Kamis, 12 Februari 2015

Cerbung | The Real Him Part 7


Pagi ini Cakka sangat kesal dengan Ray. Mood-nya yang kemarin sudah baik kembali lagi menjadi buruk karena teman sebangkunya tersebut. Bukan apa-apa, tapi anak itu sejak tadi pagi berbeda. Mulutnya yang biasanya mengoceh sekarang tertutup rapat. Diajak bicara bukannya dijawab, malah diam saja seperti patung. Setelah Cakka mengguncang-guncang tubuhnyapun dia tetap saja diam. Bahkan justru ia langsung pergi meninggalkannya. Lebih kesalnya lagi, teman-teman sekelasnya bukannya membantu, malah menahan tawa.

Huh, padahal Cakka ingin cerita sesuatu. Tadi pagi dia kembali bertengkar dengan keluarganya. Selain karena ia bangun terlambat, dia juga bertengkar hebat dengan Bundanya tentang sesuatu. Makanya, ia benar-benar kesal Ray tak bisa diajak bicara. Padahal, dari dulu hanya dia saja yang paling bisa diajak bicara. Tentunya selain teman sebangkunya yang lama.
“Ciee... yang ditinggal sama teman sebangku,” kata Rio tiba-tiba menghampiri dan duduk di kursi Ray. “Makanya, lain kali jangan jahat-jahat sama orang. Udah tau kan lo bagaimana sakitnya dicuekin?”
“Apaan sih lo?” kata Cakka sebal. “Lo kalau mau ngeganggu gue lagi, mendingan pergi deh. Atau celana lo mau gue sobek lagi?”
“Tuh kan, lo kayak begitu lagi. Heh, udahlah, lo ngaku aja, nggak enak kan ditinggal orang? Coba lo sekarang inget-inget lagi deh dari awal lo lahir sampai lo gede kayak sekarang. Udah berapa orang yang lo gituin?” kata Rio.
Cakka terdiam.
Rio menghela nafasnya sambil tersenyum. “Tapi, lo nggak usah khawatir. Gue kenal sama Ray, dia nggak akan seperti ini kalau nggak ada apa-apa. Mungkin dia memiliki masalah yang nggak bisa dia ceritain sama lo. Makanya dia diam aja waktu lo ajak ngomong.”
“Masa?” tanya Cakka datar.
“Lo sebagai teman sebangkunya harusnya tahu itu.” kata Rio sambil menepuk pundak Cakka. Kemudian, dia beranjak dari kursinya. “Ya udah, gue mau ke kantin dulu, sarapan. Belum makan nih gue tadi pagi.”
Cakka diam saja melihat punggung Rio yang menjauh darinya, sampai akhirnya Rio membalikkan badannya kembali sebelum benar-benar hilang dari pandangannya.
“Oh ya, gue nggak dendam soal celana sobek itu.” katanya.
Cakka mengusap wajahnya begitu bayangan Rio benar-benar hilang dari pandangannya. Ia menenggelamkan kepalanya di atas kedua tangannya. Kepalanya pusing. Masih pagi begini semuanya sudah menyebalkan. Keluarganya marah-marah terus, teman sebangku juga tidak bisa diajak bicara. Rio juga, kata-katanya membuat kepalanya berputar-putar.
Cakka mengangkat kepalanya lagi. Ia menggelengkan kepalanya sejenak. “Apa-apaan sih gue? Gue tetep gue. Siapapun yang berani-beraninya membuat gue kesal, dia akan mendapatkan akibatnya! Nggak peduli dia siapa.”

J L J

Setelah ujian selesai tadi, anak-anak kelas Cakka langsung menuju ruang ganti untuk siap-siap pelajaran olahraga. Beberapa anak juga harus segera mengambil bola di gudang karena kata guru olahraga mereka tadi, hari ini mereka akan bermain sepak bola dan voli. Sepak bola untuk laki-laki dan voli untuk perempuan.
Kesempatan ini tentu saja tak disia-siakan oleh Cakka yang memang suka jika jam olahraga dipakai untuk bermain futsal. Selain itu, dia juga ingin menjalankan misi yang baru tadi pagi ia pikirkan. Tentu saja mengincar target selanjutnya. Begitu mereka sudah di lapangan, Cakka langsung membentuk tim dengan Ray, Rio, Deva dan yang lainnya. Sengaja, agar dia dapat melancarkan misinya. Kemudian, permainan langsung dimulai.
