Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #4 [TUNJUK SATU BINTANG]


Tunjuk satu bintang dan raihlah,
jangan kau berhenti dan menyerah

Hari Minggu, waktu yang bagus untuk tidur sampai siang. Dan sepertinya itu yang dilakukan Gabriel. Rio memergoki kakaknya itu masih terlelap pulas di tempat tidurnya saat dia bangun tadi. Padahal, jam tujuh pagi begini biasanya dia sudah bangun. Ia hanya tersenyum dari balik pintu.

“Rio?” tiba-tiba Bunda mengagetkan Rio.
“Astaga, Bunda, ngagetin aja!” kata Rio sambil menepuk badannya pelan. Ia terlalu asyik mengintip Gabriel sehingga ia tak menyadari Bundanya ada di sana.
“Lagian kamu juga ngapain ngintip kakakmu?” kata Bunda sambil tertawa.
“Nggak apa-apa, Bunda, kirain Iel udah bangun, ternyata masih tidur,” kata Rio nyengir. “Udah lama banget nggak lihat Iel damai kayak begitu, Bun.”
Bunda tersenyum, beliau tentu tahu maksud dari ucapan tersebut.
“Rio boleh ngomong sebentar nggak, Bun? Mumpung Iel belum bangun.” kata Rio lagi.
Bunda mengangguk. “Boleh, ayo ke ruang keluarga biar nggak ganggu kakak kamu tidur. Bunda buatkan teh buat kamu.”
Rio langsung mengikuti Bunda menuju ruang keluarga. Rio duduk di sofa, sementara Bunda ke dapur dulu untuk membuat minuman untuk anaknya. Selang lima menit kemudian, Bunda kembali ke ruang keluarga.
“Makasih ya, Bunda,” kata Rio langsung menyeruput sedikit teh buatan Bunda sebelum berbicara. “Bun, Rio mau ngomong soal rencana kita bantuin Iel berubah itu.”
“Oh, kenapa, sayang?” tanya Bunda tersenyum.
“Rio tahu, semua ini keinginan Rio. Rio yang maksa-maksa Bunda untuk masukin Iel ke sekolah Rio, biar Rio bisa jagain dia dan buat dia terbuka lagi. Tapi, Rio bingung, Bunda...”
“Bingung kenapa? Apa yang terjadi di sekolah?”
“Tadinya Rio mau mulai dari kenalin Iel ke Cakka dan Deva. Tapi, Ielnya nggak mau ngomong sama mereka,” kata Rio. “Mana temen-temen yang lain terlanjur nganggep Iel aneh lagi.”
“Berubah itu nggak bisa instan, Yo, harus pelan-pelan,” kata Bunda. “Yang penting kamu harus terus berusaha.”
“Iya sih,” kata Rio. “Tadinya Rio sama Deva sepakat buat masukin Iel ke ekskul basket, Bun, supaya Iel ada kegiatan dan punya banyak temen. Makanya, kemarin Rio ajak Iel nonton kita latihan kemarin.”
“Terus?”
“Iel malah diganggu sama temen Rio yang namanya Anka. Belum apa-apa, dia udah marah-marah sama Iel dan nganggep Iel itu nggak pantes masuk basket,” kata Rio menunduk sedih. “Anka itu sombong banget, Bun. Suka banget ngerendahin orang. Rio jadi takut Iel celaka kalau dia beneran masuk basket.”
Bunda manggut-manggut mengerti. “Oh, begitu...”
“Menurut Bunda bagaimana?” tanya Rio ingin tahu.
“Hmm...” Bunda berpikir sejenak. “Bunda sih akan dukung apapun yang mau kamu usahakan, Yo. Asal itu tindakan positif. Memangnya menurut Deva bagaimana?”
“Deva bilang Iel pasti baik-baik aja walau ada Anka. Kan ada Rio yang bakal ngelindungin.”
“Kalau begitu, Bunda setuju sama Deva.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Kok begitu?”
“Yo, di luar sana, yang nggak suka sama Iel, Rio, Bunda, Ayah pasti ada. Dan sebagian dari mereka ada yang sampai pakai segala cara untuk menyingkirkan kita,” kata Bunda sambil mengelus rambut anaknya. “Tapi, kita nggak perlu khawatir, Yo. Jadikan mereka motivasi untuk terus berjuang.”
“Bunda nggak takut Iel kenapa-napa?” tanya Rio lagi.
“Kenapa Bunda harus takut? Bunda nggak punya alasan untuk melarang Iel bergaul cuma karena orang itu bisa mencelakakan Iel.” kata Bunda.
“Kenapa?”
“Karena kita nggak pernah tahu sifat manusia itu seperti apa,” kata Bunda membuat mengernyitkan dahinya. “Bukan cuma Anka, bahkan temen-temen dekat kita bisa tiba-tiba mencelakakan kita.”
Mata Rio terbelalak. “Sahabat juga bisa, Bunda?”
Bunda mengangguk. “Semua orang itu dasarnya baik, Yo. Jadi, kamu nggak perlu khawatir. Kalau dia terlihat jahat, belum tentu dalemnya dia jahat. Begitu sebaliknya. Kalau dia bisa jahat, pasti dia punya alasan sendiri.”
Rio diam sejenak. “Jadi, Bunda ngedukung Iel masuk basket?”
Bunda tersenyum. “Kalau untuk tujuan positif, kenapa nggak?”

