"Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
Tetaplah tersenyum..."
Langkah kaki Rio terus menggema di jalan panjang itu. Ia
tak peduli tubuh kurusnya itu sudah lelah mengejar mobil silver yang jauh
mendahuluinya. Kalau dia tak berhasil mensejajarkan langkahnya dengan mobil
tersebut, mungkin dia akan menyesal seumur hidupnya.
Kecemasan yang ada di dalam dirinya terus berkecamuk di
dalam hati, harusnya tadi dia tidak bertengkar dengan Alvin. Ya, mereka memang
sering beradu mulut untuk hal-hal kecil. Mereka bersahabat karena perbedaan
yang mereka miliki itu. Tapi, bukan ini yang Rio mau.
Rio tahu sebenarnya ini semua percuma. Mobil silver milik
sahabatnya itu memiliki kecepatan yang jauh di atasnya. Bahkan mendekatinya
saja mungkin Rio tak bisa. Tapi, Rio sama sekali tak mau menyerah kepada
kenyataan. Ia tak ingin Alvin pergi begitu saja dari kota ini. Meminta maaf
atas kejadian hari ini saja belum ia lakukan. Mereka juga belum berpamitan satu
sama lain.
Kedua kaki yang ia paksa untuk terus berlari akhirnya
berhenti juga. Ia berlutut di sana sambil menatap depan. Nafasnya memburu,
keringat juga sudah membanjiri wajahnya yang lonjong. Mobil silver itu akhirnya
hilang dari pandangannya.
“Lo jahat, Vin! LO JAHAT! Kenapa lo nggak pernah ngasih
tau gue kalau lo mau pindah dari Jakarta?!” teriak Rio sekencang-kencangnya.
“Selama ini lo anggep gue sama Ray
apa, hah?!”
Rio diam saja di tempatnya. Menangisi kenyataan pahit
yang harus ia terima. Rasa kecewa mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Selama
ini Alvin tak pernah mengungkit-ungkit soal pindah rumah. Dia selalu berlagak
ceria dan jahil kepadanya. Padahal, mereka bertiga sudah bersahabat lama. Apa Alvin sama sekali tidak sedih jika harus berpisah dengannya?
Alvin bodoh! Jelek! Pembohong! Dia sama sekali tak pernah
jujur kepada Rio. Kalaupun dia malu untuk
mengatakannya, apa dia tak bisa menuliskannya di kertas? Atau menitip pesan
kepada orang lain? Ray barangkali? Berpamitan seperti itu pun Rio tidak
akan keberatan.
“Yo…” tiba-tiba Ray datang dan menepuk pundak Rio. Ia
ikut duduk di sana dan menatap sahabatnya itu dengan iba. Selama bersahabat dengan
Rio dan Alvin, ia tak pernah melihat Rio sesedih ini.
Rio mengusap wajahnya sebentar, kemudian menoleh ke arah
Ray. “Dari mana lo tahu gue ada di sini?”
Ray tersenyum.
“Udahlah, biarin dia pergi. Mungkin sudah takdir.” kata Ray kalem. Ia langsung memberikan sebuah kartu
kepada Rio. “Nih, baca dulu.”
Rio menerima kartu tersebut kemudian membaca isinya
pelan-pelan. Kartu berwarna putih itu ternyata kartu dari Alvin. Mungkin tak
sempat diberikan karena mereka justru bertengkar di pertemuan terakhir mereka.
Hei, Rio, Ray!
Mungkin waktu lo berdua baca surat gue
ini, gue lagi perjalanan menuju Malang. Iya, minggu
lalu Oma mutusin buat balik ke sana dan gue nggak bisa apa-apa. Begitu tau
keputusan ini, yang terlintas di pikiran gue itu cuma lo berdua. Gue nggak
ngerti harus ngomong apa karena kita justru lagi berantem.
J L J
FLASHBACK…
“Eh, Vin, apaan sih lo!” teriak Rio begitu sahabatnya itu
merebut komik yang sedang dibacanya. Saat itu Alvin dan Ray sedang bermain di
rumah Rio karena esoknya sekolah libur. Seperti biasanya, Alvin selalu saja
mengganggu.
“Gantian lah, gue juga mau baca!” kata Alvin sambil
tertawa, kemudian dengan santainya membaca buku komik yang sudah berhasil
direbutnya.
