“Mulai
besok kamu tidak perlu masuk ke sekolah lagi.”
Kata-kata
itu masih terngiang-ngiang di pikiran Gabriel. Sebenarnya, ini bukan pertama
kalinya dia dikeluarkan dari sekolah. Bahkan Ayah dan Bunda sudah hampir putus
asa karena kasus drop out yang
dihadapinya.
Alasan
para guru untuk mengeluarkannya dari sekolah selalu sama. Dan Gabriel hanya
bisa menerimanya dengan pasrah. Melawanpun percuma, dia tidak akan bisa
mendapatkan dukungan untuk tetap di sekolah. Begitu ia keluar dari ruang kepala
sekolah waktu itu, ia langsung merapikan buku-bukunya dan pulang. Ia tak
perduli dengan reaksi teman-temannya saat mereka tahu Gabriel dikeluarkan. Yang
ia tahu, Gabriel harus cepat-cepat pergi dari sana kalau namanya sudah dicoret
dari daftar nama murid sekolah.
Begitu
ia sampai di rumah, ia langsung mengurungkan diri di kamar. Gabriel ingat,
waktu itu hanya Rio yang perduli padanya. Adik kembarnya itu selalu bisa
menenangkan hatinya yang selalu dikuasai dengan perasaan gelisah. Ia bahkan
tidak malu memiliki kakak kembar yang memalukan sepertinya.
Mereka
berdua memang bukan kembar identik. Wajah mereka mungkin serupa, namun sifat
mereka jauh berbeda. Tapi, dari perbedaan itulah Gabriel bangga memiliki
saudara kembar seperti Rio. Kalau bukan karena kepercayaan yang selalu ia
berikan kepadanya, mungkin hidup Gabriel akan lebih berantakan lagi dari ini.
“Lio
mengerti perasaan Iel,” sahutnya sambil memeluk Gabriel ketika adiknya itu
mengetahui kalau kakaknya dikeluarkan lagi dari sekolah. “Lio tidak akan
seperti mereka. Io akan selalu ada di sisi Iel.”
“Benarkah?”
“Iel
boleh membenci semua orang di dunia ini, tapi yang pasti Lio tidak akan
membenci Iel sampai kapanpun. Lio akan siap dua puluh empat jam untuk Iel.
Kapanpun Iel butuh, Lio pasti ada!”
----
⎯Ku persembahkan hidupku 'tuk selamanya padamu, 'kan kuserahkan cintaku hanya untukmu selamanya⎯
Beberapa tahun kemudian...
Semenjak
anak baru itu masuk ke SMA MIFI, banyak gosip miring yang menyebar seantero
sekolah. Banyak yang mengatakan anak baru itu sombong, terlalu tertutup bahkan
bisu. Dia selalu duduk di pojok kelas sendirian, entah melakukan apa. Kalau
diajak bicara, selalu saja membuang muka.
Banyak
juga yang menduga bahwa dia memiliki gangguan jiwa. Selama ini mereka tak
pernah bertemu dengan manusia yang betah mengunci mulutnya dalam waktu yang
lama. Padahal, sosialisasi itu sudah menjadi hal yang wajib setiap harinya.
Tapi, anak itu berbeda.
Tapi,
tak semua murid mau membicarakan anak baru sembarangan. Salah satunya Mario
Astroken. Anak yang akrab disapa Rio itu justru menggelengkan kepalanya melihat
tingkah para murid SMA MIFI yang hanya bisa bergosip. Padahal, menurutnya
memusingkan pelajaran jauh lebih penting.
Ia
sudah tak asing dengan pemandangan kasak-kusuk seperti itu. Setiap kali
kakaknya masuk ke dalam sekolah baru, pasti banyak yang menganggapnya aneh.
Tapi, Rio sama sekali tidak perduli. Mereka semua tak ada yang tahu bagaimana
kakaknya menjalani hidup. Mereka sama sekali tidak berhak untuk menghakimi yang
tidak-tidak.
“Gabriel
itu beneran kakak lo, Yo?” tanya Cakka, salah satu sahabat cuek Rio sejak kecil
di kelas. Anak berandal ini yang kebetulan menjadi teman sebangku Gabriel sejak
tiga hari yang lalu.
Rio
mengangguk sambil tersenyum. “Dia kakak gue satu-satunya.”
