Minggu, 15 Februari 2015

Cerbung | The Real Him Part 11 [ending]


Pensi tinggal beberapa hari lagi. Hari ini adalah latihan terakhir yang akan dilakukan MIFI Band di sekolah. Untuk penampilan duet, solo dan lain-lainnya, tergantung masing-masing dari mereka. Masih mau latihan atau tidak. Yang jelas, jeda hari besok dipakai mereka untuk istirahat agar saat pensi nanti, mereka bisa menampilkan yang terbaik untuk para pengunjung yang datang.
Cakka sendiri sebenarnya merasa waktu latihannya masih kurang. Rencana kolaborasinya dengan Ray masih belum mantap. Kalau ia tidak latihan lagi, entah apa yang akan terjadi dengan hari pensi nanti. Karena itulah hari ini ia main ke rumah Ray setelah selesai latihan di sekolah.

Pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di rumah Ray membuatnya menyadari bahwa ternyata kehidupan teman sebangkunya itu benar-benar tak nyaman. Rumahnya sepi sekali. Berbeda dengan rumah Cakka yang selalu diramaikan dengan kakak-kakaknya yang cerewet, Bundanya yang perhatian dengannya. Bahkan kehadiran Acha di rumah juga tak membuat suasana rumah Ray menjadi lebih baik.
“Ini Acha, adik gue yang waktu itu gue ceritain,” kata Ray ketika ia tak sengaja melihat batang hidung adiknya muncul di dapur ketika ia sedang mengambilkan Cakka minuman.
Cakka tersenyum kepada Acha. “Hai. Gue Cakka.”
“Hai, Kak.” jawab Acha tersenyum balik, kemudian langsung sibuk sendiri menjelajahi kulkas. “Aduh, nggak ada soft drink ya? Acha haus, Kak Ray.”
Kini Cakka bisa melihat bagaimana wujud adik Ray yang selama ini mengabaikan Ray hingga teman sebangkunya itu marah ketika mengetahui Cakka tidak menghargai keluarganya sendiri. Badannya terlihat sangat kurus. Memang terlihat seperti orang yang mengalami frustasi. Ternyata, mereka sudah baikan? Baguslah kalau begitu.
“Jangan minum minuman soda terus, Acha. Nggak baik buat kesehatan. Ambil air putih aja sana.” kata Ray sambil tersenyum.
“Yah, Kak Ray, air putih nggak mempan hilangin hausnya,” kata Acha sambil merengut.
Ray tertawa. Ia memberikan segelas air kepada Cakka, kemudian berjalan menghampiri adiknya. Sambil membelai rambutnya, Ray berkata, “Acha, air putih itu bagus buat kesehatan. Kamu nggak mau kan sakit kayak waktu itu lagi? Makanya, jangan makan minum sembarangan. Apalagi kalau perut kamu masih kosong.”
“Oh iya sih, Kak, Acha belum makan nih dari tadi.” kata Acha nyengir.
“Ya udah, sana makan dulu. Kak Ray latihan dulu sama Kak Cakka. Nanti kalau Acha butuh apa-apa, kamu ke kamar Kakak aja, oke?” kata Ray.
“Iya deh.” kata Acha sambil tersenyum.
Cakka diam saja mendengarkan mereka mengobrol sendiri. Dari cara Ray memandang adiknya, ia sudah bisa mengetahui bahwa Ray sangat menyayangi adiknya tersebut. Dan entah kenapa, Cakka menjadi teringat dengan kedua kakaknya di rumah. Dia, Biru dan Elang tak pernah terlihat seakrab itu.
“Kka?” tiba-tiba Ray membuyarkan lamunannya.
“Hah?”
Ray tersenyum. “Lo kenapa? Melamun aja.”
Cakka menggeleng. Ia tersenyum. “Lo akrab ya sama adik lo.”
Ray tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Cakka pelan. “Gue cuma menjalankan apa yang harus gue jalankan sebagai kakaknya. Lo juga bisa kok akrab sama kakak-kakak lo. Asal lo berusaha mengerti perhatian mereka.”
Cakka menghela nafasnya. “Lo kan tahu gue susah baik-baik kalau terlalu dikepoin.”
“Itu yang harus lo pelajari, Kka. Coba lo sekali-kali tanya dulu apa maksud mereka waktu mereka kepo sama lo, lo pasti akan mengerti,” kata Ray. “Udahlah, yuk ke kamar gue. Kita harus latihan. Dari kemarin latihan perasaan baru jadi Lost Stars doang.”
Cakka mengangguk. “Ya udah, ayo.”
Mereka berdua langsung masuk ke dalam kamar untuk latihan. Berjam-jam mereka mengulang-ulang lagu yang akan mereka mainkan di pensi nanti, diselingi dengan istirahat beberapa kali karena Acha giat membawakan mereka camilan. Setelah selesai latihan, Cakka langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur Ray. Sementara Ray masih sibuk melahap sisa camilan yang dibawakan Acha.
“Gila, setelah sekian lama, akhirnya mantap juga latihan kita.” kata Cakka.
“Ya, practice makes perfect, kan?” kata Ray sambil tersenyum.
Cakka mengangguk. “Urusan gue sekarang tinggal kuisoner aja, kalau satu lembar itu udah terisi, pulang-pulang gue bisa langsung tidur. Capek gue hari ini.”
“Tapi, itu buat umum, kan? Siapa aja boleh ngisi?”
“Iya. Kenapa?”
“Berarti Acha boleh ngisi dong?”
Cakka langsung bangkit dari tidurnya begitu mendengar ucapan Ray. “Boleh?”
Ray mengangguk. “Kalau dia nggak keberatan, boleh aja.”
Cakka tersenyum.

