Pensi tinggal beberapa hari lagi. Hari ini adalah latihan terakhir yang
akan dilakukan MIFI Band di sekolah. Untuk penampilan duet, solo dan
lain-lainnya, tergantung masing-masing dari mereka. Masih mau latihan atau
tidak. Yang jelas, jeda hari besok dipakai mereka untuk istirahat agar saat
pensi nanti, mereka bisa menampilkan yang terbaik untuk para pengunjung yang
datang.
Cakka sendiri sebenarnya merasa waktu latihannya masih kurang. Rencana
kolaborasinya dengan Ray masih belum mantap. Kalau ia tidak latihan lagi, entah
apa yang akan terjadi dengan hari pensi nanti. Karena itulah hari ini ia main
ke rumah Ray setelah selesai latihan di sekolah.
Pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di rumah Ray membuatnya menyadari
bahwa ternyata kehidupan teman sebangkunya itu benar-benar tak nyaman. Rumahnya
sepi sekali. Berbeda dengan rumah Cakka yang selalu diramaikan dengan
kakak-kakaknya yang cerewet, Bundanya yang perhatian dengannya. Bahkan
kehadiran Acha di rumah juga tak membuat suasana rumah Ray menjadi lebih baik.
“Ini Acha, adik gue yang waktu itu gue ceritain,” kata Ray ketika ia tak
sengaja melihat batang hidung adiknya muncul di dapur ketika ia sedang
mengambilkan Cakka minuman.
Cakka tersenyum kepada Acha. “Hai. Gue Cakka.”
“Hai, Kak.” jawab Acha tersenyum balik, kemudian langsung sibuk sendiri
menjelajahi kulkas. “Aduh, nggak ada soft
drink ya? Acha haus, Kak Ray.”
Kini Cakka bisa melihat bagaimana wujud adik Ray yang selama ini
mengabaikan Ray hingga teman sebangkunya itu marah ketika mengetahui Cakka
tidak menghargai keluarganya sendiri. Badannya terlihat sangat kurus. Memang
terlihat seperti orang yang mengalami frustasi. Ternyata, mereka sudah baikan?
Baguslah kalau begitu.
“Jangan minum minuman soda terus, Acha. Nggak baik buat kesehatan. Ambil
air putih aja sana.” kata Ray sambil tersenyum.
“Yah, Kak Ray, air putih nggak mempan hilangin hausnya,” kata Acha sambil
merengut.
Ray tertawa. Ia memberikan segelas air kepada Cakka, kemudian berjalan
menghampiri adiknya. Sambil membelai rambutnya, Ray berkata, “Acha, air putih
itu bagus buat kesehatan. Kamu nggak mau kan sakit kayak waktu itu lagi?
Makanya, jangan makan minum sembarangan. Apalagi kalau perut kamu masih
kosong.”
“Oh iya sih, Kak, Acha belum makan nih dari tadi.” kata Acha nyengir.
“Ya udah, sana makan dulu. Kak Ray latihan dulu sama Kak Cakka. Nanti kalau
Acha butuh apa-apa, kamu ke kamar Kakak aja, oke?” kata Ray.
“Iya deh.” kata Acha sambil tersenyum.
Cakka diam saja mendengarkan mereka mengobrol sendiri. Dari cara Ray
memandang adiknya, ia sudah bisa mengetahui bahwa Ray sangat menyayangi adiknya
tersebut. Dan entah kenapa, Cakka menjadi teringat dengan kedua kakaknya di
rumah. Dia, Biru dan Elang tak pernah terlihat seakrab itu.
“Kka?” tiba-tiba Ray membuyarkan lamunannya.
“Hah?”
Ray tersenyum. “Lo kenapa? Melamun aja.”
Cakka menggeleng. Ia tersenyum. “Lo akrab ya sama adik lo.”
Ray tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Cakka pelan. “Gue cuma
menjalankan apa yang harus gue jalankan sebagai kakaknya. Lo juga bisa kok
akrab sama kakak-kakak lo. Asal lo berusaha mengerti perhatian mereka.”
Cakka menghela nafasnya. “Lo kan tahu gue susah baik-baik kalau terlalu
dikepoin.”
“Itu yang harus lo pelajari, Kka. Coba lo sekali-kali tanya dulu apa maksud
mereka waktu mereka kepo sama lo, lo pasti akan mengerti,” kata Ray. “Udahlah,
yuk ke kamar gue. Kita harus latihan. Dari kemarin latihan perasaan baru jadi
Lost Stars doang.”
Cakka mengangguk. “Ya udah, ayo.”
Mereka berdua langsung masuk ke dalam kamar untuk latihan. Berjam-jam
mereka mengulang-ulang lagu yang akan mereka mainkan di pensi nanti, diselingi
dengan istirahat beberapa kali karena Acha giat membawakan mereka camilan.
Setelah selesai latihan, Cakka langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur
Ray. Sementara Ray masih sibuk melahap sisa camilan yang dibawakan Acha.
“Gila, setelah sekian lama, akhirnya mantap juga latihan kita.” kata Cakka.
