Kamis, 12 Februari 2015

Cerbung | The Real Him Part 8


Ayah Ryan sedang menikmati teh hangatnya ketika Ray baru saja pulang. Ia langsung tersenyum begitu melihat batang hidung anaknya sudah muncul di balik gelapnya ruang keluarga, dimana dia berada sekarang. Ray yang menyadari keberadaan Ayahnya langsung menaruh tas di sofa dan duduk di samping Ayahnya.
“Ayah.” panggil Ray sambil tersenyum. “Ayah kok udah pulang? Ini kan masih sore.”
“Iya, Ayah sengaja pulang cepat supaya Ayah bisa menjaga Acha. Takutnya dia malah lemes lagi kayak kemarin. Kamu kan juga lagi sibuk.” kata Ayah Ryan.

“Oh, terus kerjaan Ayah bagaimana?”
“Ya Ayah bawa pulang dong, Ray. Biar Ayah kerja di rumah aja. Ayah juga udah cuti sampai lusa kok, jadi bisa menjaga kalian sebentar. Lagian Ayah kan udah lama banget lembur terus. Kasihan kalian berdua aja di rumah.”
Ray manggut-manggut mengerti. Kemudian, ia langsung bertanya dengan suara pelan, “Bagaimana keadaan Acha, Yah? Dia pasti masih marah ya sama Ray gara-gara Bunda pergi?”
Ayah Ryan diam sejenak menatap Ray kasihan, kemudian ia mengangguk pelan.
Ray menghela nafasnya lelah. Entah sampai kapan Ray harus menunggu adiknya itu bisa menerimanya. Ray mengerti, memang susah menerima kepergian Bunda. Hal semacam ini sulit untuk siapapun. Tapi, ia juga tak bisa melakukan apa-apa.
“Kamu sendiri kok baru pulang? Dari mana?” tanya Ayah Ryan membuyarkan lamunannya.
“Habis jenguk Bunda, Yah. Sekalian nyelesain masalah sama temen sekolah Ray,” kata Ray sambil cepat-cepat tersenyum.
Ayah Ryan manggut-manggut mengerti. “Oh, begitu? Coba cerita sama Ayah. Ayah udah lama deh nggak dengerin kamu cerita tentang sekolah kamu semenjak kamu masuk ke SMA. Kamu pasti punya banyak temen ya? Terus kamu ada masalah apa sama temen sekolah kamu?”
Ray tersenyum. “Cuma masalah kecil kok, Yah.”
“Masalah apa? Ayo dong cerita. Ayah penasaran nih.” kata Ayah Ryan.
Ray tertawa. “Dia itu cuek banget sama lingkungan sekitar, Yah. Dan kurasa dia itu nggak gampang percaya sama orang. Sekalinya dikecewain, langsung deh sebel seumur hidup. Ray aja sering dibentak-bentak. Temen-temen sekolahnya juga.”
“Oh ya?”
Ray mengangguk. “Tapi, kalau buat Ray, itu sih wajar-wajar aja. Sifat orang kan beda-beda. Tapi, yang buat Ray kecewa, dia tuh kurang ngehargain keluarga. Makanya, Ray ajak aja ke makam Bunda. Terus Ray cerita deh soal keluarga kita supaya dia tahu kalau dia masih termasuk beruntung. Semoga aja dia bener-bener berubah.”
“Memangnya kamu nggak takut dibentak-bentak terus?” tanya Ayah Ryan.
Ray menggeleng. “Dia begitu kan ada alasannya, Yah.”
Ayah Ryan tertawa kecil mendengarnya, kemudian ia langsung merangkul dan mengacak-acak rambut Ray dengan sayang. “Kamu tuh ya, bener-bener mirip sama Bunda. Selalu bisa ngertiin orang.”
Ray tertawa senang merasakan belaian Ayah Ryan. Rasanya sudah lama juga tidak merasakan belaian itu. Tapi, Ray sama sekali tidak marah. Bagaimanapun juga, Ayah Ryan harus bekerja lebih keras untuk menghidupinya dan Acha, karena sekarang perannya bukanlah hanya menjadi seorang ayah, tapi juga seorang Bunda untuk kedua anaknya.

J L J

Ujian akhir sudah berlalu seminggu. Itu artinya masih ada beberapa hari lagi perjuangan mereka sebelum akhirnya sekolah libur. Seperti biasanya, pagi ini sekolah sudah ramai dengan anak-anak yang sibuk belajar untuk persiapan ujian. Dari kantin, koridor sekolah, bahkan kelas juga ada yang sudah ramai.
Di kelas Cakkapun begitu. Sudah ada beberapa anak yang datang dan duduk manis sambil menghafalkan rumus-rumus kimia yang akan diuji hari ini. Termasuk Rio, Deva dan Ray. Mereka bertiga sudah sampai sekitar jam setengah tujuh, mengobrol sebentar dan langsung duduk di kursi masing-masing untuk belajar.
