Kamis, 05 Februari 2015

Cerbung | The Real Him Part 6


Senyum Rio sejak tadi tidak muncul-muncul. Tangannya sibuk memegang kain pel, berusaha secepat mungkin membersihkan toilet laki-laki yang menurutnya cukup kotor ini. Gara-gara Cakka menempelkan lem di bangkunya, Rio jadi terkena sial dua kali. Selain celananya sobek, ternyata teriakannya tadi bertepatan dengan kehadiran Pak Duta di kelas sehingga beliau langsung menvonisnya hukuman menyebalkan ini kepadanya. Mending kalau hanya satu toilet, nah ini harus dua lantai yang ia bersihkan. Itu artinya ia harus membersihkan empat toilet sekaligus. Entah ia harus bolos berapa jam pelajaran gara-gara hukumannya ini. Bisa jadi dia sampai pulang harus bergaul dengan toilet!

Bibirnya tak henti-hentinya mengerucut gara-gara sebal dengan tingkah laku Cakka. Ia benar-benar bersumpah dalam hati jika ia selesai dengan hukumannya tadi, ia pasti akan melabrak anak itu untuk meminta pertanggungjawaban. Sebodo amat dia suka membentak orang, yang pasti ia tak rela diperlakukan seperti ini. Macam dia pernah membuat kesalahan besar saja kepadanya sampai harus patut dikerjai dia!
“Dasar Cakka, kalau begini kan gue terpaksa ketinggalan pelajaran,” kata Rio.
Memang sih, sekarang sedang ujian akhir. Tapi, bagi SMA MIFI, ujian akhir bukanlah alasan untuk pulang pagi. Mereka tetap mengejar materi semester dua selama ujian berlangsung, hanya saja jam pulangnya lebih cepat sedikit. Dari yang mereka pulang jam tiga, sekarang menjadi jam satu.
“Untung aja tadi gue dibolehin UAS dulu, kalau nggak, bisa mati gue!” gerutu Rio lagi sambil tetap sibuk mengepel. Setelah itu, ia langsung mengelap dinding-dinding yang kotor dengan sebal. “Huh, kapan sih lo semua bersih? Capek tau gue!”

J L J

Istirahat siang telah tiba. Ray dan Deva tentu saja langsung ke kantin untuk mengisi perut mereka yang telah demo sejak jam pelajaran tadi. Di antara keramaian yang ada, Ray sudah sibuk makan sendiri di salah satu meja kantin sambil menunggu Deva yang sedang memesan makanan di penjual kantin langganannya.
Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba Cakka muncul dan duduk di hadapannya. Tanpa permisi, ia langsung menaruh makanannya di atas meja Ray. Benar-benar tak sopan. Harusnya kan dia bertanya dulu, baru duduk di sana.
“Hei, Ray!” kata Cakka dengan riang. “Gue makan di sini ya? Kantin penuh!”
Ray tersenyum. Kemudian, mempersilahkan Cakka duduk.
“Oke, makasih!” kata Cakka langsung lanjut melahap makanannya. “Eh, tadi bagaimana? Keren kan misi gue? Mukanya Rio sampai merah begitu kayak kepiting rebus. Puas banget gue ngerjain dia.”
Ray hanya tersenyum mendengarnya.
“Gue kesel banget tau nggak sama mereka, Ray, mereka gangguin gue terus. Udah tahu gue nggak mood, tapi tetep aja ngotot ngomong sama gue. Belum lagi, keluarga gue. Bunda, Ayah, kedua kakak gue, mereka rese banget kemarin selama gue diskors.”
“Kenapa? Lo diomelin?” tanya Ray ingin tahu.
“Kepo banget sih? Ketularan Rio ya lo?” Cakka mengerutkan dahinya kesal. Ray nyengir.
“Kalau nggak mau cerita juga nggak apa-apa sih,” kata Ray.
“Lo nggak tahu aja bagaimana rasanya punya dua kakak yang kepo banget sama lo, terus selalu aja marah-marah sama lo, ditambah lagi Bunda yang ikut-ikut kepo sama lo. Gue pusing men,” kata Cakka.
“Pusing kenapa?” tanya Ray. “Itu kan wujud perhatian mereka buat lo, Kka.”
