—Walau
hati ini t'rus menangis, menahan kesakitan ini
Tapi
ku lakukan semua demi cinta—
KRIINGGG!!
Seperti biasanya, kalau bel
pulang sekolah sudah berbunyi, para siswa siswi pasti langsung berhamburan
keluar kelas supaya bisa cepat sampai ke rumah. Tak perlu repot-repot
membereskan buku lagi, karena jauh sebelum jam pulang, mereka sudah membereskan
semuanya. Memang tipikal murid malas semua penghuni 10-IPA1 ini.
Bahkan
guru-guru sudah hafal dengan kebiasaan mereka yang satu ini.
Berbeda dengan yang lainnya,
Rio, Deva, Cakka dan Gabriel justru tenang-tenang saja membereskan
barang-barang mereka yang masih berantakan di atas meja. Selain karena mereka
bukan pelajar malas, mereka berempat juga harus ekskul sampai sore hari ini.
“Va, lo hari ini ekskul musik,
kan?” tanya Rio sambil membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Ia heran
melihat meja Deva yang penuh karena tumpukan buku ensiklopedia yang
tebal-tebal.
Deva mengangguk. “Kenapa, Yo?”
“Terus itu buku ensikopedia
segitu banyak mau lo bawa ke ekskul?”
Deva nyengir. “Nggak lah, itu
kan udah selesai gue baca semuanya. Gue mau balikin dulu ke perpus. Nggak kuat
gue ngangkat beginian kemana-mana.”
“Ya siapa tahu aja, Va,” kata
Rio sambil tertawa. “Lagian biasanya kalau lo udah balikin biasanya juga mau
minjem lagi, kan? Kalau buku di sana belum habis lo lahap, mana berhenti lo
minjem.”
“Tahu, kayak nggak ada kerjaan
lain aja si Deva tuh.” celetuk Cakka.
Deva nyengir. “Namanya juga
hobi, Kka, Yo. Sama kayak lo berdua yang suka banget sama basket.”
“Gue nggak bawa bola
kemana-mana tuh!” kata Cakka menjelajah ke kolong mejanya untuk mengambil
bukunya yang jatuh. Namun, saat ia mau keluar dari sana, kepalanya justru
terkena sial. “ADUH!”
Seketika Rio, Gabriel dan Deva
tertawa melihat kepala Cakka menghantam laci meja dengan keras. Cakka langsung
melotot ke arah mereka dengan tajam begitu ia berhasil keluar dari kolong meja.
“Puas banget ya ngetawain
gue!” kata Cakka sebal.
“Lagian lo bisa banget kejedot
begitu. Kalau emosi, jangan dilampiasin ke meja lo dong. Kasihan kali, meja lo
nggak tahu apa-apa!” kata Rio masih saja tertawa.
“Lo pikir ini kemauan gue apa?
Lagian yang ngajak ngobrol siapa, jadinya gue nggak konsen kan?”
“Lah, tadi kan gue sama Deva
yang ngobrol. Lo yang duluan nyeletuk begitu kok!” kata Rio. Ia langsung
melemparkan handuknya ke arah Cakka. “Tuh pake, tinggal dibasahin aja terus
kompres kepala lo.”
“Nggak ah, nggak butuh! Udah
yuk, ke lapangan!” kata Cakka melempar kembali handuk Rio. Ia langsung pergi
meninggalkan kelas. Teman-temannya hanya bisa menggelengkan kepala mereka.
“Va, entar kalau lo pulang telat,
barengan yuk,” kata Rio menoleh ke arah Deva. “Selama ini kita ekskul di hari
yang sama tapi nggak pernah pulang bareng. Kayak musuhan banget jadinya.”
Deva tertawa. “Itu kan
gara-gara ekskul musik biasanya lebih cepat selesai daripada basket, Yo. Tapi,
lihat aja nanti. Kalau ada lomba kan biasanya sampai jam setengah empat juga.”
“Ya udah, sampai ketemu nanti
ya. Doain kita bisa berhasil masukin Gabriel ke tim inti.” kata Rio ikut
tertawa. Tangannya merangkul Gabriel yang ada di sebelahnya.
Deva menggantungkan tasnya di
pundak, kemudian mengacungkan jempol. “Pasti kok. Ya udah, gue duluan ya.”
“Oke.”
Mereka langsung keluar kelas
dan berpisah arah. Rio dan Gabriel pergi menuju lapangan, sementara Deva
langsung ke perpustakaan dan ruang musik. Untuk sementara waktu, mereka
berpisah dulu.
J L J
Ekskul pertama di semester
genap ini membawa sesuatu yang mengejutkan bagi semua anak-anak basket. Mereka
tak lagi melihat Gabriel yang pendiam dan malas latihan. Ia justru tampak
semangat dan serius dalam mengikuti semua kegiatan ekskul basket. Anak-anak
yang tadinya menganggap Gabriel itu tidak pantas masuk ekskul basket, sekarang
justru berbalik menerimanya dengan baik. Walaupun dia tetap tidak banyak
bicara, paling tidak dia sudah bisa diajak berteman. Ada beberapa anak yang
tampak menghampirinya di pinggir lapangan ketika jam istirahat, seperti Obiet,
Via, Gita dan Rizky.