Tapi, belum sepuluh menit semuanya serius belajar, tiba-tiba perhatian mereka tersita dengan seseorang yang baru masuk ke dalam kelas dengan wajah cerah. Cakka! Betapa terkejutnya teman-teman sekelasnya melihat anak itu bisa datang pagi, dengan wajah yang berekspresi, baju seragamnya rapi pula. Padahal, selama ini kalau dia datang ke sekolah, belum apa-apa wajahnya sudah muram, baju seragamnya juga pasti dikeluarkan setengah. Mata mereka melotot seolah-olah melihat keajaiban.
“Hei, Ray,” sapa Cakka sambil duduk di kursinya.
Ray menoleh. Begitu ia menyadari siapa yang datang, ia langsung menyalaminya ala laki-laki. “Hei, Kka.”
“Eh, gue nggak mau ribet ya, pokoknya lo harus ngajarin gue kimia. Yang bab terakhir gue agak-agak lupa nih,” kata Cakka sambil mengeluarkan buku paket dan buku tulisnya ke meja. “Kayaknya gara-gara gue kebiasaan nggak belajar deh.”
“Oh, gampang,” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan. “Ngomong-ngomong, ceritanya lo udah nggak hobi tidur lagi nih? Pasti pagi lo hari ini menyenangkan deh.”
“Nggak pake acara kepo ya, Ray, gue udah ribet tadi di luar tahu nggak, sama anak-anak.”
Ray tertawa. “Anak-anak pada bersyukur sih lo nggak lupa bawa ekspresi hari ini.”
“Berisik lo. Nggak gue ajak main di pensi entar baru tau rasa.” kata Cakka sebal.
“Eh? Ada pensi? Kapan?” tanya Ray langsung antusias. “Kok lo jahat sih nggak ngasih tau gue? Lo kan tahu gue demen banget sama musik.”
“Yeee... gue tau ada pensi aja baru tadi. Anka yang ngasih tahu gue,” kata Cakka. “Lagian tiap tahun kan emang selalu ada pensi tutup tahun. Katanya sih bulan depan, jadi kita harus siap-siap dari sekarang. Entar lo bisa latihan, kan?”
Ray mengangguk-angguk cepat. “Tentu! Kapan aja gue bisa, kok.”
“Oke, bagus, jadi sekarang intinya lo mau ngajarin gue atau nggak?”
“Ya ayo aja sih gue. Tinggal kasih gue soal, entar gue jawab sambil gue jelasin.” Kata Ray. Tangannya mengibas-ngibas meminta soal, sukses membuat Cakka bergidik.
“Elah, baru nyadarin gue udah sombong lo,” kata Cakka menyingkirkan tangan Ray itu. Kemudian, langsung memberikan buku tulisnya kepada Ray. “Itu tuh yang tiga soal terakhir.”
Ray tertawa kecil. “Ini tuh begini...”
Cakka dan Ray sibuk belajar bersama. Yang lain juga akhirnya lebih memilih untuk kembali belajar daripada memperhatikan Cakka terus. Rio dan Deva juga. Tadinya mereka juga sempat nyengir melihat perubahan Cakka. Mereka jelas penasaran apa yang telah membuat teman sekelas mereka yang galak itu tiba-tiba melunak. Tapi, melihat keakraban Cakka dengan Ray sekarang, mereka berdua yakin ini pasti karena Ray.
Bukan anak-anak saja yang merasa heran dengan perubahan Cakka. Guru-guru yang mengajar pada hari itu juga merasakannya. Cakka yang tadinya dikenal sebagai murid yang malas belajar dan kerjanya hanya tidur di kelas, sekarang justru duduk tegak dan mendengarkan penjelasan mereka dengan saksama. Dia juga tampak lebih aktif dari sebelumnya. Perubahan Cakka itu begitu drastis hingga Pak Duta bertanya kepadanya dengan tatapan kasihan apakah dia sakit atau tidak. Cakka sampai menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan tersebut.
“Jadi, Bapak lebih senang saya menjadi murid yang suka tidur di kelas?”
Pak Duta hanya nyengir mendengar jawaban anak muridnya tersebut.

J L J

Istirahat kali ini Cakka makan beramai-ramai dengan Ray, Rio dan Deva. Dan tak seperti kemarin, mereka semua makan siang dengan riang gembira. Rio dan Deva yang notabene kemarin baru saja bertengkar hebat dengan Cakka juga tidak keberatan Cakka bergabung asal dia tak membuat masalah lagi, karena pertengkaran kemarin itu kan hanya untuk mengingatkan Cakka bahwa selama ini dia sudah keterlaluan, bukannya karena mereka benci kepada teman sekelas mereka itu.