“Ya tapi kan nggak begitu juga,” kata Cakka. “Nggak betah gue di rumah gara-gara ada mereka. Mereka tuh nggak bisa nerima sifat gue yang begini. Selalu aja menyebalkan. Sama kayak Deva, Rio, temen-temen sekelas.”
Ray menghela nafasnya. Kemudian, terdiam. Ternyata begitu.
“Kenapa lo?” tanya Cakka heran.
Cepat-cepat Ray tersenyum lagi. “Nggak, nggak apa-apa, kok.”
“Loh, ada Cakka?” tiba-tiba Deva datang sambil membawa satu nampan berisi makanan dan minuman yang ia beli. Ia langsung mengambil tempat di sebelah Ray dan menatap Cakka malas. “Ngapain lo di sini?”
“Ini tempat umum, terserah dong gue mau dimana,” kata Cakka cuek.
“Tapi, gue sama Ray udah duduk di sini duluan. Dan gue nggak mau lo ada di sini!”
“Heh, kalau lo nggak suka gue ada di sini, kenapa nggak lo aja yang pergi? Gue udah izin kok sama Ray! Dia boleh-bolehin aja, kenapa lo repot?” kata Cakka sebal. “Atau lo mau gue kerjain lagi kayak kemarin?”
Deva melotot ke arah Cakka kesal. “Terserah lo! Muak gue lihat sikap lo!”
“Ya udah, pergi lo! Nggak usah di sini!” usir Cakka sebal.
“Tanpa lo suruh juga gue bakal pindah meja!” kata Deva akhirnya langsung pergi meninggalkan Ray dan Cakka. Ray hanya bisa menghela napas melihat kepergian sahabatnya tersebut. Deva pasti masih kesal dengan perbuatan Cakka tiga hari yang lalu.
Cakka mendengus pelan, kemudian kembali sibuk makan kembali. Ray menghela nafas lagi melihat suasana tegang itu.
“Harusnya lo nggak begitu,” kata Ray pelan.
“Terus gue harus bagaimana? Terima aja dia bentak-bentak gue kayak begitu?” tanya Cakka lagi. “Gue nggak salah apa-apa. Gue cuma lagi nyari meja, kenapa dia yang sewot? Oke, kemarin gue ngerjain dia sampai dia diskors. Tapi, itu kan juga salah dia karena udah ngeganggu gue. Huh.”
“Tapi kan lo bisa—“ kata Ray terputus. “Ah, udahlah nggak usah dibahas.”
“Biarin aja kali, Ray. Entar juga balik lagi,” kata Cakka. “Lagian lo punya hidup lo sendiri yang harus lo urus. Ngapain ngurusin orang lain? Hidup lo aja belum tentu bener, kan?”
Ray terdiam mendengarnya. Ia menunduk.
Cakka yang melihatnya langsung heran. Entah apa ada yang salah dengan ucapannya barusan sampai Ray mengunci mulutnya seperti itu. Tadi juga dia melamun. Cepat-cepat ia langsung mengalihkan pembicaraan. Ia menggeser piringnya. “Eh, Ray, mau sosisnya?”
Ray mengangkat kepalanya menatap piring makan Cakka. Masih tersisa beberapa sosis di sana. Ia langsung menatap ke arah Cakka. “Lo nggak makan?”
“Kenyang gue,” kata Cakka nyengir. “Tadinya gue pikir gue bisa habisin, soalnya tadi pagi gue nggak sarapan sama keluarga gue. Keburu girang pengen ngerjain Rio. Eh tahunya gue tiba-tiba nggak nafsu.”
“Pemborosan lo.” kata Ray sambil tersenyum, langsung mencomot sosis milik Cakka.
“Biarin, masalah buat lo?” balas Cakka.
Ray mengangkat kedua tangannya, tanda bahwa ia tak ingin bertengkar. Kemudian, ia langsung kembali melahap makanannya. Suasana hening menguasai mereka sebentar, sebelum akhirnya Ray bersuara. “Besok lo ada acara?”
“Nggak. Kenapa?”
“Gue mau lo ketemu seseorang.”

