-Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga-
“Yel! Oper ke gue, Yel!” teriak Rio di halaman belakangnya. Ia melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi agar kakaknya dapat memberi bola kepadanya. Untungnya Gabriel peka. Dia langsung dengan sigap melempar bolanya ke arah Rio. Cakka yang dari tadi berusaha merebut bola langsung berlari ke arah Rio.
“Hah! Lo nggak bakal menang dari gue, Kka!” kata Rio sambil tertawa. Ia membawa bolanya dengan semangat. Dan HUP! Ia langsung melakukan tembakan. “Sepuluh lima! Ayo dong, mana skill lo selama ini, Kka?”
“Ah, lo tuh cuma beruntung!” kata Cakka kesal. Ia berjalan ke pinggir lapangan untuk minum sebentar. “Lagian mana ada sih basket satu lawan dua? Melanggar peraturan tau nggak?”
“Loh, tadi sebelum pertandingan siapa yang bilang kalau pasti sanggup walaupun harus lawan gue sama Gabriel?” kata Rio.
“Apaan? Siapa yang ngomong kayak begitu?” elak Cakka.
“Alah, ngaku aja, pakai pura-pura lupa lagi!”
Cakka memutar bolanya malas, kemudian langsung sibuk minum sendiri.
Rio hanya tertawa melihat tingkah temannya itu. Sekali gengsi tetap saja gengsi. Padahal, tadi Cakka yang menantang mereka untuk tanding basket. Dan dia sama sekali tidak keberatan jika harus melawan si kembar sendirian karena merasa sudah hebat. Sekarang? Sudah kalah, masih tak mau mengaku. Kadang-kadang ya, tingkah lakunya itu.
Semenjak mereka baikan, mereka memang sering latihan basket di halaman belakang rumah Rio dan Gabriel. Mumpung Deva baru pulang besok, mereka memanfaatkan liburan dengan olahraga agar badan tetap bergerak. Hitung-hitung latihan kerja sama juga, bukan? Nanti kalau mereka sudah masuk sekolah lagi, mereka kan bisa kompak saat ekskul basket. Kalau bisa, Gabriel juga masuk ke dalam tim inti bersama Cakka, Rio dan Alvin.
“Tapi, bukannya memang biasanya lo jago, Kka?” tanya Gabriel sambil duduk di dekat Cakka berada.
“Ah, kayak lo meratiin aja pas ekskul, Yel, biasanya juga lo ogah-ogahan, kan?” kata Cakka. Kemudian, ia langsung mengambil tempat duduk di sebelah Gabriel. “Nanti kalau udah masuk semester genap, lo lihat deh. Adik lo itu yang sok-sok ngalahin gue.”
“Dih, nuduh-nuduh gue,” Rio yang masih berdiri langsung menoleh ke arah Cakka. Ia mencibir. “Yang ada entar posisi lo bakalan kegeser begitu Gabriel masuk. Lo udah lihat kan kemampuannya pas tes ekskul? Hati-hati aja lo, Kka.”
“Terserah lo deh, Yo.”
“Untung Deva belum pulang, kalau nggak lo habis sama dia gara-gara nyari ribut terus, tahu nggak?” Rio menggelengkan kepalanya. “Eh, besok ke rumahnya, yuk? Kan dia baliknya siang tuh.”
“Terserah.”
Rio menghela nafas. “Terserah terus hidup lo.”
Cakka bergidik. “Yeee... masalah buat lo?”
“Ampun, bro,” kata Rio mengangkat kedua tangannya sambil nyengir. Kemudian, dia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, boleh minta tolong nggak? Ambil minum lagi di dalem.”
Gabriel tersenyum. Ia langsung beranjak dari tempatnya sambil berkata, “Iya deh.”
Begitu Gabriel hilang dari pandangan mereka berdua, Cakka langsung mendengus pendek. Ia menatap Rio tanpa ekspresi. “Manja banget. Nggak bisa ambil sendiri apa?”
