Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #2 [DEALOVA]


Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang
Tanpa dirimu aku merasa hilang dan sepi

“Cakka, Deva, pagi!”
Cakka dan Deva yang sedang sibuk masing-masing di kelas langsung menoleh begitu Rio dan Gabriel sampai. Cakka menatap anak kembar tersebut sejenak, kemudian langsung sibuk sendiri lagi. Berbeda dengan Deva yang langsung menghampiri mereka sambil tersenyum.
“Hei, Yo, Yel!” kata Deva. “Eh iya, Yel, lo dipanggil sama Ibu Uci tuh.”
Gabriel diam saja mendengarnya.
“Soal ulangan kemarin ya?” Rio angkat suara.
Deva mengangguk. “Katanya beliau mau kasih tugas tambahan. Soalnya Gabriel kan baru masuk, jadi dia maklum lo kurang bisa ngerjain soal. Daripada nilainya jelek, mending diganti sama tugas.”
“Wah, beliau lagi baik tuh,” kata Rio. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, lo ke ruang guru dulu deh. Mejanya Ibu Uci itu ada di ujung kanan. Gue mau ngobrol sama Deva dulu. Bisa sendiri, kan?”
Gabriel tersenyum. “Ya udah.”
Rio menepuk pundak Gabriel pelan, kemudian membiarkan kakak kembarnya itu pergi keluar kelas. Setelah itu, ia langsung mengambil tempat duduk di sebelah Deva. Ia melirik ke arah meja Deva yang penuh dengan tumpukan buku ensiklopedia.
“Buku baru lagi nih?” tanya Rio sambil tersenyum.
Deva tersenyum. Ia mengambil buku yang paling atas dan menunjukkannya kepada Rio. “Iya nih, gue lagi demen baca-baca soal benda luar angkasa. Baru aja pinjem dari perpus. Mau baca?”
“Nggak deh, makasih. Mendingan gue pusing sama rumus daripada baca begituan. Cukup lo aja deh yang pake kacamata segede gajah gitu.” kata Rio sambil mengangkat dua tangannya.
Deva tertawa. “Eh iya, katanya lo mau ngomong sama gue? Kenapa?”
Rio menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue sebenernya masih khawatir sama Gabriel, Va. Dia tuh udah yakin kalau dia nggak bisa temenan sama kalian. Gue rasa dia juga nggak mau ikut ekskul.”
“Udah, tenang aja, Yo. Dia cuma butuh waktu buat tahu kalau nggak semua orang sama kayak masa lalunya,” kata Deva sambil menepuk pundak Rio. “Gue kan udah janji mau bantuin lo.”
“Iya sih.”
“Kakak lo nggak ada hobi apa-apa?” tanya Deva.
“Dulu sih kita suka banget main basket bareng, Va, tapi sekarang dia udah males-malesan kalau diajak olahraga.”
“Coba lo ajak dia ikut ekskul basket aja, Yo. Lo kan anak basket juga.”
“Eh, eh, lo bilang apa tadi? Lo berdua mau ngajak cowok bisu itu masuk ekskul basket?” tiba-tiba Cakka berbalik badan dan menatap teman-temannya tajam. “Gue nggak sudi ya ada anak basket kayak dia!”
“Ya ampun, Cakka, bagaimanapun juga Gabriel itu tetep teman kita. Kita harus buat dia nyaman sekolah di sini supaya dia juga senang sekolah di sini.” nasehat Deva. Dia paling tidak suka teman-temannya menilai orang dari luarnya saja.
“Kalau dia nggak seneng sekolah di sini, mendingan keluar aja. Susah banget.”
“Kka, gue lagi nggak mau berantem, oke?” kata Rio kesal. “Gabriel itu nggak bisu, dia punya alasan kenapa bisa kayak begitu!”
“Terserah! Yang ngajak berantem duluan siapa?” kata Cakka cuek. Ia langsung beranjak dari kursinya dan keluar kelas. Rio hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Cakka. Beberapa anak yang ada di kelas juga langsung berbisik-bisik karena kejadian tersebut.
“Gue kan udah bilang gue nggak mau Gabriel pindah sekolah lagi.” kata Rio setelah bayangan Cakka hilang dari balik pintu kelas.