J L J

TOK... TOK... TOK..
“Kak, lo lagi sibuk ya?” tanya Cakka dari depan pintu kamar Elang.
“Iya nih, biasa tugas akhir. Kenapa?” tanya Elang tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. “Kalau ada keperluan, entar aja, Kka. Gue mau nyelesain ini dulu.”
“Oh, begitu? Ya udah, kalau begitu, gue nggak mau ganggu lo. Gue cuma mau kasih kertas-kertas ini sama lo.” kata Cakka. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar kakaknya dan menaruh tumpukan kertas yang sedari tadi ada di tangannya di atas meja kakaknya. Kemudian, ia langsung buru-buru meninggalkan kakaknya sendirian.
Elang yang sibuk dengan komputer hanya diam saja sampai Cakka keluar. Begitu urusannya selesai dengan komputer, barulah ia melihat tumpukan kertas yang diberikan Cakka tadi. Ah, ternyata kuisoner miliknya. Ia nyengir melihat kertas-kertas kuisoner yang dibawa kabur adiknya tempo hari sekarang telah terisi penuh. Ternyata benar kata Ayah, Cakka hanya ingin membantunya.
Elang langsung mengerjakan tugas makalahnya itu dengan penuh semangat. Hanya dengan waktu setengah jam, ia sudah bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Data-data yang ia dapatkan sudah ia masukkan dengan rapi. Setelah itu, ia langsung beranjak dari kursinya dan keluar kamar.
Saat itu sudah jam sepuluh malam. Elang berjalan menuju kamar adiknya dan pelan-pelan membuka pintunya secara hati-hati. Kalau menurut dugaannya, adik bungsunya itu pasti sudah tidur kalau sudah jam segini. Makanya, ia tak mau mengganggu tidurnya.
Elang tersenyum ketika mendapati adik bungsunya tersebut sudah ngorok di tempat tidurnya dengan selimut yang sudah berantakan. Ia belai rambut adiknya sejenak kemudian menggelengkan kepalanya. “Ternyata, di balik lo yang cuek, lo juga punya sifat yang baik. Makasih ya, Kka. Tugas gue udah selesai.”

J L J

Pagi itu, setelah sarapan pagi dan mandi, Acha sendirian saja di kamar karena Ray sedang sibuk mempersiapkan diri di ruangan latihan dramnya. Kakak semata wayangnya itu tampak sangat bersemangat untuk pensi sekolahnya hingga sejak pagi tadi dia sudah giat berlatih dengan gitar dan dramnya. Katanya sih, sekalian menghabiskan waktu agar bisa cepat sore. Memang ada-ada saja kakaknya itu.
Sesekali Acha membalikkan posisi badannya di tempat tidur. Ia bosan tak mengerjakan apa-apa dari tadi. Kalau kakaknya sibuk sampai sore, ia tak akan punya teman bicara seharian karena Ayah Ryan tiba-tiba harus meeting hingga sore juga. Mau mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Ray juga percuma, ia tak ingin mengganggu waktu latihan kakaknya. Kalau aja Bunda masih hidup, mungkin Acha tak akan kesepian begini.
Ngomong-ngomong soal Bunda, rasanya sudah lama sekali Acha tidak menjenguknya. Kesibukannya membenci Ray dari dulu membuatnya melupakan bahwa masih ada rumah Bunda yang harus ia kunjungi. Belum lagi tugas-tugas dan ujian sekolah yang tak pernah ada habisnya. Untung libur masih panjang.
Acha menghela nafasnya. Ia beranjak dari tempat tidur dan segera berjalan ke ruang latihan kakaknya. Kakinya melangkah masuk pelan-pelan agar tidak mengganggu kakaknya yang sedang sibuk latihan dram, kemudian duduk di kursi yang ada di sana sambil menunggu kakaknya selesai menggebuk dram.
Diam-diam Acha tersenyum melihat Ray yang begitu bersemangat bermain alat musik pukul itu. Setidaknya, dengan menyesali perbuatannya selama ini, Acha bisa mengusir wajah lesu kakaknya yang selalu Ray tampilkan setiap kali Acha membentaknya. Harusnya Acha sadar dari dulu, bahwa senyum Ray yang ditunjukkannya sekarang adalah salah satu hal yang wajib ia jaga selama hidupnya. Dia kakak satu-satunya yang Acha punya, harusnya Acha menyayanginya seperti dia menyayangi Acha.
“Loh, Acha?” kata Ray ketika ia sudah selesai bermain dramnya. Ia baru sadar kalau adiknya sedari tadi sudah duduk di sana.
Acha tersenyum. “Acha ganggu ya, Kak Ray?”
Ray menggeleng sambil tersenyum. “Nggak kok, ada apa?”
Acha beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri kakaknya yang masih duduk di belakang dram. “Hmm... Pensi sekolah nanti jam berapa?”
“Oh, jam lima. Mungkin jam setengah empat Kak Ray akan berangkat, soalnya mau latihan bareng temen-temen juga. Memangnya kenapa?”
“Acha rindu sama Bunda, Kak,” kata Acha. “Jenguk Bunda dulu yuk sebelum pensi?”
Ray tersenyum mendengar ucapan Acha, kemudian mengangguk mantap. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung merangkul adiknya keluar. Dengan membawa motor, mereka segera melesat meninggalkan rumah.