“Cieee... ngebelain Gabriel.” balas Rio sambil tersenyum.
Cakka melotot ke arah Rio dengan tajam. “Apa sih? Salah gue minta maaf sama lo kayaknya, Yo.”
Tawa Rio kembali meledak. Itu salah satunya keuntungan memiliki teman cuek seperti Cakka. Karena terlalu mengagungkan gengsi, dia jadi terlihat lucu jika ia jahili. Hampir sama seperti anak kecil yang tidak dikasih permen.
“Ah, kayak lo meratiin aja pas ekskul, Yel, biasanya juga lo ogah-ogahan, kan?” kata Cakka. Kemudian, ia langsung mengambil tempat duduk di sebelah Gabriel. “Nanti kalau udah masuk semester genap, lo lihat deh. Adik lo itu yang sok-sok ngalahin gue.”
“Dih, nuduh-nuduh gue,” Rio yang masih berdiri langsung menoleh ke arah Cakka. Ia mencibir. “Yang ada entar posisi lo bakalan kegeser begitu Gabriel masuk. Lo udah lihat kan kemampuannya pas tes ekskul? Hati-hati aja lo, Kka.”
“Terserah lo deh, Yo.”
“Untung Deva belum pulang, kalau nggak lo habis sama dia gara-gara nyari ribut terus, tahu nggak?” Rio menggelengkan kepalanya. “Eh, besok ke rumahnya, yuk? Kan dia baliknya siang tuh.”
“Terserah.”
Rio menghela nafas. “Terserah terus hidup lo.”
Cakka bergidik. “Yeee... masalah buat lo?”
“Ampun, bro,” kata Rio mengangkat kedua tangannya sambil nyengir. Kemudian, dia menoleh ke arah Gabriel. “Yel, boleh minta tolong nggak? Ambil minum lagi di dalem.”
Gabriel tersenyum. Ia langsung beranjak dari tempatnya sambil berkata, “Iya deh.”
Begitu Gabriel hilang dari pandangan mereka berdua, Cakka langsung mendengus pendek. Ia menatap Rio tanpa ekspresi. “Manja banget. Nggak bisa ambil sendiri apa?”
“Cieee... ngebelain Gabriel.” balas Rio sambil tersenyum.
Cakka melotot ke arah Rio dengan tajam. “Apa sih? Salah gue minta maaf sama lo kayaknya, Yo.”
Tawa Rio kembali meledak. Itu salah satunya keuntungan memiliki teman cuek seperti Cakka. Karena terlalu mengagungkan gengsi, dia jadi terlihat lucu jika ia jahili. Hampir sama seperti anak kecil yang tidak dikasih permen.
“Nih, Yo!” Gabriel langsung menyodorkan sebotol air mineral kepada Rio dan kembali duduk di samping Cakka.
Sementara Rio minum, Cakka diam saja. Gabriel yang berada di dalam suasana hening itu langsung merasa heran. Aneh, mereka tiba-tiba bisa sibuk sendiri begitu, padahal tadi mereka masih tertawa-tawa.
“Ada apa sih?” tanya Gabriel akhirnya menumpahkan kekepoannya.
Rio tersenyum. “Ah, nggak kok, Yel, nggak ada apa-apa.”
“Terus kok pada diem?”
“Biasa lah,” kata Rio tak jelas. Ia membereskan barang-barangnya dan menepuk pundak Gabriel dan Cakka bersamaan. “Udah yuk, masuk ke dalem. Udah sore, bentar lagi Bunda pasti pulang.”
“Bunda masak apa ya, Yo?” kata Gabriel mengikuti Rio dari belakang.
“Nggak tahu, yang pasti makanan enak,” kata Rio. “Eh, Kka, lo makan malam aja dulu di sini baru pulang. Tanggung juga.”
“Tanpa lo suruh gue juga berniat begitu sih, Yo.” kata Cakka nyengir.
Rio menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Cakka. “Dasar lo! Kayaknya nasib banget gue punya temen-temen pada doyan makan semua. Makan aja otaknya cepet!”