J L J

Tak terasa, Gabriel sudah bersekolah di SMA MIFI selama dua minggu. Untungnya, tak ada kejadian aneh yang pernah dialami oleh Gabriel di sekolah-sekolah sebelumnya. Walaupun teman-temannya cenderung tidak menerima kehadiran kakak kembarnya tersebut, tapi mereka tidak melabrak atau membully. Paling hanya menyindir.
Rio menghentikan langkahnya begitu ia dan kakak kembarnya sampai di sekolah. Ia menoleh ke arah Gabriel yang sejak tadi betah mengunci mulutnya. “Yel, gue mau ke ruang guru dulu, lo bagaimana?”
“Gue mau ke toilet dulu, baru ke kelas.” jawab Gabriel sambil tersenyum.
Rio menepuk pundak Gabriel senang. “Begitu dong, semangat. Ya udah, gue duluan ya. Nanti ngobrol aja dulu sama Cakka atau Deva, soalnya gue mungkin bakalan lama.”
Gabriel mengernyitkan dahinya. “Lo mau ngapain sih?”
“Ada deh, nanti lo juga tahu.” kata Rio sambil nyengir. Sebelum Gabriel sempat menjawab lagi, dia sudah langsung kabur meninggalkannya sendirian. Gabriel hanya bisa menggelengkan kepala menatap tingkah adiknya.
Begitu sampai di ruang guru, Rio langsung mengetuk pintu dan mengintip ke dalam. Ia tersenyum ketika melihat Pak Jo sudah duduk manis di tempatnya. Sesekali ia menyapa guru-guru lain yang ia lewati, kemudian langsung menghampiri beliau.
“Pagi, Pak.” kata Rio hormat. “Boleh saya bicara sama bapak sebentar?”
“Boleh, Yo, duduk.” kata Pak Jo mempersilahkan sambil tersenyum. Setelah anak asuhnya itu duduk, ia melanjutkan ucapannya. “Jadi, ada apa?”
“Begini, Pak, saya ingin berbicara soal Gabriel,” kata Rio. “Bapak tahu kan, kakak saya yang kemarin diganggu Anka itu. Sebenarnya saya berencana untuk mengajaknya masuk basket. Tapi, untuk itu, saya butuh bantuan Bapak.”
“Oh ya, Bapak tahu, tapi Bapak tidak bisa membantu kalau ini soal tes masuk.”
Rio menggeleng. “Oh, bukan soal tes, Pak. Bapak bisa melihat sendiri bagaimana kondisi Gabriel. Kepercayaan dirinya kurang banget. Dan ada satu dan dua hal yang mengganggu mentalnya, Pak. Jadi, saya ingin Bapak menyakinkan dia masuk basket. Bagaimana?”
“Saya tidak tahu, Yo. Kamu kan tahu, basket itu nggak bisa dipaksakan, harus ada niat dari si anak. Siapa yang bisa menjamin kalau dia bisa berlatih dengan baik nantinya?” tanya Pak Jo.
“Saya mohon, Pak. Gabriel butuh ekskul basket supaya dia bisa berubah.”
“Kasih saya satu alasan kenapa saya harus menerima anak yang sama sekali nggak ada niat di basket? Bagi saya, itu semua akan sia-sia saja.” kata Pak Jo.
Rio menghela nafasnya. “Begini, Pak...”
Rio menceritakan dengan detail apa yang telah terjadi dengan Gabriel selama ini. Bukan hanya masa lalunya, tapi juga apa yang terjadi di kelas. Sesekali dia memohon kepada beliau agar beliau bersedia. Wajahnya memelas, kedua matanya memancarkan harapan yang amat besar.
“Bagaimana, Pak?” tanya Rio setelah ia selesai dengan ceritanya.
Pak Jo tampak berpikir sejenak. “Kamu yakin, dia sanggup ada di lingkungan ekskul basket?”
Rio mengangguk cepat. “Itu akan menjadi tanggung jawab saya, Pak.”
Pak Jo mengangguk-angguk. “Saya akan berusaha dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, Pak? Saya akan menerimanya, apapun itu!”
Pak Jo menghela nafasnya sejenak. “Saya akan berusaha memenuhi permintaan kamu dengan syarat, Gabriel harus...”