“Ya, practice makes perfect,
kan?” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka mengangguk. “Urusan gue sekarang tinggal kuisoner aja, kalau satu
lembar itu udah terisi, pulang-pulang gue bisa langsung tidur. Capek gue hari
ini.”
“Tapi, itu buat umum, kan? Siapa aja boleh ngisi?”
“Iya. Kenapa?”
“Berarti Acha boleh ngisi dong?”
Cakka langsung bangkit dari tidurnya begitu mendengar ucapan Ray. “Boleh?”
Ray mengangguk. “Kalau dia nggak keberatan, boleh aja.”
Cakka tersenyum.
J L J
TOK... TOK... TOK..
“Kak, lo lagi sibuk ya?” tanya Cakka dari depan pintu kamar Elang.
“Iya nih, biasa tugas akhir. Kenapa?” tanya Elang tanpa mengalihkan
perhatiannya dari layar komputer. “Kalau ada keperluan, entar aja, Kka. Gue mau
nyelesain ini dulu.”
“Oh, begitu? Ya udah, kalau begitu, gue nggak mau ganggu lo. Gue cuma mau
kasih kertas-kertas ini sama lo.” kata Cakka. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar
kakaknya dan menaruh tumpukan kertas yang sedari tadi ada di tangannya di atas
meja kakaknya. Kemudian, ia langsung buru-buru meninggalkan kakaknya sendirian.
Elang yang sibuk dengan komputer hanya diam saja sampai Cakka keluar.
Begitu urusannya selesai dengan komputer, barulah ia melihat tumpukan kertas
yang diberikan Cakka tadi. Ah, ternyata kuisoner miliknya. Ia nyengir melihat
kertas-kertas kuisoner yang dibawa kabur adiknya tempo hari sekarang telah
terisi penuh. Ternyata benar kata Ayah, Cakka hanya ingin membantunya.
Elang langsung mengerjakan tugas makalahnya itu dengan penuh semangat.
Hanya dengan waktu setengah jam, ia sudah bisa menyelesaikan tugasnya dengan
baik. Data-data yang ia dapatkan sudah ia masukkan dengan rapi. Setelah itu, ia
langsung beranjak dari kursinya dan keluar kamar.
Saat itu sudah jam sepuluh malam. Elang berjalan menuju kamar adiknya dan
pelan-pelan membuka pintunya secara hati-hati. Kalau menurut dugaannya, adik
bungsunya itu pasti sudah tidur kalau sudah jam segini. Makanya, ia tak mau
mengganggu tidurnya.
Elang tersenyum ketika mendapati adik bungsunya tersebut sudah ngorok di
tempat tidurnya dengan selimut yang sudah berantakan. Ia belai rambut adiknya
sejenak kemudian menggelengkan kepalanya. “Ternyata, di balik lo yang cuek, lo
juga punya sifat yang baik. Makasih ya, Kka. Tugas gue udah selesai.”
J L J
Pagi itu, setelah sarapan pagi dan mandi, Acha sendirian saja di kamar
karena Ray sedang sibuk mempersiapkan diri di ruangan latihan dramnya. Kakak
semata wayangnya itu tampak sangat bersemangat untuk pensi sekolahnya hingga
sejak pagi tadi dia sudah giat berlatih dengan gitar dan dramnya. Katanya sih,
sekalian menghabiskan waktu agar bisa cepat sore. Memang ada-ada saja kakaknya
itu.
Sesekali Acha membalikkan posisi badannya di tempat tidur. Ia bosan tak
mengerjakan apa-apa dari tadi. Kalau kakaknya sibuk sampai sore, ia tak akan
punya teman bicara seharian karena Ayah Ryan tiba-tiba harus meeting hingga
sore juga. Mau mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Ray juga
percuma, ia tak ingin mengganggu waktu latihan kakaknya. Kalau aja Bunda masih
hidup, mungkin Acha tak akan kesepian begini.
Ngomong-ngomong soal Bunda, rasanya sudah lama sekali Acha tidak
menjenguknya. Kesibukannya membenci Ray dari dulu membuatnya melupakan bahwa
masih ada rumah Bunda yang harus ia kunjungi. Belum lagi tugas-tugas dan ujian
sekolah yang tak pernah ada habisnya. Untung libur masih panjang.
Acha menghela nafasnya. Ia beranjak dari tempat tidur dan segera berjalan
ke ruang latihan kakaknya. Kakinya melangkah masuk pelan-pelan agar tidak
mengganggu kakaknya yang sedang sibuk latihan dram, kemudian duduk di kursi
yang ada di sana sambil menunggu kakaknya selesai menggebuk dram.
Diam-diam Acha tersenyum melihat Ray yang begitu bersemangat bermain alat
musik pukul itu. Setidaknya, dengan menyesali perbuatannya selama ini, Acha
bisa mengusir wajah lesu kakaknya yang selalu Ray tampilkan setiap kali Acha
membentaknya. Harusnya Acha sadar dari dulu, bahwa senyum Ray yang
ditunjukkannya sekarang adalah salah satu hal yang wajib ia jaga selama
hidupnya. Dia kakak satu-satunya yang Acha punya, harusnya Acha menyayanginya
seperti dia menyayangi Acha.
