—Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang
Tanpa dirimu aku merasa
hilang dan sepi—
“Cakka,
Deva, pagi!”
Cakka
dan Deva yang sedang sibuk masing-masing di kelas langsung menoleh begitu Rio
dan Gabriel sampai. Cakka menatap anak kembar tersebut sejenak, kemudian
langsung sibuk sendiri lagi. Berbeda dengan Deva yang langsung menghampiri
mereka sambil tersenyum.
“Hei,
Yo, Yel!” kata Deva. “Eh iya, Yel, lo dipanggil sama Ibu Uci tuh.”
Gabriel
diam saja mendengarnya.
“Soal
ulangan kemarin ya?” Rio angkat suara.
Deva
mengangguk. “Katanya beliau mau kasih tugas tambahan. Soalnya Gabriel kan baru
masuk, jadi dia maklum lo kurang bisa ngerjain soal. Daripada nilainya jelek,
mending diganti sama tugas.”
“Wah,
beliau lagi baik tuh,” kata Rio. Ia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, lo ke ruang
guru dulu deh. Mejanya Ibu Uci itu ada di ujung kanan. Gue mau ngobrol sama
Deva dulu. Bisa sendiri, kan?”
Gabriel
tersenyum. “Ya udah.”
Rio
menepuk pundak Gabriel pelan, kemudian membiarkan kakak kembarnya itu pergi
keluar kelas. Setelah itu, ia langsung mengambil tempat duduk di sebelah Deva.
Ia melirik ke arah meja Deva yang penuh dengan tumpukan buku ensiklopedia.
“Buku
baru lagi nih?” tanya Rio sambil tersenyum.
Deva
tersenyum. Ia mengambil buku yang paling atas dan menunjukkannya kepada Rio.
“Iya nih, gue lagi demen baca-baca soal benda luar angkasa. Baru aja pinjem
dari perpus. Mau baca?”
“Nggak
deh, makasih. Mendingan gue pusing sama rumus daripada baca begituan. Cukup lo
aja deh yang pake kacamata segede gajah gitu.” kata Rio sambil mengangkat dua
tangannya.
Deva
tertawa. “Eh iya, katanya lo mau ngomong sama gue? Kenapa?”
Rio
menggeleng. “Nggak apa-apa. Gue sebenernya masih khawatir sama Gabriel, Va. Dia
tuh udah yakin kalau dia nggak bisa temenan sama kalian. Gue rasa dia juga
nggak mau ikut ekskul.”
“Udah,
tenang aja, Yo. Dia cuma butuh waktu buat tahu kalau nggak semua orang sama
kayak masa lalunya,” kata Deva sambil menepuk pundak Rio. “Gue kan udah janji mau
bantuin lo.”
“Iya
sih.”
“Kakak
lo nggak ada hobi apa-apa?” tanya Deva.
“Dulu
sih kita suka banget main basket bareng, Va, tapi sekarang dia udah
males-malesan kalau diajak olahraga.”
“Coba
lo ajak dia ikut ekskul basket aja, Yo. Lo kan anak basket juga.”
“Eh,
eh, lo bilang apa tadi? Lo berdua mau ngajak cowok bisu itu masuk ekskul
basket?” tiba-tiba Cakka berbalik badan dan menatap teman-temannya tajam. “Gue
nggak sudi ya ada anak basket kayak dia!”
“Ya
ampun, Cakka, bagaimanapun juga Gabriel itu tetep teman kita. Kita harus buat
dia nyaman sekolah di sini supaya dia juga senang sekolah di sini.” nasehat
Deva. Dia paling tidak suka teman-temannya menilai orang dari luarnya saja.
“Kalau
dia nggak seneng sekolah di sini, mendingan keluar aja. Susah banget.”
“Kka,
gue lagi nggak mau berantem, oke?” kata Rio kesal. “Gabriel itu nggak bisu, dia
punya alasan kenapa bisa kayak begitu!”
“Terserah!
Yang ngajak berantem duluan siapa?” kata Cakka cuek. Ia langsung beranjak dari
kursinya dan keluar kelas. Rio hanya bisa menghela nafas melihat tingkah Cakka.
Beberapa anak yang ada di kelas juga langsung berbisik-bisik karena kejadian
tersebut.
“Gue
kan udah bilang gue nggak mau Gabriel pindah sekolah lagi.” kata Rio setelah
bayangan Cakka hilang dari balik pintu kelas.
