Ayah Ryan sedang menikmati teh hangatnya ketika Ray baru saja pulang. Ia
langsung tersenyum begitu melihat batang hidung anaknya sudah muncul di balik
gelapnya ruang keluarga, dimana dia berada sekarang. Ray yang menyadari
keberadaan Ayahnya langsung menaruh tas di sofa dan duduk di samping Ayahnya.
“Ayah.” panggil Ray sambil tersenyum. “Ayah kok udah pulang? Ini kan masih
sore.”
“Iya, Ayah sengaja pulang cepat supaya Ayah bisa menjaga Acha. Takutnya dia
malah lemes lagi kayak kemarin. Kamu kan juga lagi sibuk.” kata Ayah Ryan.
“Oh, terus kerjaan Ayah bagaimana?”
“Ya Ayah bawa pulang dong, Ray. Biar Ayah kerja di rumah aja. Ayah juga
udah cuti sampai lusa kok, jadi bisa menjaga kalian sebentar. Lagian Ayah kan
udah lama banget lembur terus. Kasihan kalian berdua aja di rumah.”
Ray manggut-manggut mengerti. Kemudian, ia langsung bertanya dengan suara
pelan, “Bagaimana keadaan Acha, Yah? Dia pasti masih marah ya sama Ray
gara-gara Bunda pergi?”
Ayah Ryan diam sejenak menatap Ray kasihan, kemudian ia mengangguk pelan.
Ray menghela nafasnya lelah. Entah sampai kapan Ray harus menunggu adiknya
itu bisa menerimanya. Ray mengerti, memang susah menerima kepergian Bunda. Hal
semacam ini sulit untuk siapapun. Tapi, ia juga tak bisa melakukan apa-apa.
“Kamu sendiri kok baru pulang? Dari mana?” tanya Ayah Ryan membuyarkan
lamunannya.
“Habis jenguk Bunda, Yah. Sekalian nyelesain masalah sama temen sekolah
Ray,” kata Ray sambil cepat-cepat tersenyum.
Ayah Ryan manggut-manggut mengerti. “Oh, begitu? Coba cerita sama Ayah.
Ayah udah lama deh nggak dengerin kamu cerita tentang sekolah kamu semenjak
kamu masuk ke SMA. Kamu pasti punya banyak temen ya? Terus kamu ada masalah apa
sama temen sekolah kamu?”
Ray tersenyum. “Cuma masalah kecil kok, Yah.”
“Masalah apa? Ayo dong cerita. Ayah penasaran nih.” kata Ayah Ryan.
Ray tertawa. “Dia itu cuek banget sama lingkungan sekitar, Yah. Dan kurasa
dia itu nggak gampang percaya sama orang. Sekalinya dikecewain, langsung deh
sebel seumur hidup. Ray aja sering dibentak-bentak. Temen-temen sekolahnya
juga.”
“Oh ya?”
Ray mengangguk. “Tapi, kalau buat Ray, itu sih wajar-wajar aja. Sifat orang
kan beda-beda. Tapi, yang buat Ray kecewa, dia tuh kurang ngehargain keluarga.
Makanya, Ray ajak aja ke makam Bunda. Terus Ray cerita deh soal keluarga kita
supaya dia tahu kalau dia masih termasuk beruntung. Semoga aja dia bener-bener
berubah.”
“Memangnya kamu nggak takut dibentak-bentak terus?” tanya Ayah Ryan.
Ray menggeleng. “Dia begitu kan ada alasannya, Yah.”
Ayah Ryan tertawa kecil mendengarnya, kemudian ia langsung merangkul dan
mengacak-acak rambut Ray dengan sayang. “Kamu tuh ya, bener-bener mirip sama
Bunda. Selalu bisa ngertiin orang.”
Ray tertawa senang merasakan belaian Ayah Ryan. Rasanya sudah lama juga
tidak merasakan belaian itu. Tapi, Ray sama sekali tidak marah. Bagaimanapun
juga, Ayah Ryan harus bekerja lebih keras untuk menghidupinya dan Acha, karena
sekarang perannya bukanlah hanya menjadi seorang ayah, tapi juga seorang Bunda
untuk kedua anaknya.
J L J
Ujian akhir sudah berlalu seminggu. Itu artinya masih ada beberapa hari
lagi perjuangan mereka sebelum akhirnya sekolah libur. Seperti biasanya, pagi
ini sekolah sudah ramai dengan anak-anak yang sibuk belajar untuk persiapan
ujian. Dari kantin, koridor sekolah, bahkan kelas juga ada yang sudah ramai.
Di kelas Cakkapun begitu. Sudah ada beberapa anak yang datang dan duduk
manis sambil menghafalkan rumus-rumus kimia yang akan diuji hari ini. Termasuk
Rio, Deva dan Ray. Mereka bertiga sudah sampai sekitar jam setengah tujuh,
mengobrol sebentar dan langsung duduk di kursi masing-masing untuk belajar.