“Loh, Acha?” kata Ray ketika ia sudah selesai bermain dramnya. Ia baru
sadar kalau adiknya sedari tadi sudah duduk di sana.
Acha tersenyum. “Acha ganggu ya, Kak Ray?”
Ray menggeleng sambil tersenyum. “Nggak kok, ada apa?”
Acha beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri kakaknya yang masih
duduk di belakang dram. “Hmm... Pensi sekolah nanti jam berapa?”
“Oh, jam lima. Mungkin jam setengah empat Kak Ray akan berangkat, soalnya
mau latihan bareng temen-temen juga. Memangnya kenapa?”
“Acha rindu sama Bunda, Kak,” kata Acha. “Jenguk Bunda dulu yuk sebelum
pensi?”
Ray tersenyum mendengar ucapan Acha, kemudian mengangguk mantap. Tanpa banyak
bicara lagi, ia langsung merangkul adiknya keluar. Dengan membawa motor, mereka
segera melesat meninggalkan rumah.
J L J
Begitu sampai di makam Bunda, Ray membiarkan Acha berbicara dengan Bunda.
Ia berdiri di belakang adiknya. Sesekali Ray juga mengusap matanya pelan agar
ia tak menangis. Kata-kata Acha membuat perasaannya bergejolak.
“Maafkan Acha, Bunda,” kata Acha di hadapan makam Bunda. “Bunda pasti
kecewa sama Acha, karena selama ini Acha udah jadi anak yang nggak baik.
Padahal, dulu Bunda selalu berpesan sama Acha supaya nurut sama Ayah, sama Kak
Ray juga. Tapi, Acha udah lama ngelanggar pesan Bunda itu.”
Ray menatap Acha diam mendengar ucapan itu. Ia jadi ingat kembali dengan
hari pemakaman Bunda beberapa tahun silam. Acha menangis sekeras-kerasnya di
sana, bahkan menolak untuk membaca surat yang ditinggal Bunda untuknya. Tapi,
dengan bujukan Ayah, akhirnya ia mau baca juga. Di situlah tertulis pesan Bunda
bahwa Acha tidak boleh nakal. Apalagi dengan Ayah dan Ray. Bukan hanya untuk
Acha, Ray dan Ayah juga mendapatkan pesan terakhir dari Bunda untuk selalu
saling menjaga. Ray masih menyimpan surat itu sampai sekarang.
“Bun, Bunda tahu kan, Acha udah berusaha untuk minta maaf sama Kak Ray?
Makanya, hari ini Acha bisa dateng lihat Bunda sama Kak Ray. Bunda seneng,
kan?” kata Acha sambil tersenyum. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Udah cukup
Acha buat Bunda kecewa. Semoga dengan melihat Acha sama Kak Ray baikan, Bunda
jadi tersenyum bahagia ya di sana. Acha dan Kak Ray selalu mendoakan yang
terbaik untuk Bunda.”
Ray tersenyum. Ia berjalan dan ikut berjongkok di sebelah adiknya.
Kemudian, ia langsung merangkul Acha. “Bunda pasti senang di atas sana, Cha.
Dia pasti bangga sama kamu.”
Acha tersenyum menatap kakaknya. “Terima kasih, Kak Ray.”
Ray menggeleng. “Kak Ray yang harusnya makasih sama kamu.”
Acha mengerutkan dahinya tak mengerti. “Maksudnya?”
“Bagaimanapun juga, kamu pasti menganggap Kak Ray adalah penyebab kepergian
Bunda. Kak Ray makasih banget karena kamu udah bersedia maafin Kak Ray,” kata
Ray sambil tersenyum. Namun, setelah itu ia nyengir. “Lagipula, kalau Acha
nggak ngambek sama Kak Ray, mungkin Kak Ray nggak akan bisa baikan sama Kak
Cakka.”
“Kak Cakka?” tanya Acha heran.
Ray mengangguk.
“Memangnya Kak Ray berantem sama Kak Cakka?”
Ray tertawa kecil, ia tepuk kepala Acha pelan. “Kepo deh kamu. Ya, apapun
masalahnya, Kak Ray makasih banget sama kamu, Cha. Kakak bisa bersahabat baik
dengan Kak Cakka, karena kamu.”
Acha tersenyum. “Aku nggak terlalu ngerti maksudnya, tapi... sama-sama,
Kak.”
Ray mengacak-acak rambut Acha gemas sejenak, kemudian menatap ‘rumah’
Bundanya. “Bunda, Ray seneng banget sekarang bisa baikan sama Acha. Makasih ya.
Bunda pasti selalu doain Ray makanya Ray kuat sampai hari ini. Pokoknya, Ray
sayang banget sama Bunda.”
“Iya, makasih banget ya, Bunda. Acha juga sayang sama Bunda.” Acha
menambahkan.