“Ternyata lo nggak seburuk
yang gue kira,” kata Rizky sambil duduk di sebelah Gabriel dan menepuk
pundaknya. “Dulu gue pikir lo itu sombong, nggak cocok di basket, ternyata gue
salah menilai lo, bro.”
“Iya, malahan tadinya gue
pikir lo satu tipe sama Anka. Sukanya mentingin diri sendiri doang, karena lo
kayak nggak niat begitu kalau ekskul. Begini dong dari awal, semangat!” kata
Via sambil tersenyum. Dia salah satu yang jago basket juga di ekskul.
“Eh, kapan-kapan latihan
bareng yuk? Kayaknya gue mesti banyak belajar dari lo. Jago banget deh kayak
Rio.” kata Gita semangat.
“Iya, pantes aja Rio jago
begitu, ternyata kakaknya nggak kalah ngeri,” kata Obiet sambil tertawa. Dia
adalah salah satu anggota tim inti selain Cakka, Alvin, Rio dan Rizky. “Lo sama
kayak Rio ya? Udah main basket sejak kecil, makanya bisa jago begitu?”
Gabriel hanya tersenyum tipis
mendengar ucapan mereka. “Kan adik gue.”
“Iya, gue tahu, tapi siapa
tahu lo lebih lama lagi main basketnya daripada Rio.” kata Obiet nyengir.
“Gue sama dia kan kembar,
Biet, dari kecil ngelakuin apa aja pasti bareng-bareng,” Rio tiba-tiba
menghampiri mereka sambil membawa botol minum. “Nih, Yel. Istirahat bukannya
minum, malah ngelamun.”
Gabriel tersenyum, kemudian
menerima botol tersebut dari Rio.
“Kembar yang kompak banget
dong,” kata Obiet. “Sayang tahu kalau dia nggak masuk tim inti, Yo. Gue rasa
Gabriel udah sejago Cakka dan Alvin juga.”
“Apa? Gabriel? Masuk tim
inti?” tiba-tiba Anka datang dengan gaya soknya. “Hello! Lo pada nggak salah
apa? Masa laki-laki lemah begini dimasukin ke tim inti? Dia tuh low level basketball player tau nggak?
Baru juga sekali dia pamer.”
“Yeee... urusan lo apa kalau
Gabriel beneran mau masuk tim inti?” tanya Rio sebal menatap Anka. “Belum puas
juga lo gangguin temen-temen gue, hah? Pakai ngatain kakak gue lagi! Lo tuh
yang low level! Nggak ada sikap sama
sekali.”
Anka melotot. “Ada hak apa lo
nge-judge gue kayak begitu?”
“Lo juga ada hak apa nge-judge Gabriel?!” kata Rio tak kalah sebal.
“Kalau lo nggak lebih baik daripada Gabriel, ya udah diem aja! Ngapain sih
gangguin kita? Nggak bisa ya berusaha sendiri?!”
Anka mendengus kesal.
Tangannya sudah mengepal keras mendengar ucapan Rio. Ia langsung menoleh ke
arah Gabriel. “Heh! Lo! Nggak usah sok jago ya jadi orang! Kalau lo memang
hebat, berani nggak lo lawan gue? Satu lawan satu! Nanti sore!”
“Lo pikir Gabriel kurang
kerjaan harus ngeladenin lo?!” kata Rio.
“Yang ngomong sama lo siapa?!”
“Udah, udah! Kalian kok malah
pada berantem?” tanya Obiet menengahi. Ia menoleh ke arah Anka. “Anka, lo tuh
harusnya lihat diri lo sendiri. Kalau lo mau dianggep hebat, lo buktiin dong
dengan kemampuan dan sikap lo. Justru dengan lo ngerendahin Gabriel begini, lo
nunjukkin kalau sebenarnya lo takut dengan kehadiran Gabriel.”
“Me? Afraid? Nggak akan!” kata Anka. Ia menatap tajam ke arah
Gabriel. “Pokoknya nanti gue tunggu di lapangan komplek nanti sore. Kalau lo
nggak dateng, itu berarti lo PE-NGE-CUT!”
Setelah berkata begitu, Anka
langsung pergi meninggalkan Rio dan teman-temannya. Untung saja dia cepat-cepat
kabur. Kalau tidak, Rio bisa benar-benar meledak dengan sikap Anka kepada
kakaknya.
“Udahlah, Yo, nggak usah
diladenin orang kayak begitu.” kata Gita menenangkan.
“Iya, Gabriel pantes kok masuk
tim inti. Dia aja yang nggak mau bersaing.” kata Via ikut mendukung Gabriel.
“Gue juga berpikir kalau
Gabriel harusnya bisa masuk tim inti. Bukan karena dia jago, tapi gue yakin dia
bisa bekerja sama di dalam tim. Bagaimanapun kan tim itu yang penting kompak, bukan
jago,” kata Rio. “Gue cuma bisa berharap nanti Pak Jo setuju dengan hal ini.”