Tapi, belum sepuluh menit semuanya serius belajar, tiba-tiba perhatian
mereka tersita dengan seseorang yang baru masuk ke dalam kelas dengan wajah
cerah. Cakka! Betapa terkejutnya teman-teman sekelasnya melihat anak itu bisa
datang pagi, dengan wajah yang berekspresi, baju seragamnya rapi pula. Padahal,
selama ini kalau dia datang ke sekolah, belum apa-apa wajahnya sudah muram, baju
seragamnya juga pasti dikeluarkan setengah. Mata mereka melotot seolah-olah
melihat keajaiban.
“Hei, Ray,” sapa Cakka sambil duduk di kursinya.
Ray menoleh. Begitu ia menyadari siapa yang datang, ia langsung
menyalaminya ala laki-laki. “Hei, Kka.”
“Eh, gue nggak mau ribet ya, pokoknya lo harus ngajarin gue kimia. Yang bab
terakhir gue agak-agak lupa nih,” kata Cakka sambil mengeluarkan buku paket dan
buku tulisnya ke meja. “Kayaknya gara-gara gue kebiasaan nggak belajar deh.”
“Oh, gampang,” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
“Ngomong-ngomong, ceritanya lo udah nggak hobi tidur lagi nih? Pasti pagi lo
hari ini menyenangkan deh.”
“Nggak pake acara kepo ya, Ray, gue udah ribet tadi di luar tahu nggak,
sama anak-anak.”
Ray tertawa. “Anak-anak pada bersyukur sih lo nggak lupa bawa ekspresi hari
ini.”
“Berisik lo. Nggak gue ajak main di pensi entar baru tau rasa.” kata Cakka
sebal.
“Eh? Ada pensi? Kapan?” tanya Ray langsung antusias. “Kok lo jahat sih
nggak ngasih tau gue? Lo kan tahu gue demen banget sama musik.”
“Yeee... gue tau ada pensi aja baru tadi. Anka yang ngasih tahu gue,” kata
Cakka. “Lagian tiap tahun kan emang selalu ada pensi tutup tahun. Katanya sih
bulan depan, jadi kita harus siap-siap dari sekarang. Entar lo bisa latihan,
kan?”
Ray mengangguk-angguk cepat. “Tentu! Kapan aja gue bisa, kok.”
“Oke, bagus, jadi sekarang intinya lo mau ngajarin gue atau nggak?”
“Ya ayo aja sih gue. Tinggal kasih gue soal, entar gue jawab sambil gue
jelasin.” Kata Ray. Tangannya mengibas-ngibas meminta soal, sukses membuat
Cakka bergidik.
“Elah, baru nyadarin gue udah sombong lo,” kata Cakka menyingkirkan tangan
Ray itu. Kemudian, langsung memberikan buku tulisnya kepada Ray. “Itu tuh yang
tiga soal terakhir.”
Ray tertawa kecil. “Ini tuh begini...”
Cakka dan Ray sibuk belajar bersama. Yang lain juga akhirnya lebih memilih
untuk kembali belajar daripada memperhatikan Cakka terus. Rio dan Deva juga.
Tadinya mereka juga sempat nyengir melihat perubahan Cakka. Mereka jelas
penasaran apa yang telah membuat teman sekelas mereka yang galak itu tiba-tiba
melunak. Tapi, melihat keakraban Cakka dengan Ray sekarang, mereka berdua yakin
ini pasti karena Ray.
Bukan anak-anak saja yang merasa heran dengan perubahan Cakka. Guru-guru
yang mengajar pada hari itu juga merasakannya. Cakka yang tadinya dikenal
sebagai murid yang malas belajar dan kerjanya hanya tidur di kelas, sekarang
justru duduk tegak dan mendengarkan penjelasan mereka dengan saksama. Dia juga
tampak lebih aktif dari sebelumnya. Perubahan Cakka itu begitu drastis hingga
Pak Duta bertanya kepadanya dengan tatapan kasihan apakah dia sakit atau tidak.
Cakka sampai menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan tersebut.
“Jadi, Bapak lebih senang saya menjadi murid yang suka tidur di kelas?”
Pak Duta hanya nyengir mendengar jawaban anak muridnya tersebut.
J L J
Istirahat kali ini Cakka makan beramai-ramai dengan Ray, Rio dan Deva. Dan
tak seperti kemarin, mereka semua makan siang dengan riang gembira. Rio dan
Deva yang notabene kemarin baru saja bertengkar hebat dengan Cakka juga tidak
keberatan Cakka bergabung asal dia tak membuat masalah lagi, karena
pertengkaran kemarin itu kan hanya untuk mengingatkan Cakka bahwa selama ini
dia sudah keterlaluan, bukannya karena mereka benci kepada teman sekelas mereka
itu.