Gabriel tersenyum tipis. Dalam hati ia tertawa mendengar ucapan Rio. Rasanya senang melihat adiknya bisa bahagia hari ini. Semenjak Gabriel bisa akrab dengan Cakka, rasanya Rio terlihat lebih ceria daripada biasanya. Mungkin selama ini dia salah. Kontak batinnya dengan Rio sudah terlalu kuat. Ketakutannya itu pasti telah membuat adiknya juga ikut sedih.
Sementara Rio minum, Cakka diam saja. Gabriel yang berada di dalam suasana hening itu langsung merasa heran. Aneh, mereka tiba-tiba bisa sibuk sendiri begitu, padahal tadi mereka masih tertawa-tawa.
“Ada apa sih?” tanya Gabriel akhirnya menumpahkan kekepoannya.
Rio tersenyum. “Ah, nggak kok, Yel, nggak ada apa-apa.”
“Terus kok pada diem?”
“Biasa lah,” kata Rio tak jelas. Ia membereskan barang-barangnya dan menepuk pundak Gabriel dan Cakka bersamaan. “Udah yuk, masuk ke dalem. Udah sore, bentar lagi Bunda pasti pulang.”
“Bunda masak apa ya, Yo?” kata Gabriel mengikuti Rio dari belakang.
“Nggak tahu, yang pasti makanan enak,” kata Rio. “Eh, Kka, lo makan malam aja dulu di sini baru pulang. Tanggung juga.”
“Tanpa lo suruh gue juga berniat begitu sih, Yo.” kata Cakka nyengir.
Rio menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Cakka. “Dasar lo! Kayaknya nasib banget gue punya temen-temen pada doyan makan semua. Makan aja otaknya cepet!”
Gabriel tersenyum tipis. Dalam hati ia tertawa mendengar ucapan Rio. Rasanya senang melihat adiknya bisa bahagia hari ini. Semenjak Gabriel bisa akrab dengan Cakka, rasanya Rio terlihat lebih ceria daripada biasanya. Mungkin selama ini dia salah. Kontak batinnya dengan Rio sudah terlalu kuat. Ketakutannya itu pasti telah membuat adiknya juga ikut sedih.
☺ ☹ ☺
“Devaaaaa!”
Rio langsung memeluk erat temannya tersebut begitu ia melihat Deva di balik pintu rumahnya. Cakka dan Gabriel sampai terdiam melihat tingkah Rio tersebut. Apalagi Cakka, dia bergidik ngeri melihat Rio. Perasaan Deva baru pergi seminggu, tapi Rio bertingkah seolah-olah mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun.
Deva sendiri pasrah saja dipeluk Rio. Ia hanya tersenyum dan membalas pelukan temannya itu. Paling tidak ia harus menghargai, sudah lama juga ia tidak merecoki teman-temannya ini jika mereka sedang bertengkar.
“Ehem...,” Cakka berdehem keras. “Udah kali kangen-kangenannya.”
Deva tertawa. Ia langsung menoleh ke arah Cakka dan Gabriel begitu Rio melepas pelukannya. “Apa kabar lo berdua? Liburannya seru kan?”
Cakka mengangkat bahunya, mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja seperti yang ia lihat sekarang.
Gabriel tersenyum. “Gue baik, Va.”
“Bagus dong, Yel, gue bawa oleh-oleh loh buat lo,” kata Deva sambil tersenyum balik. Ia langsung merangkul sebelah pundak Gabriel. “Yuk, ke dalem. Gue masih beres-beres nih, sekalian gue kasih lihat apa yang gue dapet dari Surabaya.”
“Jalan-jalan tetep aja inget kita ya, Va.” kata Rio.
“Oh iya dong, harus itu. Kita kan udah lama temenan, jadi lo semua harus dapet hadiah persahabatan. Kata nyokap bokap gue, biar awet persahabatan kita sampai tua nanti.” kata Deva.
