Pagi ini Cakka sangat kesal dengan Ray. Mood-nya yang kemarin sudah baik
kembali lagi menjadi buruk karena teman sebangkunya tersebut. Bukan apa-apa,
tapi anak itu sejak tadi pagi berbeda. Mulutnya yang biasanya mengoceh sekarang
tertutup rapat. Diajak bicara bukannya dijawab, malah diam saja seperti patung.
Setelah Cakka mengguncang-guncang tubuhnyapun dia tetap saja diam. Bahkan
justru ia langsung pergi meninggalkannya. Lebih kesalnya lagi, teman-teman
sekelasnya bukannya membantu, malah menahan tawa.
Huh, padahal Cakka ingin cerita sesuatu. Tadi pagi dia kembali bertengkar
dengan keluarganya. Selain karena ia bangun terlambat, dia juga bertengkar
hebat dengan Bundanya tentang sesuatu. Makanya, ia benar-benar kesal Ray tak
bisa diajak bicara. Padahal, dari dulu hanya dia saja yang paling bisa diajak
bicara. Tentunya selain teman sebangkunya yang lama.
“Ciee... yang ditinggal sama teman sebangku,” kata Rio tiba-tiba
menghampiri dan duduk di kursi Ray. “Makanya, lain kali jangan jahat-jahat sama
orang. Udah tau kan lo bagaimana sakitnya dicuekin?”
“Apaan sih lo?” kata Cakka sebal. “Lo kalau mau ngeganggu gue lagi,
mendingan pergi deh. Atau celana lo mau gue sobek lagi?”
“Tuh kan, lo kayak begitu lagi. Heh, udahlah, lo ngaku aja, nggak enak kan
ditinggal orang? Coba lo sekarang inget-inget lagi deh dari awal lo lahir
sampai lo gede kayak sekarang. Udah berapa orang yang lo gituin?” kata Rio.
Cakka terdiam.
Rio menghela nafasnya sambil tersenyum. “Tapi, lo nggak usah khawatir. Gue
kenal sama Ray, dia nggak akan seperti ini kalau nggak ada apa-apa. Mungkin dia
memiliki masalah yang nggak bisa dia ceritain sama lo. Makanya dia diam aja
waktu lo ajak ngomong.”
“Masa?” tanya Cakka datar.
“Lo sebagai teman sebangkunya harusnya tahu itu.” kata Rio sambil menepuk
pundak Cakka. Kemudian, dia beranjak dari kursinya. “Ya udah, gue mau ke kantin
dulu, sarapan. Belum makan nih gue tadi pagi.”
Cakka diam saja melihat punggung Rio yang menjauh darinya, sampai akhirnya
Rio membalikkan badannya kembali sebelum benar-benar hilang dari pandangannya.
“Oh ya, gue nggak dendam soal celana sobek itu.” katanya.
Cakka mengusap wajahnya begitu bayangan Rio benar-benar hilang dari
pandangannya. Ia menenggelamkan kepalanya di atas kedua tangannya. Kepalanya
pusing. Masih pagi begini semuanya sudah menyebalkan. Keluarganya marah-marah
terus, teman sebangku juga tidak bisa diajak bicara. Rio juga, kata-katanya
membuat kepalanya berputar-putar.
Cakka mengangkat kepalanya lagi. Ia menggelengkan kepalanya sejenak.
“Apa-apaan sih gue? Gue tetep gue. Siapapun yang berani-beraninya membuat gue
kesal, dia akan mendapatkan akibatnya! Nggak peduli dia siapa.”
J L J
Setelah ujian selesai tadi, anak-anak kelas Cakka langsung menuju ruang
ganti untuk siap-siap pelajaran olahraga. Beberapa anak juga harus segera
mengambil bola di gudang karena kata guru olahraga mereka tadi, hari ini mereka
akan bermain sepak bola dan voli. Sepak bola untuk laki-laki dan voli untuk
perempuan.
Kesempatan ini tentu saja tak disia-siakan oleh Cakka yang memang suka jika
jam olahraga dipakai untuk bermain futsal. Selain itu, dia juga ingin
menjalankan misi yang baru tadi pagi ia pikirkan. Tentu saja mengincar target
selanjutnya. Begitu mereka sudah di lapangan, Cakka langsung membentuk tim
dengan Ray, Rio, Deva dan yang lainnya. Sengaja, agar dia dapat melancarkan
misinya. Kemudian, permainan langsung dimulai.
Selama permainan futsal dilangsungkan, Cakka terus bermain seperti biasa,
hingga pada akhirnya di tengah-tengah permainan, entah sengaja atau tidak,
Cakka menyandung kaki Ray yang sedang semangat membawa bola. Ray langsung
terjatuh, lutut kanannya langsung lecet karenanya. Wajahnya juga agak kotor
karena terkena debu.