Selama permainan futsal dilangsungkan, Cakka terus bermain seperti biasa, hingga pada akhirnya di tengah-tengah permainan, entah sengaja atau tidak, Cakka menyandung kaki Ray yang sedang semangat membawa bola. Ray langsung terjatuh, lutut kanannya langsung lecet karenanya. Wajahnya juga agak kotor karena terkena debu.
“Hei, Ray! Lo nggak apa-apa?” Deva langsung menghampiri Ray yang masih duduk di tengah lapangan, menahan sakit di lututnya. “Aduh, kaki lo berdarah, Ray. Gue anter lo ke UKS ya?”
Ray mengunci mulutnya, ia mengangguk saja. Kemudian, mengangkat kepalanya, menatap Cakka yang tersenyum sinis kepadanya. Yang tak disangka oleh sebagian besar anak-anak di sana, Ray yang biasanya kalem, kali ini justru langsung marah. “Kenapa sih lo? Kita satu tim, lo malah ngejatuhin gue!”
“Kenapa jadi lo yang marah? Gue yang harusnya marah sama lo! Pikir aja sendiri apa salah lo! Laki-laki munafik!” balas Cakka juga marah. Perkelahiannya mengundang seluruh mata anak-anak kepadanya.
“Eh, maksud lo apaan ngatain Ray munafik?!” Deva ikutan marah karenanya. “Lo nggak sadar kalau lo yang selama ini nggak bener?! Kemarin-kemarin aja ngebaik-baikin Ray, sekarang apaan? Padahal, Ray udah segitu baiknya sama lo!”
“Lo nggak usah ikut campur, ketua kelas!” kata Cakka sambil menunjuk Deva.
“Sudah, sudah!” tiba-tiba Rio bersuara. “Ray lagi terluka, kenapa kalian malah berantem? Udah, Deva, lo bawa Ray ke UKS deh. Udah tau Cakka kayak begitu malah lo ladenin.”
“Eh, apaan tuh maksud lo?!” kata Cakka tak terima. Tapi, Rio langsung melotot ke arahnya agar Cakka mengunci mulut. Teman-teman yang lain juga ikut mendukung Rio agar Cakka tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, Deva langsung membantu Ray untuk pergi ke UKS.
“Hei! Sudah! Ada apa ini?” tiba-tiba guru olahraga mereka datang melerai.
“Cakka nih, Pak! Masa dia sengaja mencelakai Ray tanpa sebab!” adu Deva kepada beliau.
“Heh! Gue punya alasan kali!” kata Cakka sebal.
“Udah buat Ray luka masih bisa ngomong lo?!”
“Tau tuh! Lo tuh ya, Kka. Argh! Apa otak yang ada di kepala lo itu cuma bisa diisi dengan balas dendam dan pelampiasan? Hah?” tanya Rio kesal kepada Cakka sepeninggalan Deva dan Ray. “Ray nggak salah apa-apa sama lo! Tapi, kenapa lo celakain dia kayak begini?”
“Bukan urusan lo!” kata Cakka sebal. “Yang pasti semua orang yang udah mengganggu hidup gue harus merasakan akibatnya! Siapapun itu!”
“Gue nggak bermaksud ikut campur urusan lo, tapi kalau ini menyangkut teman gue, gue nggak bisa diam aja!” kata Rio. “Lo boleh menganggap Ray itu mengganggu lo, tapi asal lo tahu. Lo itu jauh lebih pantas disebut pengganggu daripada temen sebangku lo itu!”
Cakka diam saja mendengarnya, matanya terus melotot tajam ke arah Rio. Tak peduli teman-temannya di sekitarnya sudah menatapnya takut. Yang pasti, ia sangat kesal mendengar ucapan Rio itu. Ternyata, sekarang dia sudah mulai berani melawannya.
“Apa?” tanya Rio menantang. Tapi, Cakka tetap saja bungkam. “Gue bukannya mau ceramahin lo ya, Kka. Tapi, gue bicara berdasarkan fakta aja. Selama ini lo udah ngerjain berapa banyak orang coba? Lo pikir dengan lo nyelakain temen lo sendiri kayak begini, lo jadi ngerasa lebih baik daripada Ray?”
“Apaan sih! Bawel lo!” kata Cakka akhirnya.
“Udah, udah! Rio, lebih baik kamu nyusul ke UKS. Kalau Ray sudah baikan, kamu boleh kembali ke kelas. Yang lainnya, bubar!” kata guru olahraga dengan lantang.