“Amin!” seru Rio, Deva, Gabriel dan Cakka kompak.
Sesampainya mereka di ruang keluarga, Deva langsung mengobrak-abrik tas besarnya. Rio langsung menghampiri adik-adik Deva yang sedang berkumpul di sana, sedangkan Cakka dan Gabriel langsung duduk di sofa.
“Halo, Devi, Diva, Dava!” sapa Rio riang. Ia langsung memangku Diva dan bermain dengan Dava sambil menunggu Deva. “Duh, yang habis jalan-jalan pasti seru deh.”
Devi tersenyum. “Hai, Kak Rio. Baru juga kita pulang, udah dateng aja.”
“Iya dong, kan udah lama nggak ketemu kalian,” kata Rio sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung menoleh ke arah Diva. “Diva apa kabarnya nih? Seneng nggak habis jalan-jalan, hm?”
“Seneng dong, Kak,” kata Diva dengan suara lucunya. “Diva bantuin Kak Devi jagain adik-adik di sana.”
“Wah, Diva pinter deh!” kata Rio senang.
Devi tertawa kecil melihat teman kakaknya tersebut. “Ah, Devi ambilin minum dulu ya, Kak. Diva, kamu jangan nakal sama Kak Rio, bantuin Kak Devi jagain Dava ya.” kata Devi sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Iya, Kak.” kata Diva menurut.
“Nah, gue bawa baju nih buat kalian, ada bola basket juga nih buat Cakka.” kata Deva mengeluarkan beberapa baju untuk teman-temannya. Setelah itu, baru mengeluarkan bola basket hitam yang sangat bagus.
“Widih, ada angin apa lo beliin gue bola basket?” kata Cakka dengan mata yang berbinar-binar melihat bola basket tersebut. “Ada tanda tangannya lagi!”
Deva tersenyum. “Kemarin kan ada pertandingan Kka, di sana, jadi sekalian aja gue minta. Bodo amat kalau lo nggak kenal pemainnya. Hitung-hitung kapan lagi sih bisa nyenengin lo?”
“Wah!” kata Cakka senang. Ia menoleh ke arah Rio. “Yo, tunggu pembalasan gue! Besok gue hajar lo di lapangan, oke!”
“Siapa takut?” respon Rio sambil tertawa.
“Wah, pembalasan apa nih?” tanya Deva ingin tahu.
“Biasa lah, Va, nggak terima dia dikalahin sama gue di basket,” kata Rio. “Kemarin gue menang 10-5, Va. Besok ikut aja ke rumah gue, kita lagi latihan serius!”
"Wah, kayaknya banyak berita yang gue lewatin nih selama gue di Surabaya," kata Deva. “Kayaknya sebelum gue pergi lo pada masih musuhan. Cakka juga, kayaknya udah baikan sama Gabriel ya? Ada apa?”
“Oh ya, salah paham kita udah selesai, Va. Gue juga nggak tahu kenapa ini bocah tiba-tiba bisa minta maaf sama gue. Padahal waktu itu gue malah mikir nggak bakal dimaafin sama Cakka,” kata Rio sambil tersenyum. “Kita harus makasih sama Ray banget nih.”
“Itu pasti, Yo.” Deva mengacungkan jempol.
Cakka mengerutkan dahinya heran. “Ray? Apa hubungannya?”
“Apaan sih, Kka, kepo deh!” kata Rio sambil tertawa.
Cakka mendengus kesal mendengar ucapan Rio. “Awas lo ya, gue hajar 30-0 besok! Asli nyebelin banget lo jadi orang.”
“Yeee... biarin!” kata Rio mencibir. “Lagian nanti kalau Gabriel udah beneran jadi anggota tim inti, pasti dia lebih jago daripada lo!”
“Wah, Gabriel mau masuk tim inti juga bareng Cakka sama Rio?” tanya Deva.
“Kita kan bisa usul ke Pak Jo, Va. Beliau pasti setuju, kan Gabriel berbakat juga dalam basket,” kata Rio semangat. “Makanya kita sering latihan bareng, mumpung sekolah libur.”