“Eh, Ray, lo ngapain Cakka kemarin sampai dia kayak begini? Pake ilmu
psikolog apaan lo?” tanya Rio kepo. “Kayaknya enak juga ya punya orang tua
psikolog, jadinya bisa ngubek-ngubek sifat orang begitu.”
“Apaan sih lo, Yo, bawel banget tau nggak?” sahut Cakka langsung melotot ke
arahnya.
“Siapa juga yang ngajak ngomong lo!”
Ray tertawa kecil melihat kedua temannya. “Udah, udah. Kalian tuh kayak
kucing sama anjing aja, berantem terus. Gue nggak ngapa-ngapain dia kok. Dia
sendiri yang udah memaafkan diri dia sendiri.”
“Asyik kata-katanya,” kata Deva. “Tapi, serius lo nggak ngapa-ngapain? Anak
keras kepala begini bisa tiba-tiba sadar sendiri kalau selama ini dia nggak
bener sama anak-anak? Keajaiban dunia banget.”
“Yah, gue cuma bantuin dia nyadar kok kemarin di kuburan,” kata Ray sambil
tertawa.
“Apa? Jadi, ternyata Cakka yang selama ini berani sama semua orang, bisa
ditaklukkin sama daerah sepi kayak kuburan? Lain kali gue kasih lo kado ulang
tahun jalan-jalan ke kuburan bagaimana, Kka?” kata Deva ikut tertawa.
“Coba aja kalau berani, abis lo di tangan gue!” kata Cakka langsung
menjitak pelipis Deva yang duduk persis di sebelahnya. Sementara Rio duduk di
seberang mereka bersama Ray.
“Ah, lo nggak lupa bawa ekspresi, tapi masih aja lupa bawa kelembutan ya?
Dasar bunglon es campur. Sekali es campur tetep aja es campur.” kata Rio sambil
menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke arah Ray. “Ray, kayaknya lo mesti kasih
temen lo ini pelajaran kepribadian juga deh.”
“Ide bagus.” kata Ray setelah menelan bakso yang dikunyahnya.
Cakka langsung melotot geram ke arah teman sebangkunya tersebut. Sukses
membuat Ray nyengir melihatnya. Jari telunjuk dan jari tengah Ray langsung
terangkat sebelum Cakka benar-benar mengamuk kepadanya.
“Udah, udah, yang penting sekarang, Cakka udah nggak senyebelin kemarin.
Kita bisa berteman baik begini aja gue udah seneng akut,” kata Deva. “Pokoknya,
kita harus kompak begini sampai kapanpun, oke?”
Semuanya langsung mengacungkan jempol mereka kepada Deva.
“Eh, tapi kok gue nggak tahu kalau orang tuanya Ray psikolog?” tanya Cakka.
“Yeee... Siapa elo?!” seru Rio dan Deva kompak. Ray yang baru mau menjawab
hanya tertawa melihat tingkah Rio dan Deva. Benar-benar deh, anak-anak SMA MIFI
selalu membuatnya betah bersekolah. Sifat-sifat unik mereka yang selalu bisa mencairkan
suasana itu yang membuat Ray tak pernah sedih menjalani hidup.
“Gue nanya! Nggak boleh?” tanya Cakka sebal.
“Cieee... Cakka bisa kepo juga,” kata Rio jahil sambil tertawa.
“Rese lo, Yo!” Semuanya langsung tertawa mendengarnya. Cakka dan Rio dari
dulu memang tak pernah bisa akur, sekalipun mereka tidak bertengkar. Dasar,
anjing dan kucing abadi banget pertemanan mereka.
“Eh, udahan yuk, habis ini pelajaran seni, nggak rela gue telat masuk di
pelajaran kesukaan gue. Katanya hari ini kita menggambar bebas, jadi gue pengen
cepet-cepet ngayal nih.” kata Deva langsung beranjak dari kursinya.
“Oh iya, gue baru nyadar udah mau masuk,” kata Rio sambil melirik jam
tangannya.
“Ya udah, ayo balik.” kata Ray sambil tersenyum. Mereka berempat langsung
beranjak dari kursi mereka dan berjalan mengikuti Deva yang sudah berjalan
duluan di depan karena dia sudah duluan berdiri.
J L J
“Cakka!”
Cakka yang hendak berjalan ke ruang musik bersama Ray saat itu langsung
menoleh begitu mereka mendengar seseorang memanggil. Ia langsung menatap
bingung ke arah sumber suara itu begitu melihat ternyata yang memanggilnya itu
adalah Biru. Kakak perempuannya.
“Kak Biru?” tanya Cakka heran menatap kakaknya.
“Gue dengar lo harus latihan mendadak ya bareng band sekolah?” tanya Biru
sambil tersenyum. Kemudian, ia menyerah sebuah kotak putih kecil kepadanya.
“Nih, makan. Tadi gue sengaja beli di kantin buat lo. Biar tambah semangat
latihannya. Entar biar gue aja yang bilang sama Bunda kalau lo bakal pulang
telat.”