“Lima
tahun kita temenan, lo nggak pernah cerita kalau lo punya kakak.”
“Memangnya
kenapa? Dia menyenangkan kan, Kka?” kata Rio sambil tersenyum.
“Ih,
mengerikan.” Cakka bergidik ngeri. “Dia seperti monster.”
“Ah,
dia menyenangkan kok, Kka,” tiba-tiba Deva menyeletuk dari kursi belakang. Tatapan
cowok berkacamata tebal itu tak lepas dari buku ensiklopedia. “Semua orang di
dunia ini pasti memiliki alasan untuk melakukan sesuatu. Lo nggak boleh ngomong
begitu.”
“Kenapa
nggak boleh? Mulut, mulut gue.” Cakka menatap kutu buku itu dengan tajam.
Selama bersahabat dengannya, anak itu selalu terlihat sok bijak di hadapannya.
Selain berpepatah, dia juga sangat senang membaca buku tentang fakta-fakta alam
seperti yang sedang dibacanya sekarang.
Rio
tertawa. “Udah, nggak usah dipermasalahin. Gue sama sekali nggak peduli apa
kata orang tentang kakak gue. Termasuk lo berdua. Gabriel tetap kakak paling
hebat yang pernah gue punya. Lo berdua pasti seneng kenal dia.”
“Harus
gitu kita temenan sama dia?” tanya Cakka mengangkat sebelah alisnya.
“Tentu
harus. Lo itu teman sebangkunya, jadi gue mohon bantuan lo buat bikin kakak gue
betah sekolah di sini. Gue nggak mau dia pindah sekolah lagi. Kasihan Bunda.”
kata Rio. Ia menepuk pundak Cakka pelan.
Cakka
memutar bola matanya malas. “Ah, nyusahin banget sih lo, Yo.”
“Udah,
lebih baik kita belajar, habis ini kan ulangan fisika.” kata Deva sambil
menutup buku ensiklopedia yang dibacanya. Ia segera mengambil buku paket fisika
dari dalam tas dan mengerjakan ulang soal-soal yang pernah dibahas di kelas.
Rio juga melakukan yang sama.
“Ajarin
gue yang ini dong, Va.” Rio menaruh bukunya di atas meja Deva dan mengambil
tempat duduk di depan sahabatnya itu.
Deva
mengangguk, kemudian melirik Cakka. “Lo mau belajar bareng juga nggak?”
“Males
banget.” Cakka langsung beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan kelas.
Deva dan Rio hanya bisa menggelengkan kepala mereka jika Cakka sudah begitu.
Cakka
itu memang termasuk anak yang malas belajar di kelas 10IPA-2. Bahkan tingkah
lakunya termasuk kurang ajar. Namun, tak bisa dipungkiri juga, otak encernya
selalu menyelamatkannya dari nilai jelek. Tak ada yang tahu bagaimana cara dia
belajar. Nilai akademiknya selalu mengagumkan, berbanding terbalik dengan nilai
sikapnya.
J L J
Sejak
bel istirahat berbunyi tadi, Gabriel hanya berjalan-jalan di koridor sendirian.
Kepalanya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kosong. Kedua tangannya ia
masukkan ke dalam saku, tak ingin bersalaman dengan siapapun.
Ia
berjalan pelan menuju belakang sekolah. Ia ingin duduk di bawah pohon rindang
yang ada di sana untuk menjernihkan pikirannya kembali. Baru tiga hari ia
bersekolah, tapi ia sudah tak betah. Berada di sekolah terasa seperti penjara
baginya. Anak-anak di sekolah ini selalu menatapnya dengan berbagai ekspresi.
Gabriel risih.
Ia
sudah tahu hal seperti ini pasti terjadi, makanya dia selalu menolak tawaran
adiknya untuk bersekolah di tempat baru. Tapi, Gabriel tahu adiknya tersebut
tak rela jika dia berhenti sekolah begitu saja. Sayang, katanya.
Nilai-nilai
Gabriel di sekolah lama sebenarnya cukup bagus. Ia jarang mendapatkan nilai di
bawah rata-rata, tugas juga dikerjakan semuanya sampai tuntas. Namun,
masalahnya tak ada sekolah yang dapat membuatnya nyaman. Ujung-ujungnya pasti
dikeluarkan.
