Senyum Rio sejak tadi tidak muncul-muncul. Tangannya sibuk memegang kain
pel, berusaha secepat mungkin membersihkan toilet laki-laki yang menurutnya
cukup kotor ini. Gara-gara Cakka menempelkan lem di bangkunya, Rio jadi terkena
sial dua kali. Selain celananya sobek, ternyata teriakannya tadi bertepatan
dengan kehadiran Pak Duta di kelas sehingga beliau langsung menvonisnya hukuman
menyebalkan ini kepadanya. Mending kalau hanya satu toilet, nah ini harus dua
lantai yang ia bersihkan. Itu artinya ia harus membersihkan empat toilet
sekaligus. Entah ia harus bolos berapa jam pelajaran gara-gara hukumannya ini. Bisa
jadi dia sampai pulang harus bergaul dengan toilet!
Bibirnya tak henti-hentinya mengerucut gara-gara sebal dengan tingkah laku
Cakka. Ia benar-benar bersumpah dalam hati jika ia selesai dengan hukumannya
tadi, ia pasti akan melabrak anak itu untuk meminta pertanggungjawaban. Sebodo
amat dia suka membentak orang, yang pasti ia tak rela diperlakukan seperti ini.
Macam dia pernah membuat kesalahan besar saja kepadanya sampai harus patut
dikerjai dia!
“Dasar Cakka, kalau begini kan gue terpaksa ketinggalan pelajaran,” kata
Rio.
Memang sih, sekarang sedang ujian akhir. Tapi, bagi SMA MIFI, ujian akhir
bukanlah alasan untuk pulang pagi. Mereka tetap mengejar materi semester dua
selama ujian berlangsung, hanya saja jam pulangnya lebih cepat sedikit. Dari
yang mereka pulang jam tiga, sekarang menjadi jam satu.
“Untung aja tadi gue dibolehin UAS dulu, kalau nggak, bisa mati gue!”
gerutu Rio lagi sambil tetap sibuk mengepel. Setelah itu, ia langsung mengelap
dinding-dinding yang kotor dengan sebal. “Huh, kapan sih lo semua bersih? Capek
tau gue!”
J L J
Istirahat siang telah tiba. Ray dan Deva tentu saja langsung ke kantin
untuk mengisi perut mereka yang telah demo sejak jam pelajaran tadi. Di antara
keramaian yang ada, Ray sudah sibuk makan sendiri di salah satu meja kantin
sambil menunggu Deva yang sedang memesan makanan di penjual kantin
langganannya.
Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba Cakka muncul dan duduk di
hadapannya. Tanpa permisi, ia langsung menaruh makanannya di atas meja Ray.
Benar-benar tak sopan. Harusnya kan dia bertanya dulu, baru duduk di sana.
“Hei, Ray!” kata Cakka dengan riang. “Gue makan di sini ya? Kantin penuh!”
Ray tersenyum. Kemudian, mempersilahkan Cakka duduk.
“Oke, makasih!” kata Cakka langsung lanjut melahap makanannya. “Eh, tadi
bagaimana? Keren kan misi gue? Mukanya Rio sampai merah begitu kayak kepiting
rebus. Puas banget gue ngerjain dia.”
Ray hanya tersenyum mendengarnya.
“Gue kesel banget tau nggak sama mereka, Ray, mereka gangguin gue terus.
Udah tahu gue nggak mood, tapi tetep aja ngotot ngomong sama gue. Belum lagi,
keluarga gue. Bunda, Ayah, kedua kakak gue, mereka rese banget kemarin selama
gue diskors.”
“Kenapa? Lo diomelin?” tanya Ray ingin tahu.
“Kepo banget sih? Ketularan Rio ya lo?” Cakka mengerutkan dahinya kesal.
Ray nyengir.
“Kalau nggak mau cerita juga nggak apa-apa sih,” kata Ray.
“Lo nggak tahu aja bagaimana rasanya punya dua kakak yang kepo banget sama
lo, terus selalu aja marah-marah sama lo, ditambah lagi Bunda yang ikut-ikut
kepo sama lo. Gue pusing men,” kata Cakka.
“Pusing kenapa?” tanya Ray. “Itu kan wujud perhatian mereka buat lo, Kka.”