Cakka terdiam sejenak, kemudian menerima kotak tersebut dengan ragu. Ia
membuka kotak tersebut sejenak, kemudian tersenyum kecil melihat isinya. Ia
menutup kotak tersebut kembali dan menatap kakaknya. “Makasih, Kak.”
“Sama-sama,” kata Biru sambil tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah Ray.
“Eh, ini temen lo? Kayaknya gue nggak pernah lihat. Anak baru ya?”
Ray mengangguk. “Gue baru masuk tengah semester ini, Kak. Jadi temen
sebangkunya Cakka. Nama gue Ray. Kakak ini...”
“Oh, gue kakak keduanya Cakka. Biru Putri Karayne, satu tingkat di atas
kalian. Salam kenal ya, Ray,” kata Biru sambil menyalami Ray. “Eh, Kka, lo kok
nggak pernah cerita ada anak baru di kelas lo? Pelit cerita banget sih lo.”
“Nggak penting lah, Kak. Udah, gue sama Ray mau latihan dulu, lo ganggu aja
deh. Ayo, Ray. Udah telat kita.” kata Cakka dengan nada datar. Kemudian,
langsung berjalan meninggalkan kakaknya.
Biru menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya tersebut.
“Gue duluan ya, Kak,” kata Ray sambil tersenyum sejenak kepada Biru,
kemudian langsung berlari menyusul Cakka. Sekilas, Biru sempat mendengar Ray
berteriak. “Woi, tungguin gue kali, Kka!”
Biru tersenyum melihat kepergian Ray. Cakka memang sudah berubah. Bahkan
tadi pagi Cakka bisa dibangunkan tanpa harus diteriaki olehnya, kemudian
menuruti apa kata Bunda dan Ayah. Pokoknya tadi pagi benar-benar berbeda dari
pagi-pagi sebelumnya. Tak ada teriak-teriakan yang terjadi gara-gara adiknya
itu menyebalkan. Contohnya barusan. Sebelumnya, mana pernah Cakka bilang terima
kasih kalau dikasih makanan? Walaupun masih gengsi, sifat cueknya masih ada,
tapi ini saja sudah lumayan!
Biru langsung pulang setelah memberikan makanan kepada Cakka. Sementara
adiknya itu sekarang sudah sibuk rapat dengan anak-anak ekskul band. Mereka
semua berkumpul membentuk satu lingkaran besar, kemudian Cakka, Anka, Gabriel,
Alvin dan Dayat yang merupakan personil inti langsung memimpin rapat. Mereka
sedang membicarakan siapa saja yang akan tampil di pensi nanti, apa lagunya dan
urutan tampilnya.
“Jadi, karena pensi tinggal sebentar lagi, kita harus giat latihan,
teman-teman,” kata Dayat dengan tegas. “Nggak boleh ada yang main-main selama
latihan, kecuali kalau latihan sudah beres. Oke? Sekarang yang mau kita bahas
adalah... siapa yang ingin tampil di pensi? Kita butuh enam atau tujuh
penampilan karena bintang tamu kita kan sedikit. Dan gue nggak semuanya cuma
band doang yang tampil. Gue perlu sesuatu yang beda. Kalian ada yang mau tampil
solo atau duet?”
“Day, gue rasa yang new member
harus tampil deh, kalau yang lain kan udah sering,” kata Anka memberi usul. Ia
menoleh ke arah Ray dan Kiki yang duduk tak jauh darinya. “Lo berdua keberatan
nggak?”
Ray dan Kiki langsung menggeleng.
“Boleh juga tuh usulnya, kalian mau tampil nggak, Ray, Ki?” tanya Dayat.
“Eh...” kata Ray ragu. Sejujurnya, ia tak mau jika disuruh bernyanyi. Sudah
cukup waktu itu Ray dipermalukan Cakka karena harus tes bernyanyi dan dikritik
pedas oleh gitaris band sekolah mereka itu. Kalau di depan umum? Pasti akan
lebih buruk.
“Gue sih mau-mau aja. Tapi, gue perlu bantuan kalian juga buat musiknya,
kan gue cuma bisa nyanyi.” kata Kiki.
“Beres itu sih, tinggal latihan aja,” kata Dayat mengacungkan jempol kepada
Kiki. Kemudian, ia menoleh ke arah Ray lagi. “Ray, lo bisa gitar, dram sama
nyanyi, kan? Bagaimana kalau lo solo dram? Selama ini belum pernah ada yang
tampil dram solo di pensi sekolah kita.”
Ray langsung tersenyum. “Boleh aja.”
“Oke, berarti kita udah dapet tiga ya. MIFI Band, Kiki sama Ray,” kata
gadis bule itu. “Anyone else?”