Deva manggut-manggut mengerti. “Bagus deh kalau begitu.”
Rio langsung memeluk erat temannya tersebut begitu ia melihat Deva di balik pintu rumahnya. Cakka dan Gabriel sampai terdiam melihat tingkah Rio tersebut. Apalagi Cakka, dia bergidik ngeri melihat Rio. Perasaan Deva baru pergi seminggu, tapi Rio bertingkah seolah-olah mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun.
Deva sendiri pasrah saja dipeluk Rio. Ia hanya tersenyum dan membalas pelukan temannya itu. Paling tidak ia harus menghargai, sudah lama juga ia tidak merecoki teman-temannya ini jika mereka sedang bertengkar.
“Ehem...,” Cakka berdehem keras. “Udah kali kangen-kangenannya.”
Deva tertawa. Ia langsung menoleh ke arah Cakka dan Gabriel begitu Rio melepas pelukannya. “Apa kabar lo berdua? Liburannya seru kan?”
Cakka mengangkat bahunya, mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja seperti yang ia lihat sekarang.
Gabriel tersenyum. “Gue baik, Va.”
“Bagus dong, Yel, gue bawa oleh-oleh loh buat lo,” kata Deva sambil tersenyum balik. Ia langsung merangkul sebelah pundak Gabriel. “Yuk, ke dalem. Gue masih beres-beres nih, sekalian gue kasih lihat apa yang gue dapet dari Surabaya.”
“Jalan-jalan tetep aja inget kita ya, Va.” kata Rio.
“Oh iya dong, harus itu. Kita kan udah lama temenan, jadi lo semua harus dapet hadiah persahabatan. Kata nyokap bokap gue, biar awet persahabatan kita sampai tua nanti.” kata Deva.
“Amin!” seru Rio, Deva, Gabriel dan Cakka kompak.
Sesampainya mereka di ruang keluarga, Deva langsung mengobrak-abrik tas besarnya. Rio langsung menghampiri adik-adik Deva yang sedang berkumpul di sana, sedangkan Cakka dan Gabriel langsung duduk di sofa.
“Halo, Devi, Diva, Dava!” sapa Rio riang. Ia langsung memangku Diva dan bermain dengan Dava sambil menunggu Deva. “Duh, yang habis jalan-jalan pasti seru deh.”
Devi tersenyum. “Hai, Kak Rio. Baru juga kita pulang, udah dateng aja.”
“Iya dong, kan udah lama nggak ketemu kalian,” kata Rio sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung menoleh ke arah Diva. “Diva apa kabarnya nih? Seneng nggak habis jalan-jalan, hm?”
“Seneng dong, Kak,” kata Diva dengan suara lucunya. “Diva bantuin Kak Devi jagain adik-adik di sana.”
“Wah, Diva pinter deh!” kata Rio senang.
Devi tertawa kecil melihat teman kakaknya tersebut. “Ah, Devi ambilin minum dulu ya, Kak. Diva, kamu jangan nakal sama Kak Rio, bantuin Kak Devi jagain Dava ya.” kata Devi sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Iya, Kak.” kata Diva menurut.
“Nah, gue bawa baju nih buat kalian, ada bola basket juga nih buat Cakka.” kata Deva mengeluarkan beberapa baju untuk teman-temannya. Setelah itu, baru mengeluarkan bola basket hitam yang sangat bagus.
“Widih, ada angin apa lo beliin gue bola basket?” kata Cakka dengan mata yang berbinar-binar melihat bola basket tersebut. “Ada tanda tangannya lagi!”
Deva tersenyum. “Kemarin kan ada pertandingan Kka, di sana, jadi sekalian aja gue minta. Bodo amat kalau lo nggak kenal pemainnya. Hitung-hitung kapan lagi sih bisa nyenengin lo?”
“Wah!” kata Cakka senang. Ia menoleh ke arah Rio. “Yo, tunggu pembalasan gue! Besok gue hajar lo di lapangan, oke!”