“Eh, Ray, lo ngapain Cakka kemarin sampai dia kayak begini? Pake ilmu psikolog apaan lo?” tanya Rio kepo. “Kayaknya enak juga ya punya orang tua psikolog, jadinya bisa ngubek-ngubek sifat orang begitu.”
“Apaan sih lo, Yo, bawel banget tau nggak?” sahut Cakka langsung melotot ke arahnya.
“Siapa juga yang ngajak ngomong lo!”
Ray tertawa kecil melihat kedua temannya. “Udah, udah. Kalian tuh kayak kucing sama anjing aja, berantem terus. Gue nggak ngapa-ngapain dia kok. Dia sendiri yang udah memaafkan diri dia sendiri.”
“Asyik kata-katanya,” kata Deva. “Tapi, serius lo nggak ngapa-ngapain? Anak keras kepala begini bisa tiba-tiba sadar sendiri kalau selama ini dia nggak bener sama anak-anak? Keajaiban dunia banget.”
“Yah, gue cuma bantuin dia nyadar kok kemarin di kuburan,” kata Ray sambil tertawa.
“Apa? Jadi, ternyata Cakka yang selama ini berani sama semua orang, bisa ditaklukkin sama daerah sepi kayak kuburan? Lain kali gue kasih lo kado ulang tahun jalan-jalan ke kuburan bagaimana, Kka?” kata Deva ikut tertawa.
“Coba aja kalau berani, abis lo di tangan gue!” kata Cakka langsung menjitak pelipis Deva yang duduk persis di sebelahnya. Sementara Rio duduk di seberang mereka bersama Ray.
“Ah, lo nggak lupa bawa ekspresi, tapi masih aja lupa bawa kelembutan ya? Dasar bunglon es campur. Sekali es campur tetep aja es campur.” kata Rio sambil menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke arah Ray. “Ray, kayaknya lo mesti kasih temen lo ini pelajaran kepribadian juga deh.”
“Ide bagus.” kata Ray setelah menelan bakso yang dikunyahnya.
Cakka langsung melotot geram ke arah teman sebangkunya tersebut. Sukses membuat Ray nyengir melihatnya. Jari telunjuk dan jari tengah Ray langsung terangkat sebelum Cakka benar-benar mengamuk kepadanya.
“Udah, udah, yang penting sekarang, Cakka udah nggak senyebelin kemarin. Kita bisa berteman baik begini aja gue udah seneng akut,” kata Deva. “Pokoknya, kita harus kompak begini sampai kapanpun, oke?”
Semuanya langsung mengacungkan jempol mereka kepada Deva.
“Eh, tapi kok gue nggak tahu kalau orang tuanya Ray psikolog?” tanya Cakka.
“Yeee... Siapa elo?!” seru Rio dan Deva kompak. Ray yang baru mau menjawab hanya tertawa melihat tingkah Rio dan Deva. Benar-benar deh, anak-anak SMA MIFI selalu membuatnya betah bersekolah. Sifat-sifat unik mereka yang selalu bisa mencairkan suasana itu yang membuat Ray tak pernah sedih menjalani hidup.
“Gue nanya! Nggak boleh?” tanya Cakka sebal.
“Cieee... Cakka bisa kepo juga,” kata Rio jahil sambil tertawa.
“Rese lo, Yo!” Semuanya langsung tertawa mendengarnya. Cakka dan Rio dari dulu memang tak pernah bisa akur, sekalipun mereka tidak bertengkar. Dasar, anjing dan kucing abadi banget pertemanan mereka.
“Eh, udahan yuk, habis ini pelajaran seni, nggak rela gue telat masuk di pelajaran kesukaan gue. Katanya hari ini kita menggambar bebas, jadi gue pengen cepet-cepet ngayal nih.” kata Deva langsung beranjak dari kursinya.
“Oh iya, gue baru nyadar udah mau masuk,” kata Rio sambil melirik jam tangannya.
“Ya udah, ayo balik.” kata Ray sambil tersenyum. Mereka berempat langsung beranjak dari kursi mereka dan berjalan mengikuti Deva yang sudah berjalan duluan di depan karena dia sudah duluan berdiri.

J L J
“Cakka!”
Cakka yang hendak berjalan ke ruang musik bersama Ray saat itu langsung menoleh begitu mereka mendengar seseorang memanggil. Ia langsung menatap bingung ke arah sumber suara itu begitu melihat ternyata yang memanggilnya itu adalah Biru. Kakak perempuannya.
“Kak Biru?” tanya Cakka heran menatap kakaknya.
“Gue dengar lo harus latihan mendadak ya bareng band sekolah?” tanya Biru sambil tersenyum. Kemudian, ia menyerah sebuah kotak putih kecil kepadanya. “Nih, makan. Tadi gue sengaja beli di kantin buat lo. Biar tambah semangat latihannya. Entar biar gue aja yang bilang sama Bunda kalau lo bakal pulang telat.”