“Hei, Ray! Lo nggak apa-apa?” Deva langsung menghampiri Ray yang masih
duduk di tengah lapangan, menahan sakit di lututnya. “Aduh, kaki lo berdarah,
Ray. Gue anter lo ke UKS ya?”
Ray mengunci mulutnya, ia mengangguk saja. Kemudian, mengangkat kepalanya,
menatap Cakka yang tersenyum sinis kepadanya. Yang tak disangka oleh sebagian
besar anak-anak di sana, Ray yang biasanya kalem, kali ini justru langsung
marah. “Kenapa sih lo? Kita satu tim, lo malah ngejatuhin gue!”
“Kenapa jadi lo yang marah? Gue yang harusnya marah sama lo! Pikir aja
sendiri apa salah lo! Laki-laki munafik!” balas Cakka juga marah. Perkelahiannya
mengundang seluruh mata anak-anak kepadanya.
“Eh, maksud lo apaan ngatain Ray munafik?!” Deva ikutan marah karenanya.
“Lo nggak sadar kalau lo yang selama ini nggak bener?! Kemarin-kemarin aja
ngebaik-baikin Ray, sekarang apaan? Padahal, Ray udah segitu baiknya sama lo!”
“Lo nggak usah ikut campur, ketua kelas!” kata Cakka sambil menunjuk Deva.
“Sudah, sudah!” tiba-tiba Rio bersuara. “Ray lagi terluka, kenapa kalian
malah berantem? Udah, Deva, lo bawa Ray ke UKS deh. Udah tau Cakka kayak begitu
malah lo ladenin.”
“Eh, apaan tuh maksud lo?!” kata Cakka tak terima. Tapi, Rio langsung
melotot ke arahnya agar Cakka mengunci mulut. Teman-teman yang lain juga ikut
mendukung Rio agar Cakka tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, Deva
langsung membantu Ray untuk pergi ke UKS.
“Hei! Sudah! Ada apa ini?” tiba-tiba guru olahraga mereka datang melerai.
“Cakka nih, Pak! Masa dia sengaja mencelakai Ray tanpa sebab!” adu Deva
kepada beliau.
“Heh! Gue punya alasan kali!” kata Cakka sebal.
“Udah buat Ray luka masih bisa ngomong lo?!”
“Tau tuh! Lo tuh ya, Kka. Argh! Apa otak yang ada di kepala lo itu cuma
bisa diisi dengan balas dendam dan pelampiasan? Hah?” tanya Rio kesal kepada
Cakka sepeninggalan Deva dan Ray. “Ray nggak salah apa-apa sama lo! Tapi,
kenapa lo celakain dia kayak begini?”
“Bukan urusan lo!” kata Cakka sebal. “Yang pasti semua orang yang udah
mengganggu hidup gue harus merasakan akibatnya! Siapapun itu!”
“Gue nggak bermaksud ikut campur urusan lo, tapi kalau ini menyangkut teman
gue, gue nggak bisa diam aja!” kata Rio. “Lo boleh menganggap Ray itu
mengganggu lo, tapi asal lo tahu. Lo itu jauh lebih pantas disebut pengganggu
daripada temen sebangku lo itu!”
Cakka diam saja mendengarnya, matanya terus melotot tajam ke arah Rio. Tak
peduli teman-temannya di sekitarnya sudah menatapnya takut. Yang pasti, ia
sangat kesal mendengar ucapan Rio itu. Ternyata, sekarang dia sudah mulai
berani melawannya.
“Apa?” tanya Rio menantang. Tapi, Cakka tetap saja bungkam. “Gue bukannya
mau ceramahin lo ya, Kka. Tapi, gue bicara berdasarkan fakta aja. Selama ini lo
udah ngerjain berapa banyak orang coba? Lo pikir dengan lo nyelakain temen lo
sendiri kayak begini, lo jadi ngerasa lebih baik daripada Ray?”
“Apaan sih! Bawel lo!” kata Cakka akhirnya.
“Udah, udah! Rio, lebih baik kamu nyusul ke UKS. Kalau Ray sudah baikan,
kamu boleh kembali ke kelas. Yang lainnya, bubar!” kata guru olahraga dengan
lantang.
“Awas lo!” kata Rio terpaksa meninggalkan lapangan. Ia khawatir dengan
keadaan Ray. Langkahnya diikuti oleh beberapa orang lainnya yang juga khawatir
dengan keadaan Ray. Anak-anak yang lain juga segera bubar dari lapangan. Hanya
Cakka saja yang diam di lapangan, melirik guru olahraganya yang sudah
menatapnya tajam.
