—Tunjuk satu
bintang dan raihlah,
jangan kau berhenti dan menyerah—
Hari Minggu, waktu yang bagus untuk tidur
sampai siang. Dan sepertinya itu yang dilakukan Gabriel. Rio memergoki kakaknya
itu masih terlelap pulas di tempat tidurnya saat dia bangun tadi. Padahal, jam
tujuh pagi begini biasanya dia sudah bangun. Ia hanya tersenyum dari balik
pintu.
“Rio?” tiba-tiba Bunda mengagetkan Rio.
“Astaga, Bunda, ngagetin aja!” kata Rio
sambil menepuk badannya pelan. Ia terlalu asyik mengintip Gabriel sehingga ia
tak menyadari Bundanya ada di sana.
“Lagian kamu juga ngapain ngintip
kakakmu?” kata Bunda sambil tertawa.
“Nggak apa-apa, Bunda, kirain Iel udah
bangun, ternyata masih tidur,” kata Rio nyengir. “Udah lama banget nggak lihat
Iel damai kayak begitu, Bun.”
Bunda tersenyum, beliau tentu tahu maksud
dari ucapan tersebut.
“Rio boleh ngomong sebentar nggak, Bun?
Mumpung Iel belum bangun.” kata Rio lagi.
Bunda mengangguk. “Boleh, ayo ke ruang
keluarga biar nggak ganggu kakak kamu tidur. Bunda buatkan teh buat kamu.”
Rio langsung mengikuti Bunda menuju ruang
keluarga. Rio duduk di sofa, sementara Bunda ke dapur dulu untuk membuat
minuman untuk anaknya. Selang lima menit kemudian, Bunda kembali ke ruang
keluarga.
“Makasih ya, Bunda,” kata Rio langsung
menyeruput sedikit teh buatan Bunda sebelum berbicara. “Bun, Rio mau ngomong
soal rencana kita bantuin Iel berubah itu.”
“Oh, kenapa, sayang?” tanya Bunda
tersenyum.
“Rio tahu, semua ini keinginan Rio. Rio
yang maksa-maksa Bunda untuk masukin Iel ke sekolah Rio, biar Rio bisa jagain
dia dan buat dia terbuka lagi. Tapi, Rio bingung, Bunda...”
“Bingung kenapa? Apa yang terjadi di
sekolah?”
“Tadinya Rio mau mulai dari kenalin Iel ke
Cakka dan Deva. Tapi, Ielnya nggak mau ngomong sama mereka,” kata Rio. “Mana
temen-temen yang lain terlanjur nganggep Iel aneh lagi.”
“Berubah itu nggak bisa instan, Yo, harus
pelan-pelan,” kata Bunda. “Yang penting kamu harus terus berusaha.”
“Iya sih,” kata Rio. “Tadinya Rio sama
Deva sepakat buat masukin Iel ke ekskul basket, Bun, supaya Iel ada kegiatan
dan punya banyak temen. Makanya, kemarin Rio ajak Iel nonton kita latihan
kemarin.”
“Terus?”
“Iel malah diganggu sama temen Rio yang
namanya Anka. Belum apa-apa, dia udah marah-marah sama Iel dan nganggep Iel itu
nggak pantes masuk basket,” kata Rio menunduk sedih. “Anka itu sombong banget,
Bun. Suka banget ngerendahin orang. Rio jadi takut Iel celaka kalau dia beneran
masuk basket.”
Bunda manggut-manggut mengerti. “Oh,
begitu...”
“Menurut Bunda bagaimana?” tanya Rio ingin
tahu.
“Hmm...” Bunda berpikir sejenak. “Bunda
sih akan dukung apapun yang mau kamu usahakan, Yo. Asal itu tindakan positif.
Memangnya menurut Deva bagaimana?”
“Deva bilang Iel pasti baik-baik aja walau
ada Anka. Kan ada Rio yang bakal ngelindungin.”
“Kalau begitu, Bunda setuju sama Deva.”
kata Bunda sambil tersenyum.