“Kebiasaan banget sih lo! Minta izin baik-baik kan bisa,
Vin!” kata Rio sambil menggelengkan kepalanya.
“Memangnya kalau gue minta baik-baik, lo bakalan ngasih?
Nggak juga kan? Mendingan gue langsung rebut aja!” kata Alvin cuek.
Rio menghela nafasnya. “Elah bener-bener deh lo.”
Ray yang sedang sibuk dengan komputer di sudut kanan
ruangan langsung menyahut. “Udahlah, kalian tuh berantem terus. Nanti kalau
udah nggak ketemu malah kangen.”
“SIAPA YANG KANGEN SAMA DIA?” teriak Rio dan Alvin kompak
sambil menunjuk satu sama lain. Ray hanya tersenyum miring melihat tingkah
kedua sahabatnya. Ia tahu tebakannya benar.
“Ya udah, kalau begitu biarin aja Alvin baca dulu, Yo.
Daripada berantem. Sini bantuin gue nyelesein masalah. Ada beberapa kasus yang
belum bisa gue pecahkan.” kata Ray tenang.
Ah iya, benar. Walaupun mereka masih kelas tujuh, tapi
Ray sudah menjadi psikolog. Turunan dari Bundanya. Sudah setahun ini dia
mengurus orang-orang yang mau menyelesaikan masalahnya lewat website yang ia desain sendiri.
“Ada masalah apa, Ray?” Rio langsung mendekati sahabatnya
tersebut.
“Ada anak laki-laki yang minder dengan kekurangannya.
Katanya dia tak tahan diejek-ejek teman-temannya. Tapi, nggak tahu juga harus
bagaimana supaya dia nggak diejek lagi.” kata Ray menunjukkan sebuah masalah
yang ada di layar komputer.
“Bukannya lo biasanya ngasih pasien-pasien lo itu
kata-kata bijak?” tanya Rio.
“Ya, tapi sepertinya yang satu ini butuh lebih dari
sekedar kata-kata bijak,” kata Ray. “Mindernya sudah tingkat akut. Selalu saja
berpikiran negatif. Kata-kataku dibalas terus.”
Rio manggut-manggut, kemudian membaca sebentar apa yang
telah Ray perbincangkan dengan pasien mindernya itu. “Hei, di sini dia bilang
kalau dia minder karena dia kutu buku sendiri di sekolah.”
“Ya, gue udah bilang kalau dia harus jadi diri sendiri,
biarin nanti temen-temennya melihat kelebihan yang dia punya. Tapi, dia selalu
beralasan,” kata Ray. Kemudian dia pindah ke kasus lain. “Kalau yang ini,
katanya ingin orang tuanya bersatu kembali.”
“Gue nggak sebijak lo sih, Ray, jadi gue nggak bisa
banyak membantu. Yang gue tahu, pemecah masalah seperti lo itu pasti punya cara
supaya orang-orang jadi semangat lagi. Mungkin lo belum kepikiran aja.” kata
Rio.
Ray tertawa. “Makasih semangatnya.”
Rio tersenyum. “Bukan Ray namanya kalau nggak bisa mecahin
masalah!”
“Dan bukan Rio namanya kalau bisa bijak!” celetuk Alvin
tiba-tiba.
“Nyamber aja lo kayak bensin!” kata Rio kesal. Ia
langsung menghampiri Alvin lagi dan merebut komiknya. “Yes! Dapat! Gue baca
dulu ya, Vin! Giliran lo nunggu!”
“Eh, apaan sih lo! Gue masih baca kali!” kata Alvin
langsung mengejar Rio.
“Bodo!” kata Rio sambil mencibir.
Ray yang melihat pemandangan tersebut hanya bisa
menggelengkan kepalanya. Sudah terlalu biasa ia melihat pertengkaran kecil
seperti itu. Untungnya, pertengkaran mereka itu mengacu pada dampak positif.
Jadinya, Ray bisa tenang kalau mereka beradu mulut begitu.
“Sini, sini!” Alvin merebut komiknya dan segera
membacanya lagi. “Udah, lo main gitar aja sana sama Ray.”
“Ya ampun, Alvin! Itu komik gue, kenapa lo yang seenaknya
sih?” tanya Rio heran. Kemudian, ia langsung mengambil gitarnya. Lebih baik
mengalah daripada ia harus bertengkar dengan Alvin.