J L J

Ceklek. Ray menutup pintu rumahnya perlahan-lahan. Sore itu, jam sudah menunjukkan pukul dua sore. Dengan cepat, ia melepaskan alas kakinya dan menaruh tasnya di sofa. Kemudian, ia naik ke lantai atas untuk memeriksa keadaan adiknya. Ia melangkah pelan menaiki tangga hingga pintu kamar adiknya terlihat di depan matanya. Namun, betapa herannya ia ketika melihat pintu kamar adiknya itu terbuka lebar. Apa keadaan sudah berubah? Adiknya yang selama ini selalu mengunci diri di kamar, apa dia sudah berubah?
“Acha...” panggil Ray sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Namun, ternyata dugaan salah. Begitu ia masuk ke dalam, ia mendapati adiknya sudah tergeletak di lantai dengan mata tertutup. Ia langsung menghampiri dan memangku adik SMPnya tersebut. Dengan pelan, ia menepuk-nepuk pipinya. “Hei! Acha! Kamu kenapa? Acha!”
Ray mencoba meraba kening Acha. Saat itu, ia langsung panik. “Ya ampun, badan kamu panas banget, Cha! Aduh, kenapa bisa begini sih?”
Ray langsung menggendong adiknya dan menidurkan Acha di tempat tidur. Setelah itu, ia langsung menyelimuti Acha. “Kamu tunggu sebentar ya, Cha. Kakak telepon dokter dulu.”
Ray langsung mengambil handphone-nya dari dalam saku. Ia segera menekan sederet nomor yang sudah ia hafal. Ketika sudah tersambung ia langsung bersuara, “Dokter? Iya, ini Ray, kakaknya Acha. Dokter bisa ke rumah? Adik saya pingsan, Dok.”
“Oke, dokter, terima kasih,” kata Ray langsung memutuskan sambungan.
Ray menghela nafasnya sejenak, kemudian duduk di pinggir tempat tidur Acha dan membelai pelan rambut panjangnya. Ia tatap wajah adiknya yang sudah pucat pasi. Ini pasti salahnya. Ya, dia yang membuat Acha sakit seperti ini. Bukankah alasan Acha mengurungkan diri selama ini karena dirinya? Otomatis, kalau ada apa-apa, ini sudah pasti salahnya. Iya. Ini salah Ray.
Tak lama kemudian, Dokter Marsha, dokter pribadi keluarga Ray yang ditelponnya tadi sudah sampai. Dengan cepat beliau mempersiapkan alat-alat dokternya dan segera memeriksa keadaan Acha. Sementara itu, Ray hanya bisa menunggu di belakangnya. Setelah beberapa menit Dokter Marsha memeriksa, ia langsung membalikkan badannya ke arah Ray.
“Sudah berapa lama Acha tidak teratur makan?” tanya Dokter Marsha.
Ray terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Sejujurnya dia tak tahu apapun tentang Acha. Selama ini ia hanya memberinya makanan di depan pintu. Dan setelah berapa lama, seplastik makanan yang ia taruh di sana selalu hilang. Entah diambil Acha atau kenapa, Ray juga tidak tahu. Sementara itu, orang tuanya sibuk bekerja.
“Saya nggak tahu, Dok. Saya selalu kasih dia makan, tapi dia nggak pernah mau keluar dari kamar. Saya selalu taruh makan di depan pintu kamarnya. Nggak tahu dimakan atau nggak,” kata Ray sedih. “Acha kenapa, Dok?”
“Acha lemas karena kekurangan energi. Dia juga demam. Mulai sekarang jaga dia baik-baik, karena cuaca juga tidak menentu,” kata Dokter Marsha. “Jangan buat dia stres, Ray, mungkin karena dia terlalu banyak pikiran jadinya tenaganya terkuras.”
“Saya mengerti, Dok.” kata Ray pelan.
“Nah, kamu kasih dia obat ini setiap habis makan,” kata Dokter Marsha sambil memberikan sebotol sirup kecil kepada Ray. “Setiap kali makan satu sendok makan ya. Kalau obatnya dimakan rutin, demamnya pasti turun kok, Ray. Kamu tenang saja. Asal dia jangan mogok makan lagi.”
“Baik, Dok.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” pamit Dokter Marsha.
