“Cieee... kangen ya sama gue?”
Cakka langsung memeluk orang yang ada di hadapannya sekarang dengan erat.
Kemudian, mempersilahkannya masuk ke dalam. Ia mengajak orang tersebut untuk
mengobrol di ruang tamunya. Setelah mereka duduk di sofa, baru Cakka bertanya,
“Kok lo bisa di sini sih? Bukannya lo pindah ke Amrik? Sekolah di sana belum
kelar satu semester, kan?”
“Kejutan dong,” katanya. “Gue belum masuk sekolah, entar semester genap
baru masuk. Nanggung sih, daripada gue masuk di tengah-tengah semester,
mendingan entar aja. Hehe, makanya sekalian ke sini, sekalian ikut nonton pensi
sekolah kalau bisa. Hitung-hitung reuni sama temen-temen sekolah juga. Kaget
kan lo?”
“Jadi sampai sekarang lo masih meliburkan diri? Curang lo! Alesan aja biar
liburnya panjang,” kata Cakka sambil menggelengkan kepalanya. “Lo tahu nggak,
sekolah tuh suram nggak ada lo, Difarandi Antaleca!”
“Suram? Yaelah, kayak gue apa aja. Gue kan cuma sempet berapa bulan sekolah
di MIFI, habis itu bokap gue pindah kerja,” katanya sambil tertawa. Kemudian,
ia menjitak pelipis Cakka pelan. “Lagian memangnya temen lo cuma gue? Ketahuan
nih juteknya nggak sembuh-sembuh.”
“Jahat lo!” kata Cakka menjitak balik. Kemudian, mereka tertawa.
Difarandi Antaleca atau yang biasa dipanggil Difa. Anak bermata sipit dan
murah senyum itu memang pindah ke Amerika setelah beberapa saat menjadi teman
sebangku Cakka dulu, sebelum Ray. Sifat bawel dan jailnya itu yang selalu akan
dirindukan oleh teman-teman SMA MIFI. Dialah yang satu-satunya bisa akrab
dengan Cakka dulu.
“Loh, Difa?” tiba-tiba Bunda muncul dari dalam.
“Tante, apa kabar?” Difa langsung berdiri dan menyalami beliau.
Bunda membalas uluran tangan Difa dan tersenyum. “Udah lama banget nggak
lihat kamu kemari. Kamu udah balik ke Indonesia, Nak?”
“Nggak, Tante, lagi liburan aja kok, makanya sekalian mampir. Udah lama
juga nggak ketemu Cakka dan temen-temen yang lain.” kata Difa sambil tersenyum.
“Oh, kalau begitu kamu ngobrol aja sama Cakka. Nanti Tante siapin minuman
dulu. Nanti ikut makan malam aja sama kita, Dif.” kata Bunda semangat.
“Aduh, nggak usah repot-repot, Tante. Difa juga cuma sebentar kok di sini,
nanti ada acara sama Papa Mama.” tolak Difa halus.
“Yah, sayang banget. Ya udah, kalau begitu, salam ya buat Papa Mama kamu,
Tante ke dalam dulu.” kata Bunda seraya masuk lagi ke dalam untuk menyiapkan
minuman.
Difa menggelengkan kepala sejenak, kemudian kembali duduk di samping Cakka.
“Bunda lo masih tetep sama ya, tetep aja baiknya kebangetan. Beruntung lo punya
Bunda kayak dia.”
“Alah, biasa aja lah, kayak Mama lo nggak baik aja.” kata Cakka.
“Selalu deh,” kata Difa sambil tersenyum. “Eh, cerita dong, bagaimana
sekolah selama gue nggak ada? Ada kejadian seru? Anak baru mungkin yang
nempatin tempat gue dulu? Terus ujian lo bagaimana?”
“Yang pasti anak baru yang nggak seseru lo, Dif,” kata Cakka singkat.
“Siapa? Ayo cerita dong!”
Cakka menyandarkan tubuhnya di sofa. Kemudian, perlahan-lahan langsung
menceritakan semua tentang Ray secara detail. Apa yang telah dilakukannya
sampai dia begitu membuat Cakka kesal. Tak lupa ia sisipkan sedikit tentang
cerita keluarga Ray yang ternyata tak lebih baik daripada kondisi keluarganya.
Pokoknya semuanya ia jelaskan hingga Difa menunjukkan berbagai macam ekspresi.