Cakka terdiam sejenak, kemudian menerima kotak tersebut dengan ragu. Ia membuka kotak tersebut sejenak, kemudian tersenyum kecil melihat isinya. Ia menutup kotak tersebut kembali dan menatap kakaknya. “Makasih, Kak.”
“Sama-sama,” kata Biru sambil tersenyum. Kemudian, ia menoleh ke arah Ray. “Eh, ini temen lo? Kayaknya gue nggak pernah lihat. Anak baru ya?”
Ray mengangguk. “Gue baru masuk tengah semester ini, Kak. Jadi temen sebangkunya Cakka. Nama gue Ray. Kakak ini...”
“Oh, gue kakak keduanya Cakka. Biru Putri Karayne, satu tingkat di atas kalian. Salam kenal ya, Ray,” kata Biru sambil menyalami Ray. “Eh, Kka, lo kok nggak pernah cerita ada anak baru di kelas lo? Pelit cerita banget sih lo.”
“Nggak penting lah, Kak. Udah, gue sama Ray mau latihan dulu, lo ganggu aja deh. Ayo, Ray. Udah telat kita.” kata Cakka dengan nada datar. Kemudian, langsung berjalan meninggalkan kakaknya.
Biru menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya tersebut.
“Gue duluan ya, Kak,” kata Ray sambil tersenyum sejenak kepada Biru, kemudian langsung berlari menyusul Cakka. Sekilas, Biru sempat mendengar Ray berteriak. “Woi, tungguin gue kali, Kka!”
Biru tersenyum melihat kepergian Ray. Cakka memang sudah berubah. Bahkan tadi pagi Cakka bisa dibangunkan tanpa harus diteriaki olehnya, kemudian menuruti apa kata Bunda dan Ayah. Pokoknya tadi pagi benar-benar berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Tak ada teriak-teriakan yang terjadi gara-gara adiknya itu menyebalkan. Contohnya barusan. Sebelumnya, mana pernah Cakka bilang terima kasih kalau dikasih makanan? Walaupun masih gengsi, sifat cueknya masih ada, tapi ini saja sudah lumayan!
Biru langsung pulang setelah memberikan makanan kepada Cakka. Sementara adiknya itu sekarang sudah sibuk rapat dengan anak-anak ekskul band. Mereka semua berkumpul membentuk satu lingkaran besar, kemudian Cakka, Anka, Gabriel, Alvin dan Dayat yang merupakan personil inti langsung memimpin rapat. Mereka sedang membicarakan siapa saja yang akan tampil di pensi nanti, apa lagunya dan urutan tampilnya.
“Jadi, karena pensi tinggal sebentar lagi, kita harus giat latihan, teman-teman,” kata Dayat dengan tegas. “Nggak boleh ada yang main-main selama latihan, kecuali kalau latihan sudah beres. Oke? Sekarang yang mau kita bahas adalah... siapa yang ingin tampil di pensi? Kita butuh enam atau tujuh penampilan karena bintang tamu kita kan sedikit. Dan gue nggak semuanya cuma band doang yang tampil. Gue perlu sesuatu yang beda. Kalian ada yang mau tampil solo atau duet?”
“Day, gue rasa yang new member harus tampil deh, kalau yang lain kan udah sering,” kata Anka memberi usul. Ia menoleh ke arah Ray dan Kiki yang duduk tak jauh darinya. “Lo berdua keberatan nggak?”
Ray dan Kiki langsung menggeleng.
“Boleh juga tuh usulnya, kalian mau tampil nggak, Ray, Ki?” tanya Dayat.
“Eh...” kata Ray ragu. Sejujurnya, ia tak mau jika disuruh bernyanyi. Sudah cukup waktu itu Ray dipermalukan Cakka karena harus tes bernyanyi dan dikritik pedas oleh gitaris band sekolah mereka itu. Kalau di depan umum? Pasti akan lebih buruk.
“Gue sih mau-mau aja. Tapi, gue perlu bantuan kalian juga buat musiknya, kan gue cuma bisa nyanyi.” kata Kiki.
“Beres itu sih, tinggal latihan aja,” kata Dayat mengacungkan jempol kepada Kiki. Kemudian, ia menoleh ke arah Ray lagi. “Ray, lo bisa gitar, dram sama nyanyi, kan? Bagaimana kalau lo solo dram? Selama ini belum pernah ada yang tampil dram solo di pensi sekolah kita.”
Ray langsung tersenyum. “Boleh aja.”
“Oke, berarti kita udah dapet tiga ya. MIFI Band, Kiki sama Ray,” kata gadis bule itu. “Anyone else?”