Suasana langsung hening. Sebagian dari anak-anak ekskul band tersebut ada
yang diam saja menatap Anka dan teman-temannya, ada yang sibuk berbisik-bisik dengan
teman kanan-kirinya, bahkan ada yang sedari tadi sudah bersandar ke dinding
karena mengantuk. Mungkin mereka juga bingung mau menampilkan apa tahun ini,
karena dari tahun ke tahun mereka sudah tampil berkali-kali dengan lagu yang
berbeda.
“Ka, lo nggak mau solo piano? Lo bisa main klasik, kan?” tiba-tiba Cakka yang
sedari tadi sibuk memangku dan memetik gitar menyahut.
“Gila aja, gue nggak jago main piano klasik, yang ada gue embarrassed myself tahu,” kata Anka sambil menggelengkan kepalanya. “Mendingan
lo aja yang solo gitar, Kka. Atau nggak, lo duet aja tuh sama Ray. Gitar sama
dram looks good.”
“Hah? Kok gue sih?” kata Cakka mengernyitkan dahinya. “Nggak ah, males
gue.”
“Yeee... apa salahnya? Lo sama Ray bukannya pernah main musik bareng di
sini? Pasti udah kompak dong, tinggal latihan aja.” tanya Anka, langsung
membuat Cakka membesarkan matanya.
“Tahu dari mana lo soal itu?”
“Ada deh. Kepo banget sih lo sekarang!” kata Anka sambil tertawa.
Cakka melotot sebal ke arah Anka. “Ih, sekarang hobi banget deh anak-anak
ngatain gue kepo. Heran gue, cuek salah, kepo juga salah. Mendingan diem aja
deh gue!”
“Yaelah, begitu aja ngambek lo. Udah, lo pikirin dulu deh berdua kalau
begitu. Kalau jadi, entar kasih tahu Dayat. Terus langsung latihan, oke?
Lumayan tahu buat acara puncak nanti,” kata Anka. “Oh iya, tema pensi kita
tahun ini apaan sih?”
“Parentes Quod Affectus, kasih sayang orang tua, Ka.” Alvin angkat bicara.
“Oke, kalau begitu, lagu yang kita bawakan nanti harus berhubungan dengan
kasih sayang buat orang tua, kalian yang akan tampil harus siapin lagu juga
ya,” kata Anka. “Yel, lo bisa jadi jadi MC buat acara yang lain bareng Rio,
kan? Sebelum acara band kita.”
“Hah? Rio yang dari kelas gue itu yang jadi MC?” tanya Cakka menyahut.
“Iya, memang kenapa? Kan yang jadi MC biasanya Irsyad, Kka, udah lulus dia.
Jadi, gue pikir dia aja gantinya. Berhubung ada yang berminat gantiin, ya
kenapa nggak dicoba aja?” kata Anka. “Atau lo mau jadi MC?”
“Eh, nggak! Enak aja!” kata Cakka menolak.
“Ya udah, diem aja lo.”
Cakka menggelengkan kepala. Si cerewet itu jadi MC? Benar-benar akan ramai
pensi nanti. Teman sekelasnya itu kan memiliki mulut yang tak pernah bisa diam.
Yang ada nanti dia kebanyakan ngomong lagi. Untung berdua sama Gabriel,
setidaknya mulutnya itu bisa sedikit direm sama Gabriel kalau udah banyak
mengulur waktu. Huh, Cakka masih kesal dengan ledekannya tadi siang.
“Oke, untuk sementara itu dulu deh,” kata Gabriel. “Kalian yang ingin
tampil lebih baik cepet-cepet kasih tahu Dayat ya. Maksimal minggu depan, pas
kita ketemu lagi di sini, karena kita harus segera latihan. Kalau nggak begitu,
takutnya nggak sempet. Kalian nggak mau kan pensi kita gagal?”
Semua anak-anak tampak menggelengkan kepalanya.
“Oke, kalau begitu, sekarang kita latihan aja kayak biasa. Kiki, lo coba
pikirin mau lagu apa, terus langsung afalin. Ray, lo pikirin aja lagunya apa.
Latihan di rumah aja, soalnya kalau lagi ngumpul begini entar yang lain
terganggu sama suara dram lo. Oke?” kata Gabriel.
“Oke, Kak,” kata Ray sambil tersenyum.
“Nggak usah pakai kakak, panggil nama aja. Kesannya tua banget gue,” kata
Gabriel lagi.
Ray nyengir. Kemudian, ia menepuk pundak Cakka yang duduk di sebelahnya.
“Hei, kapan-kapan ke rumah gue yuk, latihan sekalian buat pensi. Bagus juga tuh
idenya Anka. Taruhan waktu itu akhirnya berguna juga, kan?”
“Apaan sih lo, jangan ngingetin soal itu lagi lah,” kata Cakka datar.
Ray tertawa. “Iya deh, maaf. Tapi, serius. Lo nggak mau nih tampil bareng
gue?”
“Gue juga serius. Lo segitu homonya ya lo kalau apa-apa sama gue pasti
semangat?” tanya Cakka sambil menggelengkan kepalanya. “Lo kan udah tampil dram
solo, ya solo aja. Ngapain harus pakai duet sama gue juga.”