J L J

“Hei, Kka! Va!” seru Rio begitu ia masuk kelas. Ia langsung duduk di belakang Cakka. Nafasnya terengah-engah karena ia berlari dari ruang guru. Untung guru mata pelajaran pertama belum datang. Sepertinya ia terlalu lama berbincang-bincang dengan Pak Jo.
“Hm.” kata Cakka cuek.
“Dari mana lo, Yo? Kakak lo nyariin.” kata Deva dari kursi belakang.
“Ada urusan sebentar, Va,” kata Rio cengengesan sendiri. Kemudian, ia menoleh ke arah Gabriel yang duduk di samping Cakka. “Yel, lo nyariin gue? Kan tadi gue udah bilang mau kemana.”
Gabriel hanya tersenyum mendengarnya.
Tak lama kemudian, guru matematika masuk ke dalam kelas. Beliau menyuruh satu kelas untuk mengerjakan beberapa soal dari buku paket karena beliau harus menghadiri rapat. Dan soal-soal tersebut harus diselesaikan dengan kelompok beranggotakan empat orang.
“Satu kelompok satu kertas. Tulis anggota kelompok beserta nomor absen. Nanti kalau sudah selesai, silahkan kumpul ke ketua kelas kalian, oke?” kata Ibu Uci, guru matematika mereka itu. “Kalau begitu, Ibu tinggal dulu.” 
“Makasih, Bu!” seru anak-anak dengan kompak. Setelah itu, mereka langsung sibuk mencari kelompok masing-masing dan mulai bekerja. Kalau Rio sih, sudah tak perlu mencari karena dia pasti bersama Cakka dan Deva. Ditambah Gabriel, jadi satu kelompok deh.
Rio, Gabriel, Cakka dan Deva langsung berkumpul di satu tempat dan mulai menyusun strategi agar tugas mereka cepat selesai. Di sini, yang menjadi ketua kelompok adalah Deva.
“Oke, karena ini ada lima belas soal, jadi kita harus bagi tugas. Satu orang kerjakan empat soal. Tiga kali empat kan dua belas, sisa tiga soal. Itu biar Gabriel aja yang kerjakan, karena dia kan baru masuk sekolah ini. Kasihan kalau dia belum mengerti,” kata Deva. “Oke? Sepakat?”
“Nggak adil dong, Va! Masa dia enak sendiri cuma tiga soal?” protes Cakka.
“Gue pernah membaca satu kutipan dari salah satu buku gue, ada sebuah kalimat yang menyatakan fairness does not mean everyone gets the same. Fairness means everyone gets what they need,” kata Deva lagi. “Adil itu bukan berarti semua orang dapat jatah yang sama, tapi mereka mendapatkan sesuai kebutuhan mereka.”
Cakka menghela nafasnya kasar. “Pilih kasih banget.”
Deva tersenyum, kemudian menoleh ke arah Gabriel. “Yel, lo nggak keberatan, kan?”
Gabriel diam saja menatap Deva.
“Heh! Lo diajak bicara kali! Nggak sopan banget jadi orang.” Cakka kembali meledak melihat sikap Gabriel.
“Udah, udah. Daripada berantem, mendingan kita mulai kerja. Pelajaran Ibu Uci itu nggak lama. Dan kita harus selesaikan ini secepat mungkin,” Rio melerai. “Kka, lo nomor satu sampai empat. Deva empat sampai delapan. Gue sembilan sampai dua belas. Sisanya Gabriel.”
“Oke.” hanya Deva yang menjawab ucapan Rio.
Semuanya langsung bekerja dengan jatahnya masing-masing. Kadang-kadang Rio juga membantu Gabriel dan Deva jika mereka mengalami kesulitan. Sementara Cakka asyik bekerja sendiri. Terlihat sombong memang, tapi harus diakui Cakka selalu jenius dalam bidang akademik. Dia memang mampu mengerjakannya dengan otaknya yang encer.
“Yo...” panggil Gabriel pelan. Ia menggeser buku tulisnya ke arah Rio.
Rio menoleh. Ia melihat hasil kerja Gabriel di buku itu dan tersenyum. “Udah selesai, Yel? Cepet banget. Ya udah, lo mau bantuin gue ngerjain soal? Masih ada satu soal lagi nih.”
Gabriel mengintip ke arah buku Rio, kemudian mengangguk-angguk. Kemudian, dia menuliskan sedikit petunjuk agar Rio dapat mengerti soal tersebut. Begitu Rio dapat bekerja dengan lancar, Gabriel tersenyum senang. Cakka yang melihat adegan tersebut hanya mendengus, Gabriel terlihat manja sekali dengan saudaranya. Kadang-kadang Cakka berpikir bahwa Gabriel itu bukan tertutup dengan pergaulan, namun dia memang suka sesama jenis. Udah SMA kok sikapnya masih kayak anak TK, pikirnya.
Deva menepuk pundak Cakka pelan ketika ia memergokinya diam-diam mengeluh. Ia mengisyaratkan temannya tersebut untuk kembali bekerja.
“Apaan sih?” bisik Cakka sebal.
“Memangnya lo udah selesai?” tanya Deva pelan.
“Lagian ganggu aja!”
“Namanya juga saudara, Kka. Lo sama Mas Elang, Chiara juga begitu, kan?” kata Deva. Cakka memang tiga bersaudara. Dan dia adalah anak kedua di keluarganya. Kakaknya, Elang sudah kuliah, sementara Chiara masih sekolah dasar.
“Tahu ah.”