“Mesti tunggu pertandingan
sih, jadi lo bisa ajak Gabriel ikut juga, lagian Alvin kan udah mau lulus.”
kata Obiet.
“Oh iya, dia kelas tiga ya. Ya
udah, gue punya alasan kalau begitu.”
“Eh, Biet, gue gerah nih di
pinggir terus, latihan di lapangan yuk! Ngapain kek begitu, yang penting
gerak.” kata Rizky tiba-tiba.
“Gaya lo, Ky. Ya udah sana
latihan!” Rio mengibaskan tangannya seperti mengusir orang. Padahal, maksudnya
bercanda saja dengan teman satu ekskulnya itu.
“Jahat lo, Yo! Ayo, Biet!”
Rizky langsung menarik Obiet menyingkir dari sana.
“Gue sama Via juga mau
istirahat dulu deh. Pegel-pegel badan gue.” Gita dan Via akhirnya juga pamit,
meninggalkan Rio dan Gabriel saja di sana.
Suasana kembali hening.
Gabriel tampak sibuk sendiri dengan pikirannya. Ia sudah tahu kejadian seperti
tadi pasti terjadi lagi. Sesemangat apapun ia ingin masuk tim inti, pasti ada
saja yang menentang dan membuat semuanya kembali bertengkar. Bukan ini yang
Gabriel inginkan. Ia ingin semuanya bahagia. Bukan seperti ini.
Rio yang menyadari wajah
Gabriel kembali sendu, hanya bisa menghela nafasnya. Kakaknya pasti terlempar
lagi ke masa lalu. Setiap kali ada yang mengejeknya seperti itu, Gabriel pasti
teringat kelakuan Kiki, Olin dan Abner dulu.
Sebenarnya, bukan salah
Gabriel semuanya menjadi begini. Tapi, salah mereka yang memandang Gabriel
sebelah mata. Seharusnya mereka mengenal Gabriel lebih dalam dulu. Kenali
seperti apa Gabriel itu sebenarnya baru bisa menilai baik buruknya dia.
“Lo nggak usah mikirin apa
kata Anka, Yel.” Rio akhirnya bersuara.
“Bukankah gue memang
pengecut?” tanya Gabriel, sukses membuat Rio bungkam. “Selama ini gue bahkan
nggak bisa bangkit dari masa lalu gue sendiri. Itu bukan pengecut namanya?”
“Tapi lihat anak-anak yang
lain, Yel. Mereka nggak menganggap lo pengecut,” kata Rio. “Yang nggak suka
sama lo di sini cuma Anka doang, tapi yang sayang sama lo banyak.”
“Apa mereka tetap sayang sama
gue kalau gue nggak bersikap serius kayak hari ini?” tanya Gabriel lagi.
“Kemana aja mereka semester pertama kemarin? Di saat gue butuh pertolongan,
mereka nggak ada. Tapi begitu gue begini, mereka baru mau dateng. Jangan-jangan
kalau gue kembali tertutup kayak kemarin, mereka menjauh lagi dari gue.”
“Yel, bukannya gue udah bilang
sama lo? Mereka cuma baru tahu kalau lo itu sebenarnya baik,” kata Rio. “Lo
jangan keburu negative thinking ke
mereka dong. Mereka maksudnya baik kok. Bukan apa-apa.”
Gabriel diam.
Rio menghela nafas. “Coba
belajar terima orang lain masuk ke hati lo, Yel. Nggak selamanya lo bisa
bersandar sama gue.”
Gabriel menoleh. “Jadi lo akan
ninggalin gue juga?”
“Duh, bukan begitu, Yel. Gue
pasti akan ada di samping lo selama yang gue bisa. Tapi, gue nggak mungkin
nungguin lo dua puluh empat jam kayak bodyguard,
kan? Lo harus punya banyak teman. Nggak cuma gue doang,” kata Rio sambil
tersenyum. “Percayalah, punya banyak temen bisa bikin hidup lo bahagia.”
“Buat apa gue punya yang
butuhnya cuma pas seneng doang?” tanya Gabriel.
“Apa menurut lo semua orang
kayak begitu, Yel?” tiba-tiba Cakka datang dengan kedua tangan di pinggang. Ia
menatap Gabriel dengan tatapan tanpa ekpresi.
Gabriel diam saja
mendengarnya.
“Kalau lo berpikir semua orang
cuma datang baik-baik saat seneng doang, kenapa lo nggak bergaul aja tuh sama
benda-benda mati di rumah? Kenapa harus pakai sekolah segala? Ngapain juga
bergaul sama gue, Rio sama Deva?” tanya Cakka cuek.
“Kka, kok lo ngomong begitu
sih?” protes Rio.
“Memangnya gue salah, Yo?”
tanya Cakka. “Dia bilang semua orang sama aja. Secara nggak langsung dia
menganggap kita juga dateng ke dia pas seneng doang.”
“Ya tapi kan—“
“Sekarang gue tanya ya sama
lo, Yel, terlepas dari masalah kita dulu, apa gue pernah ninggalin lo?” tanya
Cakka sambil menatap Gabriel garang. “Apa Deva pernah nggak peduli sama lo? Apa
Rio pernah ninggalin lo?”
