Deva.
“Pasti dong, Va! Kita kan bakal jadi sahabat selamanya!” kata Rio semangat. Ia melirik ke arah Cakka, meminta persetujuan. “Iya nggak, Kka?”
“Ya, tergantung.” kata Cakka singkat.
“Loh, tergantung apa nih?” kata Deva heran.
“Kalau kalian nyebelin kayak hari ini, nggak akan aku temenin.” kata Cakka cuek.
“Yah, Cakka ngambek nih! Maaf deh! Tadi kan udah kupinjemin pensil!” Deva cengar-cengir sendiri. “Pokoknya, itu janji kita, oke? Mulai besok kita tunjukkin ke semua orang kalau kita bisa bersahabat sampai tua! Kita nggak akan berantem apapun yang terjadi!”
“YES! SEMANGAT!” teriak Rio sambil mengangkat tangan kanannya.
“Hm, iya deh, daripada aku nggak dipinjemin barang lagi.” kata Cakka.
“MAUMU!” teriak Deva dan Rio kompak. Kemudian, mereka langsung tertawa.

J L J

PRESENT...
“Sori, Va.” kata Rio sambil menunduk. Seketika rasa bersalah menghantui hatinya. Deva benar, harusnya dia ingat kalau dulu mereka bertekad untuk bersahabat sampai dewasa. Kalau begini saja bertengkar, bagaimana ia bisa mencapai hal itu?
Deva tersenyum. Suaranya mulai lembut kembali. “Nggak usah minta maaf sama gue, minta maaf sama diri lo sendiri, Yo.”
Rio tersenyum balik. “Ya, itu pasti, Va. Gue cuma lagi kesel aja. Lo kan tahu gue paling nggak suka kakak gue digangguin. Makanya gue kesel sama Cakka.”
Deva menoleh ke arah Cakka. “Kka, lo denger? Selama ini gue dan Rio udah bisa menerima sikap cuek lo itu. Sekarang, dengan hadirnya Gabriel di dalam persahabatan kita, lo bisa kan menerima sikap Rio yang protektif sama kakaknya?”
Cakka menatap Deva datar. “Gue nggak suka sikap anak baru itu.”
“Itu bukan alasan lo boleh benci sama dia. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Jadi, sikap aneh Gabriel pasti ada penyebabnya.” kata Deva lagi.
“Memangnya lo tahu apa penyebabnya?”
Deva menggeleng. “Tapi, paling nggak, gue berusaha menerima. Kalau lo terus memojokkan Gabriel, sikap anehnya justru akan semakin parah.”
Cakka diam saja.
“Bagaimana kalau mulai habis istirahat ini, lo berusaha baikan sama Gabriel?” tanya Deva. “Gue yakin, kalau lo melakukan itu, bukan hanya perasaan Gabriel yang terjaga, tapi persahabatan kita juga.”
Cakka terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan.
Rio tersenyum senang menatap Cakka. Akhirnya masalah terselesaikan. “Makasih, Kka, udah mau ngerti.”
“Apaan sih? Nggak usah kepedean, gue nggak akan pernah janji kalau gue mau baikan sama kakak lo.” kata Cakka bergidik sebal.
“Gue nggak peduli, yang penting lo mau berusaha menerima kakak gue, kan?” kata Rio membuat Cakka kembali mengangguk. Kemudian, ia menoleh ke arah Deva. “Makasih juga buat lo, Va.”
Deva tersenyum.

