Rabu, 01 Juli 2015

CERBUNG | FRIENEMIES #1 [TAK ADA TEMPAT SEPERTI SURGA]


“Mulai besok kamu tidak perlu masuk ke sekolah lagi.”
Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di pikiran Gabriel. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya dia dikeluarkan dari sekolah. Bahkan Ayah dan Bunda sudah hampir putus asa karena kasus drop out yang dihadapinya.
Alasan para guru untuk mengeluarkannya dari sekolah selalu sama. Dan Gabriel hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Melawanpun percuma, dia tidak akan bisa mendapatkan dukungan untuk tetap di sekolah. Begitu ia keluar dari ruang kepala sekolah waktu itu, ia langsung merapikan buku-bukunya dan pulang. Ia tak perduli dengan reaksi teman-temannya saat mereka tahu Gabriel dikeluarkan. Yang ia tahu, Gabriel harus cepat-cepat pergi dari sana kalau namanya sudah dicoret dari daftar nama murid sekolah.
Begitu ia sampai di rumah, ia langsung mengurungkan diri di kamar. Gabriel ingat, waktu itu hanya Rio yang perduli padanya. Adik kembarnya itu selalu bisa menenangkan hatinya yang selalu dikuasai dengan perasaan gelisah. Ia bahkan tidak malu memiliki kakak kembar yang memalukan sepertinya.
Mereka berdua memang bukan kembar identik. Wajah mereka mungkin serupa, namun sifat mereka jauh berbeda. Tapi, dari perbedaan itulah Gabriel bangga memiliki saudara kembar seperti Rio. Kalau bukan karena kepercayaan yang selalu ia berikan kepadanya, mungkin hidup Gabriel akan lebih berantakan lagi dari ini.
“Lio mengerti perasaan Iel,” sahutnya sambil memeluk Gabriel ketika adiknya itu mengetahui kalau kakaknya dikeluarkan lagi dari sekolah. “Lio tidak akan seperti mereka. Io akan selalu ada di sisi Iel.”
“Benarkah?”
“Iel boleh membenci semua orang di dunia ini, tapi yang pasti Lio tidak akan membenci Iel sampai kapanpun. Lio akan siap dua puluh empat jam untuk Iel. Kapanpun Iel butuh, Lio pasti ada!”

----

⎯Ku persembahkan hidupku 'tuk selamanya padamu, 'kan kuserahkan cintaku hanya untukmu selamanya⎯


