—Hanya perlu
mengerti aku bernafas untukmu, jadi tetaplah di sini dan mulai menerimaku—
Suasana menjadi tidak enak
karena pertengkaran Cakka dan Rio kemarin. Bahkan Deva sampai kaget melihat dua
sahabatnya itu diam-diaman di kelas. Padahal, mereka kan duduk depan-belakang.
Jangankan Deva, anak-anak yang lain juga ikut-ikutan heran. Rio dan Cakka itu
sudah terkenal bersahabat dalam perbedaan. Walaupun suka bertengkar, tapi
mereka sebenarnya saling melengkapi. Kalau sudah begini, pasti ada masalah
besar.
Deva menutup buku
ensiklopedianya dan segera menghampiri kedua temannya tersebut. Ia membetulkan
kacamata tebalnya sejenak, kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Cakka.
“Hei, Gabriel mana?”
Rio maupun Cakka diam.
“Terus kalian kenapa?” tanya
Deva lagi.
Mereka tetap saja diam.
“Gue nggak mau ngomong sama
tembok, plis.” sahut Deva menghela nafasnya.
“Kita nggak apa-apa, kok, Va.”
kata Rio akhirnya. Kemudian, dia langsung menenggelamkan wajah di atas kedua
tangannya, mengikuti posisi Cakka sekarang.
“Pasti terjadi sesuatu nih pas
ekskul basket kemarin. Perasaan pas pelajaran kemarin lo berdua masih
seneng-seneng aja,” kata Deva menebak-nebak. “Oh, atau ini soal Gabriel ya?”
Cakka yang semula niatnya
tidur, langsung menatap Deva malas. “Heh, cowok nerd, mendingan lo diem deh, males banget gue ngeladenin lo hari
ini.”
“Ya lo cerita dong kalau nggak
mau diganggu,” kata Deva sambil tersenyum. “Gue kan sahabat lo, nggak salah
dong gue pengen tahu ada apa sama lo dan Rio. Gue mana rela melihat lo berdua
berantem.”
“Tanya aja tuh sama temen lo
itu.” kata Cakka cuek. Kemudian, dia kembali tidur, membiarkan Deva diam saja
di sana.
Deva menggelengkan kepalanya.
Mereka memang sudah SMA, tapi Rio dan Cakka itu masih terlihat seperti anak
kecil kalau sudah ada masalah begini. Bukannya diselesaikan baik-baik, malah
justru dibiarkan semakin parah.
“Lo berdua hutang cerita sama
gue pas istirahat nanti.” kata Deva sebelum akhirnya dia kembali ke tempat
duduknya. Sepertinya bukan sekarang waktu yang tepat untuk berdiskusi dengan
mereka.
Namun, saat istirahat tiba,
keduanya masih saja mengunci mulut. Mereka melahap makanan masing-masing tanpa
banyak bicara. Sesekali mereka mendengus sendiri, mungkin melampiaskan
kekesalan mereka.
Deva melahap suapan bakso
terakhirnya, kemudian menyeruput jus jeruknya. Tangannya menopang kepala
mungilnya. “Oke, sekarang salah satu dari lo berdua, cerita apa yang terjadi
biar kita bisa cari solusinya. Kalian tahu kan gue sama sekali nggak suka
pertengkaran?”
“Kita nggak apa-apa kok, Va,
tenang aja,” kata Rio malas cerita. “Lo kan tahu sikap Cakka kayak gimana.”
“Gue nggak mau nuduh
siapa-siapa di sini, jadi gue minta lo berdua jangan ada yang nyalahin siapapun.
Kalian tinggal cerita masalahnya apa dan kita bisa cari bagaimana cara
menyelesaikan masalahnya, itu doang.” kata Deva lagi.
“Oke, kalau lo maksa,” kata
Rio terputus sejenak. “Kemarin pas ekskul basket itu, Gabriel kan tes masuk
ekskul. Dan Pak Jo juga mengakui kok, Gabriel itu hebat. Tapi, Cakka malah
marah-marah! Gabriel sampai pergi dari lapangan, tahu, Va! Dan dia nggak
ngebolehin gue ngejar Gabriel! Kan gue kesel!”
“Eh, lo sendiri yang bilang ya
kalau minggu lalu itu udah terakhir lo bolos gara-gara kakak lo itu! Lo nggak
nepatin kata-kata lo!” kata Cakka sebal.