“Kan biar tes lari keliling lapangan waktu itu berguna, Kka,” kata Ray
sambil nyengir lagi.
“Yaelah, nyindir gue lo!” kata Cakka langsung menjitak kepala Ray.
Ray tertawa lagi. “Siapa juga yang nyindir, orang gue serius kok. Gara-gara
lo ngetes gue keliling lapangan, gue jadi nggak terlalu capek kalau abis
latihan dram. Padahal, dram itu kan menguras banyak energi juga. Gue baru sadar
kalau musik sama lari ada hubungannya.”
“Bagus deh kalau lo ngerti,” kata Cakka cuek. Kemudian, tangannya kembali
sibuk memetik-metik gitar sendiri, membiarkan Ray diam saja dengan dunianya.
Untuk sejenak, mereka berdua tak saling bicara apapun.
“Ray...” panggil Cakka tiba-tiba.
“Hm?” Ray menoleh ke arahnya. Senyum masih belum pudar dari wajahnya.
“Tadi kayaknya pas lo disuruh dram solo, lo kayak lega begitu. Kenapa?
Nggak mau disuruh nyanyi?” tanya Cakka sambil tetap sibuk bermain gitar.
Ray nyengir. “Kelihatan ya? Gue memang jarang banget nyanyi. Di saat
tertentu doang. Makanya, waktu itu lo bilang suara rada fals, kan? Suka sih
suka, tapi kalau lagi bosen aja gue baru mau nyanyi.”
“Kalau begitu, ayo kita duet nanti pas pensi,” kata Cakka, membuat Ray
kembali heran. “Gue akan duet sama lo. Tapi, syaratnya lo harus nyanyi. Gue mah
cuma ngiringin aja.”
“Hah?” kata Ray kaget. “Yah, kok lo begitu sih? Kenapa harus gue yang
nyanyi?”
“Mau nggak?” tanya Cakka lagi sambil tersenyum-senyum.
“Ah, lo mah gitu sama gue, dari dulu dikerjain terus!” kata Ray sebal.
“Lo maksa-maksa gue buat duet, gue boleh dong maksa lo nyanyi?” kata Cakka
lagi.
“Serah lo deh!” kata Ray sambil menghela nafasnya.
Cakka hanya cekikikan mendengar ekspresi wajah Ray. Namun, ia tetap cuek
dan sibuk dengan gitarnya. Bodo amat, kalau begini kan mereka impas. Sama-sama
susah! Persetan dengan kisah hidup Ray yang kemarin sukses membuatnya berubah,
Cakka tetap Cakka. Siapapun yang berani macam-macam dengannya, harus menanggung
juga akibatnya.
“Ternyata, orang macem lo bisa juga ngambek ya?” kata Cakka.
“Setidaknya ngambek gue nggak kayak lo, nggak kelar-kelar.” balas Ray
seraya tersenyum.
“Rese lo, Ray. Sumpah. Seumur-umur gue tuh baru ya nemuin spesies manusia
rese macam lo. Apa-apa ngatain gue,” kata Cakka sambil menggelengkan kepalanya.
“Lo pakai temenan sama Rio Deva lagi, tambah nyebelin aja lo.”
“Apa bedanya sama lo?” tanya Ray sambil tertawa.
“Tuh kan, ngatain lagi. Dua kali! Udah, dua lagu lo nyanyi. Gue nggak mau
tahu!”
“Cakka....!!” seru Ray makin manyun.
“Hei, jangan ribut di sana!” tiba-tiba terdengar suara Dayat menyahut
nyaring begitu menyadari teriakan Ray itu. Ray langsung menutup mulut dengan
kedua tangannya begitu Dayat berteriak. Ternyata, teriakan Ray tadi hampir
menyita banyak perhatian anak-anak ekskul.
“Makanya, jangan macem-macem lo di sini, kena omel Dayat, kan?” kata Cakka
sambil menahan tawa. Bukannya sadar diri kalau dia juga ikut ribut dengan Ray,
malah justru senang melihat temannya tersebut yang kena marah.
J L J
Sedari tadi Acha berbaring di tempat tidur sendirian. Sejak ia pulang
sekolah tadi, ia sama sekali belum mengganti baju seragam sekolahnya. Matanya
sesekali berkedip menatap ke arah langit-langit kamarnya, membayangkan
seseorang yang telah lama pergi dari hidupnya. Bunda. Entah kenapa hari ini
rasa rindunya berlipat ganda. Padahal, kejadian itu sudah bertahun-tahun
berlalu.
Acha menghela nafasnya. Selama ini dia sudah seperti orang frustasi yang
tak memiliki harapan hidup lagi. Belajar sudah tak begitu semangat, mau berjalan-jalan
dengan teman juga malas. Tapi, kalau ia di rumah, ia akan terus bertengkar
dengan Ray, kakak satu-satunya yang selama ini tak pernah ia anggap karena
kepergian Bunda. Cita-citanya untuk menjadi orang sukses juga mungkin sudah
pudar.