J L J

Begitu sampai di makam Bunda, Ray membiarkan Acha berbicara dengan Bunda. Ia berdiri di belakang adiknya. Sesekali Ray juga mengusap matanya pelan agar ia tak menangis. Kata-kata Acha membuat perasaannya bergejolak.
“Maafkan Acha, Bunda,” kata Acha di hadapan makam Bunda. “Bunda pasti kecewa sama Acha, karena selama ini Acha udah jadi anak yang nggak baik. Padahal, dulu Bunda selalu berpesan sama Acha supaya nurut sama Ayah, sama Kak Ray juga. Tapi, Acha udah lama ngelanggar pesan Bunda itu.”
Ray menatap Acha diam mendengar ucapan itu. Ia jadi ingat kembali dengan hari pemakaman Bunda beberapa tahun silam. Acha menangis sekeras-kerasnya di sana, bahkan menolak untuk membaca surat yang ditinggal Bunda untuknya. Tapi, dengan bujukan Ayah, akhirnya ia mau baca juga. Di situlah tertulis pesan Bunda bahwa Acha tidak boleh nakal. Apalagi dengan Ayah dan Ray. Bukan hanya untuk Acha, Ray dan Ayah juga mendapatkan pesan terakhir dari Bunda untuk selalu saling menjaga. Ray masih menyimpan surat itu sampai sekarang.
“Bun, Bunda tahu kan, Acha udah berusaha untuk minta maaf sama Kak Ray? Makanya, hari ini Acha bisa dateng lihat Bunda sama Kak Ray. Bunda seneng, kan?” kata Acha sambil tersenyum. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. “Udah cukup Acha buat Bunda kecewa. Semoga dengan melihat Acha sama Kak Ray baikan, Bunda jadi tersenyum bahagia ya di sana. Acha dan Kak Ray selalu mendoakan yang terbaik untuk Bunda.”
Ray tersenyum. Ia berjalan dan ikut berjongkok di sebelah adiknya. Kemudian, ia langsung merangkul Acha. “Bunda pasti senang di atas sana, Cha. Dia pasti bangga sama kamu.”
Acha tersenyum menatap kakaknya. “Terima kasih, Kak Ray.”
Ray menggeleng. “Kak Ray yang harusnya makasih sama kamu.”
Acha mengerutkan dahinya tak mengerti. “Maksudnya?”
“Bagaimanapun juga, kamu pasti menganggap Kak Ray adalah penyebab kepergian Bunda. Kak Ray makasih banget karena kamu udah bersedia maafin Kak Ray,” kata Ray sambil tersenyum. Namun, setelah itu ia nyengir. “Lagipula, kalau Acha nggak ngambek sama Kak Ray, mungkin Kak Ray nggak akan bisa baikan sama Kak Cakka.”
“Kak Cakka?” tanya Acha heran.
Ray mengangguk.
“Memangnya Kak Ray berantem sama Kak Cakka?”
Ray tertawa kecil, ia tepuk kepala Acha pelan. “Kepo deh kamu. Ya, apapun masalahnya, Kak Ray makasih banget sama kamu, Cha. Kakak bisa bersahabat baik dengan Kak Cakka, karena kamu.”
Acha tersenyum. “Aku nggak terlalu ngerti maksudnya, tapi... sama-sama, Kak.”
Ray mengacak-acak rambut Acha gemas sejenak, kemudian menatap ‘rumah’ Bundanya. “Bunda, Ray seneng banget sekarang bisa baikan sama Acha. Makasih ya. Bunda pasti selalu doain Ray makanya Ray kuat sampai hari ini. Pokoknya, Ray sayang banget sama Bunda.”
“Iya, makasih banget ya, Bunda. Acha juga sayang sama Bunda.” Acha menambahkan.
“Maafin Ray juga karena Ray udah buat Bunda pergi secepat ini,” kata Ray sambil tersenyum samar. “Nanti sore, Ray akan tampil di pensi sekolah, Bunda. Ray harap Bunda mau mendoakan Ray sekali lagi supaya semuanya lancar.”
“Amin!” kata Acha dengan semangat.
Ray tersenyum. “Udah yuk, Cha, pulang. Sebentar lagi jam makan siang.”
Acha langsung bangkit, diikuti kakaknya. Kemudian, Acha mengangguk cepat. “Mau beli makan dulu, Kak Ray?”
“Ngapain?” tanya Ray. “Kak Ray kan bisa masak buat kamu.”
Acha langsung loncat-loncat girang. Tangannya mengguncang lengan Ray pelan. “Yeee... udah lama banget Kak Ray nggak masak, masakin makanan kesukaan Acha ya, Kak! Boleh ya, Kak?”
Ray tertawa. Ia merangkul adiknya tersebut dan menarik kepalanya masuk ke dalam dekapannya sejenak agar ia bisa mengacak rambutnya gemas. Sifat lama Acha sudah kembali lagi. Frustasi yang dialaminya sekarang sudah hilang, diganti dengan keceriaan dan kemanjaan yang sejak kecil ia miliki.
J L J

