Minggu, 15 Februari 2015

Cerbung | The Real Him Part 9


Ujian sekolah sudah selesai. Itu artinya anak-anak sudah bisa santai di rumah, menikmati liburan satu bulan setengah sebelum memulai semester dua. Namun, yang ada di benak mereka tentu saja bukan hanya liburan, tapi juga pensi mereka yang akan diadakan setelah mengambil rapor. Tepatnya di akhir desember, karena ini adalah pensi tutup tahun dan semester.
Tapi, yang namanya liburan, tentu saja tak disia-siakan sama sekali oleh Cakka. Yang tadinya ia harus bangun pagi-pagi untuk sekolah, sekarang dia molor sampai jam delapan. Selimutnya berantakan, kakinya ditekuk sebelah, satu tangannya juga menutup keningnya. Sementara mulutnya sibuk mengeluarkan suara orang ngorok. Kedua kakaknya sampai tak habis pikir dengan adiknya tersebut. Berubah kok setengah-setengah. Padahal, hari ini dia bukannya tak harus ke sekolah. Jam sepuluh dia sudah harus ada di ruang musik untuk berlatih dengan MIFI Band. Tapi, Bunda bilang, tak apa-apa.

“Jarak dari rumah ke sekolah kan nggak sampai satu jam juga, jadi nggak usah buru-buru. Dia juga butuh istirahat setelah berjuang di ujian kemarin.” Begitu kata Bunda mereka yang bijaksana. Itu yang membuat Elang dan Biru tak berkutik lagi untuk menganggu adik bungsu mereka itu.
Elang sendiri masih harus kuliah seminggu lagi. Dan hari ini dia kuliah sore, makanya bisa santai sebentar. Lumayan juga bukan untuk mengisi waktu bersama keluarga, menebus segala kesibukannya dengan kuliah kemarin. Selalu saja pulang di saat langit sudah mulai gelap.