J L J
Entah sudah berapa kali Ibu Ira menatap Cakka dengan garang di ruang kepala
sekolah. Ya, setelah kejadian tadi, Rio dan Deva ternyata melaporkan perbuatan
Cakka kepada beliau agar Cakka mendapatkan pelajaran. Huh, entah harus diapakan
lagi anak itu, Ibu Ira juga tidak tahu. Hukuman apapun yang diberikannya kepada
Cakka, tetap saja anak itu akan mengulangi kesalahannya kembali. Dan ia akan
kembali lagi ke ruangannya lagi, dengan masalah yang lain.
Cakka diam saja menatap Ibu Ira yang tampak putus asa harus berbicara apa
lagi kepadanya. Ia tak peduli. Ini bukan salahnya, Ray sendiri yang mencari
perkara kepadanya makanya ia bisa membuat Ray masuk UKS.
“Kka, kalau kamu harus tahu, guru-guru sebenarnya sudah lama ingin men-DO
kamu,” kata Ibu Ira akhirnya. “Bukannya Ibu udah bilang, kamu itu sudah
‘mencoreng’ nama sekolah. Walaupun prestasimu baik, moral dan perilaku kamu
juga harus baik. Nggak seenaknya seperti ini.”
Cakka diam saja mendengar ucapan kepala sekolahnya.
“Ibu kasih kamu satu kesempatan lagi, oke? Kalau kamu tak ada keinginan
sama sekali untuk berubah, lebih baik Ibu turuti keinginan mereka agar segera
mengeluarkan kamu dari sekolah,” kata Ibu Ira tegas. “Sekarang, kamu kembali ke
kelas.”
Cakka beranjak dari tempat duduknya. Ia keluar dengan wajah tanpa ekspresi,
ia sama sekali tidak menunjukkan perubahan raut wajah semenjak ia masuk ke
dalam ruang Ibu Ira tadi. Walaupun sebenarnya, ia cukup terkejut mendengar
bahwa guru-guru sudah memutuskan untuk melakukan DO untuknya. Apa ia akan
benar-benar putus sekolah? Entahlah. Kalau itu benar-benar terjadi,
paling-paling hanya dimarahi. Ya, hanya dimarahi.
“ARGH!!!!! SEMUANYA NYEBELIN!!” teriak Cakka sekencang-kencangnya.
J L J
Saat istirahat...
“Ray, kaki lo udah nggak apa-apa, kan? Ke kantin yuk?” kata Deva
menghampiri temannya tersebut, disusul oleh Rio di belakangnya.
Ray yang sibuk membereskan barangnya hanya menoleh dan kembali sibuk
sendiri. Setelah selesai, ia langsung pergi begitu saja keluar kelas. Deva dan
Rio sampai heran. Tapi, karena tak ingin mengganggunya, Deva dan Rio akhirnya
memutuskan untuk pergi berdua saja. Sementara Cakka yang dari tadi menyaksikan
adegan itu hanya bisa diam. Ternyata, bukan dia saja yang diabaikan Ray.
Cakka berjalan keluar kelas setelah membereskan barang-barangnya. Ia malas
ke kantin, perutnya masih terasa kenyang. Makanya, ia memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar sekolah saja sambil menjernihkan pikirannya yang sudah
mumet lagi dengan pelajaran dan masalah hidup. Syukur-syukur kalau ruang musik
sedang kosong, jadi ia bisa bermain sebentar di sana.
Sepanjang pelajaran tadi, Ray juga tetap mengunci mulutnya, kecuali ia
harus menjawab pertanyaan dari guru. Kemudian, saat ujian juga, ia terlihat
sangat serius, setelah selesai mengerjakan soal juga dia langsung tidur.
Mungkin dia kesal dengan perbuatan Cakka yang tadi. Tapi, ah! Untuk apa juga
Cakka memikirkan teman sebangkunya itu? Toh Ray juga tak berpikir untuknya. Lihat
saja saat jam olahraga tadi, dia berani-beraninya membentaknya. Kalau memang
dia mengerti Cakka, dia harusnya tahu kalau Cakka tak suka dibentak-bentak
begitu!
Cakka menghentikan langkahnya di depan ruang musik ketika ia tak sengaja
melihat seseorang di dalam ruangan. Tangannya yang sudah memegang gagang pintu
tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk membuka pintu ruang musik itu. Ternyata ruang
musik itu sudah lebih dulu dihuni oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ray?
Cakka jadi mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia mengintip teman sebangkunya
tersebut dari luar.