“Maafin Ray juga karena Ray udah buat Bunda pergi secepat ini,” kata Ray
sambil tersenyum samar. “Nanti sore, Ray akan tampil di pensi sekolah, Bunda.
Ray harap Bunda mau mendoakan Ray sekali lagi supaya semuanya lancar.”
“Amin!” kata Acha dengan semangat.
Ray tersenyum. “Udah yuk, Cha, pulang. Sebentar lagi jam makan siang.”
Acha langsung bangkit, diikuti kakaknya. Kemudian, Acha mengangguk cepat.
“Mau beli makan dulu, Kak Ray?”
“Ngapain?” tanya Ray. “Kak Ray kan bisa masak buat kamu.”
Acha langsung loncat-loncat girang. Tangannya mengguncang lengan Ray pelan.
“Yeee... udah lama banget Kak Ray nggak masak, masakin makanan kesukaan Acha
ya, Kak! Boleh ya, Kak?”
Ray tertawa. Ia merangkul adiknya tersebut dan menarik kepalanya masuk ke
dalam dekapannya sejenak agar ia bisa mengacak rambutnya gemas. Sifat lama Acha
sudah kembali lagi. Frustasi yang dialaminya sekarang sudah hilang, diganti
dengan keceriaan dan kemanjaan yang sejak kecil ia miliki.
J L J
Jam sudah hampir menunjukkan jam dua belas siang. Seperti para ibu lainnya,
Bunda sudah sibuk dari tadi di dapur, menyiapkan banyak makanan untuk makan
siang keluarga. Selain itu, Elang sedang membaca koran di ruang makan. Ayah dan
Biru juga sedang sibuk di kamar masing-masing. Berbeda dengan si bungsu yang
tampak masih terlelap di tempat tidurnya. Ia memang berencana untuk tidur
hingga sore nanti agar dapat tampil maksimal. Tapi, sayang, rencananya tersebut
gagal karena tiba-tiba hidung mencium bau aroma sedap dari luar kamar.
Cakka bergerak-gerak di tempat tidurnya dan langsung bangkit dari tidurnya
beberapa saat kemudian. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak dan mengerutkan
dahinya ketika mendapati pintu kamarnya terbuka. Pantas saja aroma masakan
Bunda bisa sampai ke hidungnya. Haduh, siapa sih yang membiarkan pintu kamarnya
terbuka begitu?
Cakka beranjak dari tempat tidurnya dan segera menghampiri keluarganya yang
ia kira sedang berkumpul di ruang makan. Tapi, ternyata ia hanya menemukan
kakak sulungnya saja di sana. Ia langsung mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Kak,” sapa Cakka singkat.
Elang yang sedang membaca koran langsung menoleh ke arahnya. “Hei, Kka.”
“Yang lain pada kemana? Kok nggak sarapan bareng?”
Elang terdiam sejenak. Ia meletakkan korannya di meja dan menatap Cakka
sambil menghela nafas. “Makanya, jadi orang jangan kebo banget. Lo nggak lihat
jam? Udah hampir jam dua belas begini lo masih nanya sarapan?”
Cakka langsung nyengir.
“Lagian lo libur-libur begini, bukannya latihan, malah tidur seharian.
Bagaimana nasib pensi lo entar sore?” tanya Elang. “Mendingan lo cepetan mandi,
makan siang, terus langsung latihan.”
“Iya iya, bawel.”
“Eh, Cakka udah bangun?” tiba-tiba Bunda datang dari dapur sambil membawa sepiring
penuh dengan ayam goreng. Cakka yang melihatnya tentu saja langsung tersenyum
lebar. Dengan cepat ia langsung kabur ke dapur. Elang yang melihatnya sampai menggelengkan
kepalanya.
“Lah, mau kemana dia?” tanya Bunda sambil meletakkan piringnya di atas
meja.
“Paling mau ambil makan, Bun. Bunda tahu sendiri dia dari dulu paling cepet
sama makanan favorit,” kata Elang sambil tersenyum. Ia menghela nafasnya
pendek. “Udah lama banget nggak lihat dia ceria kayak begitu.”
Bunda tersenyum. “Makanya, jangan berpikiran negatif terus sama adikmu.”
Elang nyengir. “Iya, maaf, Bunda. Nggak lagi-lagi deh.”
Tak lama kemudian, Cakka kembali ke ruang makan dan segera melahap beberapa
potong ayam beserta nasi yang sudah ia ambil dengan porsi yang cukup besar.
Elang dan Bunda hanya tersenyum-senyum melihat tingkah Cakka itu. Kemudian,
suasana ruang makan langsung dipenuhi dengan perbincangan yang seru di antara
mereka.
J L J
Setelah selesai makan sarapan merangkap makan siang tadi, Cakka langsung
sibuk latihan di kamar. Kedua matanya sesekali menutup untuk menikmati
nada-nada yang dihasilkan tangan-tangan lincahnya. Mulutnya komat-kamit
menyandungkan lagu-lagu yang akan ia lantunkan bersama teman-temannya nanti.