“Awas lo!” kata Rio terpaksa meninggalkan lapangan. Ia khawatir dengan keadaan Ray. Langkahnya diikuti oleh beberapa orang lainnya yang juga khawatir dengan keadaan Ray. Anak-anak yang lain juga segera bubar dari lapangan. Hanya Cakka saja yang diam di lapangan, melirik guru olahraganya yang sudah menatapnya tajam.

J L J

Entah sudah berapa kali Ibu Ira menatap Cakka dengan garang di ruang kepala sekolah. Ya, setelah kejadian tadi, Rio dan Deva ternyata melaporkan perbuatan Cakka kepada beliau agar Cakka mendapatkan pelajaran. Huh, entah harus diapakan lagi anak itu, Ibu Ira juga tidak tahu. Hukuman apapun yang diberikannya kepada Cakka, tetap saja anak itu akan mengulangi kesalahannya kembali. Dan ia akan kembali lagi ke ruangannya lagi, dengan masalah yang lain.
Cakka diam saja menatap Ibu Ira yang tampak putus asa harus berbicara apa lagi kepadanya. Ia tak peduli. Ini bukan salahnya, Ray sendiri yang mencari perkara kepadanya makanya ia bisa membuat Ray masuk UKS.
“Kka, kalau kamu harus tahu, guru-guru sebenarnya sudah lama ingin men-DO kamu,” kata Ibu Ira akhirnya. “Bukannya Ibu udah bilang, kamu itu sudah ‘mencoreng’ nama sekolah. Walaupun prestasimu baik, moral dan perilaku kamu juga harus baik. Nggak seenaknya seperti ini.”
Cakka diam saja mendengar ucapan kepala sekolahnya.
“Ibu kasih kamu satu kesempatan lagi, oke? Kalau kamu tak ada keinginan sama sekali untuk berubah, lebih baik Ibu turuti keinginan mereka agar segera mengeluarkan kamu dari sekolah,” kata Ibu Ira tegas. “Sekarang, kamu kembali ke kelas.”
Cakka beranjak dari tempat duduknya. Ia keluar dengan wajah tanpa ekspresi, ia sama sekali tidak menunjukkan perubahan raut wajah semenjak ia masuk ke dalam ruang Ibu Ira tadi. Walaupun sebenarnya, ia cukup terkejut mendengar bahwa guru-guru sudah memutuskan untuk melakukan DO untuknya. Apa ia akan benar-benar putus sekolah? Entahlah. Kalau itu benar-benar terjadi, paling-paling hanya dimarahi. Ya, hanya dimarahi.
“ARGH!!!!! SEMUANYA NYEBELIN!!” teriak Cakka sekencang-kencangnya.

J L J

Saat istirahat...
“Ray, kaki lo udah nggak apa-apa, kan? Ke kantin yuk?” kata Deva menghampiri temannya tersebut, disusul oleh Rio di belakangnya.
Ray yang sibuk membereskan barangnya hanya menoleh dan kembali sibuk sendiri. Setelah selesai, ia langsung pergi begitu saja keluar kelas. Deva dan Rio sampai heran. Tapi, karena tak ingin mengganggunya, Deva dan Rio akhirnya memutuskan untuk pergi berdua saja. Sementara Cakka yang dari tadi menyaksikan adegan itu hanya bisa diam. Ternyata, bukan dia saja yang diabaikan Ray.
Cakka berjalan keluar kelas setelah membereskan barang-barangnya. Ia malas ke kantin, perutnya masih terasa kenyang. Makanya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sekolah saja sambil menjernihkan pikirannya yang sudah mumet lagi dengan pelajaran dan masalah hidup. Syukur-syukur kalau ruang musik sedang kosong, jadi ia bisa bermain sebentar di sana.
Sepanjang pelajaran tadi, Ray juga tetap mengunci mulutnya, kecuali ia harus menjawab pertanyaan dari guru. Kemudian, saat ujian juga, ia terlihat sangat serius, setelah selesai mengerjakan soal juga dia langsung tidur. Mungkin dia kesal dengan perbuatan Cakka yang tadi. Tapi, ah! Untuk apa juga Cakka memikirkan teman sebangkunya itu? Toh Ray juga tak berpikir untuknya. Lihat saja saat jam olahraga tadi, dia berani-beraninya membentaknya. Kalau memang dia mengerti Cakka, dia harusnya tahu kalau Cakka tak suka dibentak-bentak begitu!
Cakka menghentikan langkahnya di depan ruang musik ketika ia tak sengaja melihat seseorang di dalam ruangan. Tangannya yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk membuka pintu ruang musik itu. Ternyata ruang musik itu sudah lebih dulu dihuni oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ray? Cakka jadi mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia mengintip teman sebangkunya tersebut dari luar.