“Tapi, lo lihat situasi dong!
Gue nggak mungkin ninggalin kakak gue sendirian kayak begitu!” kata Rio menatap
Cakka tajam. “Susah sih kalau ngomong sama orang kepala batu.”
“Maksud lo apa tuh?” Cakka melotot.
“Pikir aja sendiri, punya
otak, kan?!” kata Rio sambil menjitak pelipis Cakka dengan keras.
“DIAM!” teriak Deva muak
melihat kedua temannya bertengkar. “Kalian berdua itu udah lama sahabatan, masa
begitu aja berantem?! Sekarang lo berdua punya nggak solusinya?!”
Keduanya kembali terdiam
menatap betapanya galaknya Deva. Teman mereka itu memang tak bisa dinilai dari
fisik. Dia mungkin selalu terlihat kuno dari luar, namun dalam dirinya terdapat
sesuatu yang berharga, yaitu rasa bijaksana yang tinggi.
“Ada nggak?” tanya Deva lagi,
masih dengan nada tegas.
Mereka berdua menggeleng pelan.
“Gue nggak suka lo berdua
kayak begini. Gue pengen lo berdua selalu menjalin persahabatan yang positif,
seperti yang kita janjikan saat sekolah dasar dulu. Lo berdua masih inget,
kan?” kata Deva. Mereka bertiga langsung melayang ke masa lalu, mengenang masa
kecil mereka.
J L J
FLASHBACK...
“Rio!! Cakka!! Tungguin aku!!”
teriak Deva begitu mereka pulang sekolah.
Saat itu kelas enam baru bubar
sekolah. Deva buru-buru mengejar kedua teman barunya yang sudah berlari
meninggalkan kelas. Ah, padahal ia sudah menyuruh mereka untuk menunggunya
beres-beres sebentar.
“Ah, kamu lama, Va! Cakkanya
keburu sampai di rumah!” teriak Rio di depan. Ia juga sedang mengejar Cakka
yang ada di paling depan. Anak itu tampaknya tidak peduli Rio dan Deva masih di
belakang.
“Aduh, kalian ini!” kata Deva
langsung berlari dengan setumpuk buku yang dipegangnya. Setelah ia bisa
mensejajarkan langkahnya dengan Rio, ia baru berjalan seperti biasa. Nafasnya
terengah-engah. “Aduh, capek banget ngejar kamu, Yo.”
“Lagian kamu lelet banget jadi
orang, Va.” kata Rio tertawa.
“Lelet apanya? Barang bawaanku
banyak nih!” kata Deva manyun.
Rio tertawa. Kemudian, ia
menatap depan. Tampak Cakka sudah lebih jauh di depan sana. Dia berjalan cuek
tanpa memerdulikan apa yang ada di sekitarnya. “Yah... kita ketinggalan jauh,
Va! HEI, CAKKA! Tungguin kita, kenapa sih?!”
Tak ada sahutan balik dari
Cakka.
“Ya udah, Va, mendingan kita
kejar Cakka sekarang!” kata Rio langsung menarik tangan Deva untuk mengejar
Cakka. Mereka berlari sekencang-kencangnya untuk mensejajarkan langkah mereka
bertiga.
Aneh memang, mereka bertiga
bisa dibilang sudah bisa akrab satu sama lain di hari pertama mereka. Namun,
karena sifat mereka yang berbeda-beda, mereka justru lebih terlihat musuhan
karena adu mulut terus. Cakka yang terkesan tak pedulian, Rio yang agak cerewet
namun baik, juga Deva yang terkesan cupu namun bijaksana. Kalau digabungkan
menjadi tiga sekawan sebenarnya kurang pas. Apalagi Cakka yang ternyata hobi
ninggalin orang.
“Astaga, Kka, lain kali jangan
tinggalin kita dong!” keluh Rio lagi.
“Apa sih? Bawel banget!” kata
Cakka akhirnya menyahut.
“Ya kamu buru-buru banget!”
“Biarin! Kalian aja yang
lama,” kata Cakka mencibir. “Udah tahu aku ngantuk, aku pengen tidur tahu!”
“Tidur terus kerjaanmu, Kka!”
“Biarin!”
