Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #3 [KASIH TAK SAMPAI]


—Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini agar menjadi saksi cinta kita berdua—

Pagi itu, Rio sudah siap dengan baju rapi di depan cermin. Ia menata rambutnya perlahan-lahan sambil menunggu kakak kembarnya selesai mandi. Mumpung hari ini akhir pekan, Rio berencana untuk pergi menjenguk Ayah bersama keluarganya. Kalau dipikir-pikir, mereka sudah lama sekali tidak ke sana.
“Nanana...” Rio bersenandung kecil sambil terus mengawasi rambutnya.
“Aduh, masih ngerapiin rambut aja anak Bunda. Udah ganteng kok, Rio!” tiba-tiba suara Bunda menyapa dari ambang pintu.
Rio tersenyum mendapati bayangan Bunda di cerminnya. “Ah, enggak kok, Bun, Rio cuma beresin sebentar sambil nungguin Iel. Kan biar turunnya bareng. Sarapan udah siap ya, Bun?”
Bunda tersenyum. “Udah tuh, dari tadi Bunda nungguin kamu di bawah.”
“Ya udah deh, Rio turun duluan,” kata Rio. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandinya. “Bunda nunggu aja di bawah. Sebentar lagi Rio turun.”
“Ya udah. Jangan lama-lama ya.” Bunda langsung meninggalkan kamar Rio.
Rio segera membereskan tas kecilnya, kemudian langsung memakainya di kedua pundak. Sebelum turun ke bawah, tak lupa ia berteriak di depan kamar mandinya. “IEELL! GUE TURUN DULUAN YA?! UDAH DITUNGGUIN BUNDA!”
“IYA! SEBENTAR LAGI GUE SELESAI KOK!”
Rio langsung meninggalkan kamarnya dan segera melahap sarapannya di dapur. Mulutnya mengunyah dengan semangat nasi dengan telur goreng yang dibuat oleh Bunda. Di sebelah piringnya juga sudah tersedia susu cokelat untuk pertumbuhannya. Walaupun lauknya minim, tapi masakan orang tuanya memang selalu terasa yang paling enak di antara semua makanan yang pernah dicicipinya. Kalau makanan restoran enak karena bumbunya, masakan rumah enak karena ada kasih sayangnya.
“Yo, laper banget kayaknya. Awas tersedak!” kata Bunda sambil tertawa melihat cara Rio makan. Anaknya itu sudah seperti orang yang tidak dikasih makan bertahun-tahun.
Rio nyengir, kemudian memelankan gerakannya. “Habis enak sih, Bun.”
“Dasar kamu,” kata Bunda sambil menggelengkan kepalanya. Setelah itu, dia langsung menoleh ke arah Gabriel yang baru saja sampai di dapur. “Iel, nih makan dulu. Habis itu, kita langsung berangkat.”
Gabriel tersenyum. “Iya, Bun.”
Drrt... Drrt...
Rio yang sedang menghabiskan susunya langsung mengambil ponselnya dari saku celana. Ternyata ada panggilan. Setelah melihat nama Deva di layarnya, ia langsung berjalan menuju ruang tamu untuk menerimanya.
“Hei, kenapa, Va?” tanya Rio.
Hei, Yo. Hari ini lo sibuk?
“Oh, gue cuma mau ngunjungin bokap gue sih. Paling nanti siang juga udah pulang. Ada yang bisa gue bantu?”
Oh, nggak apa-apa, Yo. Bokap nyokap gue kayaknya pergi sampai malem. Kalau lo nggak keberatan, lo bisa nemenin gue jagain adik-adik gue. Cakka sibuk soalnya.”
“Oh, begitu? Ya udah, nanti habis gue selesai, gue bakalan ke rumah lo deh. Lo tunggu aja. Kebetulan ada yang mau gue omongin sama lo, Va.” kata Rio sambil tersenyum.
Makasih ya, Yo. Sori kalau ganggu. Bye!”
“Santai, Va. Ya udah, bye!” Rio langsung memutuskan sambungan dan kembali ke dapur. Keluarganya sudah tampak siap untuk pergi. Hanya tinggal menunggu Bunda mencuci piring bekas mereka sarapan.