Beberapa tahun kemudian...
Semenjak anak baru itu masuk ke SMA MIFI, banyak gosip miring yang menyebar seantero sekolah. Banyak yang mengatakan anak baru itu sombong, terlalu tertutup bahkan bisu. Dia selalu duduk di pojok kelas sendirian, entah melakukan apa. Kalau diajak bicara, selalu saja membuang muka.
Banyak juga yang menduga bahwa dia memiliki gangguan jiwa. Selama ini mereka tak pernah bertemu dengan manusia yang betah mengunci mulutnya dalam waktu yang lama. Padahal, sosialisasi itu sudah menjadi hal yang wajib setiap harinya. Tapi, anak itu berbeda.
Tapi, tak semua murid mau membicarakan anak baru sembarangan. Salah satunya Mario Astroken. Anak yang akrab disapa Rio itu justru menggelengkan kepalanya melihat tingkah para murid SMA MIFI yang hanya bisa bergosip. Padahal, menurutnya memusingkan pelajaran jauh lebih penting.
Ia sudah tak asing dengan pemandangan kasak-kusuk seperti itu. Setiap kali kakaknya masuk ke dalam sekolah baru, pasti banyak yang menganggapnya aneh. Tapi, Rio sama sekali tidak perduli. Mereka semua tak ada yang tahu bagaimana kakaknya menjalani hidup. Mereka sama sekali tidak berhak untuk menghakimi yang tidak-tidak.
“Gabriel itu beneran kakak lo, Yo?” tanya Cakka, salah satu sahabat cuek Rio sejak kecil di kelas. Anak berandal ini yang kebetulan menjadi teman sebangku Gabriel sejak tiga hari yang lalu.
Rio mengangguk sambil tersenyum. “Dia kakak gue satu-satunya.”
“Lima tahun kita temenan, lo nggak pernah cerita kalau lo punya kakak.”
“Memangnya kenapa? Dia menyenangkan kan, Kka?” kata Rio sambil tersenyum.
“Ih, mengerikan.” Cakka bergidik ngeri. “Dia seperti monster.”
“Ah, dia menyenangkan kok, Kka,” tiba-tiba Deva menyeletuk dari kursi belakang. Tatapan cowok berkacamata tebal itu tak lepas dari buku ensiklopedia. “Semua orang di dunia ini pasti memiliki alasan untuk melakukan sesuatu. Lo nggak boleh ngomong begitu.”
“Kenapa nggak boleh? Mulut, mulut gue.” Cakka menatap kutu buku itu dengan tajam. Selama bersahabat dengannya, anak itu selalu terlihat sok bijak di hadapannya. Selain berpepatah, dia juga sangat senang membaca buku tentang fakta-fakta alam seperti yang sedang dibacanya sekarang.
Rio tertawa. “Udah, nggak usah dipermasalahin. Gue sama sekali nggak peduli apa kata orang tentang kakak gue. Termasuk lo berdua. Gabriel tetap kakak paling hebat yang pernah gue punya. Lo berdua pasti seneng kenal dia.”
“Harus gitu kita temenan sama dia?” tanya Cakka mengangkat sebelah alisnya.
“Tentu harus. Lo itu teman sebangkunya, jadi gue mohon bantuan lo buat bikin kakak gue betah sekolah di sini. Gue nggak mau dia pindah sekolah lagi. Kasihan Bunda.” kata Rio. Ia menepuk pundak Cakka pelan.
Cakka memutar bola matanya malas. “Ah, nyusahin banget sih lo, Yo.”
“Udah, lebih baik kita belajar, habis ini kan ulangan fisika.” kata Deva sambil menutup buku ensiklopedia yang dibacanya. Ia segera mengambil buku paket fisika dari dalam tas dan mengerjakan ulang soal-soal yang pernah dibahas di kelas. Rio juga melakukan yang sama.
“Ajarin gue yang ini dong, Va.” Rio menaruh bukunya di atas meja Deva dan mengambil tempat duduk di depan sahabatnya itu.
Deva mengangguk, kemudian melirik Cakka. “Lo mau belajar bareng juga nggak?”
“Males banget.” Cakka langsung beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan kelas. Deva dan Rio hanya bisa menggelengkan kepala mereka jika Cakka sudah begitu.
Cakka itu memang termasuk anak yang malas belajar di kelas 10IPA-2. Bahkan tingkah lakunya termasuk kurang ajar. Namun, tak bisa dipungkiri juga, otak encernya selalu menyelamatkannya dari nilai jelek. Tak ada yang tahu bagaimana cara dia belajar. Nilai akademiknya selalu mengagumkan, berbanding terbalik dengan nilai sikapnya.