“Eh, udah, udah! Apaan sih
kalian! Kali ini kita ngaku salah deh, Kka, tapi lain kali jangan tinggalin
kita oke?” kata Deva memamerkan giginya. Ia merangkul kedua temannya. Agak
susah sih karena dia pendek sendiri, tapi ia berusaha.
“Omong-omong, teman-temanku di
kelas lima pada pindah sekolah semuanya. Kalian adalah teman pertamaku di kelas
enam. Jadi, aku ingin kita janji, apapun yang terjadi, kita harus tetep temenan
ya?” kata Deva.
“Pasti dong, Va! Kita kan
bakal jadi sahabat selamanya!” kata Rio semangat. Ia melirik ke arah Cakka,
meminta persetujuan. “Iya nggak, Kka?”
“Ya, tergantung.” kata Cakka
singkat.
“Loh, tergantung apa nih?”
kata Deva heran.
“Kalau kalian nyebelin kayak
hari ini, nggak akan aku temenin.” kata Cakka cuek.
“Yah, Cakka ngambek nih! Maaf
deh! Tadi kan udah kupinjemin pensil!” Deva cengar-cengir sendiri. “Pokoknya,
itu janji kita, oke? Mulai besok kita tunjukkin ke semua orang kalau kita bisa
bersahabat sampai tua! Kita nggak akan berantem apapun yang terjadi!”
“YES! SEMANGAT!” teriak Rio
sambil mengangkat tangan kanannya.
“Hm, iya deh, daripada aku
nggak dipinjemin barang lagi.” kata Cakka.
“MAUMU!” teriak Deva dan Rio
kompak. Kemudian, mereka langsung tertawa.
J L J
PRESENT...
“Sori, Va.” kata Rio sambil
menunduk. Seketika rasa bersalah menghantui hatinya. Deva benar, harusnya dia
ingat kalau dulu mereka bertekad untuk bersahabat sampai dewasa. Kalau begini
saja bertengkar, bagaimana ia bisa mencapai hal itu?
Deva tersenyum. Suaranya mulai
lembut kembali. “Nggak usah minta maaf sama gue, minta maaf sama diri lo
sendiri, Yo.”
Rio tersenyum balik. “Ya, itu
pasti, Va. Gue cuma lagi kesel aja. Lo kan tahu gue paling nggak suka kakak gue
digangguin. Makanya gue kesel sama Cakka.”
Deva menoleh ke arah Cakka.
“Kka, lo denger? Selama ini gue dan Rio udah bisa menerima sikap cuek lo itu.
Sekarang, dengan hadirnya Gabriel di dalam persahabatan kita, lo bisa kan
menerima sikap Rio yang protektif sama kakaknya?”
Cakka menatap Deva datar. “Gue
nggak suka sikap anak baru itu.”
“Itu bukan alasan lo boleh
benci sama dia. Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Jadi, sikap
aneh Gabriel pasti ada penyebabnya.” kata Deva lagi.
“Memangnya lo tahu apa penyebabnya?”
Deva menggeleng. “Tapi, paling
nggak, gue berusaha menerima. Kalau lo terus memojokkan Gabriel, sikap anehnya
justru akan semakin parah.”
Cakka diam saja.
“Bagaimana kalau mulai habis
istirahat ini, lo berusaha baikan sama Gabriel?” tanya Deva. “Gue yakin, kalau
lo melakukan itu, bukan hanya perasaan Gabriel yang terjaga, tapi persahabatan
kita juga.”
Cakka terdiam sejenak,
kemudian mengangguk pelan.
Rio tersenyum senang menatap
Cakka. Akhirnya masalah terselesaikan. “Makasih, Kka, udah mau ngerti.”
“Apaan sih? Nggak usah
kepedean, gue nggak akan pernah janji kalau gue mau baikan sama kakak lo.” kata
Cakka bergidik sebal.
“Gue nggak peduli, yang
penting lo mau berusaha menerima kakak gue, kan?” kata Rio membuat Cakka
kembali mengangguk. Kemudian, ia menoleh ke arah Deva. “Makasih juga buat lo,
Va.”
Deva tersenyum.
J L J
Semenjak kejadian itu, Cakka
memang berubah. Sifatnya agak berkurang walaupun sebenarnya dia masih malas
berteman dengan Gabriel. Tapi, itu saja sudah lumayan bagi Rio. Paling tidak,
mereka berdua sudah lebih akrab sebagai teman sebangku. Saat ada tugas
kelompok, Cakka bisa mengajaknya untuk bekerja sama.