“Kok begitu?”
“Yo, di luar sana, yang nggak suka sama
Iel, Rio, Bunda, Ayah pasti ada. Dan sebagian dari mereka ada yang sampai pakai
segala cara untuk menyingkirkan kita,” kata Bunda sambil mengelus rambut anaknya.
“Tapi, kita nggak perlu khawatir, Yo. Jadikan mereka motivasi untuk terus
berjuang.”
“Bunda nggak takut Iel kenapa-napa?” tanya
Rio lagi.
“Kenapa Bunda harus takut? Bunda nggak
punya alasan untuk melarang Iel bergaul cuma karena orang itu bisa mencelakakan
Iel.” kata Bunda.
“Kenapa?”
“Karena kita nggak pernah tahu sifat
manusia itu seperti apa,” kata Bunda membuat mengernyitkan dahinya. “Bukan cuma
Anka, bahkan temen-temen dekat kita bisa tiba-tiba mencelakakan kita.”
Mata Rio terbelalak. “Sahabat juga bisa,
Bunda?”
Bunda mengangguk. “Semua orang itu
dasarnya baik, Yo. Jadi, kamu nggak perlu khawatir. Kalau dia terlihat jahat,
belum tentu dalemnya dia jahat. Begitu sebaliknya. Kalau dia bisa jahat, pasti
dia punya alasan sendiri.”
Rio diam sejenak. “Jadi, Bunda ngedukung
Iel masuk basket?”
Bunda tersenyum. “Kalau untuk tujuan
positif, kenapa nggak?”
J L J
Tak terasa, Gabriel sudah bersekolah di
SMA MIFI selama dua minggu. Untungnya, tak ada kejadian aneh yang pernah
dialami oleh Gabriel di sekolah-sekolah sebelumnya. Walaupun teman-temannya
cenderung tidak menerima kehadiran kakak kembarnya tersebut, tapi mereka tidak
melabrak atau membully. Paling hanya menyindir.
Rio menghentikan langkahnya begitu ia dan
kakak kembarnya sampai di sekolah. Ia menoleh ke arah Gabriel yang sejak tadi
betah mengunci mulutnya. “Yel, gue mau ke ruang guru dulu, lo bagaimana?”
“Gue mau ke toilet dulu, baru ke kelas.”
jawab Gabriel sambil tersenyum.
Rio menepuk pundak Gabriel senang. “Begitu
dong, semangat. Ya udah, gue duluan ya. Nanti ngobrol aja dulu sama Cakka atau
Deva, soalnya gue mungkin bakalan lama.”
Gabriel mengernyitkan dahinya. “Lo mau
ngapain sih?”
“Ada deh, nanti lo juga tahu.” kata Rio
sambil nyengir. Sebelum Gabriel sempat menjawab lagi, dia sudah langsung kabur
meninggalkannya sendirian. Gabriel hanya bisa menggelengkan kepala menatap
tingkah adiknya.
Begitu sampai di ruang guru, Rio langsung
mengetuk pintu dan mengintip ke dalam. Ia tersenyum ketika melihat Pak Jo sudah
duduk manis di tempatnya. Sesekali ia menyapa guru-guru lain yang ia lewati,
kemudian langsung menghampiri beliau.
“Pagi, Pak.” kata Rio hormat. “Boleh saya
bicara sama bapak sebentar?”
“Boleh, Yo, duduk.” kata Pak Jo
mempersilahkan sambil tersenyum. Setelah anak asuhnya itu duduk, ia melanjutkan
ucapannya. “Jadi, ada apa?”
“Begini, Pak, saya ingin berbicara soal
Gabriel,” kata Rio. “Bapak tahu kan, kakak saya yang kemarin diganggu Anka itu.
Sebenarnya saya berencana untuk mengajaknya masuk basket. Tapi, untuk itu, saya
butuh bantuan Bapak.”
“Oh ya, Bapak tahu, tapi Bapak tidak bisa
membantu kalau ini soal tes masuk.”