J L J

Sejak bel istirahat berbunyi tadi, Gabriel hanya berjalan-jalan di koridor sendirian. Kepalanya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kosong. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku, tak ingin bersalaman dengan siapapun.
Ia berjalan pelan menuju belakang sekolah. Ia ingin duduk di bawah pohon rindang yang ada di sana untuk menjernihkan pikirannya kembali. Baru tiga hari ia bersekolah, tapi ia sudah tak betah. Berada di sekolah terasa seperti penjara baginya. Anak-anak di sekolah ini selalu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Gabriel risih.
Ia sudah tahu hal seperti ini pasti terjadi, makanya dia selalu menolak tawaran adiknya untuk bersekolah di tempat baru. Tapi, Gabriel tahu adiknya tersebut tak rela jika dia berhenti sekolah begitu saja. Sayang, katanya.
Nilai-nilai Gabriel di sekolah lama sebenarnya cukup bagus. Ia jarang mendapatkan nilai di bawah rata-rata, tugas juga dikerjakan semuanya sampai tuntas. Namun, masalahnya tak ada sekolah yang dapat membuatnya nyaman. Ujung-ujungnya pasti dikeluarkan.
Kembali soal teman-teman barunya di sini, Gabriel merasa mereka tak mengharapkan kehadirannya. Setiap kali ia berpapasan dengan mereka semua, mereka pasti langsung berbisik-bisik. Kadang ada juga yang langsung menyindir dengan jelas. Sombong, gila, bisu, misterius, penyusup dan semua sebutan negatif keluar dari mulut mereka.
Namun, bagi Gabriel, diam sudah jalan terbaik. Percuma juga dia menjelaskan.
“Hei, Iel!” teriak seseorang dari kejauhan.
Gabriel menoleh. Ia menangkap seorang laki-laki sedang berlari menghampirinya sambil tersenyum. Rio. Adiknya itu langsung duduk di sebelahnya begitu ia sampai di tempat ia duduk.
“Ngapain lo di sini?” tanya Rio. “Sebentar lagi masuk, Yel.”
“Nggak apa-apa, Yo. Risih aja.” jawab Gabriel singkat.
Rio tersenyum. “Ya udah, ayo balik. Nanti Pak Duta marah kalau kita telat.”
“Pak Duta?”
“Guru musik kita,” kata Rio. “Orangnya baik, tapi disiplin banget. Makanya, kita nggak boleh telat sedetikpun. Nanti nilai kita yang kena potong.”
Gabriel membesarkan kedua matanya. “Segitunya?”
Rio tertawa. “Gue pernah kok jadi korbannya dulu, gara-gara keasyikan ngobrol di kantin. Gue, Cakka sama Deva kena deh.”
Gabriel diam.
“Lo udah kenalan sama Cakka, kan? Nanti gue kenalin sama Deva deh, Yel. Dia asyik banget anaknya,” kata Rio. Ia menepuk pundak Gabriel dan bangkit dari tempat duduknya. “Ayo kita balik ke kelas!”
Raut wajah Gabriel seketika berubah. Tatapannya kembali kosong. Kepalanya menengadah menatap Rio. Aduh, adiknya mulai kumat lagi.
“Hei, kenapa? Ayolah!” kata Rio bersemangat. Ia langsung menarik tangan Gabriel pergi dari sana. Gabriel hanya bisa pasrah ditarik oleh adiknya menuju kelas. Untung saja Pak Duta belum datang ketika mereka sampai.

J L J

“Va, ini Gabriel, dia boleh ya, ikut pulang bareng kita! Kan dia kakak gue! Lo berdua nggak keberatan, kan?” tanya Rio kepada dua temannya di depan kelas.
Sesuai dengan janji Rio tadi, dia mengenalkan Gabriel kepada teman-temannya. Inilah salah satu alasan mengapa sebelum tahun ajaran baru mulai Rio mengusulkan Gabriel untuk masuk ke dalam sekolahnya. Agar dia bisa menjaga kakaknya juga.
Gabriel memang belum pernah satu sekolah dengan Rio. Walaupun mereka kembar, ada satu dan dua hal yang membuat mereka tak bisa belajar di tempat yang sama. Tapi, untuk tahun ini, Rio memutuskan untuk mencoba mengubah jalan pikirannya dan mencoba mengajak Gabriel belajar di sekolahnya.
“Terserah deh.” kata Cakka cuek.
“Hai, Yel, kita belum sempet kenalan ya, dari kemarin,” kata Deva sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangannya. “Gue Deva.”
Gabriel diam sejenak menatap tangan Deva. Kemudian, ia menoleh ke arah Rio, meminta pertolongan. Tapi, Rio justru mengisyaratkan kakaknya untuk membalas uluran tangan Deva.
Gabriel menatap Deva kembali. Takut-takut ia mengulurkan tangannya juga, membalas uluran Deva. Namun, sedetik setelah ia menyentuh tangan Deva, ia langsung menarik tangannya lagi.
Deva tersenyum. “Semoga lo betah sekolah di sini ya, kalau ada kesulitan, lo bisa tanya gue atau Cakka. Kita pasti bantuin kok.”
“Ah, salaman aja nggak niat, gimana mau minta bantuan. Sombong.” Cakka tiba-tiba menyeletuk pedas.
Gabriel diam saja mendengarnya.
“Ya udah, mendingan kita pulang. Keburu sore nanti. Ayo, Kka!” kata Rio mencairkan suasana. Ia merangkul Deva dan Gabriel di kanan-kirinya dan langsung berjalan meninggalkan kelas, disusul oleh Cakka.