Ray tampak sedang sibuk memangku gitar milik sekolah di sana. Dengan
wajahnya yang datar, ia memetik keenam senarnya dengan lihai. Entah sedang
memainkan lagu apa. Suaranya tak terdengar sampai keluar. Tapi, ini benar-benar
di luar kebiasaan. Cakka benar-benar penasaran dengan apa yang sedang
mengganggu pikiran temannya itu. Eh?
Teman? Apa Cakka sudah menerimanya sebagai teman? Entahlah, yang Cakka tahu
selama ini, Ray selalu cerewet dengannya. Semenjak laki-laki mungil itu menjadi
teman sebangkunya, walaupun ia bisa dibilang kalem dibandingkan dengan Rio,
tapi Ray tetap masuk ke dalam kategori tak bisa diam di mata Cakka. Dia selalu
ingin tahu urusan Cakka, walaupun ia tahu Cakka selalu membentaknya,
memarahinya.
Dia berbeda dengan yang lain. Kalau kebanyakan orang yang mengenal Cakka
pasti akan membentak Cakka balik atau bahkan langsung menjauhinya karena
sikapnya yang buruk, Ray justru selalu cukup diam dan tersenyum menanggapi
kata-kata kasarnya. Kalaupun dia membalas balik perkataannya, pasti dengan
kata-kata yang lembut dan menenangkan. Cakka juga sebenarnya tidak tahu, kenapa
Ray bisa betah berteman dengannya walaupun dia sudah tahu bahwa Cakka tak suka
diganggu teman-teman di sekitarnya.
Cakka mengarahkan pandangannya kembali ke dalam ruang musik. Kini Ray sudah
tak memangku gitarnya lagi. Ia beranjak dari kursinya dan menghampiri dram.
Sekejap ia bersiap-siap untuk menggebuk alat musik pukul itu, tapi akhirnya tak
jadi. Ia meletakkan dua stik yang ia pegang ke tempatnya kembali dan
menghampiri jendela.
“Ah! Udahlah, kurang kerjaan banget sih gue ngintipin dia. Mau dia lagi ada
masalah kek, nggak ada masalah kek, males temenan sama gue kek, bukan urusan
gue!” kata Cakka sambil menggelengkan kepalanya, seolah-olah menyadarkan
dirinya sendiri bahwa sejak tadi ia telah melakukan hal yang tak penting.
Setelah itu, ia langsung meninggalkan ruang musik. Lebih baik dia kembali ke
kelas dan tidur.
Sepeninggalan Cakka, tiba-tiba pintu ruang musik itu terbuka. Bayangan Ray
muncul dari sana. Ia diam saja melihat punggung temannya itu telah menjauh.
Cakka pasti tak sadar bahwa sejak tadi Ray menyadari bahwa ia melihatnya dari
luar. Pintu ruang musik yang sempat terbuka sedikit tadi membuatnya melirik ke
arah pintu, tapi dia berusaha bersikap biasa agar Cakka tak tahu bahwa Ray
mengetahui keberadaannya di sana.
Ray bukannya sengaja mengabaikan Cakka dan teman-teman sekelasnya hari ini.
Ia hanya tak ingin membuat lebih banyak lagi orang khawatir karena masalah tadi
malam. Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu tentang rasa sakit yang dirasakannya.
Cakka, anak itu sudah terlalu lama menjadi temannya, walaupun sekalipun anak
itu tak pernah menunjukkan bahwa dia telah menerimanya sebagai teman, tapi Ray
sudah menganggapnya teman. Sahabat. Dan Ray sama sekali tidak ingin ia khawatir
lebih banyak lagi. Hidup Cakka sudah terlalu banyak mengandung kekhawatiran.
Selain itu juga, Ray hanya tak ingin menyakiti perasaan Cakka tentang kejadian
kemarin.
J L J
Jam pulang sekolah sudah tiba. Ray yang ingin segera pulang tiba-tiba
mengurungkan niatnya begitu ia ingat sesuatu. Kemarin dia berjanji dengan Cakka
bahwa ia ingin mempertemukan Cakka dengan seseorang. Ah, terpaksa deh, dia
harus menunggu teman sebangkunya itu. Ia yang tadinya sudah ingin keluar kelas,
langsung berbalik badan kembali dan berjalan menghampiri Cakka. Cakka yang
merasakan kehadiran Ray langsung menatapnya diam.
“Mau apa lo?” tanya Cakka datar. “Belum puas ganggu gue hari ini?”
Ray menghela nafasnya sebelum berbicara. “Kemarin gue bilang, gue mau lo
ketemu seseorang hari ini. Jadi, ayo ikut gue sekarang. Bisa?”