Ray tampak sedang sibuk memangku gitar milik sekolah di sana. Dengan wajahnya yang datar, ia memetik keenam senarnya dengan lihai. Entah sedang memainkan lagu apa. Suaranya tak terdengar sampai keluar. Tapi, ini benar-benar di luar kebiasaan. Cakka benar-benar penasaran dengan apa yang sedang mengganggu pikiran temannya itu. Eh?
Teman? Apa Cakka sudah menerimanya sebagai teman? Entahlah, yang Cakka tahu selama ini, Ray selalu cerewet dengannya. Semenjak laki-laki mungil itu menjadi teman sebangkunya, walaupun ia bisa dibilang kalem dibandingkan dengan Rio, tapi Ray tetap masuk ke dalam kategori tak bisa diam di mata Cakka. Dia selalu ingin tahu urusan Cakka, walaupun ia tahu Cakka selalu membentaknya, memarahinya.
Dia berbeda dengan yang lain. Kalau kebanyakan orang yang mengenal Cakka pasti akan membentak Cakka balik atau bahkan langsung menjauhinya karena sikapnya yang buruk, Ray justru selalu cukup diam dan tersenyum menanggapi kata-kata kasarnya. Kalaupun dia membalas balik perkataannya, pasti dengan kata-kata yang lembut dan menenangkan. Cakka juga sebenarnya tidak tahu, kenapa Ray bisa betah berteman dengannya walaupun dia sudah tahu bahwa Cakka tak suka diganggu teman-teman di sekitarnya.
Cakka mengarahkan pandangannya kembali ke dalam ruang musik. Kini Ray sudah tak memangku gitarnya lagi. Ia beranjak dari kursinya dan menghampiri dram. Sekejap ia bersiap-siap untuk menggebuk alat musik pukul itu, tapi akhirnya tak jadi. Ia meletakkan dua stik yang ia pegang ke tempatnya kembali dan menghampiri jendela.
“Ah! Udahlah, kurang kerjaan banget sih gue ngintipin dia. Mau dia lagi ada masalah kek, nggak ada masalah kek, males temenan sama gue kek, bukan urusan gue!” kata Cakka sambil menggelengkan kepalanya, seolah-olah menyadarkan dirinya sendiri bahwa sejak tadi ia telah melakukan hal yang tak penting. Setelah itu, ia langsung meninggalkan ruang musik. Lebih baik dia kembali ke kelas dan tidur.
Sepeninggalan Cakka, tiba-tiba pintu ruang musik itu terbuka. Bayangan Ray muncul dari sana. Ia diam saja melihat punggung temannya itu telah menjauh. Cakka pasti tak sadar bahwa sejak tadi Ray menyadari bahwa ia melihatnya dari luar. Pintu ruang musik yang sempat terbuka sedikit tadi membuatnya melirik ke arah pintu, tapi dia berusaha bersikap biasa agar Cakka tak tahu bahwa Ray mengetahui keberadaannya di sana.
Ray bukannya sengaja mengabaikan Cakka dan teman-teman sekelasnya hari ini. Ia hanya tak ingin membuat lebih banyak lagi orang khawatir karena masalah tadi malam. Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu tentang rasa sakit yang dirasakannya. Cakka, anak itu sudah terlalu lama menjadi temannya, walaupun sekalipun anak itu tak pernah menunjukkan bahwa dia telah menerimanya sebagai teman, tapi Ray sudah menganggapnya teman. Sahabat. Dan Ray sama sekali tidak ingin ia khawatir lebih banyak lagi. Hidup Cakka sudah terlalu banyak mengandung kekhawatiran. Selain itu juga, Ray hanya tak ingin menyakiti perasaan Cakka tentang kejadian kemarin.

J L J

Jam pulang sekolah sudah tiba. Ray yang ingin segera pulang tiba-tiba mengurungkan niatnya begitu ia ingat sesuatu. Kemarin dia berjanji dengan Cakka bahwa ia ingin mempertemukan Cakka dengan seseorang. Ah, terpaksa deh, dia harus menunggu teman sebangkunya itu. Ia yang tadinya sudah ingin keluar kelas, langsung berbalik badan kembali dan berjalan menghampiri Cakka. Cakka yang merasakan kehadiran Ray langsung menatapnya diam.
“Mau apa lo?” tanya Cakka datar. “Belum puas ganggu gue hari ini?”
Ray menghela nafasnya sebelum berbicara. “Kemarin gue bilang, gue mau lo ketemu seseorang hari ini. Jadi, ayo ikut gue sekarang. Bisa?”