J L J

“Aduh, Yo, gue nggak mau!” Gabriel mengeluh kepada Rio yang dari tadi menarik tangannya agar mau ke lapangan. Yang benar saja, Gabriel? Harus tes masuk ekskul basket?! Kenapa sih adiknya ini memaksa sekali? Padahal, Gabriel sama sekali tidak berniat untuk masuk ekskul apapun.
“Udah, nggak apa-apa,” kata Rio. “Ini cuma tes doang kok, biar pada tahu lo itu sebenarnya bisa main basket. Oke? Daripada lo nggak ikut ekskul sama sekali.”
“Tapi—“
“Eh, Yo, Yel, kalian udah dateng!” kata Pak Jo ketika melihat anak kembar itu sampai di lapangan.
“Iya, Pak! Gabriel udah siap tes nih, Pak!” kata Rio sambil tersenyum.
“Oke! Perhatian semuanya!” kata Pak Jo kepada semua anak basket yang ada di lapangan. Di sebelah beliau, Gabriel menunjukkan wajah kosong. “Hari ini akan ada satu orang baru yang akan tes masuk basket. Namanya Gabriel. Jadi, sementara dia tes, kalian bisa menonton di pinggir. Setelah itu, baru kita mulai latihan. Oke?”
Seseorang mengangkat tangannya. “Pak! Kita boleh menilai anak baru itu juga nggak?”
“Nggak usah, biar Bapak aja yang menilai dia,” kata Pak Jo. “Sekarang, kalian duduk dengan rapi mengelilingi lapangan. Cakka, kamu bantu Bapak jadi lawan main Gabriel.”
Tes awal yang harus dilakukan Gabriel adalah kemampuan dasar, sehingga Cakka berdiri di pinggir bersama Pak Jo terlebih dahulu. Gabriel harus melakukan dribble disambung dengan lay up kiri dan kanan. Setelah itu, ada free throw atau lemparan bebas sebanyak sepuluh kali. Dan tak disangka, ternyata Gabriel melakukan tes-tes tersebut dengan baik. Walaupun dia malas-malasan mengikuti tes ini, namun tekniknya tetap terlihat bagus.
Anak-anak basket yang lain juga tampaknya terkesima dengan kemampuan Gabriel. Beberapa dari mereka juga langsung berpikir kalau Gabriel bagus kalau masuk basket. Bisa menjadi salah satu pemain hebat di ekskul basket mereka. Rio sangat senang dengan respon-respon itu.
“Oke, sekarang kamu 1 on 1 lawan Cakka, oke? Bapak ingin tahu skill kamu.” kata Pak Jo setelah Gabriel selesai melakukan lemparan bebas.
Cakka langsung masuk ke tengah lapangan. Gabriel diam saja menatap Cakka sampai ia berada di hadapannya. Begitu peluit dibunyikan, Gabriel dan Cakka langsung beradu. Seketika lapangan langsung heboh seperti di stadion. Anak-anak basket langsung mendukung Cakka dan Gabriel dengan semangat.