Jam sudah hampir menunjukkan jam dua belas siang. Seperti para ibu lainnya, Bunda sudah sibuk dari tadi di dapur, menyiapkan banyak makanan untuk makan siang keluarga. Selain itu, Elang sedang membaca koran di ruang makan. Ayah dan Biru juga sedang sibuk di kamar masing-masing. Berbeda dengan si bungsu yang tampak masih terlelap di tempat tidurnya. Ia memang berencana untuk tidur hingga sore nanti agar dapat tampil maksimal. Tapi, sayang, rencananya tersebut gagal karena tiba-tiba hidung mencium bau aroma sedap dari luar kamar.
Cakka bergerak-gerak di tempat tidurnya dan langsung bangkit dari tidurnya beberapa saat kemudian. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak dan mengerutkan dahinya ketika mendapati pintu kamarnya terbuka. Pantas saja aroma masakan Bunda bisa sampai ke hidungnya. Haduh, siapa sih yang membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu?
Cakka beranjak dari tempat tidurnya dan segera menghampiri keluarganya yang ia kira sedang berkumpul di ruang makan. Tapi, ternyata ia hanya menemukan kakak sulungnya saja di sana. Ia langsung mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Kak,” sapa Cakka singkat.
Elang yang sedang membaca koran langsung menoleh ke arahnya. “Hei, Kka.”
“Yang lain pada kemana? Kok nggak sarapan bareng?”
Elang terdiam sejenak. Ia meletakkan korannya di meja dan menatap Cakka sambil menghela nafas. “Makanya, jadi orang jangan kebo banget. Lo nggak lihat jam? Udah hampir jam dua belas begini lo masih nanya sarapan?”
Cakka langsung nyengir.
“Lagian lo libur-libur begini, bukannya latihan, malah tidur seharian. Bagaimana nasib pensi lo entar sore?” tanya Elang. “Mendingan lo cepetan mandi, makan siang, terus langsung latihan.”
“Iya iya, bawel.”
“Eh, Cakka udah bangun?” tiba-tiba Bunda datang dari dapur sambil membawa sepiring penuh dengan ayam goreng. Cakka yang melihatnya tentu saja langsung tersenyum lebar. Dengan cepat ia langsung kabur ke dapur. Elang yang melihatnya sampai menggelengkan kepalanya.
“Lah, mau kemana dia?” tanya Bunda sambil meletakkan piringnya di atas meja.
“Paling mau ambil makan, Bun. Bunda tahu sendiri dia dari dulu paling cepet sama makanan favorit,” kata Elang sambil tersenyum. Ia menghela nafasnya pendek. “Udah lama banget nggak lihat dia ceria kayak begitu.”
Bunda tersenyum. “Makanya, jangan berpikiran negatif terus sama adikmu.”
Elang nyengir. “Iya, maaf, Bunda. Nggak lagi-lagi deh.”
Tak lama kemudian, Cakka kembali ke ruang makan dan segera melahap beberapa potong ayam beserta nasi yang sudah ia ambil dengan porsi yang cukup besar. Elang dan Bunda hanya tersenyum-senyum melihat tingkah Cakka itu. Kemudian, suasana ruang makan langsung dipenuhi dengan perbincangan yang seru di antara mereka.