J L J

Cakka baru membuka matanya begitu ia menyadari bahwa ada suara yang mengganggunya.  Ia melihat ke sekeliling, merasa kenal dengan tempat ini. Cakka tahu betul taman dimana dia berada sekarang bukanlah taman yang berada di dekat rumahnya. Otaknya berpikir keras, tapi ia juga tidak ingat kapan dia pernah ke sini, hingga ia tiba-tiba menangkap beberapa orang yang sedang duduk-duduk di dekat danau.
Sepertinya mereka adalah keluarga. Ada seorang Ayah, Ibu dan tiga anak. Ada seorang laki-laki remaja yang sibuk bermain gitar. Kemudian, perempuan remaja yang sedang membantu ibunya menyiapkan makanan, sementara si bungsu yang sepertinya sekitar umur tujuh tahun, sedang duduk bersama Ayahnya. Mereka sepertinya sedang mengobrol.
Cakka berjalan agak mendekat ke arah mereka, berusaha mendengar apa yang dibicarakan mereka. Ia mengecilkan jaraknya dengan anak laki-laki kecil itu dan mendengarkan dengan saksama.
“Kka, kalau kamu sudah besar nanti, kamu ingin jadi apa?” tanya sang Ayah sambil mengangkat laki-laki kecil itu ke pangkuannya.
“Cakka mau jadi musisi, biar bisa masuk televisi, Yah,” kata anak kecil itu sambil tersenyum kepada Ayahnya. “Nanti kalau Cakka udah bisa jadi musisi, Cakka akan buat banyak lagu untuk Ayah, Bunda, Kak Biru sama Kak Elang juga. Terus Cakka juga akan dapat banyak uang untuk Ayah dan Bunda.”
“Wah, kalau begitu kamu harus semangat ya buat menggapai cita-cita kamu itu!” kata Ayah menyemangati anaknya. “Nanti kalau Cakka udah jadi musisi hebat, Ayah akan kasih hadiah spesial untuk Cakka.”
“Bener, Yah?!” kata anak laki-laki itu dengan mata yang berbinar-binar.
“Bener dong!” kata Ayah, kemudian langsung mengacak-acak rambutnya sayang.
Cakka tertegun melihat adegan tersebut. Ia baru sadar kalau ternyata apa yang dilihatnya saat ini merupakan memori indahnya bersama keluarga belasan tahun yang lalu. Ia tak salah menduga, anak laki-laki itu berumur tujuh tahun. Kenapa dia bisa tahu? Jelas saja, anak itu ternyata adalah dirinya sendiri di masa lalu. Cakka ingat, ia pernah mengutarakan cita-citanya kepada Ayah dulu.
Seketika Cakka sadar, ternyata sudah lama juga mereka sekeluarga tidak pergi bersama. Selama ini kalau diajak pergi, Cakka selalu merasa malas. Kalaupun harus terpaksa pergi, Cakka selalu menyendiri, bukan bergaul dengan keluarga seperti yang apa yang dilihatnya sekarang.
Ia memutar tubuhnya, hendak berjalan ke arah lain karena tiba-tiba saja pemandangan yang dilihatnya barusan menghilang. Namun, begitu ia menoleh ke arah lain, ia kembali mendapati Ayah, Bunda, Biru dan juga Elang ada di sana. Aneh, apa yang terjadi di depannya sekarang seperti film nyata yang sedang berganti adegan.
“Cakka! Sini, Nak!” terlihat suara Bunda memanggil sambil menatap ke arahnya.
Perlahan-lahan Cakka berjalan menghampiri mereka. Seiring ia berjalan, Ayah, Biru dan Elang juga ikut tersenyum melihat Cakka. Begitu Cakka ada di hadapan mereka, Bunda langsung memeluk Cakka dengan sayang. Tangannya menggapai kepala anak bungsunya dan mengacak rambutnya sejenak.
“Maafin Cakka, Bunda...” panggil Cakka pelan di dalam pelukannya.
“Iya, nggak apa-apa, sayang,” kata Bunda. “Harusnya Bunda yang minta maaf. Bunda yang udah nggak mengerti perasaan kamu. Ayah, Kak Biru dan Kak Elang juga minta maaf, sayang.”
Cakka melepaskan pelukannya. Ia tatap Bunda sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya. “Dari dulu Cakka yang udah jahat sama kalian, ini semua sepenuhnya salah Cakka. Kalian nggak salah.”
“Ya udah, kita nggak usah bahas ini lagi deh. Kita mulai dari awal aja ya, Cakka?” Ayah angkat bicara. “Mulai sekarang kita harus terus saling menjaga, saling menyayangi walaupun nantinya kita jarang bertemu.”
“Mak.. maksud Ayah apa?” tanya Cakka kaget. Begitu melihat ke arah Ayah, ia baru sadar kalau masing-masing dari kakaknya sudah memegang koper masing-masing. Seketika rasa takut menguasai tubuhnya.
“Kakak kamu akan kuliah di luar negeri, Kka. Karena kami khawatir, jadi Bunda akan ikut kakakmu ke sana. Terus Elang juga dapat pekerjaan di luar kota, Ayah juga harus bertugas beberapa tahun di luar kota.” kata Ayah menunduk sedih.
“Apa?” kata Cakka kaget. “Kenapa nggak pernah ada yang kasih tahu Cakka? Terus kalau Bunda dan Ayah nggak ada di sini, Kak Elang sama Kak Biru juga nggak ada, nanti siapa yang akan menjaga Cakka di sini? Masa Cakka sendirian di rumah?”
 “Kamu sudah besar, kan, Nak? Kamu pasti bisa menjaga diri kamu sendiri di rumah. Kamu kan harus sekolah di sini, jadi mau nggak mau harus tinggal. Maafkan kami sayang,” kata Bunda sambil memeluk Cakka lagi.
“Bunda... Cakka tahu selama ini kalian kesal dengan sikap Cakka, tapi nggak begini caranya. Nggak begini. Cakka nggak mau ditinggal sendiri!” kata Cakka. “Nanti kalau Cakka rindu sama kalian semua bagaimana?”
“Kka, bukannya selama ini lo mandiri? lo pasti bisa tanpa kami,” kata Biru lirih. “Kakak yakin, ada atau nggak ada kami di samping lo, lo pasti akan tetap baik-baik aja di rumah.”
“Kak, kok lo ngomong begitu sih? Gue nggak bermaksud—“ kata-kata Cakka terputus karena Biru berjalan menjauhi semuanya sambil menarik koper. “Kak, lo mau kemana?”
“Gue juga harus berangkat, Kka,” kata Elang pelan. “Bun, Yah, kita harus segera berangkat secepatnya.”
“Iya, Lang,” kata Bunda sambil tersenyum ke arah anak sulungnya. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka kembali. “Kka, kamu baik-baik ya di sini, sayang? Nanti kita pasti sering-sering kabarin kamu, kok.”
“Tapi, Bun—“ kata-kata Cakka lagi-lagi terputus. Baik Bunda, Ayah, Elang dan Biru, semuanya berjalan menjauhinya. Sementara Cakka hanya bisa menunduk. Ah, mereka sama sekali tak memikirkan perasaan Cakka sekarang. Kenapa sih mereka semua harus pergi secara tiba-tiba kayak begini? Dan lebih bodohnya lagi, kenapa tak pernah ada yang mengungkit hal ini kepadanya? Apa karena selama ini Cakka sama sekali tak dianggap anggota keluarga karena sikap buruknya?
Cakka mengangkat kepalanya lagi. Bayangan mereka sudah jauh sekali. Seketika air mata mulai keluar dari kedua matanya. Mungkin ini kali pertama ia menangis untuk keluarganya setelah sekian lama ia memiliki hati yang beku.
Ia mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan sekuat tenaga agar tak menimbulkan suara isakan. Sebagai gantinya, beberapa detik kemudian, ia langsung berteriak sekencang-kencangnya. “BUNDAAAA!!!”