Kaki kanannya dihentak-hentak mengikuti irama. Kalau sudah begini, Cakka tidak
akan bisa diganggu oleh siapapun.
Drrt... Drrt...
Cakka melirik sejenak ke arah hapenya yang asyik berkedap-kedip di atas
meja, namun setelah itu ia kembali sibuk dengan gitarnya. Ia mainkan lagu
sampai ia benar-benar selesai tanpa perduli hapenya terus bergetar. Sampai
akhirnya ia muak sendiri mendengar getaran-getaran kecil itu.
“Ah, siapa sih,” keluhnya sambil menaruh gitarnya di tempat tidur, kemudian
langsung mengambil hapenya. Ia melihat sekilas nama yang tertera di layar,
setelah itu langsung mengangkatnya. “Halo?”
“Kka, where have you been?! Telepon berapa kali baru diangkat!”
omel si penelepon.
Cakka mendengus malas mendengar suara di seberang. Hanya ada satu orang
yang ribet dan sok-sok pakai bahasa campuran seperti itu. “Yaelah, santai kali,
bule kepo. Ada apa sih? Ganggu gue aja.”
“Gue baru dapet info dari Dayat, Kiki
batal tampil! Nggak bisa dateng dia ke pensi! So, can I ask you a favor? Lo tampil ya gantiin dia?”
“What?! Yah, kok mendadak sih? Gue harus nampilin apa?” tanya Cakka kaget.
“Anything! Apa aja yang lo bisa!
Kalau lo bisa spontan lebih bagus lagi!”
Cakka memegang kepalanya pusing. Lagu-lagu yang sesuai rencana saja sudah
membuatnya cukup lelah. Sekarang ia harus tambah satu lagi? Ah, benar-benar.
Kenapa juga Kiki harus batal sih? Menyusahkan aja.
“Kka? Hello? Are you still there?”
tanya Anka karena Cakka diam saja.
Cakka menghela nafasnya. “Ya udah, ya udah. Entar gue yang pikirin. Udah
ah, gue mau latihan. Lo jangan ganggu gue lagi.”
“Oke! Thanks ya, Kka! Pokoknya apa aja deh
yang bisa isi penampilan terakhir! Kan sayang kalau pensi kita kosong pas udah
mau puncak. Pensi kita harus spectacular! See you later!” Tanpa menunggu jawaban, Anka langsung memutuskan
sambungan teleponnya.
Cakka menaruh kembali hapenya di atas meja. Ia menghempaskan tubuhnya di
tempat tidur dan mengusap wajahnya. Entah harus apa lagi yang harus ia
tampilkan. Duet dengan Ray dan MIFI Band saja sudah cukup banyak. Kalau ia
harus tambah satu lagi, bisa-bisa ia tepar nanti malam. Lagipula, dia harus
menampilkan apa lagi?
Sedang asyik-asyiknya berpikir, tiba-tiba Elang muncul dari balik pintu
kamarnya. Cakka sampai kaget ketika mendengar suara ketukan pintu, entah sejak
kapan dia ada di sana.
Elang hanya nyengir melihat adiknya. “Nggak sengaja denger. Butuh
bantuanku?”
Cakka terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil.
J L J
“Cakka! Wah, apa kabar lo?” Rio langsung menyambut Cakka begitu laki-laki
cuek itu sudah sampai di belakang panggung dengan Biru.
“Rio! Deva!” Cakka langsung menyambut tangan Rio dan menyalaminya ala
laki-laki. Disusul dengan Deva yang berdiri di samping Rio. Sudah lama sekali
Cakka tidak bertemu dengan dua temannya itu. “Kenapa kalian bisa di sini?
Memangnya pengisi acara juga?”
“Bisa lah, sengaja nih nungguin lo di sini,” kata Deva sambil tersenyum.
“Denger-denger lo bakalan tampil bareng Ray ya? Cieee... Kayaknya ada yang udah
baikan nih. Ditunggu ya penampilannya.”
Cakka tersenyum mendengarnya. “Lo cukup doain gue, ketua kelas.”
“Pasti, cowok cuek,” kata Deva sambil tertawa. “Maafin gue soal di kantin
waktu itu ya. Gue udah terlalu keras sama lo. Gue cuma emosi aja.”
“Harusnya gue yang minta maaf. Kan gue yang mulai waktu itu. Sama Rio juga,
harusnya gue nggak ngerjain lo berdua,” kata Cakka. “Gue cuma nggak tahu harus
berbuat apa. Gue nggak suka dikecewain, sekalinya kepercayaan gue hilang, gue
bisa selamanya benci siapapun.”
“Udahlah, nggak usah curcol deh,” kata Rio sambil menjitak pelipis Cakka,
sukses membuat si pemilik pelipis itu mendengus pelan. “Eh, udah lama nggak
ketemu begini, lo udah bawa cewek aja? Kenalin dong.”
“Oh iya, ini siapa, Kka? Kayaknya gue nggak pernah lihat.” Deva ikut
bicara.