“Eh, Yo, siapa yang menelepon?” tanya Bunda.
“Oh, Deva, Bun. Dia lagi ngejagain adik-adiknya di rumah. Katanya kalau mau, Rio boleh main ke rumahnya.” kata Rio sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, ikut yuk nanti!”
Gabriel menoleh ke arah Rio diam. “Harus ya?”
“Harus dong, biar lo bisa kenal sama Deva juga,” kata Rio semangat. “Lo bakalan seneng banget deh main ke rumah dia. Rame banget rumahnya, adiknya aja udah empat. Baik-baik semuanya.”
Gabriel menggeleng cepat. “Nggak ah, males.”
Rio menghela nafasnya. “Kenapa? Lo kan perlu adaptasi di sekolah, Yel, lo nggak bisa tergantung sama gue terus. Paling enggak, lo harus kenal satu atau dua orang selain gue supaya lo nggak susah nantinya. Mau ya!”
“Nggak mau, Yo.” Gabriel tetap keuhkeuh.
“Udah, kalian jangan berantem dong. Ayo kita pergi, kalau Iel nggak mau ikut, ya sudah. Jangan dipaksa, Yo. Lain kali aja dia ikutan main sama Deva.” kata Bunda sambil tersenyum.
Rio diam sejenak. “Ya udah deh.”

J L J

Rio dan Gabriel langsung turun dari mobil begitu mereka sampai di suatu tempat. Langkah mereka mengikuti Bunda menuju lapangan rumput yang dibatasi oleh pagar. Bau tanah mulai menusuk hidung mereka begitu mereka masuk ke sana.  Mereka bertiga menghampiri salah satu tempat peristirahatan yang cukup terawat di dalam lapangan tersebut.
Tempat yang sudah beberapa tahun menjadi ‘rumah’ Ayah Rio dan Gabriel itu tampak sepi. Tak ada satupun manusia yang terlihat di sana kecuali mereka bertiga, sama seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya.
“Sini, Bun, biar Rio aja.” kata Rio menawarkan diri.
Bunda tersenyum, kemudian menyodorkan keranjang kecil yang sedari tadi dipegangnya kepada Rio. Kemudian, ia diam saja membiarkan anaknya itu menaburkan bunga-bunga ke tempat peristirahatan tersebut. Tangannya merangkul Gabriel yang ada di sebelahnya.
Setelah Rio selesai, Gabriel dan Bunda baru mendekati tempat peristirahatan tersebut dan berlutut di samping Rio. Mereka bertiga memejamkan mata mereka dan mulai berdoa masing-masing untuk siapa yang ada di dalam tempat peristirahatan tersebut.
Ayah dari anak kembar itu memang sudah tiada sejak beberapa tahun yang lalu. Beliau mengalami serangan jantung karena terlalu tertekan dengan pekerjaannya. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang membuatnya drop sehingga bisa seperti ini. Bunda, Rio dan Gabriel hanya bisa mengikhlaskannya.
Seharusnya setiap bulan mengunjungi Ayah untuk berdoa, namun tak bisa dipungkiri kalau kesibukan mereka semakin hari semakin bertambah. Dulu saat Rio dan Gabriel masih kecil, mungkin mereka bisa rutin berkunjung ke sini. Tapi, kalau sudah SMA begini, mereka terpaksa mengurangi frekuensi kunjungan mereka karena Rio dan Gabriel banyak tugas yang harus diselesaikan.
“Yah, Iel, Rio sama Bunda datang lagi,” kata Gabriel setelah mereka semua kembali membuka mata mereka. “Kami kangen sama Ayah. Terlalu banyak kenangan yang udah kita lewati, susah buat kita untuk merelakan kepergian Ayah.”
“Iel bener, Yah. Rio juga masih ingin Ayah ada di sini kalau bisa, tapi Rio tahu kalau itu semua mustahil,” Rio melanjutkan. “Ayah baik-baik ya di surga. Jangan lupa buat terus memantau kita di sini. Walau Ayah udah nggak ada, Ayah tetep wajib untuk ingetin kita kalau kita bandel.”