J L J

Cakka bangkit dari tidurnya dengan perasaan kaget. Nafasnya memburu, pelipisnya juga berkeringat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Tadi itu mimpi? Kenapa dia bisa-bisanya dia bermimpi seperti itu? Padahal, tadinya ia berpikir bahwa semuanya benar-benar akan meninggalkannya begitu saja di sini. Syukurlah semuanya bukan kenyataan.
“Huh...” desah Cakka sambil menghapus peluhnya. Kemudian, ia melamun saja di sana. Adegan-adegan menyedihkan di mimpi buruknya itu masih terbayang-bayang. Kata-kata Bunda dan Ayah di dalam mimpi itu, masih terasa menusuk. Kenapa sih mimpi itu harus terasa sangat nyata?
Cakka menopang dagu tirusnya dengan kedua tangannya. Seketika ia merasa bersalah. Mungkin ini karma untuk sikap-sikap buruknya selama ini. Bukan hanya kepada keluarganya saja, tapi juga dengan teman-temannya dan orang-orang masyarakat yang pernah ia temui. Uh, Cakka harus meminta maaf nanti. Minimal kepada keluarga yang sudah mendampinginya hingga ia bongsor seperti ini.
Cakka mengulurkan tangan ke lemari kecil di dekatnya untuk mengambil jam weker. Matanya membesar begitu melihat sudah jam berapa sekarang. Dengan cepat, ia langsung beranjak dari tempat tidur dan cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi. Gila, ternyata mimpi buruk tadi membuatnya molor hingga jam setengah sepuluh!
“MAMPUS GUE!”