Kembali
soal teman-teman barunya di sini, Gabriel merasa mereka tak mengharapkan
kehadirannya. Setiap kali ia berpapasan dengan mereka semua, mereka pasti
langsung berbisik-bisik. Kadang ada juga yang langsung menyindir dengan jelas.
Sombong, gila, bisu, misterius, penyusup dan semua sebutan negatif keluar dari
mulut mereka.
Namun,
bagi Gabriel, diam sudah jalan terbaik. Percuma juga dia menjelaskan.
“Hei,
Iel!” teriak seseorang dari kejauhan.
Gabriel
menoleh. Ia menangkap seorang laki-laki sedang berlari menghampirinya sambil
tersenyum. Rio. Adiknya itu langsung duduk di sebelahnya begitu ia sampai di
tempat ia duduk.
“Ngapain
lo di sini?” tanya Rio. “Sebentar lagi masuk, Yel.”
“Nggak
apa-apa, Yo. Risih aja.” jawab Gabriel singkat.
Rio
tersenyum. “Ya udah, ayo balik. Nanti Pak Duta marah kalau kita telat.”
“Pak
Duta?”
“Guru
musik kita,” kata Rio. “Orangnya baik, tapi disiplin banget. Makanya, kita
nggak boleh telat sedetikpun. Nanti nilai kita yang kena potong.”
Gabriel
membesarkan kedua matanya. “Segitunya?”
Rio
tertawa. “Gue pernah kok jadi korbannya dulu, gara-gara keasyikan ngobrol di
kantin. Gue, Cakka sama Deva kena deh.”
Gabriel
diam.
“Lo
udah kenalan sama Cakka, kan? Nanti gue kenalin sama Deva deh, Yel. Dia asyik
banget anaknya,” kata Rio. Ia menepuk pundak Gabriel dan bangkit dari tempat
duduknya. “Ayo kita balik ke kelas!”
Raut
wajah Gabriel seketika berubah. Tatapannya kembali kosong. Kepalanya menengadah
menatap Rio. Aduh, adiknya mulai kumat lagi.
“Hei,
kenapa? Ayolah!” kata Rio bersemangat. Ia langsung menarik tangan Gabriel pergi
dari sana. Gabriel hanya bisa pasrah ditarik oleh adiknya menuju kelas. Untung
saja Pak Duta belum datang ketika mereka sampai.
J L J
“Va,
ini Gabriel, dia boleh ya, ikut pulang bareng kita! Kan dia kakak gue! Lo
berdua nggak keberatan, kan?” tanya Rio kepada dua temannya di depan kelas.
Sesuai
dengan janji Rio tadi, dia mengenalkan Gabriel kepada teman-temannya. Inilah
salah satu alasan mengapa sebelum tahun ajaran baru mulai Rio mengusulkan
Gabriel untuk masuk ke dalam sekolahnya. Agar dia bisa menjaga kakaknya juga.
Gabriel
memang belum pernah satu sekolah dengan Rio. Walaupun mereka kembar, ada satu
dan dua hal yang membuat mereka tak bisa belajar di tempat yang sama. Tapi,
untuk tahun ini, Rio memutuskan untuk mencoba mengubah jalan pikirannya dan
mencoba mengajak Gabriel belajar di sekolahnya.
“Terserah
deh.” kata Cakka cuek.
“Hai,
Yel, kita belum sempet kenalan ya, dari kemarin,” kata Deva sambil tersenyum.
Ia mengulurkan tangannya. “Gue Deva.”
Gabriel
diam sejenak menatap tangan Deva. Kemudian, ia menoleh ke arah Rio, meminta
pertolongan. Tapi, Rio justru mengisyaratkan kakaknya untuk membalas uluran
tangan Deva.
Gabriel
menatap Deva kembali. Takut-takut ia mengulurkan tangannya juga, membalas
uluran Deva. Namun, sedetik setelah ia menyentuh tangan Deva, ia langsung
menarik tangannya lagi.
Deva
tersenyum. “Semoga lo betah sekolah di sini ya, kalau ada kesulitan, lo bisa
tanya gue atau Cakka. Kita pasti bantuin kok.”
“Ah,
salaman aja nggak niat, gimana mau minta bantuan. Sombong.” Cakka tiba-tiba
menyeletuk pedas.
Gabriel
diam saja mendengarnya.