Cakka melirik Biru yang dari tadi ternyata hanya tersenyum-senyum melihat
Cakka dan kedua temannya. Kemudian, tersenyum menatap kedua temannya. “Lo pada
kuper banget nggak tahu kakak gue. Ini Biru Putri Karayne, satu tingkat di atas
kita.”
“Hah?” kata Deva kaget. Kemudian, tersenyum ke arah Biru. “Eh, maaf, Kak,
gue nggak tahu. Cakka nggak pernah cerita sih. Gue Deva. Salam kenal, Kak
Biru.”
“Gue Rio, Kak.” Rio ikut memperkenalkan diri. “Gila, nggak nyangka ternyata
lo punya kakak, Kka. Setidaknya masih ada yang lebih menderita daripada kita,
iya nggak, Va?”
“Bener, Yo. Kita yang ketemu di sekolah doang aja capek hati, apalagi yang
ketemu tiap hari ya?” kata Deva sambil melirik Cakka. Yang dilirik hanya
mendengus kesal mendengarnya.
Biru tertawa. “Tenang aja, guys,
gue nggak semenderita apa yang lo berdua pikirin. Udah kebal kali tiap hari
direcokin sama adik gue tersayang ini. Untung aja sekarang udah berubah.”
“Kita harus makasih banget sama Ray, nih, Yo.” kata Deva.
Cakka memutar bola matanya malas. “Ah, udahlah, lo pada bawel banget sih!
Temen-temen MIFI Band udah pada dateng belum? Gue ada perlu sama mereka.”
“Hei, Cakka!” belum sempat menjawab, tiba-tiba Anka sudah menghampiri
mereka. Ia langsung menyalami Cakka sejenak dan tersenyum ke arah yang lain. “Kka,
everything good? Udah siap semua,
kan?”
Cakka mengangguk mantap. “Tenang aja, bule kepo. Semuanya aman. Para alumni
MIFI pada dateng kan? Gue juga ngajak alumni tuh buat ikut tampil bareng gue
nanti. Lagi markir dia. Yang penting, lo pada udah siap, kan?”
“Tentu!” kata Anka sambil mengacungkan jempol.
“Oke, lo pada siap-siap aja! Ray mana?”
“Di sana, lagi sibuk latihan sama gitar sendirian, samperin tuh!” kata Anka
sambil menunjuk ke satu arah. Di sana tampak Ray sedang mojok sendiri dengan
gitarnya. Ia sudah tampak rapi dengan kostum tampilnya.
Cakka tersenyum, kemudian langsung pamit kepada Rio, Deva dan kakaknya. Kemudian,
ia berjalan menghampiri Ray. Seraya duduk di sebelahnya, ia langsung menyapa.
“Hei.”
Ray menoleh. Ia tersenyum. “Hai.”
“Belum cukup latihan?”
Ray menggeleng. “Mengisi waktu luang aja. Eh, katanya lo tambah satu lagu
ya?”
Cakka mengangguk. “Nanti habis penampilan kita langsung lanjut. Entar lo
yang panggilin dia ya? Gue tetep di panggung sampai closing.”
“Gampang,” kata Ray mengacungkan jempol, disusul dengan suara pembawa acara
yang menggema sampai ke belakang panggung. Ray menatap si pembawa acara dari
cela kecil gorden. “Eh, udah mulai tuh pensinya.”
Cakka tersenyum. “Mau latihan terakhir?”
Ray tersenyum. “Tentu.”
Ray menghitung aba-aba, kemudian langsung memetik senarnya dengan apik,
memulai lagu untuk latihan terakhir sebelum mereka harus naik ke panggung
sekitar satu jam lagi. Cakka juga memulai nyanyiannya, mengikuti irama yang
diciptakan Ray.
J L J
“Please don't see, just a boy caught
up in dreams and fantasies...” Dengan penuh penghayatan Cakka menyanyikan
lagu terakhirnya bersama Ray, Lost Stars dari Adam Levine. Kedua tangannya
memegang stand mic untuk menyeimbangkan suaranya. Kedua matanya ia pejamkan,
mengingat semua hal yang telah membawanya sampai ke panggung ini. Dia memang
hanyalah seorang laki-laki yang bermimpi agar semuanya kembali. Berharap bahwa
mimpi buruknya tak akan terjadi, kapanpun itu.
“Please see me reaching out for
someone I can't see....” Ray menyusul di kalimat kedua, mewakilkan
perasaannya yang merindukan sosok Bunda yang sudah tak bisa ia lihat lagi. Ia
bernyanyi sambil memetik gitarnya dengan penuh penghayatan. Walaupun suaranya
tidak sebagus Cakka, tapi intonasi dan penghayatan yang ditunjukkannya sudah
cukup bisa membuat penonton antusias.
Selama mereka bernyanyi, sebagian besar penonton yang ada di ruang aula itu
ada yang ikut bernyanyi, dari angkatan Cakka dan Ray maupun angkatan atas dan
bawah. Sebagian lainnya ada yang sibuk terharu sendiri, ada juga yang bertepuk
tangan mengikuti irama. Suasana sangat heboh seiring mereka bernyanyi, apalagi
ketika mereka sudah sampai di bagian reff. Seluruh penonton langsung ikut
bernyanyi karena diajak Cakka berpatisipasi dalam lagu mereka.