“Mau ketemu siapa sih? Penting banget ya gue harus ketemu dia? Gue capek,
nggak ada waktu berkeliaran sama orang menyebalkan macam lo.” kata Cakka sebal.
Ray diam saja mendengarkan ucapan Cakka. Kemudian, tanpa banyak bicara
lagi, ia langsung menarik tangan Cakka keluar kelas. Ia tak perduli Cakka
memberontak agar ia melepaskan tangannya, yang penting ia tak ingin mengingkari
ucapannya kemarin. Masalah yang sudah terjadi harus diselesaikan hari ini.
Ray terus menarik Cakka menyusuri jalan hingga akhirnya mereka berdua
sampai di daerah yang sepi. Begitu hawa-hawa mengerikan itu tercium di hidung
Cakka, ia langsung memberontak lebih jauh lagi kepada teman sebangkunya itu.
“Heh! Lo mau ngapain sih bawa-bawa gue ke sini?” tanya Cakka kesal. “Ini
kuburan, bego!”
“Udah, diem aja deh lo! Gue cuma sebentar di sini, lo juga nggak ada acara
kan!” balas Ray. Ia terus menarik tangan Cakka sampai akhirnya mereka berdua
sampai di salah satu tanah yang sudah bertaburan bunga di sana. Setelah itulah
Ray baru melepaskan tangan Cakka.
“Udah, sekarang lo jelasin deh, apa sih maksud lo bawa-bawa gue ke sini?
Gue tuh capek! Gue mau pulang! Lo tuh ngeselin banget sih hari ini?!” kata
Cakka nyaring.
“Udah, lo ikutin gue aja! Dan jangan berisik!” kata Ray tegas, langsung
menarik Cakka agar ia ikut berjongkok bersamanya di sebelah tanah tersebut.
Cakka hanya bisa pasrah mengikuti Ray.
Ray menghela nafas, kemudian ia langsung menatap batu nisan yang tertancap
di tanah itu. Perasaannya langsung campur aduk begitu ia membaca tulisan nama
yang tercantum di batu tersebut. Ia elus-elus batu itu perlahan-lahan dengan
penuh sayang, seolah-olah ia sedang mengelus orang yang disayanginya. Kemudian,
mulutnya berbisik lirih. “Sore, Bunda...”
Cakka langsung terdiam mendengar suara Ray. Bunda? Oh, jadi ini adalah
kuburan Bunda Ray? Bahkan Cakka baru tahu kalau ternyata Bunda Ray sudah tiada.
Kenapa selama ini Ray tak pernah menceritakan apapun kepadanya? Ah, atas dasar
apa juga ia harus menceritakan privasinya kepada Cakka?
“Bunda apa kabar di sana? Udah lama banget Bunda nggak mampir ke mimpi Ray,
Ray kangen Bunda,” kata Ray pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, Bunda
tenang aja, Ray nggak apa-apa kok di sini, Ray bahagia banget, Ray punya banyak
teman-teman yang baik di sini. Semoga Bunda juga bahagia terus ya di sana. Ray
yakin Tuhan pasti sayang banget sama Bunda.”
Cakka diam saja mendengarkan ucapan-ucapan lirih Ray. Entah kenapa,
perasaannya ikut bergejolak melihat Ray sedih seperti itu. Tak pernah sekalipun
ia melihat Ray begitu rapuh selama ia kenal dengan teman sebangkunya itu.
Apalagi sampai menangis begini. Cakka jadi penasaran.
Cakka menepuk pundak Ray pelan, membuat Ray menoleh ke arahnya. “Boleh gue
nanya?”
Ray menunduk sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Sejak kapan... Bunda lo...”
Ray tersenyum samar. “Dari umur gue masih tujuh tahun, Kka.”
Cakka terdiam.
Ray menoleh kembali ke arah batu nisan Bundanya. Sambil mengelus kembali
batu nisan tersebut, ia mulai bercerita sambil menundukkan kepalanya. “Gue
merasa bodoh, setiap kali gue mengingat bagaimana kronologi kejadian itu.
Bisa-bisanya gue bikin nyokap gue sendiri meninggalkan kita semua.”
“Apa yang terjadi, Ray?” tanya Cakka iba.
“Waktu itu...,” kata Ray sesunggukan. “Gue sama Acha, adik gue, lagi
nemenin nyokap gue jalan-jalan. Lo nggak tahu, Kka, gue seneng banget karena
akhirnya bisa jalan-jalan sama Bunda, setelah Bunda sibuk bekerja seharian
terus. Sepanjang perjalanan gue girang banget. Tapi, gue bego. Gue membiarkan
kebahagiaan itu berubah jadi bencana.”