J L J

Setelah selesai makan sarapan merangkap makan siang tadi, Cakka langsung sibuk latihan di kamar. Kedua matanya sesekali menutup untuk menikmati nada-nada yang dihasilkan tangan-tangan lincahnya. Mulutnya komat-kamit menyandungkan lagu-lagu yang akan ia lantunkan bersama teman-temannya nanti. Kaki kanannya dihentak-hentak mengikuti irama. Kalau sudah begini, Cakka tidak akan bisa diganggu oleh siapapun.
Drrt... Drrt...
Cakka melirik sejenak ke arah hapenya yang asyik berkedap-kedip di atas meja, namun setelah itu ia kembali sibuk dengan gitarnya. Ia mainkan lagu sampai ia benar-benar selesai tanpa perduli hapenya terus bergetar. Sampai akhirnya ia muak sendiri mendengar getaran-getaran kecil itu.
“Ah, siapa sih,” keluhnya sambil menaruh gitarnya di tempat tidur, kemudian langsung mengambil hapenya. Ia melihat sekilas nama yang tertera di layar, setelah itu langsung mengangkatnya. “Halo?”
Kka, where have you been?! Telepon berapa kali baru diangkat!” omel si penelepon.
Cakka mendengus malas mendengar suara di seberang. Hanya ada satu orang yang ribet dan sok-sok pakai bahasa campuran seperti itu. “Yaelah, santai kali, bule kepo. Ada apa sih? Ganggu gue aja.”
Gue baru dapet info dari Dayat, Kiki batal tampil! Nggak bisa dateng dia ke pensi! So, can I ask you a favor? Lo tampil ya gantiin dia?”
“What?! Yah, kok mendadak sih? Gue harus nampilin apa?” tanya Cakka kaget.
“Anything! Apa aja yang lo bisa! Kalau lo bisa spontan lebih bagus lagi!
Cakka memegang kepalanya pusing. Lagu-lagu yang sesuai rencana saja sudah membuatnya cukup lelah. Sekarang ia harus tambah satu lagi? Ah, benar-benar. Kenapa juga Kiki harus batal sih? Menyusahkan aja.
“Kka? Hello? Are you still there?” tanya Anka karena Cakka diam saja.
Cakka menghela nafasnya. “Ya udah, ya udah. Entar gue yang pikirin. Udah ah, gue mau latihan. Lo jangan ganggu gue lagi.”
Oke! Thanks ya, Kka! Pokoknya apa aja deh yang bisa isi penampilan terakhir! Kan sayang kalau pensi kita kosong pas udah mau puncak. Pensi kita harus spectacular! See you later!” Tanpa menunggu jawaban, Anka langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Cakka menaruh kembali hapenya di atas meja. Ia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan mengusap wajahnya. Entah harus apa lagi yang harus ia tampilkan. Duet dengan Ray dan MIFI Band saja sudah cukup banyak. Kalau ia harus tambah satu lagi, bisa-bisa ia tepar nanti malam. Lagipula, dia harus menampilkan apa lagi?
Sedang asyik-asyiknya berpikir, tiba-tiba Elang muncul dari balik pintu kamarnya. Cakka sampai kaget ketika mendengar suara ketukan pintu, entah sejak kapan dia ada di sana.
Elang hanya nyengir melihat adiknya. “Nggak sengaja denger. Butuh bantuanku?”
Cakka terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil.