J L J

Cakka berlari-lari menuju ruang musik begitu ia sampai di sekolah. Jam sudah hampir menunjukkan jam setengah sebelas lewat ketika ia tiba di sekolahnya, tak heran Anka, Gabriel, Dayat dan Alvin sudah tampak menunggunya sambil sibuk dengan alat musik masing-masing. Bahkan Ray juga sudah sibuk dengan gitar di dekat mereka. Benar-benar terkutuk ia dengan mimpi buruk itu! Bunda juga pakai membiarkannya istirahat lebih lama karena ia baru selesai ujian. Sudah tahu Cakka harus pergi ke sekolah pagi ini. Alhasil, Cakka hanya membawa diri. Gitar, botol minum, semuanya tertinggal di rumah karena ia sudah panik.
Dayat segera menyahut begitu melihat batang hidung gitarisnya itu muncul. “Akhirnya, muncul juga ini anak. Dari mana lo? Terus gitar lo mana? Gue kan udah pesen kalau nggak ada yang boleh telat selama latihan. Bandel!”
“Aduh, Day, lo ngomel-ngomel juga bikin latihan kita lebih telat kali! Gitar gue ketinggalan nih gara-gara kesiangan!” kata Cakka sambil duduk di sebelah Ray. “Udah, daripada lo kepo, mendingan kita mulai aja latihannya. Lagu apaan?”
“Perasaan kemarin keputusannya nyari lagu sendiri-sendiri deh,” kata Gabriel.
“Ampun deh, Kka, lo belum nyari lagu juga?” tanya Dayat sambil menggelengkan kepala. “Ya udah, lo pakai lagu-lagu dari Ray aja tuh, dia udah nyari sejumlah lagu. Nggak ada bantahan oke?”
“Iya iya, terus MIFI Band cuma nyanyi lagu kebangsaan nih? Bendera doang?”
“Itu buat acara awal,” sahut Alvin. “Acara akhirnya yang harus kita cari sendiri lagunya. Tadi sih kita rencananya mau bawain Di Atas Awan, nunggu persetujuan lo dulu.”
“Ya udah, apapun deh, gue mah ngikut aja.”
“Oke, Ray, nanti bantu kita main dram pas main Di Atas Awan, ya? Gantiin Alvin, soalnya dia nggak bisa lama-lama di pensi. Ada acara mendesak.” kata Dayat yang langsung diacungi jempol oleh Ray.
“Mau kemana lo?” tanya Cakka menoleh ke arah Alvin.
“Ada urusan penting,” kata Alvin singkat. “Udah ayo mulai aja latihannya.”
“Pinjam gitarnya, Ray,” kata Cakka langsung mengulurkan tangannya, meminta gitar.
Ray langsung menyodorkan gitar yang sedang dipangkunya dan langsung bertopang dagu dengan kedua tangannya, mengawasi teman-temannya latihan. Sebenarnya ia tak begitu terlibat dengan latihan band, namun duet dengan Cakka mengharuskan ia datang untuk latihan juga. Akhirnya, kakak-kakak seniornya meminta dirinya membantu main dram juga di akhir acara. Katanya sih, mereka sudah yakin ingin menjadikan Ray sebagai pengganti Alvin nanti, ketika dia lulus tahun depan. Dayat juga akan digantikan Kiki katanya.
Lagu Bendera dari Cokelat ternyata bisa dibawakan dengan apik oleh MIFI Band. Suara Dayat yang dibayang-bayangi dengan musik yang begitu bersemangat dari teman-temannya itu mampu membuat Ray kagum. Ia jadi malu sendiri karena teringat saat dulu ia baru mau masuk ekskul musik ini. Nyanyiannya sama sekali tak bisa dibandingkan dengan nyanyian Dayat. Selain itu, permainan gitar dari Cakka yang lincah, dan gebukan dram dari Alvin juga terlihat lebih lihai darinya. Dan yang Ray baru tahu adalah ternyata suara Cakka juga bagus. Ia menjadi backing vocal di lagu Bendera itu.
Ray tersenyum. Ia menangkap sosok Cakka yang berbeda ketika anak itu sedang berlatih. Sifat-sifat menyebalkan yang dipamerkannya setiap hari hilang begitu saja ketika dia sudah bergaul dengan gitar. Wajahnya bebas berekspresi. Kadang-kadang serius menatap gitarnya, kadang-kadang juga tersenyum ke arah personil yang lain. Belum lagi ketika Cakka berimprovisasi sendiri di tengah lagu. Pokoknya, benar-benar berbeda dengan Cakka yang selama ini dia kenal.
Sekitar satu jam Ray duduk di pinggir demi menunggu mereka selesai latihan. Yang ia lakukan hanyalah sesekali memberikan masukan jika mereka melakukan kesalahan, sekalian mengobservasi satu per satu personil MIFI Band, siapa tahu mendapatkan inspirasi agar ia bisa menjadi musisi yang lebih baik lagi. Bukannya ingin merendah diri, tapi ia memang harus berjuang lebih baik kalau ingin sebaik mereka.
“Oke, udahan deh lagu Benderanya. Sekarang kita lagu bebas dulu,” kata Dayat setelah mereka berkali-kali mengulang lagu kebangsaan band mereka. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Lo pada butuh istirahat dulu?”
Serempak semuanya menggelengkan kepalanya.
“Langsung aja Day, biar cepet selesai latihannya.” tambah Gabriel.
“Oke,” kata Dayat sambil mengangguk. Ia menoleh ke arah Ray. “Ray, lo masuk.”
Ray langsung berjalan menghampiri dram. Ia menyalami Alvin sejenak kemudian langsung siap di belakang alat musik pukul tersebut. Dengan aba-aba Dayat, mereka langsung memulai latihan kembali dengan lagu “Di Atas Awan”. Sesekali Cakka tampak tidak fokus sampai diomeli Dayat, tapi akhirnya ia bisa fokus kembali.