Gabriel menggelengkan
kepalanya.
“Mereka menerima lo dari awal,
kan?” Cakka menatap Gabriel sendu. Sebelum Gabriel menjawab, Cakka buru-buru
menambahkan. “Dan selama ini lo nganggep kita dateng cuma pas butuh doang? Otak
lo dimana, hah?!”
Gabriel memejamkan matanya,
ngeri dengan suara Cakka. Walaupun ia tahu, sebenarnya Cakka benar. Selama ini
Gabriel justru sudah mulai nyaman dengan mereka, tapi kenapa hari ini dia harus
berbicara sembarangan?
Rio tersenyum. Kemudian, ia
merangkul Gabriel. “Yel, lo lihat sendiri kan sekarang? Cakka yang selama ini
lo takutin aja bisa ngomong begitu. Belum lagi ada empat orang temen gue tadi,”
kata Rio tetap berusaha menjelaskan. “Jadi lo nggak ada alasan buat mikirin
orang-orang nggak penting kayak Anka dan temen-temen lo dulu.”
Gabriel menatap Rio diam.
Rio hanya menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum. “Gue nggak mau ya, gara-gara Anka tadi, lo jadi
lemes lagi latihan basket.”
Gabriel tersenyum, ia
menggelengkan kepalanya. “Gue nggak separah itu, Yo.”
Rio tersenyum. “Ya udah, ayo
latihan lagi!”
“Awas ya lo, ngomong
sembarangan lagi! Gue sumpel juga itu mulut!” kata Cakka kesal, membuat Gabriel
kembali ketakutan.
“Lo kali yang ngomong
sembarangan, Kka! Gabriel jadi takut lagi kan?” kata Rio langsung menjitak
Cakka. “Udah, biarin aja, Yel, dia maksudnya baik kok. Tenang aja.”
Rio, Gabriel dan Cakka kembali
bergabung dengan anak-anak basket lainnya yang sudah mulai berkumpul di
lapangan. Mereka kembali melanjutkan latihan mereka dengan semangat.
Bukan hanya anak-anak basket
yang kaget. Bahkan Pak Jo juga kaget dengan perubahan Gabriel hari ini. Beliau
tampak kagum dengan kemampuan Gabriel yang sebenarnya. Semoga saja dengan hal
itu, beliau juga dapat menerima Gabriel. Tak seperti waktu awal masuk ekskul
basket dulu.
J L J
“Wah, lomba band dari sebuah
majalah ya?” tanya Deva sambil melihat brosur yang diberikan oleh
teman-temannya. “Oke, kalau begitu kita harus latihan lebih giat ya! Berarti
ekskul hari ini harus sampai jam setengah empat, karena kita harus cepat pilih
lagu, latihan dan pendaftaran.”
“Oke, Kak!” seru anak-anak
ekskul musik.
“Tapi, nanti Kak Deva juga
tampil, kan?”
“Harus dong, kakak juga akan
tampil sama temen-temen kakak,” jawab Deva semangat. “Tapi, kalian harus
semangat ya! Kalau nggak, Kak Deva nggak mau tampil nih.”
“Yah, jangan dong, Kak! Kita
pasti semangat!”
Deva tersenyum. Ia memang
menjabat sebagai ketua di ekskul musik. Kegemarannya bermusik tersalurkan di
ekskul sejak kecil hingga pada akhirnya tahun ini ia ditunjuk sebagai ketua
ekskul yang baru untuk membimbing adik-adik kelas SMPnya. Dengan ditemani oleh
beberapa orang juga dari kelas sepuluh, Deva mengajarkan berbagai hal kepada
mereka. Sembari mengajar, Deva juga kadang-kadang berbagi pengalaman agar
mereka bisa menganggapnya sebagai teman. Bagaimanapun juga, Deva kalau dibilang
pengajar juga bukan.
“Keke, Ian, Agni, Dayat. Lo
semua siap bantu gue, kan?” Deva menoleh ke arah teman-teman bandnya. “Kita
tampil bareng seperti biasa. Untuk lagu biar kita rundingin nanti.”
“Siap, Va!” Keempat temannya
tersebut langsung mengacungkan jempol.
“Oke, ayo kita latihan!”
J L J
Langit sudah mulai gelap
ketika Rio baru saja selesai mandi. Ia dan Gabriel baru saja pulang dari ekskul
mereka. Latihan intensif mereka kali ini membuat badan Rio terasa lengket,
sehingga ia langsung buru-buru keramas di rumah. Sementara Gabriel hanya
tiduran di tempat tidurnya, membiarkan bau keringat meresap ke udara kamar.
“Yel, lo nggak mandi? Bau
tahu!” kata Rio sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecilnya. Badannya
sudah tertutupi oleh baju piyama bergambar kartun.
Gabriel menoleh ke arah
adiknya sejenak, kemudian langsung duduk di tempat tidurnya. “Gue bingung, Yo.
Apa gue harus datengin Anka ke lapangan? Kayaknya dia serius nantangin gue.”
“Soal itu ngapain lo pusingin?
Biarin aja dia mau berbuat sesukanya, gue sih nggak kemakan sama omong
kosongnya!” kata Rio. Ia menaruh handuknya di meja dan segera menyisir
rambutnya pelan-pelan.