Gabriel sendiri sebenarnya
masih tetap pendiam. Walaupun Cakka sudah tidak terlalu kasar lagi, ia masih
tampak ketakutan. Tapi, biasanya Cakka memiliki cara sendiri untuk membuat
Gabriel mau mengikuti keinginannya. Kalau untuk yang satu ini, Rio hanya bisa
tertawa. Ia tahu Cakka mungkin sudah menahan emosi kalau berhadapan dengan
kakaknya.
Respon teman-teman sekelas
tentang perubahan Cakka ini bermacam-macam. Ada yang bersyukur karena sudah
berharap Cakka berubah sikap dari dulu, ada yang heran bahkan ada yang terlalu shock sampai mengira Cakka sedang tidak
sehat. Tapi, sampai saat ini, untungnya tidak ada yang mencibir.
“Mau gue bantu?” tanya Cakka
datar ketika mereka disuruh mengerjakan soal bahasa indonesia. Ia sudah selesai
dari tadi, namun Gabriel masih tampak mencari bantuan.
Gabriel menatap Cakka diam.
Cakka menggeser bukunya menuju
meja Gabriel.
Gabriel mengernyitkan dahinya
menatap buku milik Cakka tersebut, tidak mengerti maksud teman sebangkunya itu.
“Ada semua di situ.” kata
Cakka singkat, kemudian langsung terlelap di atas kedua tangannya.
Gabriel hanya bisa bengong
melihat kelakuan Cakka yang aneh itu. Kemudian, langsung mengerjakan tugasnya
dengan bantuan catatan Cakka. Rio yang melihat dari belakang hanya tersenyum
melihat kejadian itu. Ia benar-benar berharap kalau ini adalah permulaan hidup
Gabriel yang baru.
J L J
KRING....!!!
Bel pulang berbunyi dengan
sangat kencang. Anak-anak 10IPA-1 langsung buru-buru membereskan barang mereka
dan langsung berlari meninggalkan kelas agar bisa cepat sampai di rumah.
Berbeda dengan Rio yang harus menunggu teman-temannya selesai dulu.
“Eh, udah belum? Balik yuk!”
kata Rio sambil menggantungkan tasnya di pundak.
“Sebentar, Yo, gue masih ribet
nih.” kata Deva sambil tetap sibuk dengan laci mejanya yang masih penuh dengan
buku-buku paket. Dari SD sampai sekarang, dia memang tak pernah berubah. Selalu
membiarkan laci penuh sampai pulang sekolah, jadinya paling lama kalau
ditungguin.
Cakka menguap lebar setelah
selesai beres-beres. Kemudian, ia langsung melangkah meninggalkan kelas tanpa
banyak bicara. Rio yang melihat itu langsung berteriak.
“Eh, eh, Cakka! Yah, dia pergi
duluan,” kata Rio menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu. “Kebiasaan
banget! Pasti dari tadi udah ngebet banget pengen tidur makanya langsung
kabur.”
Deva tertawa kecil. Ia tampak
baru selesai dengan kesibukannya. “Udahlah, biarin aja. Yuk, balik, Yo, Yel.”
“Ya udah, yuk. Kita pulang dan
istirahat!” kata Rio tersenyum. Ia langsung merangkul Gabriel dan Deva dengan
kuat, kemudian meninggalkan sekolah sambil mengobrol bersama.
J L J
Cakka memasuki pekarangan
rumahnya yang kecil. Ia berjalan cuek melewati orang tuanya yang masih sibuk
dengan dagangan mereka. Tak ada salam atau apapun yang diucapkannya. Percuma,
mereka sedang banyak pelanggan, jadi kalaupun ia sapa pasti tak digubris. Jadi,
ia langsung naik ke lantai atas.
Lantai bawah rumahnya memang
dibuat menjadi restoran kecil sejak lama. Kedua orang tua Cakka bekerja menjadi
penjual nasi uduk serta makanan prasmanan. Setahu Cakka, restoran mereka laku
karena pelanggan bisa memilih sendiri lauk yang mereka mau. Selain itu,
harganya juga terjangkau untuk semua kalangan. Ditambah lagi orang tuanya yang
memang pintar masak.