“Lihat, Mas, dua anak kamu sudah besar sekarang, mereka selalu menyayangimu, mereka bahkan nggak mau Ayah selain kamu,” giliran Bunda yang menyahut. “Aku selalu sayang sama Rio dan Gabriel, Mas, jadi aku janji akan setia sama kamu sampai ajal memanggil.”
Rio dan Gabriel tersenyum mendengar ucapan Bunda.
“Yah, doain Rio sama Iel ya, supaya studi kita selalu lancar dan bisa buat Ayah bangga di atas sana. Ayah tenang aja, walau kita jarang ke sini, kita nggak akan pernah lupa kalau kita punya orang tua paling hebat seperti Ayah.” kata Rio lagi.
“Ya udah, kita pamit dulu ya, Mas, bulan depan mudah-mudahan kita ke sini untuk mengunjungi kamu. Selama kita ada waktu, kita pasti ke sini.” kata Bunda.
Mereka bertiga berdiri satu per satu dan mulai meninggalkan tempat itu untuk menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Membiarkan kata-kata yang mereka sampaikan itu melayang diterpa angin hingga sampai pada sang Ayah. Keheningan akan menggantikan mereka untuk berjaga.

J L J

Krek...
“Hei, Yo! Masuk!” sahut Deva ramah begitu melihat sahabatnya itu di balik pintu rumahnya. Setelah Rio masuk, ia langsung menutup pintu kembali dan mengajak Rio menuju ruang keluarga. Di sanalah adik-adik Deva sedang berkumpul.
“Wah, lagi pada main apa nih?” kata Rio tersenyum melihat mereka.
“Eh, ada Kak Rio!” kata Devi, adik pertama Deva yang sudah kelas tujuh. Dia satu-satunya adik Deva yang sudah lumayan besar. Anak-anak di bawahnya masih bayi dan balita. Makanya, terkadang dia juga bisa membantu Deva untuk menjaga adik-adik.
“Hai, Vi!” jawab Rio sambil tersenyum. Ia memang sudah mengenal keluarga Deva dengan baik karena dia sering berkunjung bersama Cakka. Kadang-kadang kalau Rio dan Cakka sedang iseng datang, mereka berdua suka diajak main oleh mereka.
“Kata Kak Deva ada masalah yang harus dibahas ya? Kalau begitu, biar Devi aja yang jagain Dava, Diva sama Devani. Kalian boleh kok ngobrol di kamar, daripada di sini, berisik, kan?”
“Oh, nggak apa-apa, kok, Vi, Kak Rio kan mau main sama kalian juga,” kata Rio sambil tersenyum. “Omong-omong, tamunya nggak dikasih minum nih? Tenggorokkan kakak udah ngamuk loh, Vi.”
Devi tertawa. “Apaan sih, Kak, nggak jelas banget. Ya udah, Devi ambilin minum dulu buat Kak Rio sama Kak Deva. Kalian ngobrol aja dulu. Anggep aja rumah sendiri, Kak.”
“Oke, makasih, Vi!”
Deva tersenyum melihat kepergian Devi ke dapur, kemudian dia langsung mempersilahkan Rio untuk duduk di sofa yang ada. Deva juga ikut duduk di sebelah Rio, kemudian mereka mulai berbincang-bincang.
“Gabriel nggak ikut?” tanya Deva memulai pembicaraan.
Rio menggelengkan kepala. “Udah gue ajak, tapi dia tetep nggak mau.”
Deva tersenyum maklum. “Padahal, tadi gue pikir kalau lo ngajak Gabriel juga, gue mau sekalian ngomong sama dia. Biar semuanya bisa lebih lancar. Tapi, ya udah deh. Jadi, ada apa?”
“Justru itu, Va, gue juga pengen ngomong soal Gabriel.” kata Rio cemas.
Deva tersenyum. “Oh, bagaimana? Lo udah ngajak dia masuk basket?”