“Tapi, bisa babak belur gue
besok kalau gue nggak dateng,” kata Gabriel. “Selemah-lemahnya gue, gue tetep
laki-laki. Pantang banget dibilang pengecut.”
“Bukannya lo memang pengecut?”
tanya Rio sambil tersenyum.
Gabriel melotot ke arah Rio.
Ia langsung menjitak adiknya dari samping. “Yo, gue serius! Kok malah ngebahas
lagi sih soal yang tadi?”
Rio tertawa. “Lagian lo jadi
orang suka banget sih bimbang. Sebenernya sih itu terserah lo. Lo merasa perlu
nggak nyamperin dia? Kalau gue sih males banget. Gue dateng juga nggak bakal
bikin dia jadi baik lagi.”
“Begitu ya?” tanya Gabriel.
“Iya lah,” kata Rio. Ia
menyimpan sisirnya di laci meja dan menepuk pundak Gabriel. “Udah, lo mandi
dulu aja sana. Kalau mau pergi nanti tinggal pergi aja.”
“Ya udah kalau lo bilang
begitu, gue nggak usah nyamperin.” kata Gabriel langsung bersiap-siap untuk
mandi.
“Loh, lo jangan ngikutin gue
doang. Kalau lo merasa perlu ya gue nggak apa-apa. Gue kan cuma kasih saran
buat lo.” kata Rio heran dengan kakaknya yang satu ini.
“Dan gue selalu yakin gue
punya adik yang paling hebat di dunia. Jadi, apapun yang lo saranin pasti
selalu yang terbaik buat gue, Mario Astroken!” kata Gabriel sebelum ia masuk ke
dalam kamar mandi.
“Nggak punya pendirian lo ah,
Yel!” teriak Rio, maksudnya bercanda. Tapi, tak ada sahutan dari dalam sana.
Hanya terdengar suara air shower yang
deras.
Rio hanya menggelengkan
kepalanya. Kemudian, ia langsung beristirahat di tempat tidurnya sambil
menunggu kakaknya selesai mandi. Dasar Gabriel, dia selalu memiliki alasan
untuk mengelak apapun. Untung ia lahir sebagai kakaknya sehingga Rio akan
selalu menyayanginya meski ia terkadang aneh.
J L J
“Perhatian semuanya!” Pak Jo
berteriak di lapangan agar semuanya segera berkumpul. Setelah semuanya sudah
ada di lapangan, ia langsung melanjutkan ucapannya. “Bapak minta mulai hari ini
kalian harus latihan lebih giat lagi, oke? Karena sebentar kita akan bertanding
melawan SMA 90.”
“Kapan, Pak?” tanya Rio ingin
tahu.
“Dua bulan lagi,” jawab Pak
Jo. “Dan Bapak minta tim inti untuk bersiap-siap. Rio, Cakka, Alvin, Obiet dan
Rizky. Jangan ada yang main-main, oke? Walaupun ini pertandingan kecil-kecilan,
tapi tetap saja harus latihan keras.”
“Baik, Pak!” seru Rio, Cakka,
Alvin, Obiet dan Rizky.
Rio mengangkat tangannya.
“Pak, saya boleh usul nggak?”
“Iya, ada apa Rio?” tanya Pak
Jo.
“Saya ingin Gabriel ikut dalam
pertandingan ini,” kata Rio. “Paling tidak sebagai cadangan, Pak. Kan lumayan
kalau ada pergantian pemain. Saya yakin Gabriel bisa, Pak.”
Pak Jo mengerutkan dahinya
heran mendengar ucapan Rio. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali bersikap
biasa. Ia menghela nafasnya dan berkata, “Tidak, Mario Astroken.”
“Loh, kenapa, Pak?” tanya Rio
tidak mengerti. “Gabriel kan juga tidak buruk. Bapak juga sudah melihat
kemampuannya kemarin, kan? Sekali ini aja, Pak.”
“Alah, ngapain sih lo manjain
kakak lo itu terus, Yo? Kayak nggak ada kerjaan lain aja lo!” Anka menyeletuk.
“He’s not worth it buat ikut
pertandingan tahu! Mainnya aja jelek begitu!”
“Priyanka, gue nggak minta
pendapat lo, oke?” kata Rio datar. Kemudian, ia langsung menoleh ke arah Pak Jo
kembali. “Boleh kan, Pak? Boleh ya?”
Pak Jo tetap menggelengkan
kepalanya. “Tidak, Rio. Sekarang lebih baik kita langsung mulai saja
latihannya. Kalian semua latihan sendiri dulu, oke? Saya akan berbicara dengan
Rio dulu. Bubar!”
Semua anak-anak langsung
berpencar dan latihan sendiri kecuali Rio. Begitu semuanya sudah sibuk sendiri,
Pak Jo langsung menghampiri Rio dengan tatapan datar.
“Mario Astroken, apa maksudmu
melakukan itu? Gabriel tidak boleh ikut pertandingan itu,” kata Pak Jo. “Apa
kamu lupa perjanjian kita dulu, hah?”