“Ya
udah, mendingan kita pulang. Keburu sore nanti. Ayo, Kka!” kata Rio mencairkan
suasana. Ia merangkul Deva dan Gabriel di kanan-kirinya dan langsung berjalan
meninggalkan kelas, disusul oleh Cakka.
J L J
“Eh,
anak-anak Bunda udah pulang.” sahut Bunda ketika mendengar suara pintu, disusul
oleh suara Rio yang ceria. Beliau langsung memeluk kedua buah hatinya itu
dengan erat.
“Bunda
udah pulang?” tanya Rio sambil tersenyum. “Gimana kerjaannya, Bunda?”
“Sibuk
banget, Yo. Habis makan bareng kalian, Bunda mau balik lagi ke kantor. Ayo kita
makan bersama.” kata Bunda. Ia merangkul kedua anaknya ke dalam.
Mereka
bertiga segera ke dapur dan membuka tudung saji bersama-sama. Begitu kedua anak
kembar itu melihat ayam goreng di atas meja, nafsu makan mereka langsung
melesat tinggi. Namun, tak lupa mereka juga mengimbangi gizi mereka dengan
sayuran sehat.
“Masakan
Bunda itu memang nggak ada yang nandingin deh,” kata Gabriel sambil tersenyum.
Wajahnya seketika cerah setelah merasakan lezatnya makanan yang ia kunyah.
Bunda
tersenyum. Ia selalu merasa bahagia sekaligus lega setiap kali melihat senyum
Gabriel. Semenjak kejadian buruk itu menimpanya, Gabriel jarang sekali terlihat
ceria. Masa lalunya yang suram sudah meraib habis kebahagiaannya.
“Bunda
kan memang koki terhebat kita, Yel. Makanya kita lebih suka makan di rumah,”
kata Rio menoleh ke arah kakaknya. “Lebih enak masakan Bunda daripada
restoran.”
Bunda
tertawa. “Kalian bisa aja. Bunda jadi semangat terus deh buat masakin kalian,
biar kalian semangat belajar terus.”
“Janji
ya, Bunda!” kata Rio semangat.
“Iya,
Bunda janji. Omong-omong, bagaimana nih sekolah kalian? Tahun ajaran baru pasti
menyenangkan, kan?”
“Oh
iya dong, Bunda. Apalagi sekarang Iel udah masuk ke sekolah Rio. Jadinya Rio
tambah semangat deh!” kata Rio. “Iel juga seneng kok sekolah di sana, tadi udah
kenalan sama Cakka dan Deva, Bun.”
“Oh
ya?” kata Bunda sambil tersenyum. “Wah, nanti bisa jadi empat sekawan tuh.”
“Nggak
bakal bisa, Bun.” kata Gabriel tiba-tiba. Ia beranjak dari kursinya dan
meninggalkan ruang makan dengan wajah muram. Sisa makanannya ia tinggalkan di
meja.
Bunda
dan Rio diam melihat kepergian Gabriel.
“Bunda,
Rio susulin Iel dulu ya?” kata Rio akhirnya. “Makanannya buat nanti aja, kalau
Rio laper lagi.”
Bunda
menganggukkan kepalanya.
Rio
langsung pergi meninggalkan ruang makan dan berlari ke lantai atas. Ia sudah
hafal dengan tabiat kakaknya itu, kalau sedang gelisah pasti mengurungkan diri
di kamar. Pinggir jendela kamar mereka itu sudah menjadi tempat tongkrongan
favoritnya.
“Yel?”
sahut Rio dari ambang pintu kamar mereka.
Gabriel
bergeming. Kali ini dia melamun sendiri di atas tempat tidur. Ia menopang
dagunya dengan kedua lututnya yang ditekuk dan terikat dengan kedua tangannya.
Wajahnya kembali kosong seperti tadi pagi.
Rio
menghela nafasnya. Ia berjalan masuk dan duduk di hadapan Gabriel. Ia jadi
merasa bersalah karena sudah menyinggung perasaan kakaknya. “Yel, maafin gue.”
“Bukan
salah lo kok, Yo.” kata Gabriel pelan.
Rio
tersenyum samar. “Tapi, lo pasti bisa akrab sama temen-temen gue.”