Rio memetik gitarnya pelan-pelan, memainkan sebuah intro
lagu dengan penuh penghayatan. Dia memang seorang gitaris, sejak kecil Rio
sangat suka dengan apapun tentang musik. Alat musik kesayangannya adalah gitar.
Ia sering bernyanyi bersama dengan Ray dan Alvin setiap kali mereka berkunjung.
Selama Alvin membaca komiknya, Rio bernyanyi-nyanyi
sendiri mengiringi dua sahabatnya yang masih sibuk dengan urusan masing-masing.
Ray juga bergabung setelah ia selesai dengan kasus-kasusnya. Mereka berdua
menyanyikan lagu kesukaan mereka yaitu Harmoni
dari band Padi.
Mendengar lagu tersebut, Alvin langsung menutup komik
yang dibacanya dan langsung bergabung dengan mereka. “Yo! Pinjam gitarnya dong!
Coba gue yang mainin! Gantian!”
“Yeee.. memangnya lo bisa main gitar? Enggak ah!” kata
Rio langsung menjauhkan gitarnya dari Alvin. Bukannya apa-apa, tapi Alvin sudah
sering sekali merusak barang-barangnya.
“Eh, lo ngeremehin gue? Sini biar gue buktiin!” kata
Alvin mencoba menggapai gitar Rio. Setelah itu, terjadilah acara rebut-rebutan
gitar antara Rio dan Alvin. Sementara Ray menggelengkan kepalanya.
“Nggak mau, Vin! Nanti gitar gue rusak!” kata Rio sambil
menarik gitarnya.
“Nggak bakalan, Rio!” kata Alvin sambil menarik gitar Rio
ke arahnya.
“Nggak mau!”
Mereka berdua saling tarik-menarik. Tak ada yang mau
mengalah karena keduanya merasa benar. Hingga pada akhirnya, TING! Salah satu
senar gitar Rio putus! Alvin langsung melepaskan tangannya dari gitar Rio.
“Yah, senar gitarnya putus, kan?! Gara-gara lo sih, Vin!”
kata Rio sebal.
“Kok gue sih? Lo yang pelit begitu, kok!” balas Alvin
ikut kesal.
Rio menaruh gitarnya di tempat tidur dan mendorong bahu
Alvin. “Pelit apaan? Selama ini gue minjemin barang-barang, baliknya ada aja
yang rusak sama lo!”
“Gue kan udah minta maaf!” kata Alvin.
“Hei, udah dong, jangan berantem!” Ray akhirnya angkat
bicara. “Lo berdua itu sahabat. Dan persahabatan itu harusnya saling
melengkapi, bukan saling menyisihkan. Ini cuma masalah kecil, nggak perlu
dibesar-besarin.”
Keduanya terdiam.
“Ya udah, mendingan gue pulang!” kata Alvin langsung
beranjak dari tempat tidur Rio dan pergi dari sana.
Rio yang melihat kepergiannya hanya bergeming. Biar saja
dia pulang. Ia benar-benar kesal dengan Alvin! Mengganti senar gitar itu kan
mahal. Keluarga Rio juga bukan termasuk keluarga yang kaya. Sayang kalau
uangnya hanya dipakai untuk mengganti senar gitar. Alvin malah merusaknya
sembarangan.
“Harusnya lo nggak begitu, Yo.” kata Ray sambil menghela
nafas.
Rio diam.
J L J
Alvin diam saja menatap Oma Lani yang sedari tadi
menatapnya berharap. Terbesit rasa cemas di raut wajahnya setelah Alvin
menentang apa yang beliau inginkan. Suasana ruang tamu seketika menjadi suram
karenanya.
“Alvin ngertiin Oma ya? Minggu depan kita berangkat.”
kata Oma Lani dengan lembut. Ia menggenggam kedua tangan Alvin pelan, berusaha
memberi kekuatan kepada cucunya tersebut.
“Tapi, Oma…” kata Alvin terputus.
“Vin, ini amanat Ayah kamu. Kita harus pindah ke sana
menemani dia. Kamu nggak kasihan sama Ayah kamu sendirian aja di Malang?” tanya
Oma Lani.
“Buat apa juga kita pindah ke sana, Oma? Ayah juga sibuk
sama kerjaannya. Mana ada waktu buat kita. Nggak bakalan ngaruh juga kalau kita
pindah ke sana!” bantah Alvin.
“Vin, bagaimanapun juga kan dia Ayah kamu. Dia juga pasti
kangen sama kamu, Vin. Sejak kamu pindah ke sini, kamu nggak pernah pulang ke
Malang, kan?”