Rio menggeleng. “Oh, bukan soal tes, Pak.
Bapak bisa melihat sendiri bagaimana kondisi Gabriel. Kepercayaan dirinya
kurang banget. Dan ada satu dan dua hal yang mengganggu mentalnya, Pak. Jadi,
saya ingin Bapak menyakinkan dia masuk basket. Bagaimana?”
“Saya tidak tahu, Yo. Kamu kan tahu,
basket itu nggak bisa dipaksakan, harus ada niat dari si anak. Siapa yang bisa
menjamin kalau dia bisa berlatih dengan baik nantinya?” tanya Pak Jo.
“Saya mohon, Pak. Gabriel butuh ekskul
basket supaya dia bisa berubah.”
“Kasih saya satu alasan kenapa saya harus
menerima anak yang sama sekali nggak ada niat di basket? Bagi saya, itu semua
akan sia-sia saja.” kata Pak Jo.
Rio menghela nafasnya. “Begini, Pak...”
Rio menceritakan dengan detail apa yang
telah terjadi dengan Gabriel selama ini. Bukan hanya masa lalunya, tapi juga
apa yang terjadi di kelas. Sesekali dia memohon kepada beliau agar beliau
bersedia. Wajahnya memelas, kedua matanya memancarkan harapan yang amat besar.
“Bagaimana, Pak?” tanya Rio setelah ia
selesai dengan ceritanya.
Pak Jo tampak berpikir sejenak. “Kamu
yakin, dia sanggup ada di lingkungan ekskul basket?”
Rio mengangguk cepat. “Itu akan menjadi
tanggung jawab saya, Pak.”
Pak Jo mengangguk-angguk. “Saya akan
berusaha dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, Pak? Saya akan
menerimanya, apapun itu!”
Pak Jo menghela nafasnya sejenak. “Saya
akan berusaha memenuhi permintaan kamu dengan syarat, Gabriel harus...”
J L J
“Hei, Kka! Va!” seru Rio begitu ia masuk
kelas. Ia langsung duduk di belakang Cakka. Nafasnya terengah-engah karena ia
berlari dari ruang guru. Untung guru mata pelajaran pertama belum datang.
Sepertinya ia terlalu lama berbincang-bincang dengan Pak Jo.
“Hm.” kata Cakka cuek.
“Dari mana lo, Yo? Kakak lo nyariin.” kata
Deva dari kursi belakang.
“Ada urusan sebentar, Va,” kata Rio
cengengesan sendiri. Kemudian, ia menoleh ke arah Gabriel yang duduk di samping
Cakka. “Yel, lo nyariin gue? Kan tadi gue udah bilang mau kemana.”
Gabriel hanya tersenyum mendengarnya.
Tak lama kemudian, guru matematika masuk
ke dalam kelas. Beliau menyuruh satu kelas untuk mengerjakan beberapa soal dari
buku paket karena beliau harus menghadiri rapat. Dan soal-soal tersebut harus
diselesaikan dengan kelompok beranggotakan empat orang.
“Satu kelompok satu kertas. Tulis anggota
kelompok beserta nomor absen. Nanti kalau sudah selesai, silahkan kumpul ke
ketua kelas kalian, oke?” kata Ibu Uci, guru matematika mereka itu. “Kalau
begitu, Ibu tinggal dulu.”
“Makasih, Bu!” seru anak-anak dengan
kompak. Setelah itu, mereka langsung sibuk mencari kelompok masing-masing dan
mulai bekerja. Kalau Rio sih, sudah tak perlu mencari karena dia pasti bersama
Cakka dan Deva. Ditambah Gabriel, jadi satu kelompok deh.
Rio, Gabriel, Cakka dan Deva langsung
berkumpul di satu tempat dan mulai menyusun strategi agar tugas mereka cepat
selesai. Di sini, yang menjadi ketua kelompok adalah Deva.