“Iya, makasih, Dok.” kata Ray sambil tersenyum. Sepeninggalan Dokter Marsha, ia langsung duduk di pinggir tempat tidur untuk menjaga Acha. Ia menghela nafasnya menatap adiknya itu. “Maafkan kakak, Cha. Kakak nggak bisa menjaga kamu dengan baik. Semua ini pasti karena kakak yang...”
Ray langsung mengusap matanya yang tiba-tiba basah. Entah dari kapan air matanya mulai keluar setetes demi setetes. Ia benar-benar sedih melihat Acha seperti ini. Ia duduk sejenak di sana, membiarkan air matanya puas membasahi wajahnya yang kurus.
Setelah puas melepas emosi, ia langsung beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke dapur. Ia ingin membuat bubur untuk adiknya. Untung saja sejak kecil orang tuanya sudah mengajarinya untuk memasak beberapa makanan, sehingga dalam waktu seperti ini dia tidak akan bingung lagi.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menyiapkan bubur tersebut. Setelah jadi, ia langsung semangkuk bubur tersebut ke dalam kamar Acha. Ia meletakkan bubur itu di meja kecil samping tempat tidur Acha, kemudian kembali menjaga Acha yang masih belum sadar.
“Ngg...”
“Acha!” kata Ray senang. “Kamu udah sadar, Cha?”
Acha menoleh ke arah Ray. Kemudian, ia langsung duduk di tempat tidurnya dan diam saja menatap ke arah jendela.
“Acha, tadi kata Dokter Marsha, kamu demam, terus lemas gara-gara kurang makan. Ini kakak udah buatkan bubur buat kamu,” kata Ray sambil tersenyum. Ia mengambil semangkuk bubur itu. “Acha makan dulu ya? Habis itu makan obat.”
Acha diam sejenak. Ia menutup matanya. “Kak Ray bukan kakakku.”
Ray diam saja mendengar ucapan itu. Kali ini ejekan itu tak terdengar sekeras biasanya. Adiknya tersebut pasti lelah hingga tak bisa berteriak-teriak lagi. Tapi, ini sama sekali tak berpengaruh dengan perasaan Ray. Kata-kata itu tetap saja menusuk hatinya hingga hancur.
“Kak Ray bukan kakakku. Kak Ray nggak usah ngurusin Acha. Acha nggak mau ketemu Kak Ray. Kak Ray keluar aja sekarang.” kata Acha bertubi-tubi. Wajahnya tetap melihat ke arah jendela, ia tak mau menoleh ke arah kakaknya.
“Tapi Cha—“ kata Ray terputus.
“ACHA BILANG KELUAR!” kata Acha nyaring. “KAK RAY KELUAR SEKARANG!”
Lagi-lagi Ray diam mendengar bentakan itu. Kemudian menaruh mangkuk bubur Acha di atas meja dan beranjak dari kursinya. Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Acha, ia menyempatkan diri untuk berkata, “Acha jangan lupa makan buburnya ya. Kak Ray nggak mau Acha sakit.”
Ray masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan gelisah. Ia remas bajunya di bagian dada. Sakit. Rasa sakit itu selalu terasa ketika kejadian seperti ini terulang. Adiknya sama sekali belum berubah. Ia tetap selalu saja menatapnya tajam, atau bahkan tak ingin sama sekali melihatnya. Semuanya karena kejadian mengerikan itu. Kejadian yang tak akan pernah Ray lupakan. Entah sampai kapan konflik akan berlangsung. Apa akan selamanya di rumah dia seperti ini?
Ia berjalan menuju telepon rumahnya. Ia memutuskan untuk menelpon Ayahnya yang sedang bekerja. “Halo, Yah? Ayah bisa pulang sebentar nggak? Acha sakit, kata dokter dia demam. Tapi, dari tadi Ray suruh makan dia nggak mau. Kali aja kalau sama Ayah dia mau nurut. Ayah bisa bantu Ray, kan?”
“Oke, makasih, Yah.” kata Ray akhirnya.
Ray diam saja di tempat setelah sambungan terputus. Ia menghela nafasnya, kemudian duduk di kursi belajarnya. Ia teringat kembali dengan kata-kata Cakka saat istirahat tadi. Ia bilang, ia kesal dengan seluruh keluarganya karena mereka kepo. Karena mereka sering marah-marah sama dia. Huh, dia sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Ray. Memiliki adik yang sama sekali tidak peduli kepadanya. Bukan itu saja, masih ada satu hal lagi yang membuat hidup Ray terlihat menyedihkan. Itu...