Deva menepuk-nepuk pundak Rio pelan. “Udahlah, Yo, Cakka memang begitu.”
Rio menoleh. “Gue rasa ide lo nggak bakal efektif deh, Va.”
Deva tersenyum. “Justru karena sikap Cakka begitu ke Gabriel, gue semakin yakin kalau Gabriel harus masuk ekskul basket.”
Rio mengangkat alisnya, meminta penjelasan. Ide bagus dari mana? Rio bahkan bisa membayangkan pertengkaran hebat apa yang akan terjadi jika kakaknya itu benar-benar masuk ke dalam ekskul basket.
“Gabriel itu butuh teman lebih banyak. Apalagi Cakka juga kapten basket yang setia banget sama satu timnya. Dari sana, Gabriel pasti bisa berubah pikiran soal teman, iya kan?”

J L J

Gabriel memang dari dulu suka tanding kecil-kecilan di rumah bersama Rio. Mereka bahkan memiliki lapangan basket sendiri di belakang rumah agar dua anak kembar itu bisa berlatih sepuasnya. Kalau sedang bosan, canda tawa mereka pasti terdengar di sana. Tapi, itu semua sudah tinggal kenangan. Mungkin memang benar kata orang, seiringnya waktu, manusia bisa berubah.
Sore itu, Rio mengajak Gabriel untuk ikut melihatnya latihan basket. Sebenarnya, Gabriel ogah. Ia malas berada di keramaian. Apalagi ini sekolahnya. Sebagian besar anak-anak di sekolah ini kan membencinya. Tapi, Rio bersikeras sekali.
“Pokoknya lo pasti seneng deh di sana,” kata Rio sambil terus menarik tangan Gabriel. Begitu sampai di lapangan, Rio langsung menyapa teman-teman basketnya, termasuk Cakka. “Hei, semuanya!”
“Hai! Wah, siapa nih?” tanya seorang laki-laki tinggi yang agak gondrong menyalami Rio. “Temen baru, Yo?”
“Iya. Vin, kenalin ini Gabriel, dia kakak kembar gue, baru semingguan gabung di kelas gue,” kata Rio sambil tersenyum. “Yel, ini namanya Alvin. Kakak kelas kita sekaligus temen setim basket gue.”
Cakka yang mendengarkan pembicaraan tersebut langsung beranjak dari tempat duduknya dan berlari sendirian. Ia kesal, rasanya dimana-mana dia harus bertemu dengan Gabriel. Dasar Rio menyebalkan, semenjak Gabriel masuk ke sekolah mereka, Rio selalu bersama kakaknya. Minta ditabok juga anak itu.
“Halo, Yel!” kata Alvin sambil mengulurkan tangannya.
Namun, lagi-lagi Gabriel bergeming, sama seperti saat dia berkenalan dengan Deva. Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi sedikitpun. Tubuhnya bersembunyi di balik tubuh Rio, membuat Alvin heran.
“Eh, ya udah deh, Pak Jo udah dateng belum? Latihan yuk! Biar Gabriel bisa lihat kita, soalnya dia bakalan gabung di ekskul basket juga nanti.” kata Rio mengalihkan perhatian Alvin.
“Oh, Pak Jo sih belum dateng, katanya kita disuruh latihan duluan. Tapi, anak-anak tim inti masih pada ganti baju. Kita pemanasan dulu aja yuk?”
Rio mengangguk setuju.
“Yel, lo duduk di pinggir aja sama yang lain ya. Inget, baik-baik sama mereka. Jangan takut, lo harus semangat!” kata Rio kembali menepuk pundak Gabriel.
Gabriel diam sejenak menatap Rio, kemudian mengangguk pelan.
Rio tersenyum. Kemudian, ia langsung pemanasan dengan Alvin dan langsung menyusul Cakka yang masih berlari keliling lapangan. Gabriel yang melihat adiknya sibuk sendiri dengan kegiatannya hanya bisa duduk sendirian di pinggir. Ia terlalu takut bergabung dengan orang-orang asing di sana.
Sebenarnya Gabriel mengerti, kalau ia bisa lebih berani, dia pasti bisa sebahagia adiknya. Namun, itu semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapapun tidak akan pernah bisa mengerti perasaannya jika bukan mereka sendiri yang merasakan bagaimana sakitnya menjadi dirinya.