Alvin menunduk. Kemudian, ia langsung pergi meninggalkan
Oma Lani sendirian di sana. Ia pergi dari rumah tanpa tujuan karena rasa amarah
yang sudah tak bisa ia tahan lagi. Ini benar-benar tidak adil. Ayah selalu
memikirkan dirinya sendiri!
Ia duduk di pinggir jalan dan memegang kepalanya yang
pusing. Selama ini Ayah memang bekerja di kota kelahirannya. Sementara Alvin
dititipkan ke Oma Lani di Jakarta karena Mamanya sudah wafat sejak ia kecil.
Sibuknya pekerjaan Ayah membuatnya tak ada waktu untuk menemani Alvin.
Inilah alasan mengapa Alvin tak pernah mau pulang ke
Malang. Selain karena Alvin sudah memiliki sahabat, dia juga sangat membenci Ayah.
Dulu Ayah yang menyebabkan Mama meninggal karena perlakuan kasarnya. Sekarang?
Setelah dia membuang Alvin ke Jakarta, dia justru menyuruhnya kembali. Alvin
benar-benar tak ingin tinggal dengan orang yang sama sekali tak membuatnya
bahagia. Tapi, ia juga tak mau mengecewakan Oma Lani. Bagaimana dia harus
mengatakan ini kepada Rio dan Ray?
J L J
Bertengkar dengan Rio membuat Alvin berhari-hari tak
bermain dengan kedua sahabatnya. Alvin malas bertemu dengan mereka kalau dia
hanya menambah masalah. Besok dia akan berangkat, Alvin tak ingin
persahabatannya akan tambah hancur dengan sifat buruknya. Padahal, selama ini
kan Alvin hanya jahil. Dia selalu ingin suasana ramai ketika dirinya ada di
sekitar mereka.
Beberapa hari ini Rio juga tak mencari dirinya. Ray juga
hanya sesekali bertanya kabar lewat telepon. Tapi, sampai sekarang belum ada
yang berani meminta maaf duluan. Alvin sendiri gengsi untuk meminta maaf.
Mungkin akan lebih baik kalau Alvin dianggap menyebalkan, agar Rio bisa dengan
mudah melupakannya ketika ia tahu Alvin sudah tidak ada di Jakarta lagi.
“Alvin, kamu udah beres-beres belum?” terdengar suara Oma
Lani dari luar kamar.
“Sebentar lagi, Oma!” jawab Alvin nyaring. Ia menghela
nafasnya sejenak, kemudian langsung mengambil koper. Benar juga, dia belum
menyiapkan apa-apa untuk besok karena terlalu sibuk memikirkan kedua
sahabatnya.
J L J
“Lo nggak kangen sama Alvin?” tanya Ray ketika main ke
rumah Rio. Sudah hampir seminggu dia datang sendirian. Rumah Rio jadi terasa
sepi tanpa Alvin.
Rio yang duduk di sebelah Ray langsung menghela nafas.
“Kalau dibilang nggak kangen, mungkin gue munafik. Kayaknya semenjak Alvin
marah, rumah gue jadi terasa beda. Nggak ada yang jahil lagi sama gue.”
“Terus kenapa lo nggak minta maaf?” tanya Ray sambil tersenyum.
“Buat apa? Kan dia yang salah.”
“Minta maaf itu kan bukan cuma ngeliat siapa yang salah
dan benar. Tapi, bagaimana lo bisa membesarkan hati lo supaya persahabatan kita
nggak renggang begini.” kata Ray.
Rio menoleh ke arah Ray diam.
Ray menepuk pundak Rio pelan. “Minta maaflah sama Alvin.
Kalau salah satu dari kalian nggak ada yang mau mengalah duluan, persahabatan
kita bisa hancur begitu aja. Lo mau?”
Rio menggeleng lemah. “Gue nggak mau. Tapi, gue masih
kesel sama dia. Seenaknya aja ngerusak barang gue, kayak dia bisa ganti senar
gitar gue aja.”
“Mengakui kesalahan duluan itu baik, Yo,” kata Ray. “Ini
bukan soal ganti rugi, tapi soal lo mau kehilangan sahabat atau nggak.”
Rio diam saja mendengar ucapan Ray. Tidak tahu harus
berbuat apa lagi. Ia bingung antara harus mengalah atau tidak kepada Alvin.
