—Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini agar menjadi
saksi cinta kita berdua—
Pagi
itu, Rio sudah siap dengan baju rapi di depan cermin. Ia menata rambutnya
perlahan-lahan sambil menunggu kakak kembarnya selesai mandi. Mumpung hari ini
akhir pekan, Rio berencana untuk pergi menjenguk Ayah bersama keluarganya.
Kalau dipikir-pikir, mereka sudah lama sekali tidak ke sana.
“Nanana...”
Rio bersenandung kecil sambil terus mengawasi rambutnya.
“Aduh,
masih ngerapiin rambut aja anak Bunda. Udah ganteng kok, Rio!” tiba-tiba suara
Bunda menyapa dari ambang pintu.
Rio
tersenyum mendapati bayangan Bunda di cerminnya. “Ah, enggak kok, Bun, Rio cuma
beresin sebentar sambil nungguin Iel. Kan biar turunnya bareng. Sarapan udah
siap ya, Bun?”
Bunda
tersenyum. “Udah tuh, dari tadi Bunda nungguin kamu di bawah.”
“Ya
udah deh, Rio turun duluan,” kata Rio. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandinya.
“Bunda nunggu aja di bawah. Sebentar lagi Rio turun.”
“Ya
udah. Jangan lama-lama ya.” Bunda langsung meninggalkan kamar Rio.
Rio
segera membereskan tas kecilnya, kemudian langsung memakainya di kedua pundak.
Sebelum turun ke bawah, tak lupa ia berteriak di depan kamar mandinya. “IEELL!
GUE TURUN DULUAN YA?! UDAH DITUNGGUIN BUNDA!”
“IYA!
SEBENTAR LAGI GUE SELESAI KOK!”
Rio
langsung meninggalkan kamarnya dan segera melahap sarapannya di dapur. Mulutnya
mengunyah dengan semangat nasi dengan telur goreng yang dibuat oleh Bunda. Di
sebelah piringnya juga sudah tersedia susu cokelat untuk pertumbuhannya. Walaupun
lauknya minim, tapi masakan orang tuanya memang selalu terasa yang paling enak
di antara semua makanan yang pernah dicicipinya. Kalau makanan restoran enak karena
bumbunya, masakan rumah enak karena ada kasih sayangnya.
“Yo,
laper banget kayaknya. Awas tersedak!” kata Bunda sambil tertawa melihat cara
Rio makan. Anaknya itu sudah seperti orang yang tidak dikasih makan
bertahun-tahun.
Rio
nyengir, kemudian memelankan gerakannya. “Habis enak sih, Bun.”
“Dasar
kamu,” kata Bunda sambil menggelengkan kepalanya. Setelah itu, dia langsung
menoleh ke arah Gabriel yang baru saja sampai di dapur. “Iel, nih makan dulu.
Habis itu, kita langsung berangkat.”
Gabriel
tersenyum. “Iya, Bun.”
Drrt...
Drrt...
Rio
yang sedang menghabiskan susunya langsung mengambil ponselnya dari saku celana.
Ternyata ada panggilan. Setelah melihat nama Deva di layarnya, ia langsung
berjalan menuju ruang tamu untuk menerimanya.
“Hei,
kenapa, Va?” tanya Rio.
“Hei, Yo. Hari ini lo sibuk?”
“Oh,
gue cuma mau ngunjungin bokap gue sih. Paling nanti siang juga udah pulang. Ada
yang bisa gue bantu?”
“Oh, nggak apa-apa, Yo. Bokap nyokap gue
kayaknya pergi sampai malem. Kalau lo nggak keberatan, lo bisa nemenin gue
jagain adik-adik gue. Cakka sibuk soalnya.”
“Oh,
begitu? Ya udah, nanti habis gue selesai, gue bakalan ke rumah lo deh. Lo
tunggu aja. Kebetulan ada yang mau gue omongin sama lo, Va.” kata Rio sambil
tersenyum.
“Makasih ya, Yo. Sori kalau ganggu. Bye!”
“Santai,
Va. Ya udah, bye!” Rio langsung memutuskan sambungan dan kembali ke dapur.