J L J

Setelah selesai latihan dengan teman-teman MIFI Band, semuanya langsung meninggalkan ruang musik kecuali Cakka dan Ray karena mereka berdua harus latihan duet. Dayat dan Gabriel langsung pergi ke mall untuk makan. Alvin katanya ingin balik ke kamar dan molor lagi. Sementara Anka langsung pamit tanpa keterangan.
Suasana langsung hening begitu tinggal Cakka dan Ray di ruangan. Ray memberikan daftar lagu yang berhasil ia cari di internet semalam kepada temannya itu, membiarkan ia sendiri yang memilih.
“Yakin? Entar lo protes lagi kalau gue yang milih,” kata Cakka.
“Memangnya kalau gue protes, ngaruh sama keputusan lo? Nggak kan?” tanya Ray sambil tersenyum. Ia sudah hafal dengan sikap Cakka yang pemaksa. Ucapannya itu sukses mendaratkan tangan Cakka di pelipisnya.
Ray nyengir menerima jitakan Cakka.
Setelah melihat-lihat sejenak, ia langsung menoleh ke arah Ray. “Lagu lo perasaan mellow semua, bro. Nggak ada yang lain apa? Yang cocok cuma Bunda sama Yang Terbaik Bagimu. Itu kan udah dipakai sama anak-anak.”
“Ya terserah lo, maunya lagu apa?” tanya Ray. “Gue mah ngikut aja. Tapi, kalau boleh saran sih, karena kita dua lagu, kita pakai satu lagu indonesia sama lagu barat. Tapi, kalau lagu barat gue nggak tahu.”
Cakka manggut-manggut, kemudian berpikir kembali. Lagu barat yang bagus, kalau bisa berhubungan dengan kasih sayang orang tua? Apa ya? Rasanya Cakka jarang mendengar lagu-lagu tema orang tua dalam lagu barat. Sebagian besar bertema tentang hubungan kekasih. Huh. Buat susah aja.
Ia terus berpikir, tapi bukannya judul-judul lagu yang nongol di kepalanya, malah justru mimpi buruknya tadi pagi yang terbayang-bayang. Ah, perasaannya mulai bergejolak lagi. Rasa bersalah mulai menguasai tubuhnya kembali. Sebenarnya apa sih maksud mimpi itu? Kenapa selalu menusuk perasaannya? Bahkan tadi pakai mengganggunya segala ketika latihan.
Ray menatap Cakka heran. “Kka, lo kenapa?”
Cakka menoleh sejenak ke arah Ray, kemudian langsung mengusap dahinya. “Eh, nggak. Gue cuma inget sama sesuatu yang nggak enak aja.”
Ray tersenyum. “Oh, lo lagi ada masalah?”
Cakka menggeleng. “Nggak, bukan apa-apa.”
“Kalau lo mau cerita, cerita aja dulu,” kata Ray. “Nggak baik juga kan kalau latihan tapi pikiran kemana-mana. Entar malah nggak fokus lagi kayak tadi.”
“Buat apa? Gue cerita juga beban gue nggak akan hilang,” kata Cakka malas.
“Gue memang nggak bisa buat beban lo hilang, tapi gue bisa mikul sebagian beban lo supaya lo nggak kesusahan, itu gunanya teman, kan?” tanya Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
Cakka diam saja mendengarnya.
“Ada hubungannya sama sikap lo?” tanya Ray lagi karena Cakka diam.
Cakka tetap diam, kemudian menghela nafas. “Gue cuma merasa takut mimpi buruk itu bakal jadi kenyataan. Bokap nyokap gue, dua kakak gue, semuanya bakalan ninggalin gue sendirian. Mereka bilang, ada atau nggak ada mereka di rumah, gue bakal baik-baik aja.”
“Bukannya selama ini lo memang betah sendiri?”
“Tapi, bukan berarti tanpa mereka gue bakalan baik-baik aja, kan?” tanya Cakka sambil menoleh ke arah Ray. “Memangnya lo baik-baik aja ditinggal sama nyokap lo? Dan kalau suatu hari adik sama bokap lo juga bakal ninggalin lo sendirian?”
Ray tersenyum. “Memang sih, kita bakal sedih banget ditinggal sama orang yang kita sayang. Tapi, suatu saat mereka juga pasti harus meninggalkan kita. Dan kita harus hadapi itu. Jadi, untuk apa sedih?”
“Jadi, menurut lo mimpi gue bakal jadi kenyataan?”
Ray mengangkat bahunya. “Entahlah. Yang jelas mimpi buruk lo itu nggak perlu dipikirkan. Kalau ini karma lo, kenapa nggak dari dulu aja lo mimpi begitu? Jauh sebelum lo mutusin buat berubah sikap?”
Cakka diam. Benar juga kata Ray. Kalau mimpi itu memang bertujuan untuk membuatnya menyesal, kenapa harus sekarang baru muncul? Harusnya dari kemarin-kemarin saja saat dia masih benar-benar jahat kepada semua orang. Tapi, entahlah, Cakka sendiri belum merasa berubah menjadi orang baik sampai sekarang. Masih banyak yang harus dia tebus.