J L J

“Eh, anak-anak Bunda udah pulang.” sahut Bunda ketika mendengar suara pintu, disusul oleh suara Rio yang ceria. Beliau langsung memeluk kedua buah hatinya itu dengan erat.
“Bunda udah pulang?” tanya Rio sambil tersenyum. “Gimana kerjaannya, Bunda?”
“Sibuk banget, Yo. Habis makan bareng kalian, Bunda mau balik lagi ke kantor. Ayo kita makan bersama.” kata Bunda. Ia merangkul kedua anaknya ke dalam.
Mereka bertiga segera ke dapur dan membuka tudung saji bersama-sama. Begitu kedua anak kembar itu melihat ayam goreng di atas meja, nafsu makan mereka langsung melesat tinggi. Namun, tak lupa mereka juga mengimbangi gizi mereka dengan sayuran sehat.
“Masakan Bunda itu memang nggak ada yang nandingin deh,” kata Gabriel sambil tersenyum. Wajahnya seketika cerah setelah merasakan lezatnya makanan yang ia kunyah.
Bunda tersenyum. Ia selalu merasa bahagia sekaligus lega setiap kali melihat senyum Gabriel. Semenjak kejadian buruk itu menimpanya, Gabriel jarang sekali terlihat ceria. Masa lalunya yang suram sudah meraib habis kebahagiaannya.
“Bunda kan memang koki terhebat kita, Yel. Makanya kita lebih suka makan di rumah,” kata Rio menoleh ke arah kakaknya. “Lebih enak masakan Bunda daripada restoran.”
Bunda tertawa. “Kalian bisa aja. Bunda jadi semangat terus deh buat masakin kalian, biar kalian semangat belajar terus.”
“Janji ya, Bunda!” kata Rio semangat.
“Iya, Bunda janji. Omong-omong, bagaimana nih sekolah kalian? Tahun ajaran baru pasti menyenangkan, kan?”
“Oh iya dong, Bunda. Apalagi sekarang Iel udah masuk ke sekolah Rio. Jadinya Rio tambah semangat deh!” kata Rio. “Iel juga seneng kok sekolah di sana, tadi udah kenalan sama Cakka dan Deva, Bun.”
“Oh ya?” kata Bunda sambil tersenyum. “Wah, nanti bisa jadi empat sekawan tuh.”
“Nggak bakal bisa, Bun.” kata Gabriel tiba-tiba. Ia beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruang makan dengan wajah muram. Sisa makanannya ia tinggalkan di meja.
Bunda dan Rio diam melihat kepergian Gabriel.
“Bunda, Rio susulin Iel dulu ya?” kata Rio akhirnya. “Makanannya buat nanti aja, kalau Rio laper lagi.”
Bunda menganggukkan kepalanya.
Rio langsung pergi meninggalkan ruang makan dan berlari ke lantai atas. Ia sudah hafal dengan tabiat kakaknya itu, kalau sedang gelisah pasti mengurungkan diri di kamar. Pinggir jendela kamar mereka itu sudah menjadi tempat tongkrongan favoritnya.
“Yel?” sahut Rio dari ambang pintu kamar mereka.
Gabriel bergeming. Kali ini dia melamun sendiri di atas tempat tidur. Ia menopang dagunya dengan kedua lututnya yang ditekuk dan terikat dengan kedua tangannya. Wajahnya kembali kosong seperti tadi pagi.
Rio menghela nafasnya. Ia berjalan masuk dan duduk di hadapan Gabriel. Ia jadi merasa bersalah karena sudah menyinggung perasaan kakaknya. “Yel, maafin gue.”
“Bukan salah lo kok, Yo.” kata Gabriel pelan.
Rio tersenyum samar. “Tapi, lo pasti bisa akrab sama temen-temen gue.”
Gabriel menggelengkan kepalanya. Ia menenggelamkan kepalanya. “Baru tiga hari aja, mereka udah bilang gue kayak monster. Pokoknya gue nggak mau bergaul sama siapapun.”
“Yel...”
“Gue ke sekolah cuma buat dapet nilai. Udah, itu aja.” potong Gabriel datar.
“Gue yakin kok, gue nggak bakal salah pilih,” kata Rio sambil tersenyum. Ia menepuk pundak Gabriel. “Gue udah lima tahun sama mereka. Gue tahu mereka anak-anak yang baik.”
Gabriel tetap menggeleng.
“Ayolah!” kata Rio tak juga putus asa membujuk kakaknya. Ia beranjak dari tempat tidur dan merentangkan kedua tangannya. “Kan di dunia ini nggak ada tempat yang kayak surga. Pasti ada aja masalah yang ganggu hidup kita.”
“Apa hidup gue nggak cukup bermasalah?”
Rio tertawa. Ia langsung duduk di sebelah Gabriel lagi. “Yel, selama lo hidup, nggak ada yang namanya hidup lo atau hidup gue. Yang ada cuma hidup kita.”
Gabriel mengangkat kepalanya menatap Rio. “Maksud lo?”
“Lo itu kakak kembar gue. Kita itu satu, Yel! Jadi, hidup lo, hidup gue juga,” kata Rio sambil tersenyum. “Kalau lo bilang hidup lo bermasalah, berarti gue yang akan nyelesein masalah lo. Kalau mereka jahat sama lo, gue yang akan mati-matian ngelindungin lo, oke?”
Gabriel diam.
“Udah, sekarang lo istirahat deh biar lo tenang lagi. Gue juga mau tidur siang biar nanti malem bisa belajar sampai malem.” kata Rio.
Gabriel mengangguk. Ia langsung berbaring di tempat tidur dan segera terlelap dengan cepat karena dia memang lelah. Sementara Rio hanya tersenyum menatap kakak tersayangnya.