“Oke, karena ini ada lima belas soal, jadi
kita harus bagi tugas. Satu orang kerjakan empat soal. Tiga kali empat kan dua
belas, sisa tiga soal. Itu biar Gabriel aja yang kerjakan, karena dia kan baru
masuk sekolah ini. Kasihan kalau dia belum mengerti,” kata Deva. “Oke?
Sepakat?”
“Nggak adil dong, Va! Masa dia enak
sendiri cuma tiga soal?” protes Cakka.
“Gue pernah membaca satu kutipan dari
salah satu buku gue, ada sebuah kalimat yang menyatakan fairness does not mean everyone gets the same. Fairness means
everyone gets what they need,” kata Deva lagi. “Adil itu bukan berarti semua orang
dapat jatah yang sama, tapi mereka mendapatkan sesuai kebutuhan mereka.”
Cakka menghela nafasnya kasar. “Pilih
kasih banget.”
Deva tersenyum, kemudian menoleh ke arah
Gabriel. “Yel, lo nggak keberatan, kan?”
Gabriel diam saja menatap Deva.
“Heh! Lo diajak bicara kali! Nggak sopan
banget jadi orang.” Cakka kembali meledak melihat sikap Gabriel.
“Udah, udah. Daripada berantem, mendingan
kita mulai kerja. Pelajaran Ibu Uci itu nggak lama. Dan kita harus selesaikan
ini secepat mungkin,” Rio melerai. “Kka, lo nomor satu sampai empat. Deva empat
sampai delapan. Gue sembilan sampai dua belas. Sisanya Gabriel.”
“Oke.” hanya Deva yang menjawab ucapan
Rio.
Semuanya langsung bekerja dengan jatahnya
masing-masing. Kadang-kadang Rio juga membantu Gabriel dan Deva jika mereka
mengalami kesulitan. Sementara Cakka asyik bekerja sendiri. Terlihat sombong
memang, tapi harus diakui Cakka selalu jenius dalam bidang akademik. Dia memang
mampu mengerjakannya dengan otaknya yang encer.
“Yo...” panggil Gabriel pelan. Ia
menggeser buku tulisnya ke arah Rio.
Rio menoleh. Ia melihat hasil kerja
Gabriel di buku itu dan tersenyum. “Udah selesai, Yel? Cepet banget. Ya udah,
lo mau bantuin gue ngerjain soal? Masih ada satu soal lagi nih.”
Gabriel mengintip ke arah buku Rio,
kemudian mengangguk-angguk. Kemudian, dia menuliskan sedikit petunjuk agar Rio
dapat mengerti soal tersebut. Begitu Rio dapat bekerja dengan lancar, Gabriel
tersenyum senang. Cakka yang melihat adegan tersebut hanya mendengus, Gabriel
terlihat manja sekali dengan saudaranya. Kadang-kadang Cakka berpikir bahwa
Gabriel itu bukan tertutup dengan pergaulan, namun dia memang suka sesama
jenis. Udah SMA kok sikapnya masih kayak
anak TK, pikirnya.
Deva menepuk pundak Cakka pelan ketika ia
memergokinya diam-diam mengeluh. Ia mengisyaratkan temannya tersebut untuk
kembali bekerja.
“Apaan sih?” bisik Cakka sebal.
“Memangnya lo udah selesai?” tanya Deva
pelan.
“Lagian ganggu aja!”
“Namanya juga saudara, Kka. Lo sama Mas
Elang, Chiara juga begitu, kan?” kata Deva. Cakka memang tiga bersaudara. Dan
dia adalah anak kedua di keluarganya. Kakaknya, Elang sudah kuliah, sementara
Chiara masih sekolah dasar.
“Tahu ah.”
J L J
“Aduh, Yo, gue nggak mau!” Gabriel
mengeluh kepada Rio yang dari tadi menarik tangannya agar mau ke lapangan. Yang
benar saja, Gabriel? Harus tes masuk ekskul basket?! Kenapa sih adiknya ini
memaksa sekali? Padahal, Gabriel sama sekali tidak berniat untuk masuk ekskul
apapun.