Suasana langsung hening. Sebagian dari anak-anak ekskul band tersebut ada yang diam saja menatap Anka dan teman-temannya, ada yang sibuk berbisik-bisik dengan teman kanan-kirinya, bahkan ada yang sedari tadi sudah bersandar ke dinding karena mengantuk. Mungkin mereka juga bingung mau menampilkan apa tahun ini, karena dari tahun ke tahun mereka sudah tampil berkali-kali dengan lagu yang berbeda.  
“Ka, lo nggak mau solo piano? Lo bisa main klasik, kan?” tiba-tiba Cakka yang sedari tadi sibuk memangku dan memetik gitar menyahut.
“Gila aja, gue nggak jago main piano klasik, yang ada gue embarrassed myself tahu,” kata Anka sambil menggelengkan kepalanya. “Mendingan lo aja yang solo gitar, Kka. Atau nggak, lo duet aja tuh sama Ray. Gitar sama dram looks good.”
“Hah? Kok gue sih?” kata Cakka mengernyitkan dahinya. “Nggak ah, males gue.”
“Yeee... apa salahnya? Lo sama Ray bukannya pernah main musik bareng di sini? Pasti udah kompak dong, tinggal latihan aja.” tanya Anka, langsung membuat Cakka membesarkan matanya.
“Tahu dari mana lo soal itu?”
“Ada deh. Kepo banget sih lo sekarang!” kata Anka sambil tertawa.
Cakka melotot sebal ke arah Anka. “Ih, sekarang hobi banget deh anak-anak ngatain gue kepo. Heran gue, cuek salah, kepo juga salah. Mendingan diem aja deh gue!”
“Yaelah, begitu aja ngambek lo. Udah, lo pikirin dulu deh berdua kalau begitu. Kalau jadi, entar kasih tahu Dayat. Terus langsung latihan, oke? Lumayan tahu buat acara puncak nanti,” kata Anka. “Oh iya, tema pensi kita tahun ini apaan sih?”
“Parentes Quod Affectus, kasih sayang orang tua, Ka.” Alvin angkat bicara.
“Oke, kalau begitu, lagu yang kita bawakan nanti harus berhubungan dengan kasih sayang buat orang tua, kalian yang akan tampil harus siapin lagu juga ya,” kata Anka. “Yel, lo bisa jadi jadi MC buat acara yang lain bareng Rio, kan? Sebelum acara band kita.”
“Hah? Rio yang dari kelas gue itu yang jadi MC?” tanya Cakka menyahut.
“Iya, memang kenapa? Kan yang jadi MC biasanya Irsyad, Kka, udah lulus dia. Jadi, gue pikir dia aja gantinya. Berhubung ada yang berminat gantiin, ya kenapa nggak dicoba aja?” kata Anka. “Atau lo mau jadi MC?”
“Eh, nggak! Enak aja!” kata Cakka menolak.
“Ya udah, diem aja lo.”
Cakka menggelengkan kepala. Si cerewet itu jadi MC? Benar-benar akan ramai pensi nanti. Teman sekelasnya itu kan memiliki mulut yang tak pernah bisa diam. Yang ada nanti dia kebanyakan ngomong lagi. Untung berdua sama Gabriel, setidaknya mulutnya itu bisa sedikit direm sama Gabriel kalau udah banyak mengulur waktu. Huh, Cakka masih kesal dengan ledekannya tadi siang.
“Oke, untuk sementara itu dulu deh,” kata Gabriel. “Kalian yang ingin tampil lebih baik cepet-cepet kasih tahu Dayat ya. Maksimal minggu depan, pas kita ketemu lagi di sini, karena kita harus segera latihan. Kalau nggak begitu, takutnya nggak sempet. Kalian nggak mau kan pensi kita gagal?”
Semua anak-anak tampak menggelengkan kepalanya.
“Oke, kalau begitu, sekarang kita latihan aja kayak biasa. Kiki, lo coba pikirin mau lagu apa, terus langsung afalin. Ray, lo pikirin aja lagunya apa. Latihan di rumah aja, soalnya kalau lagi ngumpul begini entar yang lain terganggu sama suara dram lo. Oke?” kata Gabriel.
“Oke, Kak,” kata Ray sambil tersenyum.
“Nggak usah pakai kakak, panggil nama aja. Kesannya tua banget gue,” kata Gabriel lagi.
Ray nyengir. Kemudian, ia menepuk pundak Cakka yang duduk di sebelahnya. “Hei, kapan-kapan ke rumah gue yuk, latihan sekalian buat pensi. Bagus juga tuh idenya Anka. Taruhan waktu itu akhirnya berguna juga, kan?”
“Apaan sih lo, jangan ngingetin soal itu lagi lah,” kata Cakka datar.
Ray tertawa. “Iya deh, maaf. Tapi, serius. Lo nggak mau nih tampil bareng gue?”