Ray tersenyum. “Udahlah, lo nggak perlu bimbang begitu. Yang penting lo udah niat berubah. Itu aja udah bagus. Sekarang temen-temen sama keluarga lo juga udah lebih akrab sama lo, kan? Jadi, lo nggak perlu khawatir.”
“Tapi, gue merasa bersalah sama mereka semua.” kata Cakka menunduk.
“Lo masih punya banyak waktu untuk menebus kesalahan lo itu,” Ray kembali menepuk pundak Cakka. “Cuci muka gih, lo kayaknya perlu pencerahan. Kita istirahat dulu.”
Cakka langsung berdiri dari tempatnya. “Ya udah, gue mau sekalian ke kantin dulu beli minuman. Haus gue. Lo mau nitip?”
“Memangnya lo mau keluar duit buat gue?” tanya Ray sambil nyengir.
Cakka langsung menjitak Ray. Lagi-lagi mengungkit masa lalu. “Enak aja, pakai duit lo sendiri lah! Sini duit lo kalau mau beli juga.”
Ray tertawa, kemudian langsung memberikannya uang sepuluh ribuan. “Apa aja yang ada deh. Yang penting dingin dan nggak bersoda.”
“Oke.”
Cakka langsung meninggalkan ruang musik untuk membeli minuman. Tak butuh waktu lama untuk jajan di hari libur seperti ini, karena sudah dijamin tak ada keramaian yang harus dia terobos. Memang, walaupun sekolah sedang libur, kantin tetap buka karena ada beberapa murid yang masuk untuk untuk mengurus pensi. Guru-guru juga tetap masuk untuk rapat.
“Mas, teh botol satu, air mineral satu,” sahut Cakka sambil memberikan uang kepada penjua minuman. “Teh botolnya diplastikin ya, mau saya bawa.”
“Oke, Mas,” kata si penjual langsung mengambilkan pesanannya dan langsung memberikannya kepada Cakka. “Hari ini masuk toh, Mas? Saya pikir cuma guru-guru aja yang masuk.”
“Iya. Kan udah mau pensi, Mas,” kata Cakka sambil menerima pesanannya.
Cakka langsung meninggalkan kantin dan segera kembali ke ruang musik. Saat ia masuk kembali ke dalam ruangan, ia mendapati Ray sedang memainkan sebuah intro lagu sambil bernyanyi sendirian. Kebetulan, lagu yang dimainkannya itu adalah salah satu lagu favoritnya juga. Lost Stars dari Adam Levine. Cakka menyukainya karena tempo lagu yang lambat dalam lagu itu terkesan membuatnya nyaman.
“Kita bisa memakai lagu itu saat pensi nanti,” tiba-tiba Cakka bersuara.
Ray langsung menoleh. “Hei, sejak kapan lo balik?”
“Ya cukup lama buat dengerin lo nyanyi,” kata Cakka nyengir. Kemudian, ia menyodorkan sebotol air minum berukuran sedang kepada Ray. “Nih, minuman lo.”
Ray ikut nyengir melihat apa yang dibeli Cakka untuknya. “Air mineral?”
“Yang penting dingin dan nggak bersoda, kan? Ya air putih.” kata Cakka cuek.
Ray menggelengkan kepala mendengarnya, kemudian langsung membuka tutup botol minum itu untuk menyegarkan kerongkongannya. Setelah minum sedikit banyak, ia langsung bersuara. “Hei, dipikir-pikir, lagu Lost Stars itu cocok banget untuk acara puncak. Tapi, nyanyi bergantian. Jangan gue doang.”
“Yeee.. lo yang nyanyi, gue nggak mau.” kata Cakka.
“Yaelah, ayolah. Kalimat pertama lagu itu cocok banget sama lo tahu. Kalimat kedua baru gue yang nyanyi. Selebihnya entar kita bagi-bagi aja. Bagaimana?” tanya Ray.
“Nggak.” jawab Cakka tak jelas karena bibirnya masih sibuk menyeruput minuman.
“Bukannya tadi lo baru aja ngomongin mimpi buruk? Dan lo bilang walaupun lo selalu betah sendiri, tapi lo juga berharap keluarga lo juga selalu ada di sisi lo, kan? Nah, itu kan cocok banget sama lagu itu. Nanti kalau orang tua lo denger kita nyanyi lagu ini, lo pasti bisa baikan sama orang tua lo deh,” kata Ray. “Oke ya!”
Giliran Cakka yang menghela nafasnya. “Serah lo deh, Ray. Capek gue kalau debat sama lo. Maksa banget jadi orang.”
“Kan gue belajar dari lo.” kata Ray tersenyum.
Cakka langsung melirik Ray tajam begitu mendengar jawaban entengnya.
Ray tertawa. “Udah ah, ayo latihan!”