“Udah, nggak apa-apa,” kata Rio. “Ini cuma
tes doang kok, biar pada tahu lo itu sebenarnya bisa main basket. Oke? Daripada
lo nggak ikut ekskul sama sekali.”
“Tapi—“
“Eh, Yo, Yel, kalian udah dateng!” kata
Pak Jo ketika melihat anak kembar itu sampai di lapangan.
“Iya, Pak! Gabriel udah siap tes nih,
Pak!” kata Rio sambil tersenyum.
“Oke! Perhatian semuanya!” kata Pak Jo kepada
semua anak basket yang ada di lapangan. Di sebelah beliau, Gabriel menunjukkan
wajah kosong. “Hari ini akan ada satu orang baru yang akan tes masuk basket.
Namanya Gabriel. Jadi, sementara dia tes, kalian bisa menonton di pinggir.
Setelah itu, baru kita mulai latihan. Oke?”
Seseorang mengangkat tangannya. “Pak! Kita
boleh menilai anak baru itu juga nggak?”
“Nggak usah, biar Bapak aja yang menilai
dia,” kata Pak Jo. “Sekarang, kalian duduk dengan rapi mengelilingi lapangan. Cakka,
kamu bantu Bapak jadi lawan main Gabriel.”
Tes awal yang harus dilakukan Gabriel
adalah kemampuan dasar, sehingga Cakka berdiri di pinggir bersama Pak Jo
terlebih dahulu. Gabriel harus melakukan dribble
disambung dengan lay up kiri dan
kanan. Setelah itu, ada free throw atau
lemparan bebas sebanyak sepuluh kali. Dan tak disangka, ternyata Gabriel
melakukan tes-tes tersebut dengan baik. Walaupun dia malas-malasan mengikuti
tes ini, namun tekniknya tetap terlihat bagus.
Anak-anak basket yang lain juga tampaknya
terkesima dengan kemampuan Gabriel. Beberapa dari mereka juga langsung berpikir
kalau Gabriel bagus kalau masuk basket. Bisa menjadi salah satu pemain hebat di
ekskul basket mereka. Rio sangat senang dengan respon-respon itu.
“Oke, sekarang kamu 1 on 1 lawan Cakka, oke? Bapak ingin tahu skill kamu.” kata Pak Jo setelah Gabriel selesai melakukan lemparan
bebas.
Cakka langsung masuk ke tengah lapangan.
Gabriel diam saja menatap Cakka sampai ia berada di hadapannya. Begitu peluit
dibunyikan, Gabriel dan Cakka langsung beradu. Seketika lapangan langsung heboh
seperti di stadion. Anak-anak basket langsung mendukung Cakka dan Gabriel
dengan semangat.
SETT!! Gabriel langsung merebut bola dari
Cakka dengan cepat. Kemudian, dia langsung mendribel bola menuju ring.
Sementara Cakka langsung mengejar kembali bolanya dan menghadang Gabriel agar
dia tidak bisa mencetak angka. Namun, lagi-lagi Gabriel bisa melarikan diri.
Sial! Dia
boleh juga ternyata! pikir Cakka sambil sibuk mengejar Gabriel yang sedang
membawa bola.
WUS! Gabriel melempar bola basketnya ke
ring dan... MASUK! Bola basketnya masuk dengan mulus dan memantul kembali ke
arah Gabriel.
“2-0! Kita berhenti di angka 10, oke!”
seru Pak Jo dari pinggir.
Pertandingan terus berjalan. Anak-anak
basket juga semakin lama semakin heboh karena Cakka dan Gabriel saling mengejar
angka. Kemampuan mereka sepertinya seimbang. Hingga pada akhirnya Gabriel
menang tipis dengan skor 10-9.
“Oke, tes kamu selesai,” kata Pak Jo.
Beliau langsung menghampiri Cakka dan Gabriel yang masih ada di tengah
lapangan. “Cakka, makasih ya. Dan untuk kamu, Gabriel, Bapak harap kamu betah
ya di ekskul basket. Bapak lihat kamu sangat berbakat.”