Sejak kecil Acha selalu dekat dengan Bunda. Kemana-mana Bunda selalu
mengajaknya ikut. Entah belanja bulanan, berjalan-jalan di taman atau sekedar
jalan pagi. Bunda juga sering membelikannya es krim jika Acha kebetulan melihat
tukang es krim lewat. Dan masih banyak lagi kebaikan Bunda yang tak akan pernah
Acha lupakan. Tapi, semuanya tak bisa ia rasakan lagi karena beliau harus pergi
begitu cepat, karena menyelamatkan nyawa kakaknya.
Bahkan sampai sekarang ia masih berpikir bahwa semuanya tak akan pernah
terjadi jika kakaknya tak ada. Andai ia anak tunggal, ia pasti bisa menjaga
Bunda dengan baik. Tak sembarangan jalan ke jalan raya yang pastinya banyak
mobil. Ya, Ray memang lebih aktif dibandingkan dirinya, tapi aktif bukan alasan
untuk menghindari kesalahan. Aktif sih aktif, tapi nggak perlu sampai merenggut
nyawa orang tua sendiri, kan?
“Padahal, Acha sayang banget sama Kak Ray,” kata Acha lirih. “Kenapa sih
Kak Ray harus buat Acha kecewa? Hati Acha sakit gara-gara kakak. Dan sekarang
kakak nggak pernah mau minta maaf sama Acha.”
Acha bangkit dari tempat tidurnya, kemudian menoleh ke arah bingkai foto
yang terletak di meja belajarnya. Bingkai foto itu sudah bertahun-tahun juga ia
pajang di sana. Foto yang ada di dalamnya diambil saat mereka bersama-sama
liburan ke Puncak. Mereka berempat. Acha, Ray, Bunda dan Ayah. Terlihat Acha
yang masih sangat mungil di sana. Ray juga masih gondrong rambutnya karena
belum dipotong, Bunda dan Ayah tampak tersenyum bahagia. Kapan lagi mereka bisa
seperti itu? Tak akan pernah bisa, karena Bunda sudah tiada di dunia.
“Acha benci Kak Ray! Setelah kakak membuat Bunda pergi, sekarang Kak Ray
nggak pernah mau mencoba mengerti perasaan Acha! Kak Ray selalu aja cuma di
depan pintu, kasih Acha makanan. Memangnya makanan itu bisa buat Acha sembuh,
apa?!” kata Acha sambil memegang kepalanya. Ia benar-benar pusing.
“Maafkan Acha, Kak Ray...” kata Acha lirih pada akhirnya. Kemudian,
langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis di sana, tanpa
ada seorangpun yang mengganggu karena kakaknya belum pulang. Hanya di saat
rumah sepi seperti ini saja ia dapat mengeluarkan semua unek-uneknya.
Memang rumit. Perasaannya ini lebih rumit daripada perasaan gelisah manapun
yang pernah ia rasakan. Rasa sayangnya kepada Ray itu seakan-akan terkubur
dengan rasa kecewanya. Namun, begitu perasaan sayang itu sudah bisa mengalahkan
perasaan kecewa itu, ia justru masih terlalu bingung antara harus meminta maaf
atau tidak. Ia tak pernah semarah ini dengan kakaknya sendiri.
Acha jelas tahu, Bunda tak pernah mengajarkannya untuk benci dengan kakak
kandungnya sendiri. Bunda juga tidak pernah mengajarkan untuk malu ketika ingin
meminta maaf duluan dalam situasi apapun. Tapi, entahlah, mungkin sudah terlalu
lama Acha mengabaikan kakaknya itu, sehingga ingin kembalipun ia bingung
bagaimana caranya.
J L J
Hari ini Ray benar-benar dibuat pusing oleh Cakka. Selain memaksanya
bernyanyi, tadi sebelum ekskul bubar, ia diam-diam memberitahu Dayat bahwa duet
Ray dan Cakka jadi ditampilkan. Memang sih, itu yang Ray inginkan. Tapi, tidak
dengan dirinya harus membuka suara di atas panggung. Ray benar-benar tak
percaya diri kalau harus disuruh menyanyi di depan orang banyak. Dan lebih
parahnya lagi, Dayat bilang semua yang sudah dicatat namanya untuk tampil, tak
bisa dibatalkan demi kelancaran acara. Jadi, mau tak mau Ray tetap harus
bernyanyi.
“Lo memang nggak akan pernah berubah.” kata Ray sambil menghela nafasnya,
kemudian tersenyum kecil.
“Memangnya siapa yang bilang gue berubah? Gue tetep gue,” kata Cakka sambil
menjitak pelipis Ray. “Udah yuk, balik. Kakak gue rese nggak mau jemput. Masa
katanya dia lagi males keluar gara-gara lagi asyik gitaran di kamar.”