“Perjanjian?” tanya Rio sambil
mengerutkan dahinya heran.
“Ya. Memangnya kenapa saya
menerima Gabriel masuk ke dalam ekskul?”
Rio terdiam. Tiba-tiba
pikirannya kembali ke masa lalu, ketika Gabriel baru saja mau masuk ke dalam
ekskul basket. Saat itu, dia memohon-mohon kepada Pak Jo agar beliau menerima
Gabriel.
J L J
Pak Jo tampak
berpikir sejenak setelah Rio mengutarakan keinginannya tentang Gabriel. Dengan
ragu-ragu, beliau bertanya kepada Rio, “Kamu yakin, dia sanggup ada di
lingkungan ekskul basket?”
Rio
mengangguk cepat. “Itu akan menjadi tanggung jawab saya, Pak.”
Pak Jo
mengangguk-angguk. “Saya akan berusaha dengan satu syarat.”
“Apa
syaratnya, Pak? Saya akan menerimanya, apapun itu!”
Pak Jo
menghela nafasnya sejenak. “Saya akan berusaha memenuhi permintaan kamu dengan
syarat, Gabriel harus mengikuti latihan setiap minggu. Tapi, dia tidak boleh
ikut dalam kegiatan luar basket.”
Rio
mengerutkan dahinya. “Maksud Bapak?”
“Gabriel ini
tidak memiliki niat untuk masuk basket, jadi Bapak akan menganggapnya sebagai
anggota tambahan yang hanya butuh olahraga. Otomatis, dia tidak boleh masuk tim
inti maupun ikut pertandingan antar SMA. Apalagi pertandingan nasional. Apapun
alasannya. Bagaimana?”
J L J
“Sudah jelas, kan?” tanya Pak
Jo lagi setelah Rio terdiam cukup lama.
Rio terdiam seribu bahasa
begitu mengingat apa yang terjadi sebelum Gabriel masuk ekskul itu. Kenapa dia
baru ingat? Ya, Pak Jo dulu sebenarnya sama sekali tidak mau menerima Gabriel,
namun pada akhirnya karena paksaan Rio, beliau menerima Gabriel dengan syarat
tersebut. Gabriel sama sekali tidak boleh masuk tim inti.
“Bapak harap kamu tidak
mencoba untuk mengingkari perjanjian itu, Yo. Waktu itu, kamu sendiri yang
bilang kalau kamu akan menerima syarat apapun.” kata Pak Jo lagi dengan tegas.
“Tapi, waktu itu kan,
perjanjian itu berlaku karena Gabriel memang nggak niat, Pak. Bukannya Bapak
sudah melihat Gabriel yang sekarang? Dia sangat serius latihan, kan?” kata Rio
masih berusaha meluluhkan hati Pak Jo.
Pak Jo menggeleng. “Perjanjian
tetap perjanjian, Mario. Tidak ada pengecualian.”
“Tapi—“
“Tidak ada tapi-tapian, Rio!”
seru Pak Jo keras.
Rio menunduk. “Ya udah deh,
makasih, Pak.”
“Ya sudah, latihan sana!”
perintah Pak Jo.
Rio hanya bisa diam dan
menuruti apa kata Pak Jo. Namun, karena menyadari Gabriel tidak akan bisa
menjadi anggota tim inti, semangatnya menjadi drop. Teman-temannya juga menjadi
heran kenapa Rio menjadi murung setelah berbicara dengan Pak Jo. Sampai-sampai,
banyak yang mengira kalau Rio diceramahi oleh beliau.
Rio hanya bisa tersenyum
menanggapi teman-temannya. Ia tidak mau satu orang pun tahu tentang hal ini.
Keadaan sudah terlanjur membaik, ia tidak mungkin merusak suasana. Ia khawatir
Gabriel akan kembali murung seperti dulu. Tapi, bagaimana caranya ia
menjelaskan kepada Gabriel tentang hal ini? Dia kan sama sekali tidak tahu
kalau dia dilarang keras masuk anggota tim inti. Apa dia harus terus membohongi
kakaknya?
J L J
“Bro, lo yakin nggak apa-apa?” tanya Deva
ketika mereka sudah akan pulang ke rumah. Ia benar-benar heran melihat Rio yang
murung sejak selesai ekskul tadi. Padahal, biasanya dia yang paling ramai.
Rio menggelengkan kepalanya. “Nggak
apa-apa kok, Va. Udah yuk, balik.”
“Ya udah deh,” kata Deva ragu. Ia menoleh
ke arah teman-teman ekskul musiknya yang masih sibuk di ruang musik. “Guys! Gue balik dulu ya! Kalau udah
selesai, kunci pintunya!”
“Oke, Va!” Dayat tampak mengacungkan
jempolnya.
Rio, Cakka, Deva dan Gabriel langsung
berjalan pergi meninggalkan sekolah. Selama perjalanan, hanya Deva dan Gabriel
yang sibuk mengobrol sendiri. Cakka hanya menyahut sesekali seperti biasa.
Sementara Rio seakan-akan mengunci mulutnya. Sama sekali tak mau berbicara.