Gabriel diam.
“Kenapa?” tanya Pak Jo lagi, pura-pura
tidak tahu. Padahal, beliau sudah tahu kalau Gabriel pasti akan seperti itu.
Gabriel ragu-ragu, kemudian mulai
berbicara. “Saya—“
“Kamu takut masuk basket karena kejadian
kemarin?” tanya Pak Jo mendahului.
Gabriel diam lagi.
Pak Jo menepuk-nepuk pundak Gabriel pelan.
“Udah, nggak apa-apa. Anggap kejadian nggak pernah ada. Nanti di ekskul basket
ini kamu pasti dapet banyak teman. Kan ada adik kamu juga di sini.”
Tetap tidak ada jawaban. Gabriel menghela
nafasnya, kemudian langsung meninggalkan lapangan. Semua orang langsung heran
menatap tingkah lakunya. Rio langsung pamit ke Pak Jo untuk menyusul Gabriel,
namun ditahan oleh Cakka.
“Lo mau bolos lagi gara-gara kakak lo itu,
hah?” kata Cakka sebal.
“Kka, gue harus kejar dia!” kata Rio
meminta pengertian.
“Waktu itu, lo yang bilang sendiri nggak
bakal bolos gara-gara kakak lo, sekarang mana buktinya?” kata Cakka tak peduli.
“Terserah apa kata lo deh, Kka! Lo
buang-buang waktu gue!” kata Rio akhirnya langsung pergi meninggalkan lapangan
untuk mengejar Gabriel.
“AH!” keluh Cakka sambil menendang bola
basket yang ada di dekatnya dengan keras. Ia benar-benar emosi dengan
sahabatnya itu. Untung Pak Jo ada di dekatnya, sehingga beliau langsung
menenangkannya.
“Udah, udah. Biarin aja dia pergi dulu,
Kka, nanti juga balik,” kata Pak Jo, kemudian menepuk tangannya sekali. “Udah,
ayo latihan semuanya! Hari ini kita latihan defense!”
J L J
"Nih!"
Anka menaruh sebuah amplop cokelat di hadapan Cakka. Saat itu, mereka berdua
sedang berada di belakang sekolah. Selesai latihan tadi, Anka langsung menarik
Cakka ke sana untuk berbicara.
“Apaan itu?”
tanya Cakka datar.
Anka
tersenyum sinis. "Lo butuh itu, kan?"
Cakka
mengangkat alisnya menatap Anka. Wajahnya tidak bereaksi sama sekali. Ia paling
sebal kalau siapapun memberinya barang-barang, apalagi amplop cokelat seperti
ini. Cakka sudah tahu isinya apa. Hanya ada satu barang yang biasanya
dimasukkan ke dalam amplop cokelat seperti itu. "Lo pikir gue
pengemis?"
"Alah,
nggak usah bohong. Gue tau keluarga lo butuh, dan gue bakal berbaik hati ngasih
ini asal lo ikutin keinginan gue." kata Anka.
Cakka diam
saja.
"Begini
ya, Kka, lo sama gue sekarang kan kebetulan lagi punya pemikiran yang sama soal
Gabriel. Kita bisa bekerja sama buat mewujudkan pikiran kita, jadi kita
sama-sama untung. Gimana?"
Cakka
memutar bola matanya, malas menanggapi bule satu ini. "Sok tahu."
"So?"
"Kalau lo gak ngerti gue, nggak usah sok ikut campur. Gue gak suka
anak baru itu dan nggak akan mau berurusan sama dia, sekalipun melalui
lo!" kata Cakka pedas. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan Anka sendirian.
J L J
Rio menghela nafasnya ketika melihat
kakaknya diam saja di kamar. Semenjak pulang dari sekolah tadi, kakaknya itu
mengurungkan diri. Dia sama sekali tidak mau makan, minum atau apapun yang Rio
tawarkan. Dan Rio hanya bisa mengintip dari luar. Berharap Gabriel mau keluar.