Deva
menepuk-nepuk pundak Rio pelan. “Udahlah, Yo, Cakka memang begitu.”
Rio
menoleh. “Gue rasa ide lo nggak bakal efektif deh, Va.”
Deva
tersenyum. “Justru karena sikap Cakka begitu ke Gabriel, gue semakin yakin
kalau Gabriel harus masuk ekskul basket.”
Rio
mengangkat alisnya, meminta penjelasan. Ide bagus dari mana? Rio bahkan bisa
membayangkan pertengkaran hebat apa yang akan terjadi jika kakaknya itu
benar-benar masuk ke dalam ekskul basket.
“Gabriel
itu butuh teman lebih banyak. Apalagi Cakka juga kapten basket yang setia
banget sama satu timnya. Dari sana, Gabriel pasti bisa berubah pikiran soal
teman, iya kan?”
J L J
Gabriel
memang dari dulu suka tanding kecil-kecilan di rumah bersama Rio. Mereka bahkan
memiliki lapangan basket sendiri di belakang rumah agar dua anak kembar itu
bisa berlatih sepuasnya. Kalau sedang bosan, canda tawa mereka pasti terdengar
di sana. Tapi, itu semua sudah tinggal kenangan. Mungkin memang benar kata
orang, seiringnya waktu, manusia bisa berubah.
Sore
itu, Rio mengajak Gabriel untuk ikut melihatnya latihan basket. Sebenarnya,
Gabriel ogah. Ia malas berada di keramaian. Apalagi ini sekolahnya. Sebagian
besar anak-anak di sekolah ini kan membencinya. Tapi, Rio bersikeras sekali.
“Pokoknya
lo pasti seneng deh di sana,” kata Rio sambil terus menarik tangan Gabriel.
Begitu sampai di lapangan, Rio langsung menyapa teman-teman basketnya, termasuk
Cakka. “Hei, semuanya!”
“Hai!
Wah, siapa nih?” tanya seorang laki-laki tinggi yang agak gondrong menyalami
Rio. “Temen baru, Yo?”
“Iya.
Vin, kenalin ini Gabriel, dia kakak kembar gue, baru semingguan gabung di kelas
gue,” kata Rio sambil tersenyum. “Yel, ini namanya Alvin. Kakak kelas kita
sekaligus temen setim basket gue.”
Cakka
yang mendengarkan pembicaraan tersebut langsung beranjak dari tempat duduknya
dan berlari sendirian. Ia kesal, rasanya dimana-mana dia harus bertemu dengan
Gabriel. Dasar Rio menyebalkan, semenjak Gabriel masuk ke sekolah mereka, Rio
selalu bersama kakaknya. Minta ditabok juga anak itu.
“Halo,
Yel!” kata Alvin sambil mengulurkan tangannya.
Namun,
lagi-lagi Gabriel bergeming, sama seperti saat dia berkenalan dengan Deva.
Wajahnya tetap datar, tak menunjukkan ekspresi sedikitpun. Tubuhnya bersembunyi
di balik tubuh Rio, membuat Alvin heran.
“Eh,
ya udah deh, Pak Jo udah dateng belum? Latihan yuk! Biar Gabriel bisa lihat
kita, soalnya dia bakalan gabung di ekskul basket juga nanti.” kata Rio
mengalihkan perhatian Alvin.
“Oh,
Pak Jo sih belum dateng, katanya kita disuruh latihan duluan. Tapi, anak-anak
tim inti masih pada ganti baju. Kita pemanasan dulu aja yuk?”
Rio
mengangguk setuju.
“Yel,
lo duduk di pinggir aja sama yang lain ya. Inget, baik-baik sama mereka. Jangan
takut, lo harus semangat!” kata Rio kembali menepuk pundak Gabriel.
Gabriel
diam sejenak menatap Rio, kemudian mengangguk pelan.
Rio
tersenyum. Kemudian, ia langsung pemanasan dengan Alvin dan langsung menyusul
Cakka yang masih berlari keliling lapangan. Gabriel yang melihat adiknya sibuk
sendiri dengan kegiatannya hanya bisa duduk sendirian di pinggir. Ia terlalu
takut bergabung dengan orang-orang asing di sana.
Sebenarnya
Gabriel mengerti, kalau ia bisa lebih berani, dia pasti bisa sebahagia adiknya.