Begitu mereka sampai di rumah Rio dan
Gabriel, Deva dan Cakka langsung pamit. Rio dan Gabriel melambaikan tangannya
sejenak, kemudian langsung masuk ke rumah untuk segera beristirahat. Tapi, niat
mereka tertunda karena Gabriel langsung bersuara.
“Sebenernya lo kenapa sih, Yo?” tanya
Gabriel sambil duduk di tempat tidurnya.
Rio tersenyum. “Gue nggak apa-apa kok,
Yel.”
“Lo nggak usah samain gue sama yang lain.
Gue ini kakak lo, gue tahu kapan lo seneng, kapan lo sedih. Dan gue lihat dari
tadi lo kayak orang yang punya masalah tahu nggak?” kata Gabriel.
Rio menunduk.
“Lo ngomong apa tadi sama Pak Jo?” tanya
Gabriel lagi.
Rio menggelengkan kepalanya, tetap tidak
ingin memberitahu apa-apa kepada Gabriel. Ia benar-benar takut.
Gabriel menghela nafasnya. “Apa ini...
soal gue?”
Rio mengangkat kepalanya kembali, menatap
kakaknya. “Lo ngomong apa sih?”
“Tadi sesaat sebelum lo murung, lo kan
lagi ngomongin gue masuk ke tim inti. Tapi, Pak Jo nggak ngebolehin. Apa itu
yang bikin lo murung sepanjang latihan?” tanya Gabriel.
Rio terdiam.
Gabriel menghela nafasnya lagi. Ia
membuang muka. “Sebenarnya, lo nggak perlu sampai kayak begitu, Yo.”
Tetap tidak ada jawaban dari Rio.
“Gue nggak pernah bilang kan kalau gue
pengen jadi anggota tim inti?” tanya Gabriel sambil tersenyum. “Biarlah waktu
yang menjawab, apa gue pantas atau nggak jadi anggota tim inti. Mungkin Pak Jo
punya alasan sendiri.”
“Tapi, lo pengen kan ikut pertandingan
itu?”
“Pengen sih...” kata Gabriel pelan.
Kemudian, ia menatap Rio. “Tapi, kalaupun gue nggak bisa ikut yang ini, gue kan
bisa ikut pertandingan yang lain, Yo. Nggak usah maksa.”
Rio menggeleng. “Nggak bisa, Yel.”
Gabriel mengerutkan dahinya heran. “Maksud
lo, Yo?”
Rio terdiam.
Gabriel mulai merasa curiga. Ia beranjak
dari tempat tidurnya, menatap adiknya tajam. “Maksud lo apa Yo, gue nggak bisa
ikut pertandingan lain?”
Rio menggeleng. Matanya sudah mulai
berkaca-kaca, rasanya ingin menangis jika mengingat apa yang sebenarnya
terjadi. “Nggak, Yel... Gue...”
“Jangan bilang enggak sama gue, Yo. Jawab
yang sejujurnya. Sebenarnya ada apa sih? Apa lo nyembunyiin sesuatu dari gue?
Makanya dari tadi lo nggak mau ngomong? Dan kenapa sekarang lo nangis?” tanya
Gabriel bertubi-tubi. Ah, mungkin baru kali ini Gabriel cerewet. Setelah sekian
lama.
“Yel, sebenarnya...” Rio akhirnya terpaksa
bercerita kepada Gabriel. Semua yang ia lakukan saat ia ingin Gabriel masuk ke
dalam ekskul basket. Tentang Pak Jo yang hanya menerima Gabriel karena paksaan
adiknya. Semua hal yang selama ini ia sembunyikan, ia ungkapkan kepada Gabriel.
Detik ini juga.
Gabriel yang mendengar cerita Rio seketika
terbelalak. Begitu banyak hal yang ia tidak tahu tentang kehidupannya. Seiring
Rio bercerita, emosinya semakin tinggi. Ia sama sekali tak tahu apa-apa.
“Yel, lo ngerti, kan?” tanya Rio sedih.
Air matanya sudah tumpah karena harus jujur kepada kakaknya. “Gue sama sekali
nggak bermaksud—“
BRUK!!
Rio langsung tersungkur begitu Gabriel
mendorongnya keras. Ia langsung bangkit, menatap kakaknya dengan tatapan kaget.
Ia benar-benar tak menyangka kakaknya tak segan-segan berbuat begitu kepadanya.
"Yel..."
"Gue kecewa sama lo, Yo," kata
Gabriel pedih. Matanya sudah berkaca-kaca. "Gue bener-bener nggak
nyangka."
Rio berdiri dengan susah payah. Badannya
sakit semua akibat dorongan Gabriel tadi. "Yel, dengerin gue..."
“Kenapa sih lo selalu memaksa orang-orang
untuk menerima gue?!” tanya Gabriel. “Gue tahu gue butuh orang-orang yang
pengertian sama gue. Tapi nggak begini caranya, Rio!!”
“Gue terpaksa, Yel, ngelakuin itu!” kata
Rio berusaha menjelaskan.
“Terus apa lo mikir apa yang terjadi sama
gue kalau lo ngelakuin itu, hah?!” tanya Gabriel lagi. Ia ikut-ikutan menangis
karena terlalu sedih mendengar kenyataannya.