“Mau ketemu siapa sih? Penting banget ya gue harus ketemu dia? Gue capek, nggak ada waktu berkeliaran sama orang menyebalkan macam lo.” kata Cakka sebal.
Ray diam saja mendengarkan ucapan Cakka. Kemudian, tanpa banyak bicara lagi, ia langsung menarik tangan Cakka keluar kelas. Ia tak perduli Cakka memberontak agar ia melepaskan tangannya, yang penting ia tak ingin mengingkari ucapannya kemarin. Masalah yang sudah terjadi harus diselesaikan hari ini.
Ray terus menarik Cakka menyusuri jalan hingga akhirnya mereka berdua sampai di daerah yang sepi. Begitu hawa-hawa mengerikan itu tercium di hidung Cakka, ia langsung memberontak lebih jauh lagi kepada teman sebangkunya itu.
“Heh! Lo mau ngapain sih bawa-bawa gue ke sini?” tanya Cakka kesal. “Ini kuburan, bego!”
“Udah, diem aja deh lo! Gue cuma sebentar di sini, lo juga nggak ada acara kan!” balas Ray. Ia terus menarik tangan Cakka sampai akhirnya mereka berdua sampai di salah satu tanah yang sudah bertaburan bunga di sana. Setelah itulah Ray baru melepaskan tangan Cakka.
“Udah, sekarang lo jelasin deh, apa sih maksud lo bawa-bawa gue ke sini? Gue tuh capek! Gue mau pulang! Lo tuh ngeselin banget sih hari ini?!” kata Cakka nyaring.
“Udah, lo ikutin gue aja! Dan jangan berisik!” kata Ray tegas, langsung menarik Cakka agar ia ikut berjongkok bersamanya di sebelah tanah tersebut. Cakka hanya bisa pasrah mengikuti Ray.
Ray menghela nafas, kemudian ia langsung menatap batu nisan yang tertancap di tanah itu. Perasaannya langsung campur aduk begitu ia membaca tulisan nama yang tercantum di batu tersebut. Ia elus-elus batu itu perlahan-lahan dengan penuh sayang, seolah-olah ia sedang mengelus orang yang disayanginya. Kemudian, mulutnya berbisik lirih. “Sore, Bunda...”
Cakka langsung terdiam mendengar suara Ray. Bunda? Oh, jadi ini adalah kuburan Bunda Ray? Bahkan Cakka baru tahu kalau ternyata Bunda Ray sudah tiada. Kenapa selama ini Ray tak pernah menceritakan apapun kepadanya? Ah, atas dasar apa juga ia harus menceritakan privasinya kepada Cakka?
“Bunda apa kabar di sana? Udah lama banget Bunda nggak mampir ke mimpi Ray, Ray kangen Bunda,” kata Ray pelan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, Bunda tenang aja, Ray nggak apa-apa kok di sini, Ray bahagia banget, Ray punya banyak teman-teman yang baik di sini. Semoga Bunda juga bahagia terus ya di sana. Ray yakin Tuhan pasti sayang banget sama Bunda.”
Cakka diam saja mendengarkan ucapan-ucapan lirih Ray. Entah kenapa, perasaannya ikut bergejolak melihat Ray sedih seperti itu. Tak pernah sekalipun ia melihat Ray begitu rapuh selama ia kenal dengan teman sebangkunya itu. Apalagi sampai menangis begini. Cakka jadi penasaran.
Cakka menepuk pundak Ray pelan, membuat Ray menoleh ke arahnya. “Boleh gue nanya?”
Ray menunduk sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Sejak kapan... Bunda lo...”
Ray tersenyum samar. “Dari umur gue masih tujuh tahun, Kka.”
Cakka terdiam.
Ray menoleh kembali ke arah batu nisan Bundanya. Sambil mengelus kembali batu nisan tersebut, ia mulai bercerita sambil menundukkan kepalanya. “Gue merasa bodoh, setiap kali gue mengingat bagaimana kronologi kejadian itu. Bisa-bisanya gue bikin nyokap gue sendiri meninggalkan kita semua.”
“Apa yang terjadi, Ray?” tanya Cakka iba.
“Waktu itu...,” kata Ray sesunggukan. “Gue sama Acha, adik gue, lagi nemenin nyokap gue jalan-jalan. Lo nggak tahu, Kka, gue seneng banget karena akhirnya bisa jalan-jalan sama Bunda, setelah Bunda sibuk bekerja seharian terus. Sepanjang perjalanan gue girang banget. Tapi, gue bego. Gue membiarkan kebahagiaan itu berubah jadi bencana.”