SETT!! Gabriel langsung merebut bola dari Cakka dengan cepat. Kemudian, dia langsung mendribel bola menuju ring. Sementara Cakka langsung mengejar kembali bolanya dan menghadang Gabriel agar dia tidak bisa mencetak angka. Namun, lagi-lagi Gabriel bisa melarikan diri.
Sial! Dia boleh juga ternyata! pikir Cakka sambil sibuk mengejar Gabriel yang sedang membawa bola.
WUS! Gabriel melempar bola basketnya ke ring dan... MASUK! Bola basketnya masuk dengan mulus dan memantul kembali ke arah Gabriel.
“2-0! Kita berhenti di angka 10, oke!” seru Pak Jo dari pinggir.
Pertandingan terus berjalan. Anak-anak basket juga semakin lama semakin heboh karena Cakka dan Gabriel saling mengejar angka. Kemampuan mereka sepertinya seimbang. Hingga pada akhirnya Gabriel menang tipis dengan skor 10-9.
“Oke, tes kamu selesai,” kata Pak Jo. Beliau langsung menghampiri Cakka dan Gabriel yang masih ada di tengah lapangan. “Cakka, makasih ya. Dan untuk kamu, Gabriel, Bapak harap kamu betah ya di ekskul basket. Bapak lihat kamu sangat berbakat.”
Gabriel diam.
“Kenapa?” tanya Pak Jo lagi, pura-pura tidak tahu. Padahal, beliau sudah tahu kalau Gabriel pasti akan seperti itu.
Gabriel ragu-ragu, kemudian mulai berbicara. “Saya—“
“Kamu takut masuk basket karena kejadian kemarin?” tanya Pak Jo mendahului.
Gabriel diam lagi.
Pak Jo menepuk-nepuk pundak Gabriel pelan. “Udah, nggak apa-apa. Anggap kejadian nggak pernah ada. Nanti di ekskul basket ini kamu pasti dapet banyak teman. Kan ada adik kamu juga di sini.”
Tetap tidak ada jawaban. Gabriel menghela nafasnya, kemudian langsung meninggalkan lapangan. Semua orang langsung heran menatap tingkah lakunya. Rio langsung pamit ke Pak Jo untuk menyusul Gabriel, namun ditahan oleh Cakka.
“Lo mau bolos lagi gara-gara kakak lo itu, hah?” kata Cakka sebal.
“Kka, gue harus kejar dia!” kata Rio meminta pengertian.
“Waktu itu, lo yang bilang sendiri nggak bakal bolos gara-gara kakak lo, sekarang mana buktinya?” kata Cakka tak peduli.
“Terserah apa kata lo deh, Kka! Lo buang-buang waktu gue!” kata Rio akhirnya langsung pergi meninggalkan lapangan untuk mengejar Gabriel.
“AH!” keluh Cakka sambil menendang bola basket yang ada di dekatnya dengan keras. Ia benar-benar emosi dengan sahabatnya itu. Untung Pak Jo ada di dekatnya, sehingga beliau langsung menenangkannya.
“Udah, udah. Biarin aja dia pergi dulu, Kka, nanti juga balik,” kata Pak Jo, kemudian menepuk tangannya sekali. “Udah, ayo latihan semuanya! Hari ini kita latihan defense!