Keluarganya sudah tampak siap untuk pergi. Hanya tinggal menunggu Bunda mencuci
piring bekas mereka sarapan.
“Eh,
Yo, siapa yang menelepon?” tanya Bunda.
“Oh,
Deva, Bun. Dia lagi ngejagain adik-adiknya di rumah. Katanya kalau mau, Rio
boleh main ke rumahnya.” kata Rio sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Gabriel.
“Yel, ikut yuk nanti!”
Gabriel
menoleh ke arah Rio diam. “Harus ya?”
“Harus
dong, biar lo bisa kenal sama Deva juga,” kata Rio semangat. “Lo bakalan seneng
banget deh main ke rumah dia. Rame banget rumahnya, adiknya aja udah empat.
Baik-baik semuanya.”
Gabriel
menggeleng cepat. “Nggak ah, males.”
Rio
menghela nafasnya. “Kenapa? Lo kan perlu adaptasi di sekolah, Yel, lo nggak
bisa tergantung sama gue terus. Paling enggak, lo harus kenal satu atau dua
orang selain gue supaya lo nggak susah nantinya. Mau ya!”
“Nggak
mau, Yo.” Gabriel tetap keuhkeuh.
“Udah,
kalian jangan berantem dong. Ayo kita pergi, kalau Iel nggak mau ikut, ya
sudah. Jangan dipaksa, Yo. Lain kali aja dia ikutan main sama Deva.” kata Bunda
sambil tersenyum.
Rio
diam sejenak. “Ya udah deh.”
J L J
Rio
dan Gabriel langsung turun dari mobil begitu mereka sampai di suatu tempat.
Langkah mereka mengikuti Bunda menuju lapangan rumput yang dibatasi oleh pagar.
Bau tanah mulai menusuk hidung mereka begitu mereka masuk ke sana. Mereka bertiga menghampiri salah satu
tempat peristirahatan yang cukup terawat di dalam lapangan tersebut.
Tempat
yang sudah beberapa tahun menjadi ‘rumah’ Ayah Rio dan Gabriel itu tampak sepi.
Tak ada satupun manusia yang terlihat di sana kecuali mereka bertiga, sama
seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya.
“Sini,
Bun, biar Rio aja.” kata Rio menawarkan diri.
Bunda
tersenyum, kemudian menyodorkan keranjang kecil yang sedari tadi dipegangnya kepada
Rio. Kemudian, ia diam saja membiarkan anaknya itu menaburkan bunga-bunga ke
tempat peristirahatan tersebut. Tangannya merangkul Gabriel yang ada di
sebelahnya.
Setelah
Rio selesai, Gabriel dan Bunda baru mendekati tempat peristirahatan tersebut
dan berlutut di samping Rio. Mereka bertiga memejamkan mata mereka dan mulai
berdoa masing-masing untuk siapa yang ada di dalam tempat peristirahatan
tersebut.
Ayah
dari anak kembar itu memang sudah tiada sejak beberapa tahun yang lalu. Beliau
mengalami serangan jantung karena terlalu tertekan dengan pekerjaannya. Selain
itu, ada faktor-faktor lain yang membuatnya drop sehingga bisa seperti ini.
Bunda, Rio dan Gabriel hanya bisa mengikhlaskannya.
Seharusnya
setiap bulan mengunjungi Ayah untuk berdoa, namun tak bisa dipungkiri kalau
kesibukan mereka semakin hari semakin bertambah. Dulu saat Rio dan Gabriel
masih kecil, mungkin mereka bisa rutin berkunjung ke sini. Tapi, kalau sudah
SMA begini, mereka terpaksa mengurangi frekuensi kunjungan mereka karena Rio
dan Gabriel banyak tugas yang harus diselesaikan.
“Yah,
Iel, Rio sama Bunda datang lagi,” kata Gabriel setelah mereka semua kembali
membuka mata mereka. “Kami kangen sama Ayah. Terlalu banyak kenangan yang udah
kita lewati, susah buat kita untuk merelakan kepergian Ayah.”
“Iel
bener, Yah. Rio juga masih ingin Ayah ada di sini kalau bisa, tapi Rio tahu
kalau itu semua mustahil,” Rio melanjutkan. “Ayah baik-baik ya di surga. Jangan
lupa buat terus memantau kita di sini. Walau Ayah udah nggak ada, Ayah tetep
wajib untuk ingetin kita kalau kita bandel.”