Sesekali Difa menjitak lagi pelipis Cakka karena ulahnya yang aneh, tapi
langsung disusul dengan raut wajah sedih dan tertawa kerasnya.
“Nyebelin banget, kan?” kata Cakka di akhir ceritanya.
“Ya lo juga pakai gengsi, Kalau kena karma kayak begini, repot kan lo? Lagian
Ray itu cuma salah satu contoh kenapa lo harus bersyukur kalau banyak orang
yang peduli sama lo.” kata Difa masih dengan sisa-sisa tawanya.
“Lo kan tahu, gue nggak suka dikepoin, Dif.” protes Cakka.
“Ya justru itu yang harus lo ubah, Kka. Biarin orang masuk ke dalam hidup
lo, kalau memang mereka terlalu kepo, lo jutekin nggak apa-apa.” kata Difa
sambil nyengir.
“Yeee... sama aja dong tetep aja gue jutek, bagaimana sih lo?” kata Cakka
heran.
“Ya intinya lo jangan terlalu sensi dulu kalau ditanya apa-apa sama orang,
itu aja. Kalau memang pertanyaannya terlalu privasi baru deh lo diemin,” kata
Difa.
“Terus gue harus ngediemin orang tua gue juga begitu?”
“Aduh, kalau mau masalah orang tua mah gampang, Kka! Lo tinggal jadi anak
yang baik, nurut sama orang tua, nggak melawan mereka, itu aja udah bisa
memperbaiki hubungan lo sama mereka kok.” kata Difa.
“Tapi, gue tetep nggak enak hati kalau gue belum minta maaf sama mereka.”
“Ya itu terserah lo. Gue kan cuma kasih saran, bro.” Difa tersenyum.
Cakka diam.
J L J
Ray baru saja pulang ketika ia tiba-tiba melihat Acha sedang duduk di teras
depan rumah. Adiknya itu tampak lesu. Raut wajahnya yang belakangan jarang ia
lihat itu tampak lelah. Sama sekali tak ada wajah sebal yang seolah-olah siap
mengusirnya pergi. Entah apalagi yang terjadi padanya. Ada sedikit harapan di
hati kecilnya ketika melihat batang hidung adiknya muncul di hadapannya.
Ray berjalan mendekati dan duduk di samping adiknya dengan ragu, bersiap
mental kalau-kalau adiknya itu masih tetap betah mengusirnya. Namun, kali ini
berbeda. Adiknya itu sama sekali bergeming tanpa mengatakan sepatah kata
apapun.
“Ada apa?” tanya Ray sambil menundukkan kepalanya.
Acha menoleh ke arah kakaknya sejenak, kemudian memalingkan kepalanya
kembali. Ia memainkan jemarinya pelan, berusaha mencari kata-kata yang cocok
untuk memulai pembicaraan. Perasaannya gugup, masih ada rasa takut dan canggung
yang terbesit di pikirannya. Aduh, apa yang harus dikatakannya?
Menyadari Acha diam saja, Ray menatap Acha balik. “Kamu lagi ada masalah?”
“Mm...”
“Cha...” Ray menyentuh punggung Acha pelan.
“Acha nungguin Kak Ray pulang.” kata Acha akhirnya, tanpa melihat ke arah
Ray.
Ray terdiam sejenak. Ia kaget dengan penuturan Acha barusan. “Kenapa?”
Acha diam lagi. Ia menggigit bibirnya pelan. Haruskah dia jujur sekarang?
Rasanya Acha belum siap dengan reaksi kakaknya nanti. Bagaimanapun juga, Acha
sudah banyak melakukan hal-hal jahat kepada Ray. Mungkin itu yang membuat Ray
seolah-olah tak bisa mengerti perasaan Acha selama ini. Bahwa ia hanya kecewa.
Ia sudah memaafkan, namun tak bisa melupakan kejadian itu.
Ray mulai khawatir menatap adiknya. “Cha, kamu kenapa diam aja? Kamu kenapa
nungguin kakak pulang? Kamu sakit? Atau Acha butuh apa? Bilang sama Kak Ray.
Jangan buat Kak Ray khawatir.”
Acha tetap diam. Tangannya mulai meremas pakaiannya kuat, mengumpulkan
kekuatan untuk menahan air mata yang terbendung di pelupuknya. Pelipisnya mulai
berkeringat, lidahnya terasa kelu untuk berkata apa-apa.