Gabriel
menggelengkan kepalanya. Ia menenggelamkan kepalanya. “Baru tiga hari aja,
mereka udah bilang gue kayak monster. Pokoknya gue nggak mau bergaul sama
siapapun.”
“Yel...”
“Gue
ke sekolah cuma buat dapet nilai. Udah, itu aja.” potong Gabriel datar.
“Gue
yakin kok, gue nggak bakal salah pilih,” kata Rio sambil tersenyum. Ia menepuk
pundak Gabriel. “Gue udah lima tahun sama mereka. Gue tahu mereka anak-anak
yang baik.”
Gabriel
tetap menggeleng.
“Ayolah!”
kata Rio tak juga putus asa membujuk kakaknya. Ia beranjak dari tempat tidur
dan merentangkan kedua tangannya. “Kan di dunia ini nggak ada tempat yang kayak
surga. Pasti ada aja masalah yang ganggu hidup kita.”
“Apa
hidup gue nggak cukup bermasalah?”
Rio
tertawa. Ia langsung duduk di sebelah Gabriel lagi. “Yel, selama lo hidup,
nggak ada yang namanya hidup lo atau hidup gue. Yang ada cuma hidup kita.”
Gabriel
mengangkat kepalanya menatap Rio. “Maksud lo?”
“Lo
itu kakak kembar gue. Kita itu satu, Yel! Jadi, hidup lo, hidup gue juga,” kata
Rio sambil tersenyum. “Kalau lo bilang hidup lo bermasalah, berarti gue yang
akan nyelesein masalah lo. Kalau mereka jahat sama lo, gue yang akan
mati-matian ngelindungin lo, oke?”
Gabriel
diam.
“Udah,
sekarang lo istirahat deh biar lo tenang lagi. Gue juga mau tidur siang biar
nanti malem bisa belajar sampai malem.” kata Rio.
Gabriel
mengangguk. Ia langsung berbaring di tempat tidur dan segera terlelap dengan
cepat karena dia memang lelah. Sementara Rio hanya tersenyum menatap kakak
tersayangnya.
J L J
“Oh ya? Bagus dong.” kata Deva di
telepon malam itu. Temannya itu menghubungi Rio karena mengkhawatirkan Gabriel.
Ia langsung menghela nafas lega ketika tahu Gabriel baik-baik saja. Selama
perjalanan pulang sekolah tadi, Gabriel enggan mengajaknya bicara. Bahkan ia
terang-terangan menunjukkan rasa takutnya kepada Deva dan Cakka. Apalagi ketika
Cakka mencelanya.
“Iya
nih,” kata Rio sambil tersenyum. “Sori ya bikin lo cemas.”
“Nggak apa-apa, gue ngerti kok setelah lo
cerita tadi. Dia pasti trauma banget gara-gara temen-temennya dulu.”
“Kayaknya
sih begitu, Va. Semenjak kejadian itu, dia selalu takut ketemu orang asing. Setiap
kali menghadapi orang, dia pasti udah ketakutan duluan karena inget masa
lalunya,” kata Rio. “Makanya gue bisa kebal sama Cakka.”
“Kenapa tuh?”
“Karena
Gabriel udah ngajarin gue, setiap orang pasti bisa kejam karena alasan
tertentu,” kata Rio lagi. “Sama seperti binatang yang bakalan marah kalau
merasa terancam.”
Terdengar
suara tawa Deva di seberang sana. “Gue
bangga karena lo bisa berpikiran kayak begitu, Yo. Setiap manusia memang selalu
punya alasan untuk hal-hal yang dilakukannya. Makanya, kita nggak boleh asal
menghakimi orang.”
Rio
tersenyum. “Nanti waktu Cakka tahu, dia pasti bisa menerima Gabriel. Gue sih,
udah bersyukur banget lo mau menerima kakak gue.”
“Gue akan menerima siapapun jadi temen
gue, Yo.” kata Deva.
“Gue
harap lo bisa menjaga rahasia gue ya. Karena gue nggak akan pernah cerita soal
kakak gue ke sembarangan orang.” kata Rio berharap.
“Tanpa lo suruh pun gue nggak akan cerita
pada siapa-siapa,” kata Deva. “Lo
tenang aja, gue nggak akan menyalahgunakan kepercayaan lo. Gue tahu lo udah
berusaha tegar selama ini.”
Rio
tersenyum. “Makasih, Va.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat
ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p