“Lihat,
Mas, dua anak kamu sudah besar sekarang, mereka selalu menyayangimu, mereka
bahkan nggak mau Ayah selain kamu,” giliran Bunda yang menyahut. “Aku selalu
sayang sama Rio dan Gabriel, Mas, jadi aku janji akan setia sama kamu sampai
ajal memanggil.”
Rio
dan Gabriel tersenyum mendengar ucapan Bunda.
“Yah,
doain Rio sama Iel ya, supaya studi kita selalu lancar dan bisa buat Ayah
bangga di atas sana. Ayah tenang aja, walau kita jarang ke sini, kita nggak
akan pernah lupa kalau kita punya orang tua paling hebat seperti Ayah.” kata
Rio lagi.
“Ya
udah, kita pamit dulu ya, Mas, bulan depan mudah-mudahan kita ke sini untuk
mengunjungi kamu. Selama kita ada waktu, kita pasti ke sini.” kata Bunda.
Mereka
bertiga berdiri satu per satu dan mulai meninggalkan tempat itu untuk
menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Membiarkan kata-kata yang mereka
sampaikan itu melayang diterpa angin hingga sampai pada sang Ayah. Keheningan
akan menggantikan mereka untuk berjaga.
J L J
Krek...
“Hei,
Yo! Masuk!” sahut Deva ramah begitu melihat sahabatnya itu di balik pintu
rumahnya. Setelah Rio masuk, ia langsung menutup pintu kembali dan mengajak Rio
menuju ruang keluarga. Di sanalah adik-adik Deva sedang berkumpul.
“Wah,
lagi pada main apa nih?” kata Rio tersenyum melihat mereka.
“Eh,
ada Kak Rio!” kata Devi, adik pertama Deva yang sudah kelas tujuh. Dia
satu-satunya adik Deva yang sudah lumayan besar. Anak-anak di bawahnya masih
bayi dan balita. Makanya, terkadang dia juga bisa membantu Deva untuk menjaga
adik-adik.
“Hai,
Vi!” jawab Rio sambil tersenyum. Ia memang sudah mengenal keluarga Deva dengan
baik karena dia sering berkunjung bersama Cakka. Kadang-kadang kalau Rio dan
Cakka sedang iseng datang, mereka berdua suka diajak main oleh mereka.
“Kata
Kak Deva ada masalah yang harus dibahas ya? Kalau begitu, biar Devi aja yang
jagain Dava, Diva sama Devani. Kalian boleh kok ngobrol di kamar, daripada di
sini, berisik, kan?”
“Oh,
nggak apa-apa, kok, Vi, Kak Rio kan mau main sama kalian juga,” kata Rio sambil
tersenyum. “Omong-omong, tamunya nggak dikasih minum nih? Tenggorokkan kakak
udah ngamuk loh, Vi.”
Devi
tertawa. “Apaan sih, Kak, nggak jelas banget. Ya udah, Devi ambilin minum dulu
buat Kak Rio sama Kak Deva. Kalian ngobrol aja dulu. Anggep aja rumah sendiri,
Kak.”
“Oke,
makasih, Vi!”
Deva
tersenyum melihat kepergian Devi ke dapur, kemudian dia langsung mempersilahkan
Rio untuk duduk di sofa yang ada. Deva juga ikut duduk di sebelah Rio, kemudian
mereka mulai berbincang-bincang.
“Gabriel
nggak ikut?” tanya Deva memulai pembicaraan.
Rio
menggelengkan kepala. “Udah gue ajak, tapi dia tetep nggak mau.”
Deva
tersenyum maklum. “Padahal, tadi gue pikir kalau lo ngajak Gabriel juga, gue
mau sekalian ngomong sama dia. Biar semuanya bisa lebih lancar. Tapi, ya udah
deh. Jadi, ada apa?”
“Justru
itu, Va, gue juga pengen ngomong soal Gabriel.” kata Rio cemas.
Deva
tersenyum. “Oh, bagaimana? Lo udah ngajak dia masuk basket?”