“Acha, kamu—“ panggil Ray terputus. Mulutnya terkunci ketika tiba-tiba Acha
menarik tubuhnya ke dalam pelukannya kuat-kuat. Gadis itu tiba-tiba menangis.
Suara isakan pelannya memecah keheningan di antara mereka.
“Maafin, Acha, Kak...” terdengar suara Acha yang mulai serak di belakang
kepalanya. “Maafin Acha...”
Nafas Ray tercekat mendengar suara lirih Acha. Raut wajah khawatir Ray
pelan-pelan berubah menjadi iba. Kedua tangannya membalas pelukan adiknya,
menepuk-nepuk punggungnya menenangkan. Setelah sekian lama berselisih dengan
adiknya, ia tak pernah mendengar adiknya berlinang air mata. Namun, yang pasti
ia tahu, mulai hari ini, semunya akan berakhir.
J L J
Cakka diam saja dengan kepala tertunduk. Ayah dan Bunda yang duduk di
hadapannya masih tetap setia menunggu anak bungsu mereka membuka suara. Suasana
ruang keluarga menjadi hening. Mau mulai bicara rasanya percuma, Cakka sama
sekali tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia mengangkat kepalanya, menatap
Ayah dan Bunda sambil menelan ludah.
Ayah menghela nafasnya lelah menatap anaknya tetap bergeming sejak tadi.
“Cakka, bukannya kamu bilang mau bicara? Ayo bicara. Ayah dan Bunda akan
mendengarkan kamu.”
“Hm... Yah, Bun,” kata Cakka pelan. Jemarinya yang sejak tadi dipermainkan di
atas lututnya semakin lama semakin kuat karena rasa canggungnya. “Apa... Apa
selama ini kalian benci punya anak kayak Cakka?”
Ayah dan Bunda saling pandang. Mendengar pertanyaan tidak biasa yang keluar
dari mulut Cakka itu, mereka langsung tahu bahwa anak mereka tersebut pasti
sedang ada masalah. Kalau tidak, buat apa juga anak cuek seperti Cakka
menanyakan hal itu. Cakka bahkan tak pernah peduli jika banyak orang
membencinya. Yang penting ia tetap bisa merasa hidupnya sudah cukup tentram
dengan sikap cueknya itu.
“Tentu nggak, Kka,” jawab Ayah. “Kami bangga punya anak kayak kamu.”
“Ya, bukannya sejak kecil kamu selalu masuk sepuluh besar? Kamu juga banyak
memenangkan banyak piala dan penghargaan karena ikut ekskul musik. Itu saja
sudah membuat kami bangga.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Tapi... selama ini Cakka sudah jahat sama Ayah dan Bunda. Selalu bicara
kasar kalau sama Ayah dan Bunda,” kata Cakka. “Bahkan Cakka juga suka
bertengkar dengan kak Biru dan kak Elang gara-gara ini.”
“Saudara berantem itu wajar, asal jangan sampai pukul-pukulan,” kata Ayah
sambil tersenyum. “Kamu kenapa, Nak? Sebenarnya kenapa kamu tiba-tiba bertanya
kayak begini, hm?”
Cakka menggeleng, kemudian menundukkan kepalanya. “Cakka cuma mau minta
maaf sama Ayah dan Bunda. Selama ini Cakka benar-benar nggak sopan. Harusnya
Cakka hormat sama Ayah dan Bunda, bukannya malah bersikap seolah-olah Cakka itu
paling hebat. Cakka... nggak mau kalian semua nanti ninggalin Cakka gara-gara
Cakka nggak baik sama kalian.”
Ayah menghela nafasnya lagi, kemudian beranjak dari kursinya untuk pindah
ke sebelah anak bungsunya. Tangannya langsung merangkul anak bungsunya
tersebut. “Kka, nggak ada yang akan ninggalin kamu sendirian. Ayah, Bunda, kak
Elang dan kak Biru pasti akan selalu ada buat kamu.”
“Beneran?” tanya Cakka menatap wajah Ayah.
Ayah mengangguk sambil tersenyum. “Bener kok. Memangnya kata siapa kita
juga mau pergi? Ayah kan harus kerja. Kedua kakak kamu harus kuliah.”