“Ya tapi kan nggak begitu juga,” kata Cakka. “Nggak betah gue di rumah
gara-gara ada mereka. Mereka tuh nggak bisa nerima sifat gue yang begini.
Selalu aja menyebalkan. Sama kayak Deva, Rio, temen-temen sekelas.”
Ray menghela nafasnya. Kemudian, terdiam. Ternyata begitu.
“Kenapa lo?” tanya Cakka heran.
Cepat-cepat Ray tersenyum lagi. “Nggak, nggak apa-apa, kok.”
“Loh, ada Cakka?” tiba-tiba Deva datang sambil membawa satu nampan berisi
makanan dan minuman yang ia beli. Ia langsung mengambil tempat di sebelah Ray
dan menatap Cakka malas. “Ngapain lo di sini?”
“Ini tempat umum, terserah dong gue mau dimana,” kata Cakka cuek.
“Tapi, gue sama Ray udah duduk di sini duluan. Dan gue nggak mau lo ada di
sini!”
“Heh, kalau lo nggak suka gue ada di sini, kenapa nggak lo aja yang pergi?
Gue udah izin kok sama Ray! Dia boleh-bolehin aja, kenapa lo repot?” kata Cakka
sebal. “Atau lo mau gue kerjain lagi kayak kemarin?”
Deva melotot ke arah Cakka kesal. “Terserah lo! Muak gue lihat sikap lo!”
“Ya udah, pergi lo! Nggak usah di sini!” usir Cakka sebal.
“Tanpa lo suruh juga gue bakal pindah meja!” kata Deva akhirnya langsung
pergi meninggalkan Ray dan Cakka. Ray hanya bisa menghela napas melihat
kepergian sahabatnya tersebut. Deva pasti masih kesal dengan perbuatan Cakka
tiga hari yang lalu.
Cakka mendengus pelan, kemudian kembali sibuk makan kembali. Ray menghela
nafas lagi melihat suasana tegang itu.
“Harusnya lo nggak begitu,” kata Ray pelan.
“Terus gue harus bagaimana? Terima aja dia bentak-bentak gue kayak begitu?”
tanya Cakka lagi. “Gue nggak salah apa-apa. Gue cuma lagi nyari meja, kenapa
dia yang sewot? Oke, kemarin gue ngerjain dia sampai dia diskors. Tapi, itu kan
juga salah dia karena udah ngeganggu gue. Huh.”
“Tapi kan lo bisa—“ kata Ray terputus. “Ah, udahlah nggak usah dibahas.”
“Biarin aja kali, Ray. Entar juga balik lagi,” kata Cakka. “Lagian lo punya
hidup lo sendiri yang harus lo urus. Ngapain ngurusin orang lain? Hidup lo aja
belum tentu bener, kan?”
Ray terdiam mendengarnya. Ia menunduk.
Cakka yang melihatnya langsung heran. Entah apa ada yang salah dengan
ucapannya barusan sampai Ray mengunci mulutnya seperti itu. Tadi juga dia melamun.
Cepat-cepat ia langsung mengalihkan pembicaraan. Ia menggeser piringnya. “Eh,
Ray, mau sosisnya?”
Ray mengangkat kepalanya menatap piring makan Cakka. Masih tersisa beberapa
sosis di sana. Ia langsung menatap ke arah Cakka. “Lo nggak makan?”
“Kenyang gue,” kata Cakka nyengir. “Tadinya gue pikir gue bisa habisin,
soalnya tadi pagi gue nggak sarapan sama keluarga gue. Keburu girang pengen
ngerjain Rio. Eh tahunya gue tiba-tiba nggak nafsu.”
“Pemborosan lo.” kata Ray sambil tersenyum, langsung mencomot sosis milik
Cakka.
“Biarin, masalah buat lo?” balas Cakka.
Ray mengangkat kedua tangannya, tanda bahwa ia tak ingin bertengkar.
Kemudian, ia langsung kembali melahap makanannya. Suasana hening menguasai
mereka sebentar, sebelum akhirnya Ray bersuara. “Besok lo ada acara?”
“Nggak. Kenapa?”
“Gue mau lo ketemu seseorang.”