“Udah sih, kemarin pas latihan gue ngajak dia lihat. Tapi, dia malah ngelamun di pinggir. Udah begitu, dia digangguin sama Anka. Makin nggak mau dia masuk basket,” kata Rio. “Pulang-pulang dia marah sama gue.”
“Anka, yang bule itu?”
Rio mengangguk. “Siapa lagi? Lo kan tahu bule egois itu paling suka ngerendahin orang. Untung kemarin ketahuan sama gue. Kalau nggak, Gabriel bisa makin tertutup sama pergaulan.”
Deva tersenyum.
“Va, gue jadi makin khawatir sama Gabriel kalau begini caranya.” kata Rio.
“Khawatir kenapa? Bukannya lo bakal melakukan apapun buat melindungi kakak lo?” tanya Deva.
“Tentu aja, gue sayang banget sama dia, Va. Dan gue mau dia tahu kalau nggak semua orang punya sifat yang sama.” kata Rio sambil menunduk. “Tapi, gue juga takut dia dicelakain sama Anka. Bukan fisiknya, tapi batinnya.”
Keadaan hening sejenak. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Devi kembali dengan membawa nampan berisi dua teh hangat. Ia mengawasi Deva dan Rio sambil menaruh minuman mereka di atas meja.
“Duh, kenapa pada diem? Kayaknya masalahnya serius banget.” Devi langsung memecah keheningan mereka.
 Deva yang duluan tersadar. Ia tersenyum kepada Devi. “Makasih, Vi, kamu jagain adik-adik aja, cuma masalah kecil kok."
 Devi tersenyum balik. "Ya udah."
Deva kembali menoleh ke arah Rio. "Minum dulu, Yo."
"Oh iya, makasih, Va." Rio langsung mencoba teh hangat yang dibuat Devi itu.
Deva menghela nafasnya, kemudian berbicara lagi. “Yo, menurut gue, lo sama sekali nggak perlu takut. Gabriel pasti akan baik-baik aja di ekskul basket selama lo masih ada di sampingnya. Gue bisa lihat kok, tatapannya ke lo itu beda.”
“Beda bagaimana?” tanya Rio.
“Yah, kalau gue lihat, dia selalu ketakutan dan ngeri sama yang lain. Gue contohnya, sama Cakka juga. Tapi, kalau sama lo, dia bisa senyum, bisa ngomong dengan nyaman. Jadi, gue rasa lo pasti bisa ngejagain dia dari Anka.”
“Iya gue tahu itu, Va. Tapi, gue nggak bisa dua puluh empat jam bareng dia. Kalau gue lagi nggak ada di dekat dia, siapa yang bakal melindungi dia kalau bukan lo dan Cakka?” tanya Rio lagi. “Itu sebabnya gue pengen banget Gabriel bergaul sama lo berdua.”
Deva tersenyum. “Dia cuma butuh waktu kok, Yo.”
Rio diam.
Deva menepuk pundak Rio pelan. “Lo tenang aja, gue yakin lama-kelamaan Gabriel pasti membuka diri. Dia cuma terlalu terpaku dengan pikiran negatif, jadinya kasih sayang yang mau ditunjukkin sama anak-anak nggak bisa dia rasakan lagi.”
“Memangnya teman-teman kita mau menerima dia?” tanya Rio. “Yang gue tahu, dari awal dia masuk, dia selalu diejek-ejek. Selalu begitu kalau Gabriel masuk sekolah baru.”
“Itu karena mereka nggak merasakan rasanya jadi Gabriel,” kata Deva tersenyum. “Percaya sama gue, banyak cara yang bakalan bikin kakak lo berubah sikap. Dan masuk basket salah satunya.”
“Lalu, bagaimana sama lo dan Cakka?”
“Gue dan Cakka pelan-pelan pasti bisa sahabatan sama kakak lo, kok. Cuma dengan keadaan kakak lo sekarang, kita pastinya butuh proses. Mungkin butuh bulanan. Jadi, sekarang kita jalani dulu apa yang bisa kita lakukan, oke?”
Rio tersenyum ragu.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p