“Eh, kalau begitu, gue ikut kalian dong, gue juga jalan kaki, nggak enak
sendirian. Entar di tengah jalan baru pisah,” kata Anka langsung nimbrung.
“Ayo aja, Ka.” kata Ray. Kemudian, mereka bertiga langsung pulang.
Selama perjalanan, Ray dan Anka asyik mengobrol banyak. Mereka yang jarang bertemu
karena ujian akhir dan ekskul yang vakum akhirnya bisa lebih mengenal satu sama
lain. Ray merasa seperti mempunya sahabat baru. Sementara itu, Cakka hanya diam
saja mendengar celotehan mereka sepanjang perjalanan. Bukannya tak ingin
berbicara, tapi ia malas saja. Ia memang bukan tipe orang yang supel dan bawel,
mau bagaimana lagi? Mendingan jadi obat nyamuk aja. Lagipula, ia sudah
beratus-ratus kali bertemu dengan Anka, tak ada yang perlu dibicarakan lagi.
Aib masing-masing sudah terbongkar sejak lama.
“Kalau begitu, gue jalan duluan ya?” kata Anka begitu mereka sampai di
sebuah perempatan. Ia menunjuk ke arah jalanan seberang. “Rumah gue ada di
sekitar sana, lo berdua nggak lewat, kan?”
Ray mengangguk. “Sampai jumpa besok, Anka!”
“Siap. Besok lo harus cerita lebih banyak lagi, Ray, gue masih penasaran!”
kata Anka sambil tertawa. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Kka, jangan lupa
latihan. Gue nggak mau ya pensi hancur gara-gara lo.”
“Sejak kapan gue pernah ngancurin pensi sekolah?” tanya Cakka sambil
mengernyitkan dahinya. “Yang ada tuh lo tahu, suka kabur di tengah acara kalau
kita pensi.”
Anka nyengir. Kemudian, ia langsung menyeberangi jalan, meninggalkan kedua
temannya tersebut. Cakka dan Ray yang ternyata rumahnya masih searah beberapa
meter lagi langsung melanjutkan perjalanan mereka. Suasana ramai yang
mengiringi perjalanan mereka tadi seketika lenyap karena si biang ramai sudah
tak bersama mereka lagi. Cakka dan Ray sama sekali tak ada yang membuka
pembicaraan. Walaupun bisa dikatakan sudah baikan, tapi tetap saja mereka masih
canggung. Bagaimanapun juga dulu yang lebih sering mereka lakukan adalah
bertengkar. Jadi, tak banyak yang bisa mereka bicarakan. Soal pensi kan tadi
sudah dibicarakan di ruang musik sehingga mereka berdua hanya fokus ke depan
hingga pada akhirnya, Ray berhenti.
“Gue ke kanan,” kata Ray. “Lo ke kiri, kan?”
Cakka mengangguk.
“Kalau begitu, gue duluan deh.” kata Ray seraya berjalan ke arah jalan
rumahnya.
Cakka juga sudah akan berjalan menuju rumahnya ketika ia
tiba-tiba teringat dengan sesuatu. Ia membalikkan badannya lagi dan memanggil
sahabatnya lagi dengan nyaring sebelum bayangannya keburu hilang.
"RAY!"
Ray yang merasa dipanggil langsung menoleh ke arah Cakka.
Ia diam saja melihat Cakka yang kembali menghampirinya.
"Gue lupa ngasih lo ini." kata sahabatnya itu
sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan dari dalam saku celananya.
Ray mengernyitkan dahinya heran melihat uang tersebut.
Uang apa ini? Rasa-rasanya Ray tak pernah membuat Cakka hutang kepadanya. Ia
menatap ke arah sahabatnya itu heran. “Memangnya lo pernah hutang sama gue?”
“Udah, ambil!” kata Cakka sambil menarik tangan Ray dan
meletakkan uang tersebut di tangannya. Tak peduli Ray masih saja mengernyitkan
dahinya tak mengerti. “Gue nggak mau hutang banyak-banyak sama lo di masa
lalu.”
“Hah?”
Belum sempat Ray bertanya lagi, Cakka sudah keburu
membalikkan badannya dan pergi. Ia diam saja melihat punggung Cakka yang
menjauh darinya. Ia tatap kembali uang yang diberikan Cakka barusan. Beberapa
saat berusaha mengingat kapan Cakka pernah berhutang uang kepadanya. Namun,
begitu ia teringat dengan Cakka yang dulu, seulas senyum langsung mengembang di
wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya sejenak begitu menyadari apa yang dimaksud
Cakka barusan.
“Yaelah, dia masih inget aja soal waktu itu,” kata Ray
sambil tersenyum-senyum. Tanpa banyak omong lagi, Ray langsung berjalan pulang
setelah mengantongi uang tersebut.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p