J L J
Ceklek. Ray menutup pintu rumahnya perlahan-lahan. Sore itu, jam sudah
menunjukkan pukul dua sore. Dengan cepat, ia melepaskan alas kakinya dan
menaruh tasnya di sofa. Kemudian, ia naik ke lantai atas untuk memeriksa
keadaan adiknya. Ia melangkah pelan menaiki tangga hingga pintu kamar adiknya
terlihat di depan matanya. Namun, betapa herannya ia ketika melihat pintu kamar
adiknya itu terbuka lebar. Apa keadaan sudah berubah? Adiknya yang selama ini
selalu mengunci diri di kamar, apa dia sudah berubah?
“Acha...” panggil Ray sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Namun,
ternyata dugaan salah. Begitu ia masuk ke dalam, ia mendapati adiknya sudah
tergeletak di lantai dengan mata tertutup. Ia langsung menghampiri dan memangku
adik SMPnya tersebut. Dengan pelan, ia menepuk-nepuk pipinya. “Hei! Acha! Kamu
kenapa? Acha!”
Ray mencoba meraba kening Acha. Saat itu, ia langsung panik. “Ya ampun,
badan kamu panas banget, Cha! Aduh, kenapa bisa begini sih?”
Ray langsung menggendong adiknya dan menidurkan Acha di tempat tidur.
Setelah itu, ia langsung menyelimuti Acha. “Kamu tunggu sebentar ya, Cha. Kakak
telepon dokter dulu.”
Ray langsung mengambil handphone-nya
dari dalam saku. Ia segera menekan sederet nomor yang sudah ia hafal. Ketika
sudah tersambung ia langsung bersuara, “Dokter? Iya, ini Ray, kakaknya Acha.
Dokter bisa ke rumah? Adik saya pingsan, Dok.”
“Oke, dokter, terima kasih,” kata Ray langsung memutuskan sambungan.
Ray menghela nafasnya sejenak, kemudian duduk di pinggir tempat tidur Acha
dan membelai pelan rambut panjangnya. Ia tatap wajah adiknya yang sudah pucat
pasi. Ini pasti salahnya. Ya, dia yang membuat Acha sakit seperti ini. Bukankah
alasan Acha mengurungkan diri selama ini karena dirinya? Otomatis, kalau ada
apa-apa, ini sudah pasti salahnya. Iya. Ini salah Ray.
Tak lama kemudian, Dokter Marsha, dokter pribadi keluarga Ray yang
ditelponnya tadi sudah sampai. Dengan cepat beliau mempersiapkan alat-alat
dokternya dan segera memeriksa keadaan Acha. Sementara itu, Ray hanya bisa
menunggu di belakangnya. Setelah beberapa menit Dokter Marsha memeriksa, ia
langsung membalikkan badannya ke arah Ray.
“Sudah berapa lama Acha tidak teratur makan?” tanya Dokter Marsha.
Ray terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Sejujurnya dia tak tahu apapun
tentang Acha. Selama ini ia hanya memberinya makanan di depan pintu. Dan
setelah berapa lama, seplastik makanan yang ia taruh di sana selalu hilang.
Entah diambil Acha atau kenapa, Ray juga tidak tahu. Sementara itu, orang
tuanya sibuk bekerja.
“Saya nggak tahu, Dok. Saya selalu kasih dia makan, tapi dia nggak pernah
mau keluar dari kamar. Saya selalu taruh makan di depan pintu kamarnya. Nggak
tahu dimakan atau nggak,” kata Ray sedih. “Acha kenapa, Dok?”
“Acha lemas karena kekurangan energi. Dia juga demam. Mulai sekarang jaga
dia baik-baik, karena cuaca juga tidak menentu,” kata Dokter Marsha. “Jangan
buat dia stres, Ray, mungkin karena dia terlalu banyak pikiran jadinya
tenaganya terkuras.”
“Saya mengerti, Dok.” kata Ray pelan.
“Nah, kamu kasih dia obat ini setiap habis makan,” kata Dokter Marsha
sambil memberikan sebotol sirup kecil kepada Ray. “Setiap kali makan satu
sendok makan ya. Kalau obatnya dimakan rutin, demamnya pasti turun kok, Ray.
Kamu tenang saja. Asal dia jangan mogok makan lagi.”
“Baik, Dok.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” pamit Dokter Marsha.
“Iya, makasih, Dok.” kata Ray sambil tersenyum. Sepeninggalan Dokter
Marsha, ia langsung duduk di pinggir tempat tidur untuk menjaga Acha. Ia menghela
nafasnya menatap adiknya itu. “Maafkan kakak, Cha. Kakak nggak bisa menjaga
kamu dengan baik. Semua ini pasti karena kakak yang...”