J L J

“Cakka! Wah, apa kabar lo?” Rio langsung menyambut Cakka begitu laki-laki cuek itu sudah sampai di belakang panggung dengan Biru.
“Rio! Deva!” Cakka langsung menyambut tangan Rio dan menyalaminya ala laki-laki. Disusul dengan Deva yang berdiri di samping Rio. Sudah lama sekali Cakka tidak bertemu dengan dua temannya itu. “Kenapa kalian bisa di sini? Memangnya pengisi acara juga?”
“Bisa lah, sengaja nih nungguin lo di sini,” kata Deva sambil tersenyum. “Denger-denger lo bakalan tampil bareng Ray ya? Cieee... Kayaknya ada yang udah baikan nih. Ditunggu ya penampilannya.”
Cakka tersenyum mendengarnya. “Lo cukup doain gue, ketua kelas.”
“Pasti, cowok cuek,” kata Deva sambil tertawa. “Maafin gue soal di kantin waktu itu ya. Gue udah terlalu keras sama lo. Gue cuma emosi aja.”
“Harusnya gue yang minta maaf. Kan gue yang mulai waktu itu. Sama Rio juga, harusnya gue nggak ngerjain lo berdua,” kata Cakka. “Gue cuma nggak tahu harus berbuat apa. Gue nggak suka dikecewain, sekalinya kepercayaan gue hilang, gue bisa selamanya benci siapapun.”
“Udahlah, nggak usah curcol deh,” kata Rio sambil menjitak pelipis Cakka, sukses membuat si pemilik pelipis itu mendengus pelan. “Eh, udah lama nggak ketemu begini, lo udah bawa cewek aja? Kenalin dong.”
“Oh iya, ini siapa, Kka? Kayaknya gue nggak pernah lihat.” Deva ikut bicara.
Cakka melirik Biru yang dari tadi ternyata hanya tersenyum-senyum melihat Cakka dan kedua temannya. Kemudian, tersenyum menatap kedua temannya. “Lo pada kuper banget nggak tahu kakak gue. Ini Biru Putri Karayne, satu tingkat di atas kita.”
“Hah?” kata Deva kaget. Kemudian, tersenyum ke arah Biru. “Eh, maaf, Kak, gue nggak tahu. Cakka nggak pernah cerita sih. Gue Deva. Salam kenal, Kak Biru.”
“Gue Rio, Kak.” Rio ikut memperkenalkan diri. “Gila, nggak nyangka ternyata lo punya kakak, Kka. Setidaknya masih ada yang lebih menderita daripada kita, iya nggak, Va?”
“Bener, Yo. Kita yang ketemu di sekolah doang aja capek hati, apalagi yang ketemu tiap hari ya?” kata Deva sambil melirik Cakka. Yang dilirik hanya mendengus kesal mendengarnya.
Biru tertawa. “Tenang aja, guys, gue nggak semenderita apa yang lo berdua pikirin. Udah kebal kali tiap hari direcokin sama adik gue tersayang ini. Untung aja sekarang udah berubah.”
“Kita harus makasih banget sama Ray, nih, Yo.” kata Deva.
Cakka memutar bola matanya malas. “Ah, udahlah, lo pada bawel banget sih! Temen-temen MIFI Band udah pada dateng belum? Gue ada perlu sama mereka.”
“Hei, Cakka!” belum sempat menjawab, tiba-tiba Anka sudah menghampiri mereka. Ia langsung menyalami Cakka sejenak dan tersenyum ke arah yang lain. “Kka, everything good? Udah siap semua, kan?”
Cakka mengangguk mantap. “Tenang aja, bule kepo. Semuanya aman. Para alumni MIFI pada dateng kan? Gue juga ngajak alumni tuh buat ikut tampil bareng gue nanti. Lagi markir dia. Yang penting, lo pada udah siap, kan?”
“Tentu!” kata Anka sambil mengacungkan jempol.
“Oke, lo pada siap-siap aja! Ray mana?”
“Di sana, lagi sibuk latihan sama gitar sendirian, samperin tuh!” kata Anka sambil menunjuk ke satu arah. Di sana tampak Ray sedang mojok sendiri dengan gitarnya. Ia sudah tampak rapi dengan kostum tampilnya.
Cakka tersenyum, kemudian langsung pamit kepada Rio, Deva dan kakaknya. Kemudian, ia berjalan menghampiri Ray. Seraya duduk di sebelahnya, ia langsung menyapa. “Hei.”
Ray menoleh. Ia tersenyum. “Hai.”
“Belum cukup latihan?”
Ray menggeleng. “Mengisi waktu luang aja. Eh, katanya lo tambah satu lagu ya?”
Cakka mengangguk. “Nanti habis penampilan kita langsung lanjut. Entar lo yang panggilin dia ya? Gue tetep di panggung sampai closing.”
“Gampang,” kata Ray mengacungkan jempol, disusul dengan suara pembawa acara yang menggema sampai ke belakang panggung. Ray menatap si pembawa acara dari cela kecil gorden. “Eh, udah mulai tuh pensinya.”
Cakka tersenyum. “Mau latihan terakhir?”
Ray tersenyum. “Tentu.”
Ray menghitung aba-aba, kemudian langsung memetik senarnya dengan apik, memulai lagu untuk latihan terakhir sebelum mereka harus naik ke panggung sekitar satu jam lagi. Cakka juga memulai nyanyiannya, mengikuti irama yang diciptakan Ray.