Tapi, kalau dipikir-pikir, rasanya Alvin tidak akan meminta maaf duluan. Rio
tahu betul Alvin tidak bisa mengakui kesalahan dengan mudah. Tapi, Rio kan juga
gengsi? Ah, pusing!
“Yo?” panggil Ray karena Rio diam saja.
“Hah?” Rio tiba-tiba tersadar.
Ray tersenyum. “Minta maaf ya, Yo?”
Rio kembali diam. Ia menghela nafasnya. “Besok ya, Ray.”
Ray langsung menepuk pundak Rio pelan lagi. “Gue yakin
kok, Alvin pasti maafin lo. Kita kan udah sahabatan dari kecil.”
Rio tersenyum.
J L J
PRESENT…
“Gue bener-bener nggak nyangka gue udah terlambat. Begitu
kita dateng, dia justru pergi,” kata Rio. Ia
menghela nafasnya, kemudian menatap ke arah Ray. “Gue jahat ya, Ray?”
Ray menggelengkan kepalanya. “Lo sama Alvin nggak ada
yang jahat. Lo berdua baik, cuma sayangnya gengsi aja. Tapi, gue yakin, Alvin
pasti udah maafin lo kok. Buktinya ada di kartu itu.”
Rio dan Ray kembali membaca kartu tersebut. Ternyata
masih ada lanjutan lagi. Di sana tertulis dengan rapi mengapa Alvin menghilang
setelah mereka bertengkar itu. Rio benar-benar menyesal saat membacanya.
Gue nulis surat ini bukan cuma buat
pamit, tapi juga buat minta maaf sama Rio. Nggak seharusnya gue jahil sampai
bikin lo emosi begitu. Maaf juga karena gue nggak pernah minta maaf sama lo.
Gue cuma nggak mau sebelum gue pindah, kita malah sedih-sedih. Makanya gue
menghilang semenjak kita berantem. Gue pikir, kalau lo benci sama gue, lo pasti
lebih bisa ngerelain gue pergi. Gue kan nyebelin, iya kan? Sekali lagi sori.
Gue jalan dulu ya, kita ketemu lagi lain kali, kalau kita udah dewasa. Bye!
Jangan kangen sama gue, Yo!! Masih ada Ray yang nemenin lo, kok!
Malvine Lim, alias Alvin yang kece
selalu
Ray
kembali menatap Rio setelah membaca tulisan itu. “Lihat, Yo. Alvin masih mau
ketemu lo. Dia bakalan nunggu pas kita udah gede nanti, saat kita ketemu lagi.
Bareng-bareng lagi. Kita juga harus tunggu hari itu tiba, Yo.”
Rio
mengangguk-angguk cepat. “Gue pasti nunggu hari itu tiba, Ray. Pasti. Dia
bahkan masih bisa bercanda di saat dia sedih karena harus ninggalin Jakarta.
Gue salut sama Alvin. Sayangnya dia terlalu gengsi dan aneh. Mana mungkin kita
benci sama dia gara-gara dia jahil?”
Ray
tertawa. “Udahlah, daripada kita sedih-sedih terus di tengah jalan begini. Mendingan
kita balik yuk. Perjalanan kita masih panjang buat ketemu Alvin. Pokoknya kita
harus semangat sampai kita ketemu lagi sama sahabat kita itu, di ujung
perjalanan kita.”
Rio
mengangguk. Ia mengusap-usap matanya yang mulai berair, kemudian dia langsung
berdiri dan menatap langit. Berusaha menetralisir perasaan kecewanya. Selamat jalan, Vin! Awas kalau lo nggak
balik ke Jakarta lagi, gue botakin rambut gondrong lo waktu kita ketemu nanti!
“Udah
yuk, Yo.” kata Ray.
“Yuk.”
Mereka berdua langsung meninggalkan tempat tersebut dengan membawa harapan
besar. Walaupun sekarang Alvin telah pergi, tapi suatu hari nanti, entah kapan,
mereka pasti akan bertemu dengan Alvin kembali. Semoga.
"Semoga dirimu di sana kan baik-baik saja
Untuk selamanya
Disini aku kan selalu rindukan dirimu
Wahai sahabatku..."
THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!
Menarik :)
BalasHapusKalau boleh saran sih lebih baik dibuat jadi Novel.. :)
Oiya, jangan lupa main2 ke blogku ya.. :)