“Mobil besar itu melaju kencang ke arah gue, Kka. Dan Bunda mengorbankan nyawanya demi gue. Acha yang melihat dengan mata kepala sendiri Bunda tertabrak, langsung menjerit-jerit nangis. Orang-orang yang di sana langsung menolong gue dan Acha buat bawa Bunda ke rumah sakit. Tapi, Dokter nggak bisa menyelamatkan beliau.”
“Jadi...”
“Ya, nyokap gue meninggal. Ayah juga kaget begitu mendengar Bunda pergi. Semenjak hari itu, Acha jadi benci banget sama gue. Dia frustasi karena nggak bisa terima kepergian Bunda. Bahkan sampai sekarang,” kata Ray lagi. “Acha selalu mengurungkan diri di kamar. Setiap kali gue panggil, dia selalu nggak mau menjawab. Dia cuma teriak-teriak kalau gue bukan kakaknya dia. Semua itu, karena dia menganggap gue penyebab kematian Bunda. Dan asal lo tahu, itu jauh lebih sakit daripada menghadapi kelakuan lo di sekolah.”
Cakka menundukkan kepalanya. Ia benar-benar baru tahu soal ini. Padahal, di sekolah, Ray selalu tersenyum dan ceria di hadapan semua orang seperti orang yang tak pernah mengalami kesedihan. Dia selalu terlihat bahagia. Tapi, ternyata di balik semua itu, dia sangat rapuh. Dan bodohnya, Cakka justru membuat kerapuhan itu bertambah dalam dengan kelakuan buruknya di sekolah.
“Kka.” panggil Ray pelan.
Cakka mengangkat kepalanya, menatap Ray kembali.
“Apa lo bener-bener benci sama keluarga lo?” tanya Ray. Sukses membuat Cakka bungkam.
“Gue...”
“Lo tahu kenapa hari ini gue cuek sama lo?” tanya Ray lagi.
Cakka menggelengkan kepalanya.
“Gue kecewa sama lo,” kata Ray pelan. “Bahkan dari dulu.”
Cakka memalingkan kepalanya. Ia menutup matanya sejenak, kemudian membukanya lagi. “Gue tahu, Ray. Bukan cuma lo yang kecewa sama gue. Mungkin di luar sana masih banyak yang diam-diam kecewa dengan sikap gue.”
“Sebenernya gue nggak mau mengungkit hal ini, Kka, karena gue tulus temenan sama lo. Gue nggak peduli lo mau senyebelin apa. Lo tetep temen gue. Dan gue nggak mau buat lo khawatir dan kasihan cuma gara-gara keluarga gue nggak lengkap,” kata Ray. “Tapi, karena kata-kata buruk lo tentang keluarga lo kemarin, gue jadi mikir dua kali. Mungkin, lo harus tahu soal ini. Supaya lo tahu, lo itu beruntung. Jauh lebih beruntung daripada gue.”
Cakka diam.
“Kemarin lo bilang, lo benci banget sama keluarga lo gara-gara mereka kepo sama lo soal diskors itu, kan? Lo juga bilang, kalau mereka salah ngurusin hidup lo karena hidup mereka aja belum tentu bener. Terus gue diem, inget?” tanya Ray.
Cakka mengangkat kepalanya menatap Ray. Ia tiba-tiba teringat dengan kata-katanya waktu itu. Ia baru sadar, ternyata kata-katanya itu secara tak langsung justru menyinggung perasaan Ray. Betapa bodohnya dia, bisa-bisanya tak peka soal itu. “Sori, Ray, gue nggak ada maksud buat—“
“Udah, nggak apa-apa,” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan. “Justru gue yang harusnya minta maaf. Harusnya hari ini gue nggak kasar sama lo, harusnya gue jujur sama lo kalau gue lagi ada masalah.”
Cakka menghela nafasnya. “Sebenarnya ada apa, Ray?”
“Kemarin,” kata Ray terputus. “Acha sakit, Kka.”
Cakka tersentak kaget. Ia langsung bertanya lirih, “Sakit apa?”
“Dia demam, badannya lemas karena makan terlalu sedikit, mungkin makanan yang gue kasih setiap hari nggak dimakan habis sama dia. Dia bahkan nggak mau dijagain sama gue. Makanya, tadi pagi gue murung banget. Eh, lonya malah ngerjain gue juga. Gue... Gue tuh nggak pernah bisa jadi orang baik di mata orang. Di mata Acha. Di mata lo. Gue bahkan kesel sama diri gue sendiri, kenapa sih gue harus lahir kalau gue cuma bikin orang lain susah doang?” kata Ray.