“Udah
sih, kemarin pas latihan gue ngajak dia lihat. Tapi, dia malah ngelamun di
pinggir. Udah begitu, dia digangguin sama Anka. Makin nggak mau dia masuk
basket,” kata Rio. “Pulang-pulang dia marah sama gue.”
“Anka,
yang bule itu?”
Rio
mengangguk. “Siapa lagi? Lo kan tahu bule egois itu paling suka ngerendahin
orang. Untung kemarin ketahuan sama gue. Kalau nggak, Gabriel bisa makin
tertutup sama pergaulan.”
Deva
tersenyum.
“Va,
gue jadi makin khawatir sama Gabriel kalau begini caranya.” kata Rio.
“Khawatir
kenapa? Bukannya lo bakal melakukan apapun buat melindungi kakak lo?” tanya
Deva.
“Tentu
aja, gue sayang banget sama dia, Va. Dan gue mau dia tahu kalau nggak semua
orang punya sifat yang sama.” kata Rio sambil menunduk. “Tapi, gue juga takut
dia dicelakain sama Anka. Bukan fisiknya, tapi batinnya.”
Keadaan
hening sejenak. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing hingga Devi kembali
dengan membawa nampan berisi dua teh hangat. Ia mengawasi Deva dan Rio sambil
menaruh minuman mereka di atas meja.
“Duh,
kenapa pada diem? Kayaknya masalahnya serius banget.” Devi langsung memecah
keheningan mereka.
Deva yang duluan tersadar. Ia
tersenyum kepada Devi. “Makasih, Vi, kamu jagain adik-adik aja, cuma masalah
kecil kok."
Devi tersenyum balik. "Ya
udah."
Deva kembali menoleh ke arah Rio.
"Minum dulu, Yo."
"Oh iya, makasih, Va." Rio
langsung mencoba teh hangat yang dibuat Devi itu.
Deva menghela nafasnya, kemudian berbicara
lagi. “Yo, menurut gue, lo sama sekali nggak perlu takut. Gabriel pasti akan
baik-baik aja di ekskul basket selama lo masih ada di sampingnya. Gue bisa
lihat kok, tatapannya ke lo itu beda.”
“Beda bagaimana?” tanya Rio.
“Yah, kalau gue lihat, dia selalu
ketakutan dan ngeri sama yang lain. Gue contohnya, sama Cakka juga. Tapi, kalau
sama lo, dia bisa senyum, bisa ngomong dengan nyaman. Jadi, gue rasa lo pasti
bisa ngejagain dia dari Anka.”
“Iya gue tahu itu, Va. Tapi, gue nggak
bisa dua puluh empat jam bareng dia. Kalau gue lagi nggak ada di dekat dia,
siapa yang bakal melindungi dia kalau bukan lo dan Cakka?” tanya Rio lagi. “Itu
sebabnya gue pengen banget Gabriel bergaul sama lo berdua.”
Deva tersenyum. “Dia cuma butuh waktu kok,
Yo.”
Rio diam.
Deva menepuk pundak Rio pelan. “Lo tenang
aja, gue yakin lama-kelamaan Gabriel pasti membuka diri. Dia cuma terlalu terpaku
dengan pikiran negatif, jadinya kasih sayang yang mau ditunjukkin sama
anak-anak nggak bisa dia rasakan lagi.”
“Memangnya teman-teman kita mau menerima
dia?” tanya Rio. “Yang gue tahu, dari awal dia masuk, dia selalu diejek-ejek.
Selalu begitu kalau Gabriel masuk sekolah baru.”
“Itu karena mereka nggak merasakan rasanya
jadi Gabriel,” kata Deva tersenyum. “Percaya sama gue, banyak cara yang bakalan
bikin kakak lo berubah sikap. Dan masuk basket salah satunya.”
“Lalu, bagaimana sama lo dan Cakka?”
“Gue dan Cakka pelan-pelan pasti bisa
sahabatan sama kakak lo, kok. Cuma dengan keadaan kakak lo sekarang, kita
pastinya butuh proses. Mungkin butuh bulanan. Jadi, sekarang kita jalani dulu
apa yang bisa kita lakukan, oke?”
Rio tersenyum ragu.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p