“Maafin gue, Yel...” suara Rio melemah.
"LO BILANG LO BAKAL SELALU DUKUNG
GUE, BUKTINYA MANA?!" teriak Gabriel nyaring. "LO SAMA SEKALI GAK
MIKIRIN GUE!!"
"Lo salah paham, Yel! Dengerin gue
dulu!" kata Rio panik. Gabriel itu jarang marah, kalau sudah begini
Gabriel pasti sudah emosi tingkat akut.
"GAK PERLU, YO! SAMA SEKALI GAK
PERLU! UDAH CUKUP!" seru Gabriel lagi, kemudian langsung pergi meninggalkan
kamar.
"IEL!!" teriak Rio kaget. Ia
langsung berlari mengejar Gabriel. Matanya membesar begitu melihat Gabriel
berlari keluar rumah. Tidak! Jangan pergi!
"YEL, LO MAU
KEMANA?!" teriak Rio sekencang-kencangnya. Ia mengatur nafasnya kasar dan
menatap jalanan dari teras rumah. Larinya kurang cepat, Gabriel keburu hilang
dari pandangannya. Apapun yang dia lakukan sekarang, dia pasti sudah tidak bisa
mengejarnya.
“Yo? Kamu kenapa?” tiba-tiba
Bunda muncul dari dalam.
“Bunda!” seru Rio sedih. Ia
langsung memeluk Bundanya sambil menangis.
“Aduh, anak Bunda kenapa sih?
Tadi Bunda sempet denger kamu berantem sama Iel. Tapi, kalian keburu
lari-larian pas Bunda mau tegur,” kata Bunda sambil mengelus punggung anaknya.
“Kalian kenapa?”
“Ini salah Rio, Bun. Ini...
salah Rio!” kata Rio sesunggukan.
“Ssstt... Ya sudah, ayo masuk.
Mungkin Iel butuh waktu sendiri sekarang. Nanti kalau Rio udah tenang, baru
cari Iel ya?” kata Bunda menenangkan. Tapi, tidak ada jawaban dari Rio.
Rio hanya mengikuti perintah
Bunda untuk masuk ke dalam, tepatnya langsung ke kamarnya. Sementara Bundanya
ke dapur untuk mengambilkan Rio cokelat hangat.
Rio duduk di tempat tidurnya
sambil melamun. Sisa tangisannya masih ada. Rasa bersalah mulai menguasai diri
Rio sekarang. Ia selalu benci jika dia mengecewakan Gabriel. Sekarang dia
memang terlihat cengeng di mata semua orang karena dia laki-laki. Tapi, ia sama
sekali tidak peduli. Mereka tidak tahu bagaimana ia menyayangi Gabriel. Apalagi
semenjak ia tahu Gabriel sangat takut dengan dunia luar. Rio selalu berjanji
pada dirinya sendiri untuk tidak membuatnya menderita. Tapi, sekarang apa?
Justru dia sendiri yang membuatnya sakit hati. Adik macam apa sih Rio ini?
“Yo, nih cokelat hangatnya,”
Bunda datang membawa segelas cokelat untuk Rio. “Bunda ke kamar dulu ya. Kamu
jangan nangis terus, kalau butuh apa-apa panggil Bunda aja.”
Rio mengangguk. “Iya, makasih,
Bun.”
Bundanya langsung meninggalkan
Rio sendirian di kamar. Sepeninggalan Bunda, Rio tetap saja diam di sana,
membiarkan tangisannya tumpah sampai ia puas. Selama ini dia selalu marah
kepada orang-orang yang memandang Gabriel sebelah mata. Mereka yang sering
menyakiti hati Gabriel pasti terkena amarahnya. Ternyata, dia sendiri merupakan
salah satu dari orang-orang tak berperasaan tersebut. Kenapa Rio baru sadar
sekarang?
Rio megnhapus air matanya
sejenak, kemudian langsung mencicipi minuman yang sudah dibuat Bunda. Nafasnya
ia hela berkali-kali, berusaha menenangkan dirinya sejenak.
“Maafin gue, Yel...” bisiknya
pelan. “Mungkin gue adalah orang yang paling nggak berperasaan di antara
orang-orang itu...”
Rio terdiam sejenak, kemudian
langsung membuka jendela kamarnya. Entah akan tidur dimana Gabriel hari ini.
Dia sama sekali tak membawa apa-apa ketika kabur tadi. Bagaimana kalau dia
sakit?
“Maaf, ku
telah menyakitimu... ku telah kecewakanmu... Bahkan ku
sia-siakan hidupku dan kubawa kau seperti diriku…”
Rio hanya bisa menyandungkan
lagu itu pelan untuk mengeluarkan rasa penyesalannya. Kata maaf mungkin tidak
akan cukup untuk membuat Gabriel memaafkannya. Entahlah, yang pasti Rio tidak
akan bisa tidur hari ini. Kenapa sih ia harus lupa akan perjanjiannya dengan
Pak Jo? Semuanya pasti tidak berakhir buruk jika bukan dia yang sembarangan
berjanji. Iya kan?
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p