J L J

“Oh ya? Bagus dong.” kata Deva di telepon malam itu. Temannya itu menghubungi Rio karena mengkhawatirkan Gabriel. Ia langsung menghela nafas lega ketika tahu Gabriel baik-baik saja. Selama perjalanan pulang sekolah tadi, Gabriel enggan mengajaknya bicara. Bahkan ia terang-terangan menunjukkan rasa takutnya kepada Deva dan Cakka. Apalagi ketika Cakka mencelanya.
“Iya nih,” kata Rio sambil tersenyum. “Sori ya bikin lo cemas.”
“Nggak apa-apa, gue ngerti kok setelah lo cerita tadi. Dia pasti trauma banget gara-gara temen-temennya dulu.”
“Kayaknya sih begitu, Va. Semenjak kejadian itu, dia selalu takut ketemu orang asing. Setiap kali menghadapi orang, dia pasti udah ketakutan duluan karena inget masa lalunya,” kata Rio. “Makanya gue bisa kebal sama Cakka.”
“Kenapa tuh?”
“Karena Gabriel udah ngajarin gue, setiap orang pasti bisa kejam karena alasan tertentu,” kata Rio lagi. “Sama seperti binatang yang bakalan marah kalau merasa terancam.”
Terdengar suara tawa Deva di seberang sana. “Gue bangga karena lo bisa berpikiran kayak begitu, Yo. Setiap manusia memang selalu punya alasan untuk hal-hal yang dilakukannya. Makanya, kita nggak boleh asal menghakimi orang.”
Rio tersenyum. “Nanti waktu Cakka tahu, dia pasti bisa menerima Gabriel. Gue sih, udah bersyukur banget lo mau menerima kakak gue.”
“Gue akan menerima siapapun jadi temen gue, Yo.” kata Deva.
“Gue harap lo bisa menjaga rahasia gue ya. Karena gue nggak akan pernah cerita soal kakak gue ke sembarangan orang.” kata Rio berharap.
“Tanpa lo suruh pun gue nggak akan cerita pada siapa-siapa,” kata Deva. “Lo tenang aja, gue nggak akan menyalahgunakan kepercayaan lo. Gue tahu lo udah berusaha tegar selama ini.”
Rio tersenyum. “Makasih, Va.”

TO BE CONTINUED...

Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p