“Mobil besar itu melaju kencang ke arah gue, Kka. Dan Bunda mengorbankan
nyawanya demi gue. Acha yang melihat dengan mata kepala sendiri Bunda
tertabrak, langsung menjerit-jerit nangis. Orang-orang yang di sana langsung
menolong gue dan Acha buat bawa Bunda ke rumah sakit. Tapi, Dokter nggak bisa
menyelamatkan beliau.”
“Jadi...”
“Ya, nyokap gue meninggal. Ayah juga kaget begitu mendengar Bunda pergi.
Semenjak hari itu, Acha jadi benci banget sama gue. Dia frustasi karena nggak
bisa terima kepergian Bunda. Bahkan sampai sekarang,” kata Ray lagi. “Acha
selalu mengurungkan diri di kamar. Setiap kali gue panggil, dia selalu nggak
mau menjawab. Dia cuma teriak-teriak kalau gue bukan kakaknya dia. Semua itu,
karena dia menganggap gue penyebab kematian Bunda. Dan asal lo tahu, itu jauh
lebih sakit daripada menghadapi kelakuan lo di sekolah.”
Cakka menundukkan kepalanya. Ia benar-benar baru tahu soal ini. Padahal, di
sekolah, Ray selalu tersenyum dan ceria di hadapan semua orang seperti orang
yang tak pernah mengalami kesedihan. Dia selalu terlihat bahagia. Tapi,
ternyata di balik semua itu, dia sangat rapuh. Dan bodohnya, Cakka justru
membuat kerapuhan itu bertambah dalam dengan kelakuan buruknya di sekolah.
“Kka.” panggil Ray pelan.
Cakka mengangkat kepalanya, menatap Ray kembali.
“Apa lo bener-bener benci sama keluarga lo?” tanya Ray. Sukses membuat
Cakka bungkam.
“Gue...”
“Lo tahu kenapa hari ini gue cuek sama lo?” tanya Ray lagi.
Cakka menggelengkan kepalanya.
“Gue kecewa sama lo,” kata Ray pelan. “Bahkan dari dulu.”
Cakka memalingkan kepalanya. Ia menutup matanya sejenak, kemudian
membukanya lagi. “Gue tahu, Ray. Bukan cuma lo yang kecewa sama gue. Mungkin di
luar sana masih banyak yang diam-diam kecewa dengan sikap gue.”
“Sebenernya gue nggak mau mengungkit hal ini, Kka, karena gue tulus temenan
sama lo. Gue nggak peduli lo mau senyebelin apa. Lo tetep temen gue. Dan gue
nggak mau buat lo khawatir dan kasihan cuma gara-gara keluarga gue nggak
lengkap,” kata Ray. “Tapi, karena kata-kata buruk lo tentang keluarga lo
kemarin, gue jadi mikir dua kali. Mungkin, lo harus tahu soal ini. Supaya lo
tahu, lo itu beruntung. Jauh lebih beruntung daripada gue.”
Cakka diam.
“Kemarin lo bilang, lo benci banget sama keluarga lo gara-gara mereka kepo
sama lo soal diskors itu, kan? Lo juga bilang, kalau mereka salah ngurusin
hidup lo karena hidup mereka aja belum tentu bener. Terus gue diem, inget?”
tanya Ray.
Cakka mengangkat kepalanya menatap Ray. Ia tiba-tiba teringat dengan
kata-katanya waktu itu. Ia baru sadar, ternyata kata-katanya itu secara tak
langsung justru menyinggung perasaan Ray. Betapa bodohnya dia, bisa-bisanya tak
peka soal itu. “Sori, Ray, gue nggak ada maksud buat—“
“Udah, nggak apa-apa,” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan. “Justru
gue yang harusnya minta maaf. Harusnya hari ini gue nggak kasar sama lo,
harusnya gue jujur sama lo kalau gue lagi ada masalah.”
Cakka menghela nafasnya. “Sebenarnya ada apa, Ray?”
“Kemarin,” kata Ray terputus. “Acha sakit, Kka.”
Cakka tersentak kaget. Ia langsung bertanya lirih, “Sakit apa?”
“Dia demam, badannya lemas karena makan terlalu sedikit, mungkin makanan
yang gue kasih setiap hari nggak dimakan habis sama dia. Dia bahkan nggak mau
dijagain sama gue. Makanya, tadi pagi gue murung banget. Eh, lonya malah
ngerjain gue juga. Gue... Gue tuh nggak pernah bisa jadi orang baik di mata
orang. Di mata Acha. Di mata lo. Gue bahkan kesel sama diri gue sendiri, kenapa
sih gue harus lahir kalau gue cuma bikin orang lain susah doang?” kata Ray.