J L J

Semenjak kejadian itu, Cakka memang berubah. Sifatnya agak berkurang walaupun sebenarnya dia masih malas berteman dengan Gabriel. Tapi, itu saja sudah lumayan bagi Rio. Paling tidak, mereka berdua sudah lebih akrab sebagai teman sebangku. Saat ada tugas kelompok, Cakka bisa mengajaknya untuk bekerja sama.
Gabriel sendiri sebenarnya masih tetap pendiam. Walaupun Cakka sudah tidak terlalu kasar lagi, ia masih tampak ketakutan. Tapi, biasanya Cakka memiliki cara sendiri untuk membuat Gabriel mau mengikuti keinginannya. Kalau untuk yang satu ini, Rio hanya bisa tertawa. Ia tahu Cakka mungkin sudah menahan emosi kalau berhadapan dengan kakaknya.
Respon teman-teman sekelas tentang perubahan Cakka ini bermacam-macam. Ada yang bersyukur karena sudah berharap Cakka berubah sikap dari dulu, ada yang heran bahkan ada yang terlalu shock sampai mengira Cakka sedang tidak sehat. Tapi, sampai saat ini, untungnya tidak ada yang mencibir.
“Mau gue bantu?” tanya Cakka datar ketika mereka disuruh mengerjakan soal bahasa indonesia. Ia sudah selesai dari tadi, namun Gabriel masih tampak mencari bantuan.
Gabriel menatap Cakka diam.
Cakka menggeser bukunya menuju meja Gabriel.
Gabriel mengernyitkan dahinya menatap buku milik Cakka tersebut, tidak mengerti maksud teman sebangkunya itu.
“Ada semua di situ.” kata Cakka singkat, kemudian langsung terlelap di atas kedua tangannya.
Gabriel hanya bisa bengong melihat kelakuan Cakka yang aneh itu. Kemudian, langsung mengerjakan tugasnya dengan bantuan catatan Cakka. Rio yang melihat dari belakang hanya tersenyum melihat kejadian itu. Ia benar-benar berharap kalau ini adalah permulaan hidup Gabriel yang baru.

J L J

KRING....!!!
Bel pulang berbunyi dengan sangat kencang. Anak-anak 10IPA-1 langsung buru-buru membereskan barang mereka dan langsung berlari meninggalkan kelas agar bisa cepat sampai di rumah. Berbeda dengan Rio yang harus menunggu teman-temannya selesai dulu.
“Eh, udah belum? Balik yuk!” kata Rio sambil menggantungkan tasnya di pundak.
“Sebentar, Yo, gue masih ribet nih.” kata Deva sambil tetap sibuk dengan laci mejanya yang masih penuh dengan buku-buku paket. Dari SD sampai sekarang, dia memang tak pernah berubah. Selalu membiarkan laci penuh sampai pulang sekolah, jadinya paling lama kalau ditungguin.
Cakka menguap lebar setelah selesai beres-beres. Kemudian, ia langsung melangkah meninggalkan kelas tanpa banyak bicara. Rio yang melihat itu langsung berteriak.
“Eh, eh, Cakka! Yah, dia pergi duluan,” kata Rio menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu. “Kebiasaan banget! Pasti dari tadi udah ngebet banget pengen tidur makanya langsung kabur.”
Deva tertawa kecil. Ia tampak baru selesai dengan kesibukannya. “Udahlah, biarin aja. Yuk, balik, Yo, Yel.”
“Ya udah, yuk. Kita pulang dan istirahat!” kata Rio tersenyum. Ia langsung merangkul Gabriel dan Deva dengan kuat, kemudian meninggalkan sekolah sambil mengobrol bersama.