“Siapa takut?” respon Rio sambil tertawa.
“Wah, pembalasan apa nih?” tanya Deva ingin tahu.
“Biasa lah, Va, nggak terima dia dikalahin sama gue di basket,” kata Rio. “Kemarin gue menang 10-5, Va. Besok ikut aja ke rumah gue, kita lagi latihan serius!”
"Wah, kayaknya banyak berita yang gue lewatin nih selama gue di Surabaya," kata Deva. “Kayaknya sebelum gue pergi lo pada masih musuhan. Cakka juga, kayaknya udah baikan sama Gabriel ya? Ada apa?”
“Oh ya, salah paham kita udah selesai, Va. Gue juga nggak tahu kenapa ini bocah tiba-tiba bisa minta maaf sama gue. Padahal waktu itu gue malah mikir nggak bakal dimaafin sama Cakka,” kata Rio sambil tersenyum. “Kita harus makasih sama Ray banget nih.”
“Itu pasti, Yo.” Deva mengacungkan jempol.
Cakka mengerutkan dahinya heran. “Ray? Apa hubungannya?”
“Apaan sih, Kka, kepo deh!” kata Rio sambil tertawa.
Cakka mendengus kesal mendengar ucapan Rio. “Awas lo ya, gue hajar 30-0 besok! Asli nyebelin banget lo jadi orang.”
“Yeee... biarin!” kata Rio mencibir. “Lagian nanti kalau Gabriel udah beneran jadi anggota tim inti, pasti dia lebih jago daripada lo!”
“Wah, Gabriel mau masuk tim inti juga bareng Cakka sama Rio?” tanya Deva.
“Kita kan bisa usul ke Pak Jo, Va. Beliau pasti setuju, kan Gabriel berbakat juga dalam basket,” kata Rio semangat. “Makanya kita sering latihan bareng, mumpung sekolah libur.”
Deva manggut-manggut mengerti. “Bagus deh kalau begitu.”
☺ ☹ ☺
Semester genap sudah tiba. Pagi itu, Rio dan Gabriel bertemu dengan Ray dan Acha di gerbang sekolah. Karena Cakka dan Deva belum kelihatan, akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan bersama mereka sambil mengobrol.
“Ray, gue makasih banget sama lo! Gue nggak tahu apa jadinya persahabatan gue kalau bukan karena lo,” kata Rio sambil tersenyum. “Lo juga, Cha. Makasih ya.”
Ray tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Rio pelan. “Ah, lo nggak usah kayak begitu. Bukannya dari awal gue udah bilang? Udah jadi tugas gue dan Acha membantu orang-orang yang membutuhkan.”
“Iya, Kak Ray bener, Yo. Gue juga karena kebetulan aja lewat makanya bisa rekam waktu Anka sama Cakka ngomongin soal tawaran itu.” kata Acha mengiyakan ucapan kakaknya.
Namun, Rio menggeleng. “Nggak, gue bener-bener harus makasih sama lo. Setidaknya, lo udah mengurangi masalah yang ada di hidup gue. Gue bisa baikan sama Cakka, dia juga udah memutuskan untuk menerima Gabriel.”
“Oh ya?” kata Acha senang. “Wah, Gabriel pasti senang ya.”
Gabriel tersenyum tipis menanggapi ucapan Acha.
“Ya udah, pokoknya apapun yang lo lakukan di dalam hidup lo nanti, jangan sampai putus asa. Apalagi sampai nyalahin Tuhan. Hidup itu harus dijalanin dengan ceria. Kalau ada masalah lagi, lo bisa dateng ke gue,” kata Ray ramah. “Gue sama Acha duluan ya?”
Rio mengangguk. “Makasih ya sekali lagi.”
“Udah, tenang aja!” kata Ray tertawa. “Yuk, Cha.”