J L J

Jam sudah menunjukkan pukul dua sore, tapi Ray masih saja belum tampak batang hidungnya di rumah. Acha yang sedari tadi bosan di kamar segera menghampiri Ayah Ryan yang ternyata masih betah bekerja di sofa sejak tadi pagi.
“Ayah...” panggil Acha pelan, membuat Ayah menoleh ke arahnya.
Ayah Ryan tersenyum. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Kenapa, Cha? Sini duduk.”
Acha langsung menurut. Ia menatap layar laptop Ayah Ryan yang menunjukkan sebuah program. Ternyata, Ayah Ryan sedang menghitung-hitung anggaran perusahaan. Ia segera menoleh ke arah Ayah Ryan kembali. “Ayah lagi sibuk ya? Acha dari tadi nungguin Kak Ray, kok nggak pulang-pulang sih.”
Ayah Ryan merangkul anak bungsunya sayang. “Acha kenapa nungguin Kak Ray? Dia kan sedang latihan untuk pensi sekolahnya, sayang. Mungkin dia masih sibuk dengan teman-temannya.”
“Acha bingung, Yah. Acha selama ini jahat sama Kak Ray karena Acha nggak bisa terima kepergian Bunda. Tapi, Kak Ray tetap selalu berusaha menjaga Acha di rumah. Apa Acha udah keterlaluan, Yah?” Acha menyandarkan kepalanya di pundak Ayah Ryan.
“Kepergian Bunda itu takdir Tuhan, Acha. Bukan salah Kak Ray atau siapapun. Waktu itu, Kak Ray juga masih kecil seperti kamu, dia nggak sengaja membuat Bunda kecelakaan, kan? Jadi, seharusnya Acha nggak menyalahkan Kak Ray terus,” kata Ayah Ryan. “Ayah pernah bilang sama Acha, Kak Ray itu hatinya sakit karena kamu bilang kalau Kak Ray bukan kakak kamu.”
Acha diam saja, tak tahu harus menjawab apa.
“Udah bertahun-tahun kamu dan Kak Ray nggak saling bicara baik-baik. Nanti waktu dia pulang, bicaralah baik-baik sama dia, Cha. Jangan biarin kamu musuhan sama kakak kandung kamu sendiri, Kak Ray udah cukup sedih kehilangan Bunda.”
“Tapi, Acha takut, Yah,” kata Acha lirih. “Bagaimana kalau Kak Ray nggak bisa maafin Acha? Bagaimanapun selama ini Acha selalu marah-marah sama Kak Ray. Belakangan juga Kak Ray nggak banyak ngomong sama Acha. Apa udah terlambat, Yah?”
“Kak Ray pasti memaafkan kamu, Acha. Nggak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Asal kamu tulus ingin berubah, Kak Ray pasti maafin kamu, kok.” Kata Ayah Ryan lagi.