J L J

"Nih!" Anka menaruh sebuah amplop cokelat di hadapan Cakka. Saat itu, mereka berdua sedang berada di belakang sekolah. Selesai latihan tadi, Anka langsung menarik Cakka ke sana untuk berbicara.
“Apaan itu?” tanya Cakka datar.
Anka tersenyum sinis. "Lo butuh itu, kan?"
Cakka mengangkat alisnya menatap Anka. Wajahnya tidak bereaksi sama sekali. Ia paling sebal kalau siapapun memberinya barang-barang, apalagi amplop cokelat seperti ini. Cakka sudah tahu isinya apa. Hanya ada satu barang yang biasanya dimasukkan ke dalam amplop cokelat seperti itu. "Lo pikir gue pengemis?"
"Alah, nggak usah bohong. Gue tau keluarga lo butuh, dan gue bakal berbaik hati ngasih ini asal lo ikutin keinginan gue." kata Anka.
Cakka diam saja.
"Begini ya, Kka, lo sama gue sekarang kan kebetulan lagi punya pemikiran yang sama soal Gabriel. Kita bisa bekerja sama buat mewujudkan pikiran kita, jadi kita sama-sama untung. Gimana?"
Cakka memutar bola matanya, malas menanggapi bule satu ini. "Sok tahu."
"So?"
"Kalau lo gak ngerti gue, nggak usah sok ikut campur. Gue gak suka anak baru itu dan nggak akan mau berurusan sama dia, sekalipun melalui lo!" kata Cakka pedas. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan Anka sendirian.