Cakka menghela nafasnya. “Lo salah, Ray. Lo itu baik. Lo... Lo itu jauh lebih baik daripada gue. Lo lihat, kan? Begitu lo masuk ekskul band, semua orang memuji lo. Di kelas? Temen-temen juga seneng sama lo. Deva, Rio, semuanya. Sedangkan gue? Mana ada yang mau temenan sama gue? Selain lo. Dan bodohnya, gue malah nyia-nyiain lo sebagai sahabat gue.”
Ray tersenyum samar. “Tapi, lo masih punya kesempatan untuk ngebahagiain orang tua lo, Chase Karayne. Sedangkan gue? Sama sekali nggak ada. Gue udah terlanjur ngecewain Bunda dengan hidup kayak begini. Dibenci Acha.”
Cakka menggeleng. “Nggak. Lo salah. Justru gue yang udah terlambat. Gue... Mungkin gue bakal di DO sebentar lagi.”
Ray membesarkan matanya kaget. “DO...?”
Cakka menganggukkan kepalanya. “Guru-guru mungkin udah muak sama gue. Ibu Ira bilang, sejak dulu guru-guru udah pengen banget ngeluarin gue dari sekolah. Tapi, Ibu Ira selalu mempertahankan gue karena prestasi gue. Nggak tahu lagi, besok-besok gue harus bagaimana.”
“Pakai kesempatan itu baik-baik, Kka. Lo masih punya waktu untuk merubah pikiran mereka.” kata Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
Cakka terdiam. Kemudian, segera berdiri dari tempatnya. “Udahlah, ini udah sore. Ayo pulang. Gue nggak mau berlama-lama di sini. Gue... gue nggak mau ngeliat lo terpuruk kayak begini. Ini bukan lo. Ini bukan Ray yang gue kenal.”
Ray mengangguk pelan. Ia menoleh ke arah kuburan Bundanya. “Ray pamit dulu ya, Bunda. Ray sayang banget sama Bunda. Nanti Ray ke sini lagi kok. Doain Ray bisa cepet baikan sama Acha ya, Bunda.”
Ray mengecup batu nisan itu sejenak, kemudian segera berdiri dan berjalan menjauhi kuburan Bundanya.
Cakka yang melihat punggung Ray menjauh, hanya diam saja. Ia merenung sejenak, sebelum akhirnya ia memanggil temannya itu dengan nyaring. “RAY!”
Ray menoleh ke arahnya bingung.
“Maaf dan... Makasih!” teriak Cakka dari tempatnya. Ia tersenyum manis menatap teman sebangkunya itu, yang langsung disambut dengan cengiran kuda darinya.
“Udahlah, lupain aja!” kata Ray sambil terus nyengir. “Ayo pulang! Katanya mau istirahat?”
Cakka tertawa sejenak, kemudian langsung menyusul sahabatnya itu dengan cepat. Hari ini ia baru sadar. Ternyata, sahabatnya itu memang hebat. Sahabatnya itu memang patut disenangi semua orang. Dia kuat. Walaupun keluarganya sudah tidak lengkap, adiknya membencinya, tapi dia selalu terlihat bahagia. Rio benar, dibandingkan dengan Ray, Cakka nggak ada apa-apanya. Dan harusnya ia bersyukur masih memiliki keluarga yang lengkap.

J L J

Begitu Cakka sampai di rumah, jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Ternyata, lama juga dia pergi dengan Ray. Pantas saja badannya terasa lelah, pikirannya juga. Sudah banyak hal yang terjadi hari ini, Cakka ingin segera tidur di kasurnya. Setidaknya, ia ingin menyegarkan kondisi tubuhnya lebih dulu sebelum jam makan malam tiba.
Cakka berjalan pelan ke dalam rumah dan menaruh tasnya di sofa. Kemudian, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil baju rumah dan peralatan mandinya. Tak perlu lama-lama ia mandi, paling sepuluh sampai lima belas menit kemudian dia sudah keluar dengan badan yang sudah wangi kembali.
“Huh...” desah Cakka sambil menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia menutup matanya sejenak, merenungi semua hal yang ia hadapi di sekolah sampai di tempat peristirahatan Bundanya Ray tadi. Kemudian, ia juga teringat kembali dengan kata-kata Ibu Ira waktu itu.