“Cakka cuma nggak mau mimpi buruk Cakka jadi kenyataan, Yah,” kata Cakka
sedih. “Cakka janji mulai hari ini Cakka akan berubah.”
“Sst... Udah, Ayah maafin,” kata Ayah sambil mengelus pundak Cakka. “Mimpi
buruk itu nggak usah dipikirin, Kka. Buktinya kita masih di sini semua kan,
nemenin kamu.”
Cakka mengangguk, kemudian tersenyum kecil.
“Ya udah, kamu nggak usah mikir yang enggak-enggak. Yang penting kamu
belajar dengan rajin, tetep jadi anak Ayah yang hebat, itu aja udah cukup buat
Ayah sama Bunda,” kata Ayah. “Betul kan, Bunda?”
“Iya, bener. Cakka itu tetep kebanggaan kita kok, walaupun suka bandel.”
kata Bunda setuju.
Cakka tersenyum. “Makasih, Yah, Bun. Cakka janji nggak akan bandel lagi.
Cakka akan berusaha ubah sikap Cakka, supaya di sekolah juga banyak temen. Dan
guru-guru udah nggak sebel lagi sama Cakka. Bahkan mereka udah sempet mau DO
Cakka dari sekolah.”
“DO?” kata Bunda dan Ayah kaget.
Cakka mengangguk. Kemudian cepat-cepat ia lanjutkan ucapannya. “Tapi, Cakka
janji, Cakka akan pakai kesempatan terakhir dari kepala sekolah untuk berubah,
Bun. Cakka nggak akan biarin Cakka putus sekolah dan ngecewain kalian. Bunda
sama Ayah... Nggak usah khawatir ya?”
Bunda dan Ayah tersenyum.
“Ya sudah, semangat ya, Kka!” kata Ayah menyemangati.
Cakka tersenyum. “Makasih, Ayah.”
Tak lama kemudian, Bunda juga ikut pindah duduk ke samping Cakka. Begitu
Bunda duduk di sampingnya, Cakka langsung memeluk beliau dengan erat. Disusul
dengan Ayah juga. Namun, berikutnya ia harus melihat Ayah terbatuk-batuk.
“Ayah kenapa?” tanya Cakka takut.
“Nggak apa-apa,” kata Ayah sambil tersenyum. “Mungkin kecapean. Belakangan
Ayah suka agak lembur sih.”
“Biar Bunda yang ambilkan minum.” Bunda langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur
untuk mengambilkan minum untuk Ayah. Sementara Cakka tetap di tempat untuk
menemani Ayah.
Cakka menatap iba keadaan Ayahnya. Selama ini ia terlalu asyik dengan
dunianya sendiri. Ia sama sekali tak menyadari bahwa hari demi hari umur Ayah
semakin bertambah. Waktunya untuk berbakti semakin hari semakin berkurang.
Entah sudah berapa ribu hari yang ia sia-siakan hanya untuk bersenang-senang
tanpa perduli perasaan orang tuanya sendiri. Huh, harusnya dari dulu ia ikut
menjaga kedua orang tuanya sebagai balas budinya selama ini. Tapi, ia tahu tak
ada gunanya menyesal sekarang.
“Minum, Yah,” kata Bunda ketika kembali dari dapur dan langsung memberikan
segelas air kepada Ayah.
“Iya, terima kasih,” kata Ayah langsung menghabiskan segelas air tersebut
pelan-pelan. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Kka, kamu ke kamar gih,
istirahat. Besok kan kamu latihan lagi di sekolah.”
Cakka langsung menurut. Ia berjalan meninggalkan ruang keluarga untuk pergi
ke kamar. Namun, sebelum ia sempat menyentuh gagang pintu kamarnya, ia
tiba-tiba teringat sesuatu. Ia berbalik badan dan segera menuju kamar kakak
sulungnya. Ia mengintip dari luar sejenak, memastikan kalau ia bisa masuk,
hingga pada akhirnya kakak sulungnya yang sedang sibuk di meja belajar
menyadari keberadaannya.
“Masuk, Kka, ngapain sih lo pake ngintip segala? Cuma kamar gue ini.”
katanya sambil menggelengkan kepala.
Cakka langsung masuk ke dalam sambil nyengir. Ia menggaruk-garuk tengkuknya
tak jelas karena malu. “Lo... lagi sibuk ya? Gue takut ngeganggu, makanya...
gue lihat dulu dari luar.”