J L J

Cakka memasuki pekarangan rumahnya yang kecil. Ia berjalan cuek melewati orang tuanya yang masih sibuk dengan dagangan mereka. Tak ada salam atau apapun yang diucapkannya. Percuma, mereka sedang banyak pelanggan, jadi kalaupun ia sapa pasti tak digubris. Jadi, ia langsung naik ke lantai atas.
Lantai bawah rumahnya memang dibuat menjadi restoran kecil sejak lama. Kedua orang tua Cakka bekerja menjadi penjual nasi uduk serta makanan prasmanan. Setahu Cakka, restoran mereka laku karena pelanggan bisa memilih sendiri lauk yang mereka mau. Selain itu, harganya juga terjangkau untuk semua kalangan. Ditambah lagi orang tuanya yang memang pintar masak.
Tapi, jangan kira restoran kecil itu dapat membuat hidup mereka berkecukupan. Untuk menghidupi tiga orang anak, penghasilan dari mereka saja sebenarnya tidak cukup. Makanya, orang tua Cakka sangat bekerja keras untuk menghasilkan uang lebih banyak.
“Cakka, lo udah balik?” Elang, kakak laki-lakinya, menyambut begitu Cakka sampai di atas. “Kebetulan banget, gue mau ngomong sama lo.”
“Kenapa?” tanya Cakka cuek. Ia langsung membantingkan tubuhnya di sofa, menghadap kakaknya yang berdiri. “Gue mau tidur, Mas.”
“Bunda sama Ayah udah bekerja keras selama ini, Kka,” kata Elang. “Sekarang gue udah kuliah, gue nggak tega melihat mereka kerja keras sendirian. Kita juga harus kerja keras buat mereka, Kka.”
“Maksud lo?”
“Ya begitu, Kka. Kayaknya kita harus cari penghasilan tambahan,” kata Elang. “Menurut lo bagaimana?”
“Tunggu, tunggu,” kata Cakka langsung bangkit dari tidurnya. Ia langsung berdiri di hadapan kakaknya. “Kita? Maksud lo apaan nih kita?”
“Di rumah ini, kita kan yang paling besar, Kka,” kata Elang lagi. “Daripada kita diem aja melihat orang tua kita banting tulang, mendingan kita ikut kerja bareng mereka. Kerja apa kek, pasti ada yang mau nerima kita.”
“Yaelah, Mas, kalau mau kerja ya kerja aja.” kata Cakka datar.
Elang tersenyum. “Jadi lo mau?”
“Hm,” kata Cakka singkat, kemudian segera mengambil minum dari dispenser yang ada di sana. “Tapi, nggak usah ngajak-ngajak gue. Males banget.”
“Yah! Gue kira lo setuju! Bagaimana sih? Ayolah, kapan lagi kita bisa berbakti sama orang tua? Siapa tahu kita bisa bantu bayar biaya pendidikannya Chiara.” kata Elang heran.
“Oh, ngomong-ngomong soal Chiara, mana dia?” tanya Cakka setelah ia menghabiskan minumannya.
“Giliran Chiara aja, semangat lo!” kata Elang menggelengkan kepalanya. “Tuh dia ada di kamar. Samperin aja, dia nyari-nyari lo dari tadi.”
“KAK CAKKA!!” tiba-tiba seorang gadis kecil berkepang dua berlari dengan kencang dan menubruk Cakka kuat-kuat. “Chiara dari tadi nungguin kakak pulang, temenin Chiara belajar lagi dong, Kak! Habis itu kita main lagi!”
Cakka tertawa mendengar ucapan adiknya tersebut. Ia langsung menggendong dan memeluknya dengan kuat. “Aduh, Chiara kangen ya sama Kak Cakka? Kalau begitu, ayo kita belajar dulu. Pamit dulu sama Mas Elang.”
“Iya, Kak! Mas Elang, Chiara bawa pergi Kak Cakka dulu ya, Chiara kan pengen ditemenin Kak Cakka dari tadi. Nggak apa-apa kan, Mas Elang?” kata Chiara sambil tersenyum manis.
“Iya deh iya, sana belajar yang rajin!” kata Elang sambil tersenyum balik.
“Oke, Mas!” kata Chiara menurut. Kemudian, ia langsung menoleh ke arah Cakka kembali. “Kak Cakka, nanti kalau udah selesai belajar, kita pergi beli es krim ya? Kita makan es krim bareng-bareng!”
“Iya, Chiara sayang, buat Chiara apa sih yang enggak?” kata Cakka langsung berjalan menuju kamar adiknya. Mereka berdua bercanda bersama sampai bayangan mereka hilang di balik pintu.
Elang menghela nafasnya, kemudian menggelengkan kepalanya kembali. Cakka itu selalu saja bersikap seperti bunglon. Dia terlihat cuek pada semua orang kecuali adiknya. Chiara yang masih kelas dua SD itu selalu dia manjakan, makanya Chiara sangat sayang kepada kakak keduanya itu. Dan Cakka sering sekali menggunakan kesempatan itu untuk menghindar dari pembicaraan yang serius.


TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p