“Ray!” panggil seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Ray menoleh. “Ayah! Acha, Yah! Dia di kamar, nggak tahu dia udah makan atau belum. Ayah kan tahu sendiri kalau Acha masih benci banget sama Ray, Yah. Bantu Ray jagain Acha sebentar ya, Yah?”
Ayah Ryan, Ayah Ray dan Acha, mengangguk. “Iya, Ayah tahu. Ayo kita ke kamar Acha.”
Ray dan Ayahnya langsung pergi menuju kamar Acha dan menghampiri Acha yang masih mempertahankan posisinya menatap ke arah jendela. Begitu menyadari kehadiran Ayah, ia baru menoleh.
“Ayah!” kata Acha. Ia langsung memeluk Ayahnya dengan sayang. “Ayah kok bisa pulang?”
“Ayah denger, anak gadis Ayah nggak mau makan, nggak mau minum obat. Ayah mana tenang kerja?” kata Ayah Ryan sambil tersenyum. “Kenapa sih, Cha? Kok kamu nggak mau makan? Katanya Kak Ray kamu lagi sakit.”
Acha langsung merengut mendengar ucapan Ayah Ryan. “Pasti Kak Ray ngadu.”
“Kan Kak Ray khawatir sama kamu sayang, kamu nurut dong sama kakak kamu, Ayah kan seharian kerja, nggak bisa menjaga kamu.” kata Ayah Ryan lagi.
“Kak Ray bukan kakakku, Ayah!” kata Acha lagi tegas. “Kak Ray bukan kakaknya Acha.”
“Kamu nggak boleh ngomong begitu, kamu tahu nggak kalau Kak Ray sakit hati kalau Acha ngomong begitu?” tanya Ayah Ryan lagi sambil membelai rambut anak bungsunya. “Sekarang kamu makan ya, disuapin sama Kak Ray.”
“Nggak mau, Yah! Acha maunya sama Ayah.” kata Acha lagi.
Ray yang berdiri di belakang hanya menghela nafasnya. Bahkan bujukan Ayahpun tak bisa membuat Acha menuruti kemauannya. Ray benar-benar tak tahu lagi harus dengan cara apa Acha bisa memaafkannya.
“Ya udah, kali ini kamu disuapin Ayah, tapi besok-besok sama Kak Ray ya? Janji?” tanya Ayah, sukses membuat Acha ngambek. Ayah melanjutkan ucapannya lagi. “Kalau nggak mau janji, Ayah langsung balik ke kantor sekarang.”
“Uh, iya deh, Ayah. Acha janji,” kata Acha akhirnya. “Tapi, sekarang suapin ya?”
“Iya. Gitu dong,” kata Ayah. Ia menoleh ke arah Ray. “Udah, Ray, kamu istirahat aja di kamar. Nanti habis jagain Acha, Ayah langsung ke kantor. Kamu kalau mau makan, masak aja sendiri. Hari ini Ayah lembur lagi soalnya.”
Ray mengangguk patuh.
“Cepet sembuh ya, Cha.” kata Ray sambil mengulurkan tangannya, hendak mengelus kepala Acha. Tapi, Acha menepisnya cepat. Akhirnya, ia pergi meninggalkan Acha berdua dengan Ayah Ryan di sana. Ia kembali ke kamarnya dan duduk di tempat tidurnya sendiri.
Ia diam saja sambil merenung di tempat tidurnya. Kejadian hari ini sudah terlalu banyak mengingatkannya pada masa lalu. Dari kata-kata Cakka, Dokter Marsha, sekarang perlakuan Acha kepadanya. Di sekolah mungkin dia bisa begitu ceria seperti orang yang bahagia, namun sejujurnya, ia belum pernah merasakan bagaimana rasanya bahagia itu. Di depan orang-orang mungkin dia bisa tersenyum, namun di rumah, ia kembali menjadi laki-laki bodoh yang sudah melakukan kesalahan besar.
Ray membantingkan tubuhnya di tempat tidur. Ia mengatur nafasnya yang berat, kemudian mendesah. “Andai aja gue nggak pernah lahir.”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p