Ray dan Acha langsung pergi meninggalkan Rio dan Gabriel yang hanya tersenyum melihat kepergian mereka. Setelah kedua temannya tersebut hilang di kerumunan siswa, Rio juga mengajak Gabriel untuk masuk kelas.
Mereka tak sadar dari tadi ada seseorang yang melihat mereka dengan tangan yang terkepal keras. Ia benci melihat canda tawa yang keluar dari para laki-laki itu. Dia bahkan baru tahu kalau rencananya berantakan. Emosinya sudah memuncak!
“Ray, gue makasih banget sama lo! Gue nggak tahu apa jadinya persahabatan gue kalau bukan karena lo,” kata Rio sambil tersenyum. “Lo juga, Cha. Makasih ya.”
Ray tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Rio pelan. “Ah, lo nggak usah kayak begitu. Bukannya dari awal gue udah bilang? Udah jadi tugas gue dan Acha membantu orang-orang yang membutuhkan.”
“Iya, Kak Ray bener, Yo. Gue juga karena kebetulan aja lewat makanya bisa rekam waktu Anka sama Cakka ngomongin soal tawaran itu.” kata Acha mengiyakan ucapan kakaknya.
Namun, Rio menggeleng. “Nggak, gue bener-bener harus makasih sama lo. Setidaknya, lo udah mengurangi masalah yang ada di hidup gue. Gue bisa baikan sama Cakka, dia juga udah memutuskan untuk menerima Gabriel.”
“Oh ya?” kata Acha senang. “Wah, Gabriel pasti senang ya.”
Gabriel tersenyum tipis menanggapi ucapan Acha.
“Ya udah, pokoknya apapun yang lo lakukan di dalam hidup lo nanti, jangan sampai putus asa. Apalagi sampai nyalahin Tuhan. Hidup itu harus dijalanin dengan ceria. Kalau ada masalah lagi, lo bisa dateng ke gue,” kata Ray ramah. “Gue sama Acha duluan ya?”
Rio mengangguk. “Makasih ya sekali lagi.”
“Udah, tenang aja!” kata Ray tertawa. “Yuk, Cha.”
Ray dan Acha langsung pergi meninggalkan Rio dan Gabriel yang hanya tersenyum melihat kepergian mereka. Setelah kedua temannya tersebut hilang di kerumunan siswa, Rio juga mengajak Gabriel untuk masuk kelas.
Mereka tak sadar dari tadi ada seseorang yang melihat mereka dengan tangan yang terkepal keras. Ia benci melihat canda tawa yang keluar dari para laki-laki itu. Dia bahkan baru tahu kalau rencananya berantakan. Emosinya sudah memuncak!
☺ ☹ ☺
“Lo itu sok pahlawan banget ya!”
Acha hanya tertawa kecil mendengar ucapan gadis yang sekarang sedang membelakanginya. Ia benar-benar tak habis pikir, gadis itu tidak jera-jera juga menariknya ke belakang sekolah hanya untuk mengomel-ngomel sendiri. Padahal, punya urusan saja tidak.
“Gue nggak punya alasan untuk jadi sok pahlawan.” kata Acha dengan tenang.
“Oh ya?” Gadis itu menaruh kedua tangannya di pinggang, kemudian membalikkan badannya. “Kalau begitu, lo nyari masalah sama gue.”
“Masalah?” tanya Acha sambil tersenyum. “Mungkin lebih tepatnya lo yang lebih dulu nyari masalah. Gue hanya menjalankan tugas.”
Gadis itu melotot. “Jadi tugas lo itu ngerecokin orang?”
Acha hanya tersenyum. “Priyanka Astellene, lo memang nggak bisa ya melihat orang secara positif.”
“Heh!” Anka langsung meledak. Ia mendorong sebelah bahu Acha keras. “Gue nggak pernah ya cari masalah sama lo. Lo sendiri yang berani-beraninya menghancurkan rencana gue! Jangan harap gue bisa lihat lo secara positif!”
“Gue nggak ngerti apa yang lo bicarain.” kata Acha tenang.