“God, tell us the reason youth is
wasted on the young… It's hunting season and the lambs are on the run,
searching for meaning… But are we all lost stars, trying to light up the dark?”
Ya. Mungkin mereka hanya bintang yang tersesat. Mereka telah menyia-nyiakan
waktu masa muda mereka dengan hal-hal yang tak penting. Namun, untuk kembali
bersinar dan hidup bahagia itu juga tidak mudah. Cakka, yang notabene sudah
terlalu banyak melakukan kesalahan kepada semua orang yang ada di sekitarnya,
tentu saja sudah dicap buruk oleh banyak orang. Akan susah untuk menepiskan
anggapan itu.
Ray juga, yang telah menghabiskan waktunya bertengkar dengan Acha, juga
menyesali kepergian Bunda beberapa tahun yang lalu. Ibaratnya jika
teman-temannya yang lain sudah sampai di tempat tujuan, ia justru masih
terhalang macet di masa mudanya karena terlalu banyak khawatir. Seharusnya ia
tahu, cepat atau lambat, semuanya akan berakhir. Buktinya, sekarang Acha telah
kembali baik padanya. Bahkan sekarang ia ada di antara penonton melihatnya
dengan bangga.
“Who are we? Just a speck of dust
within the galaxy… woe is me, if we're not careful turns into reality… don't
you dare let our best memories bring you sorrow. Yesterday I saw a lion kiss a
deer…turn the page maybe we'll find a brand new ending, where we're dancing in
our tears…”
Lagu terus bergulir. Cakka dan Ray sibuk membagi suara di bait kedua,
membuat suasana penonton semakin heboh. Hingga pada akhirnya mereka telah
selesai menyanyikan lagu tersebut. Di antara penonton yang masih
berteriak-teriak, Cakka langsung angkat bicara.
“Terima kasih karena telah mendengarkan lagu kami,” kata Cakka. “Gue harap
lagu-lagu yang kita lantunkan barusan dapat membawa manfaat kepada kalian
semua.”
“Mungkin bagi kalian lagu Lost Stars hanya berkaitan dengan kehidupan
dengan pasangan. Namun, bagi kami, lagu itu sudah menyiratkan kisah hidup kami
berdua dengan orang tua kami.” Ray menambahkan.
“Gue harap lo semua jangan ada yang mencontoh gue yang selalu
menyia-nyiakan waktu untuk menjauhkan orang tua, teman-teman, saudara, semuanya
dari gue dengan sikap buruk gue. Padahal, tanpa sadari, gue butuh semua itu,”
kata Cakka lagi. “Lo mungkin bisa bilang keluarga lo nyebelin, tapi lo nggak
akan bisa bilang kalau lo akan baik-baik aja tanpa mereka. Gue tuh… cuma
bintang yang hilang. Sampai sekarang, gue masih mencari jalan untuk kembali ke
jalan yang benar.”
“Duh, kok jadi mellow begini suasananya?” tiba-tiba Ray menyahut. “Udahlah,
nggak usah dibahas. Kita di sini kan buat seneng-seneng. Jadi, mendingan gue
langsung panggilin aja pengisi acara selanjutnya.”
“Mungkin di antara kalian yang sudah alumni, ada yang kenal dengan orang
ini. Dia itu pinter banget main musik dan suaranya juga lumayan. Setelah sekian
lama dia ninggalin SMA MIFI, hari ini dia hadir sebagai pengisi acara bersama
Cakka,” kata Ray misterius, sukses mengundang raut wajah penasaran dari
penonton. “Mari kita sambut… kakak sulung dari Cakka, ELLOSE ANGGA KARAYNE!”
Sebagian penonton langsung berteriak mendengar nama Elang dipanggil. Tentu
saja, di antara sekian banyak penonton, teman-teman Elang di SMA MIFI dulu ada
beberapa yang datang untuk menontonnya. Ada juga adik kelas yang mungkin
mengenalnya langsung senang mendengar namanya.
Elang muncul dengan gitar yang sudah tergantung di pundaknya. Ia tersenyum
kepada penonton dan menerima mikrofon yang diberikan Ray. Sementara Ray kembali
ke belakang panggung, Elang langsung duduk di tempat Ray dan berbicara. “Hai
semua! Seperti yang kalian dengar tadi, gue adalah Ellose Angga Karayne.
Mungkin sebagian besar dari kalian nggak mengenal gue, karena udah empat tahun
yang lalu gue lulus dari SMA MIFI. Dan ya, gue adalah kakak sulung Cakka yang
ganteng luar biasa.”
Suara riuh penonton langsung menguasai ruang aula begitu mendengar
pernyataan Elang. Semuanya bersorak mendengar Elang kepedean. Namun, Elang
hanya tertawa menatap semuanya yang ada di sana.
