Sabtu, 31 Januari 2015

Cerbung | The Real Him Part 3


“Bawa nih!” Elang meletakkan sebuah kotak bekal di meja.
Cakka yang sedang sibuk melahap sarapannya hanya menatap kotak bekal tersebut cuek, kemudian kembali fokus dengan makanannya. Biru yang melihat tingkah adiknya tersebut hanya bisa menggelengkan kepala. Pasalnya, pagi ini Biru kembali mengerjakan tugas rutinnya. Membangunkan sang adik agar tidak terlambat ke sekolah. Dan hari ini ia berhasil. Cakka bangun lebih awal, namun seperti biasanya, Cakka langsung menekukkan wajahnya karena kesal setengah mati dengan tugas rutin kakaknya tersebut.

“Hei, lo denger omongan gue barusan, kan?” tanya Elang memastikan. “Entar bawa tuh kotak bekalnya, lo kan pulang telat hari ini. Kasihan Bunda udah susah-susah buatin lo makan siang. Biar hemat uang jajan juga.”
“Iya iya. Bawel amat sih lo? Udah tahu gue lagi sibuk sarapan,” kata Cakka akhirnya dengan mulut yang penuh dengan makanan. “Lagian kalaupun gue lupa bawa itu makanan, gue nggak bakalan pingsan kok di tengah-tengah latihan. Lo pikir gue penyakitan?”
“Ya udah sih, santai aja kali ngomongnya,” kata Elang.
“Tau nih, Cakka terlalu sensitif jadi orang, tau nggak? Heran gue kenapa bisa punya adik sensian kayak lo. Padahal, Ayah sama Bunda aja nggak gitu-gitu amat cueknya.” Biru menambahkan.
“Masalah buat lo, Kak?” balas Cakka sebal.
“Menurut lo?!”
Cakka mendengus mendengarnya. “Lo pikir lo doang yang kesel, gue juga kesel kali punya kakak cacing kepanasan kayak lo. Nggak pernah bisa diem, gangguin gue terus lo kerjanya. Capek gue! CAPEK!”
“Eh, udah, udah. Kalian ini bertengkar terus kerjanya. Lihat tuh, bentar lagi udah jam setengah tujuh, kalian akan terlambat kalau nggak cepet-cepet sarapan,” lerai Ayah dari balik koran yang sedang ia baca. “Kamu juga, Cakka, yang sopan dong kalau ngomong sama kakak-kakak kamu. Mereka kan maksudnya baik.”
“Ah, terserah Ayah,” kata Cakka segera menyingkir dari kursinya. Ia menggantungkan tasnya di pundak, menjinjing tas gitarnya dan segera memakai sepatu sekolah di depan.
“Cakka! Bekal lo jangan ditinggal!” seru Elang nyaring. Tapi, yang diteriaki tak menyahut balik. Ia hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya. Suasana hati adiknya sudah buruk saja pagi-pagi.
“Udah, biarin aja, Kak, nanti aku yang bawain ke kelas Cakka, nanti juga dia malu sendiri,” kata Biru sambil tertawa. Ia menyingkir dari kursinya. “Udah yuk, nanti telat lagi. Gue nggak mau terkenal gara-gara sering telat juga kayak adik kita itu.”
“Hahaha... ayo!” kata Elang sambil menjitak kepala Biru sekilas. Kemudian, ia langsung menyalami Ayah, diikuti oleh Biru. “Yah, kita bertiga pergi dulu ya, pamitin kita sama Bunda juga. Beliau pasti lagi sibuk di dapur.”
“Siap, jagoan,” kata Ayah sambil tersenyum. “Bi, jagain adik kamu ya.”
“Tenang aja, Yah,” kata Biru sambil mengacungkan jempol. Ia mengambil kotak bekal Cakka dan langsung pergi keluar, diikuti oleh Elang. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil Elang melesat meninggalkan rumah. Meninggalkan Ayah yang segera merapikan dasinya dan mengambil tas kerjanya karena sudah hampir waktunya ia untuk pergi juga.

