Rabu, 08 April 2015

Drabble | Happy To Be Me


“Sudah banyak aku lewati 
Seribu cerita tawa dan sedih
Banyak yang tersimpan di hati 
Buatku tertawa, tersenyum, dan trus coba mengerti...”

   Iqbaal menghentikan motornya di depan rumah saat langit sudah gelap. Seperti biasanya, ia baru saja dari rumah sakit. Begitu masuk ke dalam rumah, ia langsung bergegas mengganti bajunya di kamar, baru setelah itu dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur tanpa melepas kupluk yang ia pakai.

   Satu hari lagi ia berhasil lewati. Dengan banyak caci maki dari teman-teman, senyum guru-guru, perhatian dari suster di ruang UKS sekolah dan hawa obat yang sudah tak asing lagi di indera penciumannya. Belum lagi, sakit kepala yang kadang-kadang menyerangnya jika sedang di tengah pelajaran. Semua itu sudah seperti setengah hidupnya. Iqbaal tahu semua itu hanya soal kebiasaan. Bukan apa-apa yang serius.
   “Baal?” panggil seseorang.
   Iqbaal menoleh. Ia tersenyum melihat seorang laki-laki tinggi kurus telah masuk ke dalam kamarnya dan segera duduk di samping tempat tidurnya. Dengan suaranya yang pelan, ia menjawab. “Hai, Al.”
   “Kau... tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. “Sejak kapan kau pulang?”
   “Aku tidak apa-apa, Aldi,” jawab Iqbaal pelan. “Aku kan sudah bilang, kau yang terlalu mengkhawatirkanku. Bukankah aku sudah sering begini? Pingsan sudah menjadi hal biasa untukku.”
   “Iqbaal, kau jangan membuatku takut. Apa kau tak tahu kalau aku justru semakin khawatir mendengar kau berbicara begitu?” tanya Aldi lagi. “Tadi Dokter bilang apa padamu?”
   Iqbaal menggeleng. “Hanya kelelahan.”
   “Yakin?” tanya Aldi mengangkat sebelah alisnya. “Kau tak membohongiku lagi, kan?”
   Iqbaal menghela nafas. “Al, sudahlah. Walaupun aku begini, aku tetap ingin hidup normal. Apapun yang terjadi kepadaku, itu semua sudah takdir Tuhan. Bukan karena kesalahan siapapun. Jadi, kau tak perlu khawatir.”
   “Sebagai kakakmu, apa aku tak boleh khawatir?” tanya Aldi sambil menghela nafas.
   Iqbaal beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati cermin. Sambil menundukkan kepalanya, ia menjawab. “Aku hanya ingin hidup normal seperti yang lainnya. Aku tak ingin hidup untuk terus-terusan mendengarmu bertanya apa aku baik-baik saja.”
   Aldi terdiam menatap punggung adiknya. “Tapi...”
   Iqbaal tersenyum. Mata cokelatnya menatap Aldi lewat cermin. Perlahan-lahan ia lepas kupluk yang ada di kepalanya, kemudian memegang erat kupluknya tersebut. “Mimisan, tumbuh sel kanker, badan kurus kering, pingsan terus-terusan, bolak-balik rumah sakit, kepalaku terpaksa harus botak, dicaci maki teman, siapa yang bisa mengatur semua itu? Yang bisa kita lakukan hanyalah menjalaninya.”

“Masa lalu jadikan kita
Lebih baik di masa depan...”

   “Ya, memang,” kata Aldi mengiyakan. “Tapi, kau tetap harus berusaha untuk sembuh.”
   “Memangnya siapa yang bilang aku tak berusaha sembuh? Tentu saja aku berusaha, namun aku tak ingin Bunda, Ayah maupun kau terus bertanya apa aku baik-baik saja,” kata Iqbaal lagi. “Kalian cukup dukung aku saja.”
   “Kita pasti mendukungmu, Baal.”
   “Kalau begitu, aku akan selalu kuat dan senang dengan jalan hidupku.”
   “Jalan hidupmu yang buruk ini?” tanya Aldi tak percaya. “Aku justru bertanya-tanya kenapa anak sebaik kau harus menghadapi cobaan ini. Kau selalu baik pada semua orang, tapi Tuhan justru memberikan penyakit ini kepadamu.”
   “Jangan salahkan Tuhan. Dia tak salah,” kata Iqbaal tak setuju dengan ucapan kakaknya. “Situasi apapun yang harus aku lewati, selama aku masih memiliki kau, Bunda, Ayah dan semua orang yang menyayangiku, orang-orang yang membenciku tak akan membuatku benci hidup dengan penyakit ini.”
   “Aku salut padamu, Baal.” kata Aldi sambil tersenyum.
   Iqbaal tersenyum.
   “Kalau begitu aku tidur dulu. Kau juga harus beristirahat.” kata Aldi.
   Iqbaal mengangguk patuh. Sepeninggalan Aldi, Iqbaal kembali tersenyum menatap dirinya sendiri di cermin. Mungkin dia memang berbeda dari anak-anak lain seusianya. Rambutnya yang lebat terus-terusan menipis akibat kemoterapi, wajahnya selalu pucat, badannya juga sangat kurus lantaran sering tak nafsu makan. Ia benar-benar buruk rupa di depan banyak orang. Tapi, Iqbaal sudah cukup senang memiliki banyak orang yang menyayanginya. Lagipula, penyakit leukimia ini tak pernah mengubah Iqbaal menjadi orang lain. Iqbaal tetaplah Iqbaal. Dan ia tetap bangga menjadi dirinya sendiri. Masih banyak hal baik yang ia punya untuk menutupi kekurangannya.

“Forget about the bad things, 
All the bad things that ever happen in my life
To do a lot the good things
All the good thing that ever happen in my life
But I will never change that things
I'm happy to be me...”


THE END...
Tuliskan komentar kalian di bawah,
Nantikan ceritaku selanjutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p