“Oke, langsung aja. Sebenarnya gue nggak ada rencana ke sini, tapi karena
adik gue tercinta ini katanya butuh bantuan buat tampil, akhirnya gue berbaik
hati untuk nolong dia. Hitung-hitung, nostalgia, udah lama banget nggak
sepanggung sama adik gue. Nanti pas kita tampil, jangan ada yang terpesona ya!”
kata Elang bercanda, sukses membuat ruang aula kembali heboh.
“Halah, banyak bawel lo, Kak! Udah, nggak usah didengerin, guys. Kakak gue yang satu ini memang
rada stres. Maklum keseringan belajar,” kata Cakka. “Omong-omong, sebelum kita
nyanyi, gue pengen cerita dulu sedikit. Lagu yang akan gue nyanyikan habis ini,
mungkin bisa dibilang ungkapan maaf gue kepada semua orang yang udah sakit hati
sama gue. Yang udah nganggep gue nyebelin, sombong dan sebagainya. Gue tahu gue
udah lama banget jahat sama lo semua. Apalagi Ray, Rio, Deva yang dari dulu
nggak jera-jera sama gue. Harusnya gue jujur sama lo semua kalau gue nggak suka
dikepoin, gue juga nggak suka dikecewain. Itu doang sebenernya. Jadi, gue
harap… lo semua mau maafin gue.”
Semua penonton terdiam mendengar ucapan Cakka.
“Termasuk kakak gue,” kata Cakka sambil menoleh ke arah Elang. “Tadi waktu
bareng Ray, mungkin gue cuma bintang yang tersesat. Tapi, gue tahu, dengan
adanya lo di sini, gue akan bisa kembali dengan selamat. Karena lo… ternyata lo
adalah salah satu orang paling berharga yang bisa-bisanya gue lupakan selama
ini.”
Elang tersenyum. “Oke, tanpa banyak basa basi lagi, selamat menikmati!”
Elang mulai memetik gitarnya pelan, menciptakan musik slow yang lembut. Di sudut panggung, Anka juga sudah siap untuk
membantu Cakka dan Elang melantunkan lagu mereka dengan pianonya. Setelah intro
lagu ia selesaikan, Cakka langsung pelan-pelan masuk dengan suara merdunya,
mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya.
Kali ini lagu yang dinyanyikannya benar-benar membuat perasaannya
bergejolak. Semua sikap buruk yang pernah ditunjukkannya terputar kembali di
pikirannya, membuat rasa bersalahnya bertambah dalam. Matanya sampai
berkaca-kaca menyanyikan lagu itu hingga reff habis. Saat bait kedua dimulai,
ia memejamkan matanya kembali, berusaha fokus dengan lagu yang dilantunkannya.
“Hati kecil berbisik untuk kembali
padanya, s'ribu kata menggoda, s'ribu sesal di depan mata, seperti
menjelma saat aku tertawa... kala memberimu dosa…”
Cakka membuka matanya kembali, menatap semua penonton yang tampak sibuk
menatapnya sambil tersenyum. Di antaranya ada Biru, kakak perempuannya yang
sering ia katakan sebagai kakak yang menyebalkan, juga ada Bunda dan Ayah di
sebelahnya, yang selalu ia marahi tanpa sebab. Di sisi lain juga ada Rio dan
Deva, yang mengacungkan kepala tangan mereka, menyemangatinya untuk tampil
maksimal. Ia benar-benar sudah bersalah kepada mereka.
“Ooo...maafkanlah, Ooo...maafkanlah... rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi, haruskah
aku lari dari kenyataan ini... pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap
mengikuti...”
J L J
Pensi sekolah hari ini benar-benar sukses dimeriahkan oleh Cakka dan
teman-temannya. Setelah tampil dengan MIFI Band, Ray juga Elang, akhirnya ia
bisa mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada semua orang. Teman-temannya
langsung mengerubunginya di belakang panggung setelah pensi berakhir.
Elang, Biru, Ray, Rio, Deva dan teman-teman MIFI Band tersenyum melihat
Cakka berada di antara teman-teman SMA MIFI yang selama ini sempat menjauhinya
atau mungkin takut karena sikap dan emosi Cakka yang buruk. Mereka bersyukur
karena anak-anak sekolah MIFI mau memaafkannya dan mengulang semuanya dari
awal. Cakka berhasil menyampaikan pesannya, bahwa di balik sikapnya yang buruk,
masih ada sedikit tempat yang membuatnya menjadi orang baik. Ya, tak selamanya
Cakka jahat kepada semua orang. Diri Cakka yang asli sebenarnya baik. Ia hanya
tak suka dikecewakan oleh siapapun. Itu saja. That’s the real him. Tapi, memang, ia harus mengubah sikapnya agar
orang banyak tak menganggapnya buruk. Dan Cakka akan lakukan itu.
Pada akhirnya, semuanya berakhir dengan manis. Berita baiknya adalah Ibu
Ira dan guru-guru yang mengajarnya, batal mengeluarkan Cakka dari sekolah. Ia
akan tetap sekolah di SMA MIFI.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p