Selama Rio latihan, Gabriel melamun saja di tempatnya. Ia sama sekali tak tertarik melihat anak-anak basket itu bertanding. Ia juga tak menjawab ketika Pak Jo bertanya apa yang dia lakukan di sana. Rio memintanya untuk menunggu, jadi itu yang akan dia lakukan. Tidak harus melihat mereka latihan, kan? Ah, Gabriel sama sekali tidak menyadari bahwa Rio tetap mengawasinya dari lapangan.
“YO! FOKUS! JANGAN MELAMUN!” teriak Cakka dari kejauhan.
Rio langsung dengan sigap menangkap bola begitu Cakka memanggilnya. Ia langsung kembali membawa bola dan segera mencetak angka lagi untuk timnya. Kemudian, pertandingan terus berlanjut.
“Heh!” tiba-tiba seorang perempuan berambut cokelat datang dan menepuk pundak Gabriel keras.
Gabriel diam saja.
“Eh, lo budek ya? Dipanggil kok malah nggak jawab?” tanyanya lagi dengan nada yang menyebalkan. “Lo sekelas sama gue, kan? Ngapain sih lo di sini? Bukan anak basket sok-sok mau lihat kita latihan.”
Gabriel tetap bergeming.
“Oh, atau jangan-jangan lo dateng ke sini cuma buat memantau tim basket kita? Lo mau cari tahu strategi kita terus lo bocorin ke sekolah lo yang sebenarnya? Hah? Mau apa sih lo ke sini?” katanya lagi.
Tetap tak ada jawaban.
“Ih, dasar, udah budek, bisu lagi! Amit-amit ekskul gue punya anggota kayak lo!” katanya. Ia langsung mengguncang-guncang tubuh Gabriel. “Eh, jawab nggak lo? Jawab nggak!”
Gabriel terus terguncang karena ulah perempuan tersebut, namun ia tetap saja tidak memberikan respon hingga pada akhirnya perempuan itu kepergok oleh Rio dari lapangan. Seketika pertandingan langsung terhenti karenanya.
“HEI!!” teriak Rio langsung keluar dari lapangan dan segera menghentikan guncangan yang mengganggu kakaknya tersebut dan menatap perempuan itu tajam. “Apa-apaan sih lo?! Ngapain lo gangguin dia?!”
“Apa urusan lo, Mario Astroken? Mau jadi pahlawan kesiangan? Gue mau ngapain aja, terserah gue! Loser!” sahutnya tak terima dengan logat bulenya yang kental.
“Oh, jelas ini urusan gue! Gue nggak akan membiarkan siapapun ngegangguin kakak gue, Priyanka Astellene!” kata Rio kesal. Tubuhnya langsung menghalangi tubuh Gabriel. “Kalau lo mau macem-macem sama Gabriel, lo harus ngelangkahin dulu mayat gue!”
“Pokoknya gue nggak sudi dia masuk basket!” kata Priyanka lagi dengan kesal.
“Eh, apa hak lo nentuin dia pantes masuk atau nggak?” Alvin ikut berbicara. “Lo nggak usah deh ngomongin soal fisik dia. Lo pikir fisik itu segalanya? Lo pikir fisik lo yang bagus itu bisa bikin lo jadi orang baik?”
“Fisik lo sih normal, hati lo tuh yang nggak normal!” kata Rio lagi nyaring. Dia memang paling tak suka jika ada orang yang mengganggu kakaknya.
“Eh, who do you think you are?! Beraninya ngatain gue!” kata Priyanka emosi.
“Udah, stop! Kalian jangan bertengkar lagi!” akhirnya Pak Jo melerai. “Sekarang kalian kembali latihan. Anka, kamu ikut Bapak ke kantor! Sekarang!”
“Tapi, Pak...”
“Nggak ada tapi-tapian! Ikut Bapak sekarang atau saya keluarkan kamu dari ekskul basket?” tanya Pak Jo langsung membuat Priyanka alias Anka bungkam. Perempuan bule itu terpaksa mengikuti Pak Jo meninggalkan lapangan.
“Awas lo!” seru Anka tanpa suara sambil menunjuk ke arah Rio.