J L J

Rio menghela nafasnya ketika melihat kakaknya diam saja di kamar. Semenjak pulang dari sekolah tadi, kakaknya itu mengurungkan diri. Dia sama sekali tidak mau makan, minum atau apapun yang Rio tawarkan. Dan Rio hanya bisa mengintip dari luar. Berharap Gabriel mau keluar. Bagaimana dia tidak khawatir?
Sebenarnya, Rio tak bermaksud untuk memaksanya. Rio sama sekali tak ingin Gabriel merasa terbebani dengan keinginannya, tapi kalau Rio tidak begini, Gabriel bisa-bisa selamanya terkurung dalam kegelapan.
“Mau sampai kapan di sana?” tiba-tiba suara Gabriel menggema di telinga Rio.
Rio menoleh ke arah kakaknya yang ada di dalam kamar. Ternyata, kakaknya itu menyadari kalau sedari tadi Rio ada di depan kamarnya. Ia menatap Gabriel sendu. Tak tahu harus menjawab apa.
“Ke kamar sana, ganggu gue aja.” kata Gabriel lagi.
“Yel, gue nggak ada maksud buat—“
“Bohong!” kata Gabriel nyaring, tampaknya dia kecewa dengan kejadian hari ini. “Kalau lo sama sekali nggak ada maksud, lo nggak akan maksa gue!”
Rio diam saja. Ia berjalan menghampiri Gabriel yang duduk di pinggir jendela, kemudian menepuk sebelah pundaknya. Namun, Gabriel langsung menepisnya sebal.
“Yel, maafin gue,” kata Rio lagi. “Gue melakukan ini semua karena gue pengen lo bangkit dari keterpurukan lo. Gue nggak tahan melihat lo kayak begini terus. Mau sampai kapan lo menutup hati lo?”
Gabriel diam saja.
“Yel, gue tahu lo cuma terlalu takut kan? Ibarat medan perang, lo itu cuma terlalu takut karena lo tahu di luar banyak jebakan yang bisa buat lo celaka. Iya kan?” kata Rio.
Tetap saja Gabriel diam.
“Yel, lihat itu,” kata Rio sambil menunjuk keluar jendela. Langit malam di luar sana sangat cerah. Tepat di tempat yang ia tunjuk, ada beberapa bintang yang terang. Rio tersenyum melihatnya. “Bintang itu adalah gue.”
Gabriel mendongakkan kepalanya, melihat kemana Rio menunjuk.
“Bintang bersinar itu adalah gue,” kata Rio kembali mengulang ucapannya. Kemudian, ia menggeser jarinya sedikit, menunjuk bintang yang lebih redup. “Dan itu adalah lo.”
“Gue nggak ngerti, Yo.” kata Gabriel pelan.
“Kita berdua itu bagaikan bintang yang berdampingan. Kita selalu berbagi sinar agar kita selalu dapat bersinar bersama,” kata Rio. “Kalau yang satu redup, yang lain akan memberikan sinarnya agar ia tetap hidup.”
Gabriel menghela nafasnya, ia menunduk.
Rio tersenyum, kemudian mengacak rambut Gabriel pelan. “Yel, gue selalu pengen lo ‘hidup’. Gue pengen lo selalu bersinar seperti Iel yang dulu. Karena itu, gue mau membantu lo dengan memberikan sedikit sinar yang gue punya. Gue minta lo ngerti ya?”
“Tapi...”
“Iya, gue tahu, Yel. Gue mengerti perasaan lo, tapi lo nggak bisa selamanya bersembunyi. Lo harus keluar dan hadapi rasa takut lo itu.”
Gabriel mendongak. “Tapi, Yo...”
Rio tersenyum. “Lo tenang aja, gue akan selalu ada di samping lo kalau lo sedih. Gue nggak akan memaafkan siapapun yang udah mencelakakan kakak gue satu-satunya.”
Gabriel diam. Tak tahu lagi harus menjawab apa. Sebenarnya, Rio adalah adik yang sangat baik. Ia sangat tahu itu. Tapi, Gabriel benar-benar masih tak berani untuk menghadapi semuanya. Ia takut kejadian itu terulang lagi.

TO BE CONTINUED...

Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p