Ray langsung mengusap matanya yang tiba-tiba basah. Entah dari kapan air
matanya mulai keluar setetes demi setetes. Ia benar-benar sedih melihat Acha
seperti ini. Ia duduk sejenak di sana, membiarkan air matanya puas membasahi
wajahnya yang kurus.
Setelah puas melepas emosi, ia langsung beranjak dari tempat duduknya untuk
pergi ke dapur. Ia ingin membuat bubur untuk adiknya. Untung saja sejak kecil
orang tuanya sudah mengajarinya untuk memasak beberapa makanan, sehingga dalam
waktu seperti ini dia tidak akan bingung lagi.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menyiapkan bubur tersebut.
Setelah jadi, ia langsung semangkuk bubur tersebut ke dalam kamar Acha. Ia
meletakkan bubur itu di meja kecil samping tempat tidur Acha, kemudian kembali
menjaga Acha yang masih belum sadar.
“Ngg...”
“Acha!” kata Ray senang. “Kamu udah sadar, Cha?”
Acha menoleh ke arah Ray. Kemudian, ia langsung duduk di tempat tidurnya
dan diam saja menatap ke arah jendela.
“Acha, tadi kata Dokter Marsha, kamu demam, terus lemas gara-gara kurang
makan. Ini kakak udah buatkan bubur buat kamu,” kata Ray sambil tersenyum. Ia
mengambil semangkuk bubur itu. “Acha makan dulu ya? Habis itu makan obat.”
Acha diam sejenak. Ia menutup matanya. “Kak Ray bukan kakakku.”
Ray diam saja mendengar ucapan itu. Kali ini ejekan itu tak terdengar sekeras
biasanya. Adiknya tersebut pasti lelah hingga tak bisa berteriak-teriak lagi.
Tapi, ini sama sekali tak berpengaruh dengan perasaan Ray. Kata-kata itu tetap
saja menusuk hatinya hingga hancur.
“Kak Ray bukan kakakku. Kak Ray nggak usah ngurusin Acha. Acha nggak mau
ketemu Kak Ray. Kak Ray keluar aja sekarang.” kata Acha bertubi-tubi. Wajahnya
tetap melihat ke arah jendela, ia tak mau menoleh ke arah kakaknya.
“Tapi Cha—“ kata Ray terputus.
“ACHA BILANG KELUAR!” kata Acha nyaring. “KAK RAY KELUAR SEKARANG!”
Lagi-lagi Ray diam mendengar bentakan itu. Kemudian menaruh mangkuk bubur
Acha di atas meja dan beranjak dari kursinya. Sebelum ia benar-benar pergi
meninggalkan Acha, ia menyempatkan diri untuk berkata, “Acha jangan lupa makan
buburnya ya. Kak Ray nggak mau Acha sakit.”
Ray masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan gelisah. Ia remas bajunya di
bagian dada. Sakit. Rasa sakit itu selalu terasa ketika kejadian seperti ini
terulang. Adiknya sama sekali belum berubah. Ia tetap selalu saja menatapnya
tajam, atau bahkan tak ingin sama sekali melihatnya. Semuanya karena kejadian
mengerikan itu. Kejadian yang tak akan pernah Ray lupakan. Entah sampai kapan
konflik akan berlangsung. Apa akan selamanya di rumah dia seperti ini?
Ia berjalan menuju telepon rumahnya. Ia memutuskan untuk menelpon Ayahnya yang
sedang bekerja. “Halo, Yah? Ayah bisa pulang sebentar nggak? Acha sakit, kata
dokter dia demam. Tapi, dari tadi Ray suruh makan dia nggak mau. Kali aja kalau
sama Ayah dia mau nurut. Ayah bisa bantu Ray, kan?”
“Oke, makasih, Yah.” kata Ray akhirnya.
Ray diam saja di tempat setelah sambungan terputus. Ia menghela nafasnya,
kemudian duduk di kursi belajarnya. Ia teringat kembali dengan kata-kata Cakka
saat istirahat tadi. Ia bilang, ia kesal dengan seluruh keluarganya karena
mereka kepo. Karena mereka sering marah-marah sama dia. Huh, dia sama sekali
tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Ray. Memiliki adik yang sama sekali tidak
peduli kepadanya. Bukan itu saja, masih ada satu hal lagi yang membuat hidup
Ray terlihat menyedihkan. Itu...