J L J

Please don't see, just a boy caught up in dreams and fantasies...” Dengan penuh penghayatan Cakka menyanyikan lagu terakhirnya bersama Ray, Lost Stars dari Adam Levine. Kedua tangannya memegang stand mic untuk menyeimbangkan suaranya. Kedua matanya ia pejamkan, mengingat semua hal yang telah membawanya sampai ke panggung ini. Dia memang hanyalah seorang laki-laki yang bermimpi agar semuanya kembali. Berharap bahwa mimpi buruknya tak akan terjadi, kapanpun itu.
Please see me reaching out for someone I can't see....” Ray menyusul di kalimat kedua, mewakilkan perasaannya yang merindukan sosok Bunda yang sudah tak bisa ia lihat lagi. Ia bernyanyi sambil memetik gitarnya dengan penuh penghayatan. Walaupun suaranya tidak sebagus Cakka, tapi intonasi dan penghayatan yang ditunjukkannya sudah cukup bisa membuat penonton antusias.
Selama mereka bernyanyi, sebagian besar penonton yang ada di ruang aula itu ada yang ikut bernyanyi, dari angkatan Cakka dan Ray maupun angkatan atas dan bawah. Sebagian lainnya ada yang sibuk terharu sendiri, ada juga yang bertepuk tangan mengikuti irama. Suasana sangat heboh seiring mereka bernyanyi, apalagi ketika mereka sudah sampai di bagian reff. Seluruh penonton langsung ikut bernyanyi karena diajak Cakka berpatisipasi dalam lagu mereka.
“God, tell us the reason youth is wasted on the young… It's hunting season and the lambs are on the run, searching for meaning… But are we all lost stars, trying to light up the dark?”
Ya. Mungkin mereka hanya bintang yang tersesat. Mereka telah menyia-nyiakan waktu masa muda mereka dengan hal-hal yang tak penting. Namun, untuk kembali bersinar dan hidup bahagia itu juga tidak mudah. Cakka, yang notabene sudah terlalu banyak melakukan kesalahan kepada semua orang yang ada di sekitarnya, tentu saja sudah dicap buruk oleh banyak orang. Akan susah untuk menepiskan anggapan itu.
Ray juga, yang telah menghabiskan waktunya bertengkar dengan Acha, juga menyesali kepergian Bunda beberapa tahun yang lalu. Ibaratnya jika teman-temannya yang lain sudah sampai di tempat tujuan, ia justru masih terhalang macet di masa mudanya karena terlalu banyak khawatir. Seharusnya ia tahu, cepat atau lambat, semuanya akan berakhir. Buktinya, sekarang Acha telah kembali baik padanya. Bahkan sekarang ia ada di antara penonton melihatnya dengan bangga.
“Who are we? Just a speck of dust within the galaxy… woe is me, if we're not careful turns into reality… don't you dare let our best memories bring you sorrow. Yesterday I saw a lion kiss a deer…turn the page maybe we'll find a brand new ending, where we're dancing in our tears…”
Lagu terus bergulir. Cakka dan Ray sibuk membagi suara di bait kedua, membuat suasana penonton semakin heboh. Hingga pada akhirnya mereka telah selesai menyanyikan lagu tersebut. Di antara penonton yang masih berteriak-teriak, Cakka langsung angkat bicara.
“Terima kasih karena telah mendengarkan lagu kami,” kata Cakka. “Gue harap lagu-lagu yang kita lantunkan barusan dapat membawa manfaat kepada kalian semua.”
“Mungkin bagi kalian lagu Lost Stars hanya berkaitan dengan kehidupan dengan pasangan. Namun, bagi kami, lagu itu sudah menyiratkan kisah hidup kami berdua dengan orang tua kami.” Ray menambahkan.
“Gue harap lo semua jangan ada yang mencontoh gue yang selalu menyia-nyiakan waktu untuk menjauhkan orang tua, teman-teman, saudara, semuanya dari gue dengan sikap buruk gue. Padahal, tanpa sadari, gue butuh semua itu,” kata Cakka lagi. “Lo mungkin bisa bilang keluarga lo nyebelin, tapi lo nggak akan bisa bilang kalau lo akan baik-baik aja tanpa mereka. Gue tuh… cuma bintang yang hilang. Sampai sekarang, gue masih mencari jalan untuk kembali ke jalan yang benar.”
“Duh, kok jadi mellow begini suasananya?” tiba-tiba Ray menyahut. “Udahlah, nggak usah dibahas. Kita di sini kan buat seneng-seneng. Jadi, mendingan gue langsung panggilin aja pengisi acara selanjutnya.”
“Mungkin di antara kalian yang sudah alumni, ada yang kenal dengan orang ini. Dia itu pinter banget main musik dan suaranya juga lumayan. Setelah sekian lama dia ninggalin SMA MIFI, hari ini dia hadir sebagai pengisi acara bersama Cakka,” kata Ray misterius, sukses mengundang raut wajah penasaran dari penonton. “Mari kita sambut… kakak sulung dari Cakka, ELLOSE ANGGA KARAYNE!”
Sebagian penonton langsung berteriak mendengar nama Elang dipanggil. Tentu saja, di antara sekian banyak penonton, teman-teman Elang di SMA MIFI dulu ada beberapa yang datang untuk menontonnya. Ada juga adik kelas yang mungkin mengenalnya langsung senang mendengar namanya.
Elang muncul dengan gitar yang sudah tergantung di pundaknya. Ia tersenyum kepada penonton dan menerima mikrofon yang diberikan Ray. Sementara Ray kembali ke belakang panggung, Elang langsung duduk di tempat Ray dan berbicara. “Hai semua! Seperti yang kalian dengar tadi, gue adalah Ellose Angga Karayne. Mungkin sebagian besar dari kalian nggak mengenal gue, karena udah empat tahun yang lalu gue lulus dari SMA MIFI. Dan ya, gue adalah kakak sulung Cakka yang ganteng luar biasa.”
Suara riuh penonton langsung menguasai ruang aula begitu mendengar pernyataan Elang. Semuanya bersorak mendengar Elang kepedean. Namun, Elang hanya tertawa menatap semuanya yang ada di sana.
“Oke, langsung aja. Sebenarnya gue nggak ada rencana ke sini, tapi karena adik gue tercinta ini katanya butuh bantuan buat tampil, akhirnya gue berbaik hati untuk nolong dia. Hitung-hitung, nostalgia, udah lama banget nggak sepanggung sama adik gue. Nanti pas kita tampil, jangan ada yang terpesona ya!” kata Elang bercanda, sukses membuat ruang aula kembali heboh.
“Halah, banyak bawel lo, Kak! Udah, nggak usah didengerin, guys. Kakak gue yang satu ini memang rada stres. Maklum keseringan belajar,” kata Cakka. “Omong-omong, sebelum kita nyanyi, gue pengen cerita dulu sedikit. Lagu yang akan gue nyanyikan habis ini, mungkin bisa dibilang ungkapan maaf gue kepada semua orang yang udah sakit hati sama gue. Yang udah nganggep gue nyebelin, sombong dan sebagainya. Gue tahu gue udah lama banget jahat sama lo semua. Apalagi Ray, Rio, Deva yang dari dulu nggak jera-jera sama gue. Harusnya gue jujur sama lo semua kalau gue nggak suka dikepoin, gue juga nggak suka dikecewain. Itu doang sebenernya. Jadi, gue harap… lo semua mau maafin gue.
Semua penonton terdiam mendengar ucapan Cakka.
“Termasuk kakak gue,” kata Cakka sambil menoleh ke arah Elang. “Tadi waktu bareng Ray, mungkin gue cuma bintang yang tersesat. Tapi, gue tahu, dengan adanya lo di sini, gue akan bisa kembali dengan selamat. Karena lo… ternyata lo adalah salah satu orang paling berharga yang bisa-bisanya gue lupakan selama ini.”
Elang tersenyum. “Oke, tanpa banyak basa basi lagi, selamat menikmati!”
Elang mulai memetik gitarnya pelan, menciptakan musik slow yang lembut. Di sudut panggung, Anka juga sudah siap untuk membantu Cakka dan Elang melantunkan lagu mereka dengan pianonya. Setelah intro lagu ia selesaikan, Cakka langsung pelan-pelan masuk dengan suara merdunya, mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya.
Kali ini lagu yang dinyanyikannya benar-benar membuat perasaannya bergejolak. Semua sikap buruk yang pernah ditunjukkannya terputar kembali di pikirannya, membuat rasa bersalahnya bertambah dalam. Matanya sampai berkaca-kaca menyanyikan lagu itu hingga reff habis. Saat bait kedua dimulai, ia memejamkan matanya kembali, berusaha fokus dengan lagu yang dilantunkannya.
“Hati kecil berbisik untuk kembali padanya, s'ribu kata menggoda, s'ribu sesal di depan mata, seperti menjelma saat aku tertawa... kala memberimu dosa…”
Cakka membuka matanya kembali, menatap semua penonton yang tampak sibuk menatapnya sambil tersenyum. Di antaranya ada Biru, kakak perempuannya yang sering ia katakan sebagai kakak yang menyebalkan, juga ada Bunda dan Ayah di sebelahnya, yang selalu ia marahi tanpa sebab. Di sisi lain juga ada Rio dan Deva, yang mengacungkan kepala tangan mereka, menyemangatinya untuk tampil maksimal. Ia benar-benar sudah bersalah kepada mereka.
“Ooo...maafkanlah, Ooo...maafkanlah... rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi, haruskah aku lari dari kenyataan ini... pernah kumencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti...”