Tangan Anka mengepal keras. “Hah! Lo nggak usah sok innocent deh! Nggak mengakui kesalahan sendiri. Loser! Lo kan yang merekam pembicaraan gue dengan Cakka waktu itu?! Lo yang ngebocorin ke mereka, kan?! LICIK!”
“Gue hanya memberitahu apa yang seharusnya mereka tahu,” kata Acha. “Kalau pada akhirnya mereka berbaikan, bukan salah gue, kan?”
“Jelas salah lo! Lo yang udah membuat mereka baikan!” kata Anka kesal.
“Seperti yang gue katakan tadi, gue hanya menjalankan tugas gue. Jadi, kalau lo merasa dirugikan, kenapa lo nggak melihat diri lo sendiri dulu?” tanya Acha. “Lo nggak amnesia kan sama apa yang gue bilang dulu?”
Anka mengerutkan dahinya.
“Inget, karma selalu berlaku buat orang semacam lo, Kak Priyanka Astellene. Kalau boleh saya permisi, saya pergi dulu. Saya laper.” kata Acha seramah mungkin. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan Anka di tempat tersebut sendirian.
Sementara Anka menendang barang terdekat yang bisa ia tendang dengan kesal. “ARGH!! Awas lo ya. Mulai hari ini lo nggak akan selamat di tangan gue!”
Acha hanya tertawa kecil mendengar ucapan gadis yang sekarang sedang membelakanginya. Ia benar-benar tak habis pikir, gadis itu tidak jera-jera juga menariknya ke belakang sekolah hanya untuk mengomel-ngomel sendiri. Padahal, punya urusan saja tidak.
“Gue nggak punya alasan untuk jadi sok pahlawan.” kata Acha dengan tenang.
“Oh ya?” Gadis itu menaruh kedua tangannya di pinggang, kemudian membalikkan badannya. “Kalau begitu, lo nyari masalah sama gue.”
“Masalah?” tanya Acha sambil tersenyum. “Mungkin lebih tepatnya lo yang lebih dulu nyari masalah. Gue hanya menjalankan tugas.”
Gadis itu melotot. “Jadi tugas lo itu ngerecokin orang?”
Acha hanya tersenyum. “Priyanka Astellene, lo memang nggak bisa ya melihat orang secara positif.”
“Heh!” Anka langsung meledak. Ia mendorong sebelah bahu Acha keras. “Gue nggak pernah ya cari masalah sama lo. Lo sendiri yang berani-beraninya menghancurkan rencana gue! Jangan harap gue bisa lihat lo secara positif!”
“Gue nggak ngerti apa yang lo bicarain.” kata Acha tenang.
Tangan Anka mengepal keras. “Hah! Lo nggak usah sok innocent deh! Nggak mengakui kesalahan sendiri. Loser! Lo kan yang merekam pembicaraan gue dengan Cakka waktu itu?! Lo yang ngebocorin ke mereka, kan?! LICIK!”
“Gue hanya memberitahu apa yang seharusnya mereka tahu,” kata Acha. “Kalau pada akhirnya mereka berbaikan, bukan salah gue, kan?”
“Jelas salah lo! Lo yang udah membuat mereka baikan!” kata Anka kesal.
“Seperti yang gue katakan tadi, gue hanya menjalankan tugas gue. Jadi, kalau lo merasa dirugikan, kenapa lo nggak melihat diri lo sendiri dulu?” tanya Acha. “Lo nggak amnesia kan sama apa yang gue bilang dulu?”
Anka mengerutkan dahinya.
“Inget, karma selalu berlaku buat orang semacam lo, Kak Priyanka Astellene. Kalau boleh saya permisi, saya pergi dulu. Saya laper.” kata Acha seramah mungkin. Kemudian, dia langsung pergi meninggalkan Anka di tempat tersebut sendirian.
Sementara Anka menendang barang terdekat yang bisa ia tendang dengan kesal. “ARGH!! Awas lo ya. Mulai hari ini lo nggak akan selamat di tangan gue!”
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p