“Ray!” panggil seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Ray menoleh. “Ayah! Acha, Yah! Dia di kamar, nggak tahu dia udah makan atau
belum. Ayah kan tahu sendiri kalau Acha masih benci banget sama Ray, Yah. Bantu
Ray jagain Acha sebentar ya, Yah?”
Ayah Ryan, Ayah Ray dan Acha, mengangguk. “Iya, Ayah tahu. Ayo kita ke
kamar Acha.”
Ray dan Ayahnya langsung pergi menuju kamar Acha dan menghampiri Acha yang
masih mempertahankan posisinya menatap ke arah jendela. Begitu menyadari
kehadiran Ayah, ia baru menoleh.
“Ayah!” kata Acha. Ia langsung memeluk Ayahnya dengan sayang. “Ayah kok
bisa pulang?”
“Ayah denger, anak gadis Ayah nggak mau makan, nggak mau minum obat. Ayah
mana tenang kerja?” kata Ayah Ryan sambil tersenyum. “Kenapa sih, Cha? Kok kamu
nggak mau makan? Katanya Kak Ray kamu lagi sakit.”
Acha langsung merengut mendengar ucapan Ayah Ryan. “Pasti Kak Ray ngadu.”
“Kan Kak Ray khawatir sama kamu sayang, kamu nurut dong sama kakak kamu,
Ayah kan seharian kerja, nggak bisa menjaga kamu.” kata Ayah Ryan lagi.
“Kak Ray bukan kakakku, Ayah!” kata Acha lagi tegas. “Kak Ray bukan
kakaknya Acha.”
“Kamu nggak boleh ngomong begitu, kamu tahu nggak kalau Kak Ray sakit hati
kalau Acha ngomong begitu?” tanya Ayah Ryan lagi sambil membelai rambut anak
bungsunya. “Sekarang kamu makan ya, disuapin sama Kak Ray.”
“Nggak mau, Yah! Acha maunya sama Ayah.” kata Acha lagi.
Ray yang berdiri di belakang hanya menghela nafasnya. Bahkan bujukan
Ayahpun tak bisa membuat Acha menuruti kemauannya. Ray benar-benar tak tahu
lagi harus dengan cara apa Acha bisa memaafkannya.
“Ya udah, kali ini kamu disuapin Ayah, tapi besok-besok sama Kak Ray ya?
Janji?” tanya Ayah, sukses membuat Acha ngambek. Ayah melanjutkan ucapannya
lagi. “Kalau nggak mau janji, Ayah langsung balik ke kantor sekarang.”
“Uh, iya deh, Ayah. Acha janji,” kata Acha akhirnya. “Tapi, sekarang suapin
ya?”
“Iya. Gitu dong,” kata Ayah. Ia menoleh ke arah Ray. “Udah, Ray, kamu
istirahat aja di kamar. Nanti habis jagain Acha, Ayah langsung ke kantor. Kamu
kalau mau makan, masak aja sendiri. Hari ini Ayah lembur lagi soalnya.”
Ray mengangguk patuh.
“Cepet sembuh ya, Cha.” kata Ray sambil mengulurkan tangannya, hendak
mengelus kepala Acha. Tapi, Acha menepisnya cepat. Akhirnya, ia pergi
meninggalkan Acha berdua dengan Ayah Ryan di sana. Ia kembali ke kamarnya dan
duduk di tempat tidurnya sendiri.
Ia diam saja sambil merenung di tempat tidurnya. Kejadian hari ini sudah
terlalu banyak mengingatkannya pada masa lalu. Dari kata-kata Cakka, Dokter
Marsha, sekarang perlakuan Acha kepadanya. Di sekolah mungkin dia bisa begitu
ceria seperti orang yang bahagia, namun sejujurnya, ia belum pernah merasakan
bagaimana rasanya bahagia itu. Di depan orang-orang mungkin dia bisa tersenyum,
namun di rumah, ia kembali menjadi laki-laki bodoh yang sudah melakukan kesalahan
besar.
Ray membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia mengatur nafasnya yang
berat, kemudian mendesah. “Andai aja gue nggak pernah lahir.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p