Cakka menghela nafasnya. “Lo salah, Ray. Lo itu baik. Lo... Lo itu jauh
lebih baik daripada gue. Lo lihat, kan? Begitu lo masuk ekskul band, semua
orang memuji lo. Di kelas? Temen-temen juga seneng sama lo. Deva, Rio,
semuanya. Sedangkan gue? Mana ada yang mau temenan sama gue? Selain lo. Dan bodohnya,
gue malah nyia-nyiain lo sebagai sahabat gue.”
Ray tersenyum samar. “Tapi, lo masih punya kesempatan untuk ngebahagiain
orang tua lo, Chase Karayne. Sedangkan gue? Sama sekali nggak ada. Gue udah
terlanjur ngecewain Bunda dengan hidup kayak begini. Dibenci Acha.”
Cakka menggeleng. “Nggak. Lo salah. Justru gue yang udah terlambat. Gue...
Mungkin gue bakal di DO sebentar lagi.”
Ray membesarkan matanya kaget. “DO...?”
Cakka menganggukkan kepalanya. “Guru-guru mungkin udah muak sama gue. Ibu
Ira bilang, sejak dulu guru-guru udah pengen banget ngeluarin gue dari sekolah.
Tapi, Ibu Ira selalu mempertahankan gue karena prestasi gue. Nggak tahu lagi,
besok-besok gue harus bagaimana.”
“Pakai kesempatan itu baik-baik, Kka. Lo masih punya waktu untuk merubah
pikiran mereka.” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
Cakka terdiam. Kemudian, segera berdiri dari tempatnya. “Udahlah, ini udah
sore. Ayo pulang. Gue nggak mau berlama-lama di sini. Gue... gue nggak mau
ngeliat lo terpuruk kayak begini. Ini bukan lo. Ini bukan Ray yang gue kenal.”
Ray mengangguk pelan. Ia menoleh ke arah kuburan Bundanya. “Ray pamit dulu
ya, Bunda. Ray sayang banget sama Bunda. Nanti Ray ke sini lagi kok. Doain Ray
bisa cepet baikan sama Acha ya, Bunda.”
Ray mengecup batu nisan itu sejenak, kemudian segera berdiri dan berjalan
menjauhi kuburan Bundanya.
Cakka yang melihat punggung Ray menjauh, hanya diam saja. Ia merenung
sejenak, sebelum akhirnya ia memanggil temannya itu dengan nyaring. “RAY!”
Ray menoleh ke arahnya bingung.
“Maaf dan... Makasih!” teriak Cakka dari tempatnya. Ia tersenyum manis
menatap teman sebangkunya itu, yang langsung disambut dengan cengiran kuda
darinya.
“Udahlah, lupain aja!” kata Ray sambil terus nyengir. “Ayo pulang! Katanya
mau istirahat?”
Cakka tertawa sejenak, kemudian langsung menyusul sahabatnya itu dengan
cepat. Hari ini ia baru sadar. Ternyata, sahabatnya itu memang hebat.
Sahabatnya itu memang patut disenangi semua orang. Dia kuat. Walaupun
keluarganya sudah tidak lengkap, adiknya membencinya, tapi dia selalu terlihat
bahagia. Rio benar, dibandingkan dengan Ray, Cakka nggak ada apa-apanya. Dan
harusnya ia bersyukur masih memiliki keluarga yang lengkap.
J L J
Begitu Cakka sampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul lima sore.
Ternyata, lama juga dia pergi dengan Ray. Pantas saja badannya terasa lelah,
pikirannya juga. Sudah banyak hal yang terjadi hari ini, Cakka ingin segera
tidur di kasurnya. Setidaknya, ia ingin menyegarkan kondisi tubuhnya lebih dulu
sebelum jam makan malam tiba.
Cakka berjalan pelan ke dalam rumah dan menaruh tasnya di sofa. Kemudian,
ia langsung masuk ke kamar dan mengambil baju rumah dan peralatan mandinya. Tak
perlu lama-lama ia mandi, paling sepuluh sampai lima belas menit kemudian dia
sudah keluar dengan badan yang sudah wangi kembali.
“Huh...” desah Cakka sambil menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia
menutup matanya sejenak, merenungi semua hal yang ia hadapi di sekolah sampai
di tempat peristirahatan Bundanya Ray tadi. Kemudian, ia juga teringat kembali
dengan kata-kata Ibu Ira waktu itu.