“Gue juga serius. Lo segitu homonya ya lo kalau apa-apa sama gue pasti semangat?” tanya Cakka sambil menggelengkan kepalanya. “Lo kan udah tampil dram solo, ya solo aja. Ngapain harus pakai duet sama gue juga.”
“Kan biar tes lari keliling lapangan waktu itu berguna, Kka,” kata Ray sambil nyengir lagi.
“Yaelah, nyindir gue lo!” kata Cakka langsung menjitak kepala Ray.
Ray tertawa lagi. “Siapa juga yang nyindir, orang gue serius kok. Gara-gara lo ngetes gue keliling lapangan, gue jadi nggak terlalu capek kalau abis latihan dram. Padahal, dram itu kan menguras banyak energi juga. Gue baru sadar kalau musik sama lari ada hubungannya.”
“Bagus deh kalau lo ngerti,” kata Cakka cuek. Kemudian, tangannya kembali sibuk memetik-metik gitar sendiri, membiarkan Ray diam saja dengan dunianya. Untuk sejenak, mereka berdua tak saling bicara apapun.
“Ray...” panggil Cakka tiba-tiba.
“Hm?” Ray menoleh ke arahnya. Senyum masih belum pudar dari wajahnya.
“Tadi kayaknya pas lo disuruh dram solo, lo kayak lega begitu. Kenapa? Nggak mau disuruh nyanyi?” tanya Cakka sambil tetap sibuk bermain gitar.
Ray nyengir. “Kelihatan ya? Gue memang jarang banget nyanyi. Di saat tertentu doang. Makanya, waktu itu lo bilang suara rada fals, kan? Suka sih suka, tapi kalau lagi bosen aja gue baru mau nyanyi.”
“Kalau begitu, ayo kita duet nanti pas pensi,” kata Cakka, membuat Ray kembali heran. “Gue akan duet sama lo. Tapi, syaratnya lo harus nyanyi. Gue mah cuma ngiringin aja.”
“Hah?” kata Ray kaget. “Yah, kok lo begitu sih? Kenapa harus gue yang nyanyi?”
“Mau nggak?” tanya Cakka lagi sambil tersenyum-senyum.
“Ah, lo mah gitu sama gue, dari dulu dikerjain terus!” kata Ray sebal.
“Lo maksa-maksa gue buat duet, gue boleh dong maksa lo nyanyi?” kata Cakka lagi.
“Serah lo deh!” kata Ray sambil menghela nafasnya.
Cakka hanya cekikikan mendengar ekspresi wajah Ray. Namun, ia tetap cuek dan sibuk dengan gitarnya. Bodo amat, kalau begini kan mereka impas. Sama-sama susah! Persetan dengan kisah hidup Ray yang kemarin sukses membuatnya berubah, Cakka tetap Cakka. Siapapun yang berani macam-macam dengannya, harus menanggung juga akibatnya.
“Ternyata, orang macem lo bisa juga ngambek ya?” kata Cakka.
“Setidaknya ngambek gue nggak kayak lo, nggak kelar-kelar.” balas Ray seraya tersenyum.
“Rese lo, Ray. Sumpah. Seumur-umur gue tuh baru ya nemuin spesies manusia rese macam lo. Apa-apa ngatain gue,” kata Cakka sambil menggelengkan kepalanya. “Lo pakai temenan sama Rio Deva lagi, tambah nyebelin aja lo.”
“Apa bedanya sama lo?” tanya Ray sambil tertawa.
“Tuh kan, ngatain lagi. Dua kali! Udah, dua lagu lo nyanyi. Gue nggak mau tahu!”
“Cakka....!!” seru Ray makin manyun.
“Hei, jangan ribut di sana!” tiba-tiba terdengar suara Dayat menyahut nyaring begitu menyadari teriakan Ray itu. Ray langsung menutup mulut dengan kedua tangannya begitu Dayat berteriak. Ternyata, teriakan Ray tadi hampir menyita banyak perhatian anak-anak ekskul.
“Makanya, jangan macem-macem lo di sini, kena omel Dayat, kan?” kata Cakka sambil menahan tawa. Bukannya sadar diri kalau dia juga ikut ribut dengan Ray, malah justru senang melihat temannya tersebut yang kena marah.

J L J

Sedari tadi Acha berbaring di tempat tidur sendirian. Sejak ia pulang sekolah tadi, ia sama sekali belum mengganti baju seragam sekolahnya. Matanya sesekali berkedip menatap ke arah langit-langit kamarnya, membayangkan seseorang yang telah lama pergi dari hidupnya. Bunda. Entah kenapa hari ini rasa rindunya berlipat ganda. Padahal, kejadian itu sudah bertahun-tahun berlalu.