Bagaimana dia tidak khawatir?
Sebenarnya, Rio tak bermaksud untuk
memaksanya. Rio sama sekali tak ingin Gabriel merasa terbebani dengan
keinginannya, tapi kalau Rio tidak begini, Gabriel bisa-bisa selamanya
terkurung dalam kegelapan.
“Mau sampai kapan di sana?” tiba-tiba
suara Gabriel menggema di telinga Rio.
Rio menoleh ke arah kakaknya yang ada di
dalam kamar. Ternyata, kakaknya itu menyadari kalau sedari tadi Rio ada di
depan kamarnya. Ia menatap Gabriel sendu. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ke kamar sana, ganggu gue aja.” kata
Gabriel lagi.
“Yel, gue nggak ada maksud buat—“
“Bohong!” kata Gabriel nyaring, tampaknya
dia kecewa dengan kejadian hari ini. “Kalau lo sama sekali nggak ada maksud, lo
nggak akan maksa gue!”
Rio diam saja. Ia berjalan menghampiri
Gabriel yang duduk di pinggir jendela, kemudian menepuk sebelah pundaknya.
Namun, Gabriel langsung menepisnya sebal.
“Yel, maafin gue,” kata Rio lagi. “Gue
melakukan ini semua karena gue pengen lo bangkit dari keterpurukan lo. Gue
nggak tahan melihat lo kayak begini terus. Mau sampai kapan lo menutup hati
lo?”
Gabriel diam saja.
“Yel, gue tahu lo cuma terlalu takut kan?
Ibarat medan perang, lo itu cuma terlalu takut karena lo tahu di luar banyak
jebakan yang bisa buat lo celaka. Iya kan?” kata Rio.
Tetap saja Gabriel diam.
“Yel, lihat itu,” kata Rio sambil menunjuk
keluar jendela. Langit malam di luar sana sangat cerah. Tepat di tempat yang ia
tunjuk, ada beberapa bintang yang terang. Rio tersenyum melihatnya. “Bintang
itu adalah gue.”
Gabriel mendongakkan kepalanya, melihat
kemana Rio menunjuk.
“Bintang bersinar itu adalah gue,” kata
Rio kembali mengulang ucapannya. Kemudian, ia menggeser jarinya sedikit,
menunjuk bintang yang lebih redup. “Dan itu adalah lo.”
“Gue nggak ngerti, Yo.” kata Gabriel
pelan.
“Kita berdua itu bagaikan bintang yang
berdampingan. Kita selalu berbagi sinar agar kita selalu dapat bersinar
bersama,” kata Rio. “Kalau yang satu redup, yang lain akan memberikan sinarnya
agar ia tetap hidup.”
Gabriel menghela nafasnya, ia menunduk.
Rio tersenyum, kemudian mengacak rambut
Gabriel pelan. “Yel, gue selalu pengen lo ‘hidup’. Gue pengen lo selalu
bersinar seperti Iel yang dulu. Karena itu, gue mau membantu lo dengan
memberikan sedikit sinar yang gue punya. Gue minta lo ngerti ya?”
“Tapi...”
“Iya, gue tahu, Yel. Gue mengerti perasaan
lo, tapi lo nggak bisa selamanya bersembunyi. Lo harus keluar dan hadapi rasa
takut lo itu.”
Gabriel mendongak. “Tapi, Yo...”
Rio tersenyum. “Lo tenang aja, gue akan
selalu ada di samping lo kalau lo sedih. Gue nggak akan memaafkan siapapun yang
udah mencelakakan kakak gue satu-satunya.”
Gabriel diam. Tak tahu lagi harus menjawab
apa. Sebenarnya, Rio adalah adik yang sangat baik. Ia sangat tahu itu. Tapi,
Gabriel benar-benar masih tak berani untuk menghadapi semuanya. Ia takut
kejadian itu terulang lagi.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p