J L J

Begitu Cakka pulang dari latihan, rumah terlihat sangat sepi. Ayah juga pasti belum pulang kerja, jadi ia berniat untuk istirahat terlebih dahulu. Nanti saja baru bicara dengan Bunda, jika Ayah sudah pulang agar bisa sekaligus berbicara dengan keduanya. Lagipula, ini masih jam tiga sore. Elang pasti sudah pulang. Ia tak mau pembicaraannya dengan Ayah dan Bunda didengar mereka. Yang ada mereka pasti meledek melihat Cakka bisa tiba-tiba meminta maaf kepada Bunda dan Ayah.
Cakka pergi menuju dapur dan mengambil air untuk menyegarkan kerongkongannya sejenak. Setelah itu, barulah ia pergi ke ruang keluarga dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia menutup kedua matanya dengan sebelah tangan, berusaha melepas lelah yang menyerang. Latihan hari ini benar-benar menguras tenaga. Apalagi dengan Ray tadi. Selain harus mengulang-ulang lagu, ia harus beradu mulut juga dengan teman sebangkunya itu. Kalau cuma satu lagu sih nggak apa-apa, lah ini dua lagu. Benar-benar membuatnya penat.
Krek... Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang yang mendekat ke arah dimana Cakka sedang beristirahat. Begitu melihat Cakka sedang duduk sendirian di sofa, ia langsung menghampiri dan duduk di sampingnya. “Kamu udah pulang, Kka?”
Cakka menoleh. “Eh, Bunda... Baru aja, kok. Bunda dari mana?”
“Habis ke rumah seberang, ngobrol-ngobrol aja, habis kakak-kakakmu sibuk istirahat sih di kamar. Bunda nggak tega gangguin mereka,” kata Bunda sambil tersenyum. “Kamu mau teh? Kayaknya capek banget.”
Cakka menggeleng. “Nggak usah, Bunda.”
Bunda tersenyum. Beliau langsung menyetel televisi, kemudian berkata, “Ya udah, kalau begitu Bunda temenin deh di sini.”
Cakka diam saja karena tak tahu lagi harus berbicara apa. Tapi, begitu ia teringat sesuatu, ia langsung menegakkan posisi duduknya, kemudian bertanya kepada Bundanya. “Bunda, hari ini Ayah lembur nggak?”
“Hah? Nggak, memangnya kenapa?” tanya Bunda.
“Ada yang mau Cakka bicarain sama Bunda dan Ayah nanti. Mungkin habis makan malam.” kata Cakka.
Bunda menoleh ke arah Cakka. “Kamu ada masalah apa?”
“Hmm... Nanti aja Cakka ceritain, kalau Ayah udah pulang, Bun.”
Bunda segera mematikan televisinya karena tak ada tayangan yang bagus, kemudian langsung menepuk-nepuk pundak Cakka sebelum ia beranjak dari sofa. “Ya udah, Bunda siapin makan malam dulu ya.”
Cakka mengangguk pelan. Ia tatap punggung Bunda yang menjauh hingga hilang di balik pintu dapur. Ia menghela nafas, entah apakah ia bisa mengatakan kata maaf kepada kedua orang tuanya nanti. Rasanya benar-benar aneh. Dari dulu Cakka selalu pantang mengucapkan kata keramat yang satu itu.
TOK... TOK... TOK...
Terdengar suara ketukan pintu ketika Cakka sedang menunggu Bunda menyiapkan makan malamnya. Ia seraya bangkit dari sofa dan segera membukakan pintu depan tanpa banyak bicara lagi.
"Siapa y—“ kata-kata Cakka terputus ketika melihat seseorang di balik pintu depan. Ia membesarkan matanya kaget. Tak percaya siapa yang telah berdiri di hadapannya sekarang. "Lah elo?!"
Orang itu hanya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya kepada Cakka, kemudian memamerkan deretan giginya. Haha, ternyata berhasil juga dia menjalankan rencananya untuk mengagetkan Cakka. “Cieee... kangen ya sama gue?”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p