“Alesan lo, kenapa sih?” tanya Elang sambil memutar kursinya menghadap
Cakka.
Cakka menggeleng.
“Yakin nggak butuh apa-apa?” tanya Elang lagi memastikan. “Biasanya juga
ada maunya kalau dateng ke sini. Ada apa sih lo hari ini? Perasaan aneh banget.
Tadi pas makan malam juga lo diem aja.”
Cakka menggigit bibirnya pelan, ia menelan ludah dan menatap kakaknya diam.
“Lah, dia malah bengong. Kenapa sih?” tanya Elang lagi heran.
“Itu... harus selesai besok ya?” tanya Cakka tiba-tiba melihat pekerjaan
kakaknya.
“Nggak lah, buat minggu depan. Ya kali gue ngerjain makalah survei sehari
doang,” kata Elang. Ia menepuk setumpuk kertas di mejanya. “Tapi, gue kurang
peserta nih. Kuisoner gue masih ada lima lembar lagi. Besok gue mau nyari
lagi.”
Cakka mengambil tumpukan kertas itu dan melihatnya. Ia tersenyum.
“Kak, ini biar gue aja yang bawa.” kata Cakka.
“Hah? Lo mau ngapain?” tanya Elang sambil menaikkan alisnya.
“Ada deh.” Cakka langsung pergi meninggalkan kamar kakaknya tanpa pamit.
“Eh... Lah, dia kabur,” kata Elang sambil menggarukkan kepalanya yang tak
gatal. Ia heran melihat adik bungsunya yang tiba-tiba aneh. Ia menggelengkan
kepalanya sejenak, kemudian sibuk dengan pekerjaannya kembali. Paling-paling
adik bungsunya itu memang lagi somplak otaknya.
J L J
TEEEEEEET.... TEEEEEEET...
Cakka bergerak-gerak mendengarkan suara keras dari jam wekernya tersebut.
Ia membalikkan badannya memunggungi jam weker dan menutup wajahnya dengan
guling. Tapi, tetap saja suara jam weker itu mengganggu. Ah, rasanya cepat
sekali sudah pagi. Padahal, matanya masih butuh istirahat. Biar saja, nanti
jamnya juga akan diam sendiri.
TOK... TOK... TOK...
“Cakka?” terdengar suara dari luar. “Bangun, Kka, udah jam delapan tuh!”
Setelah wekernya diam, ternyata ada alarm lain yang berbunyi. Ah, Cakka lupa!
Kakak perempuannya itu kan tak pernah absen membangunkannya setiap pagi. Dengan
sangat terpaksa, ia harus bangun demi keselamatan telinganya. Ia beranjak dari
tempat tidur dan membuka pintu kamar dengan wajah dan rambut yang masih
berantakan.
“Iya iya, gue bangun, berisik banget lo pagi-pagi deh,” kata Cakka setengah
sadar. “Udah, lo turun aja, Kak. Gue mandi dulu.”
“Lah, tumben langsung melek,
biasanya juga harus gue labrak dulu,” kata Biru dengan wajah kaget.
“Kalau gue nggak bangun, entar lonya buang-buang tenaga.” kata Cakka
singkat, kemudian langsung mengambil peralatan mandi dan masuk ke dalam toilet
untuk membersihkan badan. Meninggalkan Biru yang masih terdiam di ambang pintu
adiknya.
“Kesambet apa itu anak?” tanya Biru heran. Ia langsung turun ke ruang makan
kembali, dimana Elang, Bunda dan Ayah sudah menyantap sarapan dari tadi. “Bun,
kayaknya Cakka lagi aneh tuh.”
“Kenapa lagi itu anak, Bi?” Elang yang menyahut.
“Mana gue tahu, aneh aja. Masa tadi dia bisa langsung bangun gitu, padahal
biasanya juga harus gue berantakin dulu kamarnya,” kata Biru. “Katanya kalau
nunggu gue teriak-teriak dulu, entar gue buang-buang tenaga.”
Bunda tersenyum. “Bagus dong, Bi, berarti kan dia peduli sama kamu.”
“Ya ampun, Bun, tapi kan aneh, nggak ada angin, hujan, badai, tiba-tiba
jadi begitu.”