Tapi, jangan kira restoran
kecil itu dapat membuat hidup mereka berkecukupan. Untuk menghidupi tiga orang
anak, penghasilan dari mereka saja sebenarnya tidak cukup. Makanya, orang tua
Cakka sangat bekerja keras untuk menghasilkan uang lebih banyak.
“Cakka, lo udah balik?” Elang,
kakak laki-lakinya, menyambut begitu Cakka sampai di atas. “Kebetulan banget,
gue mau ngomong sama lo.”
“Kenapa?” tanya Cakka cuek. Ia
langsung membantingkan tubuhnya di sofa, menghadap kakaknya yang berdiri. “Gue
mau tidur, Mas.”
“Bunda sama Ayah udah bekerja
keras selama ini, Kka,” kata Elang. “Sekarang gue udah kuliah, gue nggak tega
melihat mereka kerja keras sendirian. Kita juga harus kerja keras buat mereka,
Kka.”
“Maksud lo?”
“Ya begitu, Kka. Kayaknya kita
harus cari penghasilan tambahan,” kata Elang. “Menurut lo bagaimana?”
“Tunggu, tunggu,” kata Cakka
langsung bangkit dari tidurnya. Ia langsung berdiri di hadapan kakaknya. “Kita?
Maksud lo apaan nih kita?”
“Di rumah ini, kita kan yang
paling besar, Kka,” kata Elang lagi. “Daripada kita diem aja melihat orang tua
kita banting tulang, mendingan kita ikut kerja bareng mereka. Kerja apa kek,
pasti ada yang mau nerima kita.”
“Yaelah, Mas, kalau mau kerja
ya kerja aja.” kata Cakka datar.
Elang tersenyum. “Jadi lo
mau?”
“Hm,” kata Cakka singkat,
kemudian segera mengambil minum dari dispenser yang ada di sana. “Tapi, nggak
usah ngajak-ngajak gue. Males banget.”
“Yah! Gue kira lo setuju!
Bagaimana sih? Ayolah, kapan lagi kita bisa berbakti sama orang tua? Siapa tahu
kita bisa bantu bayar biaya pendidikannya Chiara.” kata Elang heran.
“Oh, ngomong-ngomong soal
Chiara, mana dia?” tanya Cakka setelah ia menghabiskan minumannya.
“Giliran Chiara aja, semangat
lo!” kata Elang menggelengkan kepalanya. “Tuh dia ada di kamar. Samperin aja,
dia nyari-nyari lo dari tadi.”
“KAK CAKKA!!” tiba-tiba
seorang gadis kecil berkepang dua berlari dengan kencang dan menubruk Cakka
kuat-kuat. “Chiara dari tadi nungguin kakak pulang, temenin Chiara belajar lagi
dong, Kak! Habis itu kita main lagi!”
Cakka tertawa mendengar ucapan
adiknya tersebut. Ia langsung menggendong dan memeluknya dengan kuat. “Aduh,
Chiara kangen ya sama Kak Cakka? Kalau begitu, ayo kita belajar dulu. Pamit
dulu sama Mas Elang.”
“Iya, Kak! Mas Elang, Chiara
bawa pergi Kak Cakka dulu ya, Chiara kan pengen ditemenin Kak Cakka dari tadi.
Nggak apa-apa kan, Mas Elang?” kata Chiara sambil tersenyum manis.
“Iya deh iya, sana belajar
yang rajin!” kata Elang sambil tersenyum balik.
“Oke, Mas!” kata Chiara
menurut. Kemudian, ia langsung menoleh ke arah Cakka kembali. “Kak Cakka, nanti
kalau udah selesai belajar, kita pergi beli es krim ya? Kita makan es krim
bareng-bareng!”
“Iya, Chiara sayang, buat
Chiara apa sih yang enggak?” kata Cakka langsung berjalan menuju kamar adiknya.
Mereka berdua bercanda bersama sampai bayangan mereka hilang di balik pintu.
Elang menghela nafasnya,
kemudian menggelengkan kepalanya kembali. Cakka itu selalu saja bersikap
seperti bunglon. Dia terlihat cuek pada semua orang kecuali adiknya. Chiara
yang masih kelas dua SD itu selalu dia manjakan, makanya Chiara sangat sayang
kepada kakak keduanya itu. Dan Cakka sering sekali menggunakan kesempatan itu
untuk menghindar dari pembicaraan yang serius.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p