Namun, itu semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapapun tidak akan
pernah bisa mengerti perasaannya jika bukan mereka sendiri yang merasakan
bagaimana sakitnya menjadi dirinya.
Selama
Rio latihan, Gabriel melamun saja di tempatnya. Ia sama sekali tak tertarik
melihat anak-anak basket itu bertanding. Ia juga tak menjawab ketika Pak Jo bertanya
apa yang dia lakukan di sana. Rio memintanya untuk menunggu, jadi itu yang akan
dia lakukan. Tidak harus melihat mereka latihan, kan? Ah, Gabriel sama sekali
tidak menyadari bahwa Rio tetap mengawasinya dari lapangan.
“YO!
FOKUS! JANGAN MELAMUN!” teriak Cakka dari kejauhan.
Rio
langsung dengan sigap menangkap bola begitu Cakka memanggilnya. Ia langsung
kembali membawa bola dan segera mencetak angka lagi untuk timnya. Kemudian,
pertandingan terus berlanjut.
“Heh!”
tiba-tiba seorang perempuan berambut cokelat datang dan menepuk pundak Gabriel
keras.
Gabriel
diam saja.
“Eh,
lo budek ya? Dipanggil kok malah nggak jawab?” tanyanya lagi dengan nada yang
menyebalkan. “Lo sekelas sama gue, kan? Ngapain sih lo di sini? Bukan anak
basket sok-sok mau lihat kita latihan.”
Gabriel
tetap bergeming.
“Oh,
atau jangan-jangan lo dateng ke sini cuma buat memantau tim basket kita? Lo mau
cari tahu strategi kita terus lo bocorin ke sekolah lo yang sebenarnya? Hah?
Mau apa sih lo ke sini?” katanya lagi.
Tetap
tak ada jawaban.
“Ih,
dasar, udah budek, bisu lagi! Amit-amit ekskul gue punya anggota kayak lo!”
katanya. Ia langsung mengguncang-guncang tubuh Gabriel. “Eh, jawab nggak lo?
Jawab nggak!”
Gabriel
terus terguncang karena ulah perempuan tersebut, namun ia tetap saja tidak
memberikan respon hingga pada akhirnya perempuan itu kepergok oleh Rio dari
lapangan. Seketika pertandingan langsung terhenti karenanya.
“HEI!!”
teriak Rio langsung keluar dari lapangan dan segera menghentikan guncangan yang
mengganggu kakaknya tersebut dan menatap perempuan itu tajam. “Apa-apaan sih
lo?! Ngapain lo gangguin dia?!”
“Apa
urusan lo, Mario Astroken? Mau jadi pahlawan kesiangan? Gue mau ngapain aja,
terserah gue! Loser!” sahutnya tak
terima dengan logat bulenya yang kental.
“Oh,
jelas ini urusan gue! Gue nggak akan membiarkan siapapun ngegangguin kakak gue,
Priyanka Astellene!” kata Rio kesal. Tubuhnya langsung menghalangi tubuh
Gabriel. “Kalau lo mau macem-macem sama Gabriel, lo harus ngelangkahin dulu
mayat gue!”
“Pokoknya
gue nggak sudi dia masuk basket!” kata Priyanka lagi dengan kesal.
“Eh,
apa hak lo nentuin dia pantes masuk atau nggak?” Alvin ikut berbicara. “Lo
nggak usah deh ngomongin soal fisik dia. Lo pikir fisik itu segalanya? Lo pikir
fisik lo yang bagus itu bisa bikin lo jadi orang baik?”
“Fisik
lo sih normal, hati lo tuh yang nggak normal!” kata Rio lagi nyaring. Dia
memang paling tak suka jika ada orang yang mengganggu kakaknya.
“Eh,
who do you think you are?! Beraninya
ngatain gue!” kata Priyanka emosi.
“Udah,
stop! Kalian jangan bertengkar lagi!” akhirnya Pak Jo melerai. “Sekarang kalian
kembali latihan. Anka, kamu ikut Bapak ke kantor! Sekarang!”
“Tapi,
Pak...”
“Nggak
ada tapi-tapian! Ikut Bapak sekarang atau saya keluarkan kamu dari ekskul
basket?” tanya Pak Jo langsung membuat Priyanka alias Anka bungkam. Perempuan
bule itu terpaksa mengikuti Pak Jo meninggalkan lapangan.
“Awas
lo!” seru Anka tanpa suara sambil menunjuk ke arah Rio.