Acha menghela nafasnya. Selama ini dia sudah seperti orang frustasi yang tak memiliki harapan hidup lagi. Belajar sudah tak begitu semangat, mau berjalan-jalan dengan teman juga malas. Tapi, kalau ia di rumah, ia akan terus bertengkar dengan Ray, kakak satu-satunya yang selama ini tak pernah ia anggap karena kepergian Bunda. Cita-citanya untuk menjadi orang sukses juga mungkin sudah pudar.
Sejak kecil Acha selalu dekat dengan Bunda. Kemana-mana Bunda selalu mengajaknya ikut. Entah belanja bulanan, berjalan-jalan di taman atau sekedar jalan pagi. Bunda juga sering membelikannya es krim jika Acha kebetulan melihat tukang es krim lewat. Dan masih banyak lagi kebaikan Bunda yang tak akan pernah Acha lupakan. Tapi, semuanya tak bisa ia rasakan lagi karena beliau harus pergi begitu cepat, karena menyelamatkan nyawa kakaknya.
Bahkan sampai sekarang ia masih berpikir bahwa semuanya tak akan pernah terjadi jika kakaknya tak ada. Andai ia anak tunggal, ia pasti bisa menjaga Bunda dengan baik. Tak sembarangan jalan ke jalan raya yang pastinya banyak mobil. Ya, Ray memang lebih aktif dibandingkan dirinya, tapi aktif bukan alasan untuk menghindari kesalahan. Aktif sih aktif, tapi nggak perlu sampai merenggut nyawa orang tua sendiri, kan?
“Padahal, Acha sayang banget sama Kak Ray,” kata Acha lirih. “Kenapa sih Kak Ray harus buat Acha kecewa? Hati Acha sakit gara-gara kakak. Dan sekarang kakak nggak pernah mau minta maaf sama Acha.”
Acha bangkit dari tempat tidurnya, kemudian menoleh ke arah bingkai foto yang terletak di meja belajarnya. Bingkai foto itu sudah bertahun-tahun juga ia pajang di sana. Foto yang ada di dalamnya diambil saat mereka bersama-sama liburan ke Puncak. Mereka berempat. Acha, Ray, Bunda dan Ayah. Terlihat Acha yang masih sangat mungil di sana. Ray juga masih gondrong rambutnya karena belum dipotong, Bunda dan Ayah tampak tersenyum bahagia. Kapan lagi mereka bisa seperti itu? Tak akan pernah bisa, karena Bunda sudah tiada di dunia.
“Acha benci Kak Ray! Setelah kakak membuat Bunda pergi, sekarang Kak Ray nggak pernah mau mencoba mengerti perasaan Acha! Kak Ray selalu aja cuma di depan pintu, kasih Acha makanan. Memangnya makanan itu bisa buat Acha sembuh, apa?!” kata Acha sambil memegang kepalanya.  Ia benar-benar pusing.
“Maafkan Acha, Kak Ray...” kata Acha lirih pada akhirnya. Kemudian, langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis di sana, tanpa ada seorangpun yang mengganggu karena kakaknya belum pulang. Hanya di saat rumah sepi seperti ini saja ia dapat mengeluarkan semua unek-uneknya.
Memang rumit. Perasaannya ini lebih rumit daripada perasaan gelisah manapun yang pernah ia rasakan. Rasa sayangnya kepada Ray itu seakan-akan terkubur dengan rasa kecewanya. Namun, begitu perasaan sayang itu sudah bisa mengalahkan perasaan kecewa itu, ia justru masih terlalu bingung antara harus meminta maaf atau tidak. Ia tak pernah semarah ini dengan kakaknya sendiri.
Acha jelas tahu, Bunda tak pernah mengajarkannya untuk benci dengan kakak kandungnya sendiri. Bunda juga tidak pernah mengajarkan untuk malu ketika ingin meminta maaf duluan dalam situasi apapun. Tapi, entahlah, mungkin sudah terlalu lama Acha mengabaikan kakaknya itu, sehingga ingin kembalipun ia bingung bagaimana caranya.

J L J

Hari ini Ray benar-benar dibuat pusing oleh Cakka. Selain memaksanya bernyanyi, tadi sebelum ekskul bubar, ia diam-diam memberitahu Dayat bahwa duet Ray dan Cakka jadi ditampilkan. Memang sih, itu yang Ray inginkan. Tapi, tidak dengan dirinya harus membuka suara di atas panggung. Ray benar-benar tak percaya diri kalau harus disuruh menyanyi di depan orang banyak. Dan lebih parahnya lagi, Dayat bilang semua yang sudah dicatat namanya untuk tampil, tak bisa dibatalkan demi kelancaran acara. Jadi, mau tak mau Ray tetap harus bernyanyi.
“Lo memang nggak akan pernah berubah.” kata Ray sambil menghela nafasnya, kemudian tersenyum kecil.
“Memangnya siapa yang bilang gue berubah? Gue tetep gue,” kata Cakka sambil menjitak pelipis Ray. “Udah yuk, balik. Kakak gue rese nggak mau jemput. Masa katanya dia lagi males keluar gara-gara lagi asyik gitaran di kamar.”