J L J

Pensi sekolah hari ini benar-benar sukses dimeriahkan oleh Cakka dan teman-temannya. Setelah tampil dengan MIFI Band, Ray juga Elang, akhirnya ia bisa mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada semua orang. Teman-temannya langsung mengerubunginya di belakang panggung setelah pensi berakhir.
Elang, Biru, Ray, Rio, Deva dan teman-teman MIFI Band tersenyum melihat Cakka berada di antara teman-teman SMA MIFI yang selama ini sempat menjauhinya atau mungkin takut karena sikap dan emosi Cakka yang buruk. Mereka bersyukur karena anak-anak sekolah MIFI mau memaafkannya dan mengulang semuanya dari awal. Cakka berhasil menyampaikan pesannya, bahwa di balik sikapnya yang buruk, masih ada sedikit tempat yang membuatnya menjadi orang baik. Ya, tak selamanya Cakka jahat kepada semua orang. Diri Cakka yang asli sebenarnya baik. Ia hanya tak suka dikecewakan oleh siapapun. Itu saja. That’s the real him. Tapi, memang, ia harus mengubah sikapnya agar orang banyak tak menganggapnya buruk. Dan Cakka akan lakukan itu.
Pada akhirnya, semuanya berakhir dengan manis. Berita baiknya adalah Ibu Ira dan guru-guru yang mengajarnya, batal mengeluarkan Cakka dari sekolah. Ia akan tetap sekolah di SMA MIFI. 

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p