“Bukan lo doang yang kena, tadi malem juga gue kena. Dia masuk ke kamar
gue, bengong kayak orang linglung, terus nanya-nanya tugas gue. Ujung-ujungnya
kuisoner gue diambil sama dia.” kata Elang setelah menelan makanannya. Pagi ini
Bunda membuatkan omelet sosis untuk semuanya.
“Ya kalian nggak usah pusing-pusing,” kata Ayah sambil menutup korannya.
“Ambil aja sisi positifnya. Kan kalian juga yang selama ini mau Cakka perhatian
sama keluarga. Harusnya seneng dong. Siapa tahu Cakka mau bantuin tugas kamu,
Lang. Terus dia juga nggak mau nyusahin Biru lagi.”
“Semoga aja begitu, Yah,” kata Biru sambil tersenyum. “Tapi, aku penasaran
aja sih, kenapa dia tiba-tiba bisa berubah begitu. Siapa yang udah buat dia
sadar ya? Gue harus makasih banyak sama dia.”
“Yaelah, lebay lo,” kata Elang sambil tertawa. “Habisin dulu tuh sarapan
lo.”
“Iya, iya.” Biru langsung mengambil tempat duduk dan melanjutkan sarapannya
yang tadi sempat tertunda karena harus memanggil Cakka.
Tak lama kemudian, Cakka juga bergabung dengan mereka. Ia mengambil tempat
duduk di sebelah kakaknya dan segera melahap sarapannya dengan tenang. Bunda
dan Ayah tersenyum melihat anak bungsu mereka.
“Begitu dong, jagoan Ayah harus bisa bangun pagi.” kata Ayah sambil tersenyum.
Cakka nyengir. “Makasih, Ayah.”
“Kalau lo bisa begini setiap hari, Kka, gue juga makasih banget sama lo,”
kata Biru. “Lagipula, kalau lo nggak bangun telat begini, lo bisa ngumpul
bareng kita dulu sebelum berangkat sekolah. Nggak buru-buru terus.”
“Entar lo berangkat bareng gue aja, Kka.” kata Elang sambil tersenyum.
“Tapi, lo kan jam sembilan, Kak. Memangnya keburu?” tanya Cakka.
“Yaelah, sekolah lo sama kampus gue kan nggak jauh-jauh amat. Udah nggak
apa-apa,” kata Elang. “Udah lama juga kita nggak berangkat bareng. Entar gue
nggak bisa jemput lo, kuliah sampai sore.”
Cakka menghela nafasnya, kemudian tersenyum tipis. “Serah lo deh, Kak.”
“Wah, Cakka senyum loh sama Kak Elang, kejadian langka nih,” kata Biru
sambil tertawa. “Bun, Yah, kayaknya nanti malem kita harus syukuran buat
ngerayain hari pertama Cakka bisa senyum tulus sama kakak kandungnya sendiri.”
Wajah Cakka seketika berubah datar lagi. “Mulai kan lebay-nya!”
“Yeee... itu fakta kali!” kata Biru. “Udah, cepetan habisin sarapan lo.
Nggak ada gunanya lo bangun pagi kalau makannya tetep aja lelet.”
Cakka menggelengkan kepalanya mendengar ucapan kakaknya yang begitu
cerewet. Ia segera menghabiskan sarapannya dengan cepat dan langsung berangkat
dengan Elang. Sepanjang perjalanan ke sekolah, mereka berdua tak banyak bicara
karena memang dari dulu tak pernah dekat. Namun juga tidak bertengkar. Begitu
sampai di sekolah, Cakka langsung turun dari mobil kakaknya dan menatap
kakaknya lewat jendela mobil.
“Semangat ya, latihannya.” kata Elang sambil mengacungkan kepalan
tangannya.
Cakka diam sejenak, kemudian tersenyum. “Semangat, Kak, kuliahnya.”
Elang tersenyum balik, kemudian langsung menutup kaca jendela mobilnya dan
segera melesat pergi. Sementara itu, Cakka langsung pergi ke ruang musik untuk
latihan. Sesuai dugaan Cakka, teman-temannya langsung menatapnya heran begitu
tahu ia tidak telat. Bahkan sikap juteknya terasa menghilang begitu saja.
Emosinya sangat terkontrol, walaupun terkadang ia masih juga tetap menjaga
gengsi. Memang sih, sejak ujian berlangsung, anak itu sudah tidak terlalu cuek,
namun sekarang ia benar-benar sudah berubah. Cakka, cowok cuek, jutek dan
sombong itu bisa tiba-tiba berubah baik.