Rio cuek saja dengan ancaman Anka. Ia sudah biasa dengan sikap Anka tersebut. Tidak beda jauh dengan Cakka, namun sudah tidak terkontrol. Perempuan itu selalu menganggap dirinya paling hebat di antara semuanya. Makanya, dia selalu merendahkan semua orang yang tidak sepantaran dengannya. Bisa dibilang Anka adalah rival Rio di basket.
“Yel, lo nggak apa-apa, kan?” kata Rio cemas.
Gabriel menggeleng. Ia beranjak dari tempat duduknya. “Kita pulang aja, Yo.”
“Aduh, tapi gue belum selesai latihan, Yel.” Rio menoleh ke arah teman-temannya.
“Udah, lo kalau mau cabut duluan nggak apa-apa kok, Yo. Kakak lo kayaknya perlu istirahat deh,” kata Alvin tersenyum maklum. “Tapi, minggu depan harus tetep latihan ya.”
“Eh, nggak bisa begitu dong, latihan tetep latihan!” kata Cakka.
Alvin langsung menyenggol Cakka dengan sikunya. “Kka, jangan mulai deh, gue tahu lo punya disiplin yang tinggi tapi lo ngertiin Rio dong. Kali ini doang nggak apa-apa, kali.”
Cakka diam.
Rio tersenyum. “Makasih, Vin. Kka, gue minta maaf banget ya, buat kali ini gue harus pulang duluan. Minggu depan nggak lagi-lagi deh.”
“Terserah lo deh, Yo. Bukan urusan gue.”
“Ya udah, ayo, Yel.” Rio langsung mengajak Gabriel pulang.
“Oke, semuanya ayo lanjut latihan lagi!” komando Alvin sepeninggalan Rio dan Gabriel. Semuanya langsung kembali ke lapangan dan kembali latihan bertanding sambil menunggu Pak Jo kembali dari kantornya.

J L J

Rio menghela nafas lega setelah Gabriel sudah terlelap di tempat tidurnya. Setelah mereka sampai di rumah tadi, Gabriel langsung berontak kepadanya bahwa dia tidak mau masuk ke dalam ekskul basket. Penuturannya tadi sore membuatnya benar-benar banyak pikiran.
“Lo nggak usah paksa gue masuk basket, gue nggak tertarik.”
“Belum masuk aja udah ditolak, kalau udah masuk gue babak belur, kali.”
“Palingan ujung-ujungnya gue ditendang juga.”
“Lagian gue nggak suka sama basket lagi. Males.”
Rio harus mencari cara untuk membangkitkan semangat Gabriel untuk menjalankan hidup. Bagaimanapun juga, dia yang sudah meminta Bunda pemikirannya tentang memindahkan Gabriel ke sekolahnya dengan menjanjikan Gabriel yang dulu pasti akan kembali lagi. Rio harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. 
Sejak kecil, Gabriel adalah orang yang paling berharga bagi Rio. Ia masih ingat dulu Gabriel sering sekali melindunginya dari bahaya maupun anak-anak nakal yang mau mengganggunya. Kalau Rio dibuat menangis, Gabriel pasti akan membuat anak nakal itu menangis juga. Katanya biar dia tahu bagaimana sakitnya dibuat menangis. Tapi kalau sekarang dikenang, rasanya lucu. Mungkin orang tidak akan percaya, karena Gabriel yang itu terasa lenyap ditelan lubang hitam.
Rio mengambil handphone miliknya yang ada di meja beserta headset-nya. Ia menyumbat kedua telinganya dan pergi ke balkon. Ia ingin menikmati malam sejenak sambil mendengarkan lagu.
Ia menyetel salah satu lagu yang pernah dihafalkannya dulu kemudian menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia tersenyum, kemudian perlahan-lahan bersenandung sesuai dengan lirik lagu yang didengarkannya. Kebetulan, lagu itu suka mengingatkannya kepada Gabriel yang dulu. Keceriaannya dulu selalu berputar-putar di dalam dirinya. Sekalipun dia tidur, kebahagiaan Gabriel dulu selalu mampir di mimpinya.
Kau seperti nyanyian dalam hatiku, yang memanggil rinduku padamu, kau seperti udara yang kuhela kau selalu ada...”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p