“Eh, kalau begitu, gue ikut kalian dong, gue juga jalan kaki, nggak enak sendirian. Entar di tengah jalan baru pisah,” kata Anka langsung nimbrung.
“Ayo aja, Ka.” kata Ray. Kemudian, mereka bertiga langsung pulang.
Selama perjalanan, Ray dan Anka asyik mengobrol banyak. Mereka yang jarang bertemu karena ujian akhir dan ekskul yang vakum akhirnya bisa lebih mengenal satu sama lain. Ray merasa seperti mempunya sahabat baru. Sementara itu, Cakka hanya diam saja mendengar celotehan mereka sepanjang perjalanan. Bukannya tak ingin berbicara, tapi ia malas saja. Ia memang bukan tipe orang yang supel dan bawel, mau bagaimana lagi? Mendingan jadi obat nyamuk aja. Lagipula, ia sudah beratus-ratus kali bertemu dengan Anka, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aib masing-masing sudah terbongkar sejak lama.
“Kalau begitu, gue jalan duluan ya?” kata Anka begitu mereka sampai di sebuah perempatan. Ia menunjuk ke arah jalanan seberang. “Rumah gue ada di sekitar sana, lo berdua nggak lewat, kan?”
Ray mengangguk. “Sampai jumpa besok, Anka!”
“Siap. Besok lo harus cerita lebih banyak lagi, Ray, gue masih penasaran!” kata Anka sambil tertawa. Kemudian, ia menoleh ke arah Cakka. “Kka, jangan lupa latihan. Gue nggak mau ya pensi hancur gara-gara lo.”
“Sejak kapan gue pernah ngancurin pensi sekolah?” tanya Cakka sambil mengernyitkan dahinya. “Yang ada tuh lo tahu, suka kabur di tengah acara kalau kita pensi.”
Anka nyengir. Kemudian, ia langsung menyeberangi jalan, meninggalkan kedua temannya tersebut. Cakka dan Ray yang ternyata rumahnya masih searah beberapa meter lagi langsung melanjutkan perjalanan mereka. Suasana ramai yang mengiringi perjalanan mereka tadi seketika lenyap karena si biang ramai sudah tak bersama mereka lagi. Cakka dan Ray sama sekali tak ada yang membuka pembicaraan. Walaupun bisa dikatakan sudah baikan, tapi tetap saja mereka masih canggung. Bagaimanapun juga dulu yang lebih sering mereka lakukan adalah bertengkar. Jadi, tak banyak yang bisa mereka bicarakan. Soal pensi kan tadi sudah dibicarakan di ruang musik sehingga mereka berdua hanya fokus ke depan hingga pada akhirnya, Ray berhenti.
“Gue ke kanan,” kata Ray. “Lo ke kiri, kan?”
Cakka mengangguk.
“Kalau begitu, gue duluan deh.” kata Ray seraya berjalan ke arah jalan rumahnya.
Cakka juga sudah akan berjalan menuju rumahnya ketika ia tiba-tiba teringat dengan sesuatu. Ia membalikkan badannya lagi dan memanggil sahabatnya lagi dengan nyaring sebelum bayangannya keburu hilang. "RAY!"
Ray yang merasa dipanggil langsung menoleh ke arah Cakka. Ia diam saja melihat Cakka yang kembali menghampirinya.
"Gue lupa ngasih lo ini." kata sahabatnya itu sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan dari dalam saku celananya.
Ray mengernyitkan dahinya heran melihat uang tersebut. Uang apa ini? Rasa-rasanya Ray tak pernah membuat Cakka hutang kepadanya. Ia menatap ke arah sahabatnya itu heran. “Memangnya lo pernah hutang sama gue?”
“Udah, ambil!” kata Cakka sambil menarik tangan Ray dan meletakkan uang tersebut di tangannya. Tak peduli Ray masih saja mengernyitkan dahinya tak mengerti. “Gue nggak mau hutang banyak-banyak sama lo di masa lalu.”
“Hah?”
Belum sempat Ray bertanya lagi, Cakka sudah keburu membalikkan badannya dan pergi. Ia diam saja melihat punggung Cakka yang menjauh darinya. Ia tatap kembali uang yang diberikan Cakka barusan. Beberapa saat berusaha mengingat kapan Cakka pernah berhutang uang kepadanya. Namun, begitu ia teringat dengan Cakka yang dulu, seulas senyum langsung mengembang di wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya sejenak begitu menyadari apa yang dimaksud Cakka barusan.
“Yaelah, dia masih inget aja soal waktu itu,” kata Ray sambil tersenyum-senyum. Tanpa banyak omong lagi, Ray langsung berjalan pulang setelah mengantongi uang tersebut.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p