MIFI adalah singkatan dari empat ciri yang akan kita bangun di sekolah ini. Anak-anak yang lulus dari sini harus memiliki moral yang baik, kecerdasan yang tinggi, memiliki kepercayaan satu sama lain dan juga mandiri. Dengan begitu, kalian pasti akan sukses. Itu misi kami. Moral, Intelligence, Faith and Independent.
Dan juga...
Kalau kamu nggak bisa mengubah sikap kamu yang buruk, kamu sudah mencoreng nama sekolah kami, Cakka.
Dan lagi...
Ibu kasih kamu satu kesempatan lagi, oke? Kalau kamu tak ada keinginan sama sekali untuk berubah, lebih baik Ibu turuti keinginan mereka agar segera mengeluarkan kamu dari sekolah.
Cakka menghela nafasnya. Kata-kata yang waktu itu terasa begitu gampang diabaikannya sekarang justru membuatnya merasa bersalah, sampai akhirnya kata ‘DO’ pun keluar dari mulut kepala sekolah. Dulu mungkin Cakka bisa berpikir bahwa yang terpenting adalah dia bisa mendapatkan nilai yang tinggi di kelas. Dengan begitu saja ia pasti dapat lulus dari sekolah dengan baik. Tapi, ternyata tidak. Sekarang, ia merasa sikapnya selama ini sudah keterlaluan. Apalagi dengan keluarganya sendiri.
“Cakka? Kamu udah pulang ternyata.” kata seseorang tiba-tiba datang dan masuk ke dalam kamarnya. Tanpa harus bangun, Cakka sudah tahu kalau itu suara Bunda.
Cakka mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar di tempat tidurnya. Ia biarkan Bunda duduk di tempat tidurnya. Ia tersenyum kaku, kemudian menganggukkan kepalanya. “Baru aja kok, Bunda.”
“Kamu kemana hari ini? Kok sore-sore begini baru pulang?” tanya Bunda sambil tersenyum.
Cakka diam. Ini. Pertanyaan ini yang selalu Cakka abaikan selama ini karena dianggap terlalu kepo. Entah yang keluar dari mulut Bundanya, Ayah, juga kedua kakaknya, semuanya ia abaikan. Padahal, ia masih memiliki banyak kesempatan untuk mendengar suara Bundanya. Berbeda dengan Ray. Bagaimana kalau Bunda tahu dia sudah terancam putus sekolah?
“Ya udah kalau nggak mau cerita, Bunda cuma penasaran aja sih,” kata Bunda sambil nyengir menatap anak bungsunya. “Habis kakak-kakak kamu pada nggak tahu kamu kemana. Acara mendadak ya?”
Cakka menganggukkan kepalanya ragu. Kemudian, ia berbicara dengan sedikit gagap. “Iya, Bunda. Mendadak. Tadi... tadi diajak main sebentar sama temen. Baru aja pulang. Cakka... Cakka udah buat Bunda khawatir ya?”
Bunda tertawa lucu mendengar cara bicara Cakka yang lain dari biasanya. Rasanya bukan seperti lagi berbicara dengan anaknya yang cuek aja. “Kamu kenapa sih? Nggak biasanya deh kamu begini.”
Cakka diam. Ia menggarukkan tengkuknya yang tak gatal dengan wajah malu.
Bunda masih saja tertawa. “Bunda jadi pengen tahu siapa yang udah buat Cakka jadi lucu begini. Ngomongnya gagap banget, kayak ngomong sama siapa aja.”
“Ah, Bunda jangan ketawain Cakka dong,” kata Cakka manyun.
“Iya iya, maaf. Bunda kaget aja kamu tiba-tiba kayak begini,” kata Bunda sembari menghentikan tawanya. Ia beranjak dari tempat tidur Cakka. “Sebentar lagi makan malam, Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu. Kamu turun ya?”
Cakka mengangguk sambil tersenyum.
Bunda ikut tersenyum, kemudian berjalan menjauhi tempat tidur, hendak meninggalkan kamar Cakka. Tapi, sebelum ia benar-benar hilang dari pandangan Cakka, tiba-tiba Cakka memanggilnya. Bunda langsung menoleh lagi ke arahnya.
Cakka yang masih kagok dengan situasi langsung diam lagi. Ia berjalan mendekati Bunda yang sudah ada di ambang pintu kamarnya. Ia menelan ludahnya sejenak, kemudian menatap Bunda dengan ragu. Ia butuh sandaran, tapi bagaimana caranya ia mengatakannya kepada Bunda?
“Kenapa, Kka?” tanya Bunda lagi sambil tersenyum lembut.
“Boleh nggak...,” kata Cakka terputus. “Boleh nggak, Cakka peluk Bunda?”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p