MIFI adalah singkatan dari empat
ciri yang akan kita bangun di sekolah ini. Anak-anak yang lulus dari sini harus
memiliki moral yang baik, kecerdasan yang tinggi, memiliki kepercayaan satu
sama lain dan juga mandiri. Dengan begitu, kalian pasti akan sukses. Itu misi
kami. Moral, Intelligence, Faith and Independent.
Dan juga...
Kalau kamu nggak bisa mengubah sikap
kamu yang buruk, kamu sudah mencoreng nama sekolah kami, Cakka.
Dan lagi...
Ibu kasih kamu satu kesempatan lagi,
oke? Kalau kamu tak ada keinginan sama sekali untuk berubah, lebih baik Ibu
turuti keinginan mereka agar segera mengeluarkan kamu dari sekolah.
Cakka menghela nafasnya. Kata-kata yang waktu itu terasa begitu gampang
diabaikannya sekarang justru membuatnya merasa bersalah, sampai akhirnya kata
‘DO’ pun keluar dari mulut kepala sekolah. Dulu mungkin Cakka bisa berpikir
bahwa yang terpenting adalah dia bisa mendapatkan nilai yang tinggi di kelas.
Dengan begitu saja ia pasti dapat lulus dari sekolah dengan baik. Tapi, ternyata
tidak. Sekarang, ia merasa sikapnya selama ini sudah keterlaluan. Apalagi
dengan keluarganya sendiri.
“Cakka? Kamu udah pulang ternyata.” kata seseorang tiba-tiba datang dan
masuk ke dalam kamarnya. Tanpa harus bangun, Cakka sudah tahu kalau itu suara
Bunda.
Cakka mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar di tempat tidurnya. Ia
biarkan Bunda duduk di tempat tidurnya. Ia tersenyum kaku, kemudian
menganggukkan kepalanya. “Baru aja kok, Bunda.”
“Kamu kemana hari ini? Kok sore-sore begini baru pulang?” tanya Bunda
sambil tersenyum.
Cakka diam. Ini. Pertanyaan ini yang selalu Cakka abaikan selama ini karena
dianggap terlalu kepo. Entah yang keluar dari mulut Bundanya, Ayah, juga kedua
kakaknya, semuanya ia abaikan. Padahal, ia masih memiliki banyak kesempatan untuk
mendengar suara Bundanya. Berbeda dengan Ray. Bagaimana kalau Bunda tahu dia
sudah terancam putus sekolah?
“Ya udah kalau nggak mau cerita, Bunda cuma penasaran aja sih,” kata Bunda
sambil nyengir menatap anak bungsunya. “Habis kakak-kakak kamu pada nggak tahu
kamu kemana. Acara mendadak ya?”
Cakka menganggukkan kepalanya ragu. Kemudian, ia berbicara dengan sedikit
gagap. “Iya, Bunda. Mendadak. Tadi... tadi diajak main sebentar sama temen.
Baru aja pulang. Cakka... Cakka udah buat Bunda khawatir ya?”
Bunda tertawa lucu mendengar cara bicara Cakka yang lain dari biasanya.
Rasanya bukan seperti lagi berbicara dengan anaknya yang cuek aja. “Kamu kenapa
sih? Nggak biasanya deh kamu begini.”
Cakka diam. Ia menggarukkan tengkuknya yang tak gatal dengan wajah malu.
Bunda masih saja tertawa. “Bunda jadi pengen tahu siapa yang udah buat
Cakka jadi lucu begini. Ngomongnya gagap banget, kayak ngomong sama siapa aja.”
“Ah, Bunda jangan ketawain Cakka dong,” kata Cakka manyun.
“Iya iya, maaf. Bunda kaget aja kamu tiba-tiba kayak begini,” kata Bunda
sembari menghentikan tawanya. Ia beranjak dari tempat tidur Cakka. “Sebentar
lagi makan malam, Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu. Kamu turun ya?”
Cakka mengangguk sambil tersenyum.
Bunda ikut tersenyum, kemudian berjalan menjauhi tempat tidur, hendak
meninggalkan kamar Cakka. Tapi, sebelum ia benar-benar hilang dari pandangan
Cakka, tiba-tiba Cakka memanggilnya. Bunda langsung menoleh lagi ke arahnya.
Cakka yang masih kagok dengan situasi langsung diam lagi. Ia berjalan
mendekati Bunda yang sudah ada di ambang pintu kamarnya. Ia menelan ludahnya
sejenak, kemudian menatap Bunda dengan ragu. Ia butuh sandaran, tapi bagaimana
caranya ia mengatakannya kepada Bunda?
“Kenapa, Kka?” tanya Bunda lagi sambil tersenyum lembut.
“Boleh nggak...,” kata Cakka terputus. “Boleh nggak, Cakka peluk Bunda?”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p