Selain itu, kali ini latihan juga diramaikan oleh Difa yang ingin ikut
melihat Cakka latihan dengan teman-temannya. Dari situ juga Difa bisa mengenal
dan cepat akrab dengan Ray, selama latihan berlangsung mereka selalu mengobrol
jika Ray masih harus menunggu anak-anak MIFI Band latihan. Memang, itu hal yang
bagus. Tapi, kadang-kadang Cakka kesal juga melihatnya. Bukan apa-apa,
kadang-kadang mereka itu suka kompak meledeknya.
“Kayaknya gue harus nyesel ngajak lo ke sekolah,” katanya setelah selesai
latihan sambil menggelengkan kepalanya.
Difa tertawa mendengarnya. “Harusnya lo bersyukur, gara-gara gue ikut, gue
kan jadi kenal sama temen-temen lo. Terus nanti kalau ada apa-apa, gue bisa
bantu kalau lo lagi nggak ada di tempat.”
“Bersyukur apaan? Bentar lagi lo juga balik ke Amrik! Habis pensi langsung
balik kan lo?” kata Cakka sambil menjitak kepala Difa. “Udahlah, balik yuk. Gue
mau nongkrong di kafe. Lo pada mau ikut?”
“Gue mau!” kata Difa semangat.
“Gue mah ngikut aja.” kata Ray sambil tersenyum.
“Oke,” kata Cakka sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah teman-temannya yang
masih sibuk mengobrol sendiri. “Hei, Anka, Yel, Vin, Day! Lo pada mau ikut
nggak ke kafe? Nongkrong sebentar.”
“Nggak deh, gue masih ada urusan di sini.” kata Dayat.
“Iya, gue juga mau balik.” kata Alvin.
“Gue juga.” Gabriel ikutan menyahut.
“Kalau begitu, gue aja yang ikut kalian deh. Bosen gue di rumah.” kata
Anka.
Dayat mengangguk-angguk, kemudian menoleh ke arah Cakka. “Kalau begitu lo
berempat hati-hati di jalan. Gue harap besok juga lo nggak telat, oke?”
“Iya, iya. Bawel lo,” kata Cakka sambil tertawa. “Udah yuk, cabut.”
Cakka, Difa, Ray dan Anka langsung pergi ke kafe yang tak jauh dari sekolah
mereka. Sesampainya di sana, mereka langsung mengambil meja yang berdekatan
dengan jendela dan memesan beberapa minuman. Sambil menunggu pesanan, Cakka
mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Gue... boleh minta tolong?” tanya Cakka sambil meletakkan beberapa kertas
di atas meja mereka. Sebenarnya, ia tidak enak hati untuk meminta tolong, tapi
ini harus ia lakukan demi perbaikan hidupnya.
Difa langsung mengambil salah satu kertas itu untuk membacanya sejenak.
“Hm, kuisoner. Punya siapa nih, Kka? Perasaan sekolah lo lagi libur deh.”
Cakka menghela nafasnya. “Udah nggak usah banyak tanya. Pokoknya isi aja
deh.”
Anka, Difa dan Ray saling berpandangan. Heran dengan keinginan Cakka yang
satu ini. Namun, akhirnya mereka mengangkat bahu cuek dan segera mengisi
kuisoner tersebut, masing-masing satu lembar sehingga tersisa satu lembar
kuisoner yang belum terisi. Tak sampai lima menit, mereka sudah selesai.
Bertepatan dengan datangnya minuman mereka.
“Terima kasih, Mbak,” kata Difa sopan ketika pelayan kafe menaruh satu per
satu minuman yang mereka pesan. Setelah menyeruput sedikit kopinya, ia kembali
bersuara. “Itu yang terakhir buat siapa, Kka?”
“Entahlah, nanti gue cari lagi.” kata Cakka cuek.
“Kenapa nggak di ruang musik aja sih lo kasihnya? Kan tadi rame.” kata
Anka.
“Ya kali gue nawarin mereka. Entar dikira apaan lagi.” kata Cakka langsung
jutek.
“Oh, gengsi.” gumam Anka pelan.
Cakka melirik tajam ke arah Anka. “Apa lo bilang?”
“Nggak.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p