Rio
cuek saja dengan ancaman Anka. Ia sudah biasa dengan sikap Anka tersebut. Tidak
beda jauh dengan Cakka, namun sudah tidak terkontrol. Perempuan itu selalu
menganggap dirinya paling hebat di antara semuanya. Makanya, dia selalu
merendahkan semua orang yang tidak sepantaran dengannya. Bisa dibilang Anka
adalah rival Rio di basket.
“Yel,
lo nggak apa-apa, kan?” kata Rio cemas.
Gabriel
menggeleng. Ia beranjak dari tempat duduknya. “Kita pulang aja, Yo.”
“Aduh,
tapi gue belum selesai latihan, Yel.” Rio menoleh ke arah teman-temannya.
“Udah,
lo kalau mau cabut duluan nggak apa-apa kok, Yo. Kakak lo kayaknya perlu
istirahat deh,” kata Alvin tersenyum maklum. “Tapi, minggu depan harus tetep
latihan ya.”
“Eh,
nggak bisa begitu dong, latihan tetep latihan!” kata Cakka.
Alvin
langsung menyenggol Cakka dengan sikunya. “Kka, jangan mulai deh, gue tahu lo
punya disiplin yang tinggi tapi lo ngertiin Rio dong. Kali ini doang nggak
apa-apa, kali.”
Cakka
diam.
Rio
tersenyum. “Makasih, Vin. Kka, gue minta maaf banget ya, buat kali ini gue
harus pulang duluan. Minggu depan nggak lagi-lagi deh.”
“Terserah
lo deh, Yo. Bukan urusan gue.”
“Ya
udah, ayo, Yel.” Rio langsung mengajak Gabriel pulang.
“Oke,
semuanya ayo lanjut latihan lagi!” komando Alvin sepeninggalan Rio dan Gabriel.
Semuanya langsung kembali ke lapangan dan kembali latihan bertanding sambil
menunggu Pak Jo kembali dari kantornya.
J L J
Rio
menghela nafas lega setelah Gabriel sudah terlelap di tempat tidurnya. Setelah
mereka sampai di rumah tadi, Gabriel langsung berontak kepadanya bahwa dia
tidak mau masuk ke dalam ekskul basket. Penuturannya tadi sore membuatnya
benar-benar banyak pikiran.
“Lo
nggak usah paksa gue masuk basket, gue nggak tertarik.”
“Belum
masuk aja udah ditolak, kalau udah masuk gue babak belur, kali.”
“Palingan
ujung-ujungnya gue ditendang juga.”
“Lagian
gue nggak suka sama basket lagi. Males.”
Rio
harus mencari cara untuk membangkitkan semangat Gabriel untuk menjalankan
hidup. Bagaimanapun juga, dia yang sudah meminta Bunda pemikirannya tentang
memindahkan Gabriel ke sekolahnya dengan menjanjikan Gabriel yang dulu pasti
akan kembali lagi. Rio harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Sejak
kecil, Gabriel adalah orang yang paling berharga bagi Rio. Ia masih ingat dulu
Gabriel sering sekali melindunginya dari bahaya maupun anak-anak nakal yang mau
mengganggunya. Kalau Rio dibuat menangis, Gabriel pasti akan membuat anak nakal
itu menangis juga. Katanya biar dia tahu bagaimana sakitnya dibuat menangis.
Tapi kalau sekarang dikenang, rasanya lucu. Mungkin orang tidak akan percaya,
karena Gabriel yang itu terasa lenyap ditelan lubang hitam.
Rio
mengambil handphone miliknya yang ada
di meja beserta headset-nya. Ia
menyumbat kedua telinganya dan pergi ke balkon. Ia ingin menikmati malam
sejenak sambil mendengarkan lagu.
Ia
menyetel salah satu lagu yang pernah dihafalkannya dulu kemudian menatap langit
malam yang dipenuhi bintang. Ia tersenyum, kemudian perlahan-lahan bersenandung
sesuai dengan lirik lagu yang didengarkannya. Kebetulan, lagu itu suka
mengingatkannya kepada Gabriel yang dulu. Keceriaannya dulu selalu
berputar-putar di dalam dirinya. Sekalipun dia tidur, kebahagiaan Gabriel dulu
selalu mampir di mimpinya.
“Kau seperti nyanyian dalam hatiku, yang
memanggil rinduku padamu, kau seperti udara yang kuhela kau selalu ada...”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p