J L J

Begitu sampai di sekolah, Cakka buru-buru menaruh tasnya di kelas dan keluar lagi dengan tas gitarnya tanpa basa basi. Ray yang sudah sibuk sendiri di tempat duduknya sampai bingung melihat teman sebangkunya tersebut. Sepeninggalan Cakka, Deva langsung menghampiri Ray di tempat duduknya.
“Kenapa tuh Cakka?” tanyanya.
Ray tertawa kecil, kemudian mengangkat bahunya. Ia lebih memilih untuk kembali sibuk sendiri dengan pekerjaannya. “Mungkin ada urusan di luar kali. Gue juga nggak tahu.”
“Iya, gue tahu sih, dia suka nitip gitar kalau ekskul band, tapi rasanya itu muka ditekuk parah,” kata Deva sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia melipat kedua tangannya di depan dada. “Pasti berantem lagi sama kakak-kakaknya lagi deh.”
Ray tertawa mendengarnya.
Deva mengernyitkan dahinya heran. “Kok lo ketawa sih?”
“Lo lucu deh, Va, udah tahu alesannya kenapa masih nanya sama gue,” kata Ray sambil tersenyum-senyum. Deva hanya nyengir dan menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal mendengar ucapan Ray. Benar juga ya?
“Hei, Ray! Lagi ngapain lo? Ikutan dong. Kayaknya seru banget,” Tiba-tiba seseorang duduk di kursi Cakka dan menepuk pundak Ray. Yang ditepuk hanya tersenyum.
“Heh, Yo, lo tiba-tiba muncul aja kayak bensin,” kata Deva mencibir. “Nggak ada Cakka, lo ngegangguin Ray? Mendingan lo ngerjain PR matematika lo dulu baru gangguin orang. Belum kerjain kan lo? Biasanya juga nyalin.”
“Alah, lo ngebuka aib gue, Dev! Jahat lo!” kata Rio manyun. "Lagian bensin itu nyamber, bukan muncul!"
“Yeee... biarin,” kata Deva. “Eh, Ray, lo kan baru di sini, lo harus tahu temen sekelas kita yang satu ini anaknya agak aneh. Udah kepo maksimal sama Cakka, males ngerjain PR, otaknya rada-rada lagi.”
“Heh, ngehina gue, nanti lo pulang sendiri, oke?” kata Rio menunjuk Deva.
“Yeee... ngancem, baru hari ini gue nebeng aja udah sombong. Lagian, gue nggak bakal mati juga kalau nggak bareng sama lo. Gue bisa naik taksi.” balas Deva.
“Tunggu, kenapa kalian jadi berantem juga? Udah, mendingan bantuin gue ngerjain ini.” kata Ray sambil tersenyum. Deva langsung merapat, mengambil kursi dan melihat kertas yang sedang dikerjakan teman baru mereka tersebut bersama Rio.
“Wah, ini lo buat sendiri? Pasti bagus nih,” kata Deva tersenyum melihat pekerjaan Ray.
“Ini buat apaan memangnya, Ray?” tanya Rio.
Ray tersenyum. “Ada deh.”

J L J

JREEEEENG...
Terdengar suara ekstrim dari senar gitar listrik Cakka yang sedang dipetik pemiliknya. Dia menumpahkan semua ilham yang ada di pikirannya menjadi musik blues yang asyik. Genre kesukaan Cakka itu memang selalu menggema di ruang musik setiap hari ekskul band tiba. Selain karena ingin mencari teman-teman yang juga hobi musik, Cakka ingin sering-sering nongkrong di ruang kesukaannya itu. Di saat suasana hatinya buruk, ruang musiklah salah satu tempat pelampiasan terbaik yang ia punya. Lega nggak lega, pokoknya dia harus mengeluarkan semua beban sampai dia kembali seperti semula.
Krek...
“Cakka! There you are!”
Cakka langsung menghentikan kesibukannya dan menoleh ke arah si sumber suara. Ia menyimpan gitar listriknya di tempat gitar dan duduk menghadap ke arahnya. “Tumben pagi-pagi udah dateng.”
“Harusnya gue yang ngomong gitu sama lo.” katanya sambil tertawa. Ia mengambil tempat duduk di samping Cakka.
Cakka mendengus mendengarnya. Dia Anka, anak kelas sebelah yang juga ikut ekskul band. Sejak masuk ke SMA MIFI, ia sudah dinobatkan menjadi keyboardist band sekolah. Makanya, Cakka sudah cukup mengenal perempuan setengah bule ini. Makanya tak heran rambutnya panjang berwarna cokelat tua. Turunan dari ibunya yang juga berambut sama. Cakka senang-senang saja sih, berteman dengannya, tapi tetap saja, yang namanya orang bule, tak suka basa basi. Dan kebiasaannya memakai bahasa campuran kadang-kadang membuatnya kesal.
“Ada apaan sih memangnya? Gue lagi pengen sendiri kali.”
“Lo pikir gue nggak hafal sama sifat annoying lo?” tanya Anka. “Gue ke sini cuma mau ngsih tau, kemarin ada anak baru tuh mau masuk ekskul kita. Tapi, Obiet bilang, dia harus dites dulu. Dia nyuruh lo yang jadi tester-nya. So, what do you say?”
“Kok gue sih? Dia kan ketuanya!” protes Cakka.
“Dia izin hari ini, ada urusan keluarga. Jadi lo yang ngetes dia. Oke ya? Lo cuma menilai kemampuan dia kok, supaya kita tahu dia bakatnya dimana. Kalau ada personil cadangan kan lumayan juga!” kata Anka sambil menepuk-nepuk pelan punggung Cakka. Kemudian, ia langsung ngacir dari ruang musik.
Cakka langsung memukul lututnya kesal. Ah, baru dibuat kesal kakak-kakaknya di rumah, sekarang Obiet ikut-ikutan membuat masalah. Ketua ekskul musik itu pakai absen segala hari ini. Anak baru itu juga, berani-beraninya mengganggu ketenangannya hari ini. Uh, awas saja, pokoknya saat pengujian nanti, dia akan bertindak. Anak baru di ekskul band itu harus mendapatkan pelajaran.

J L J
DUK... DUK...
“Ayo, ayo, defense!” teriak guru olahraga dari pinggir lapangan.
Pelajaran olahraga kelas Cakka dan kelas sebelah hari ini selesai lebih awal karena hanya dipakai untuk mengambil nilai basket. Hanya dibutuhkan waktu yang cukup pendek untuk menguji dua kelas yang sekarang sedang pelajaran olahraga, sehingga sisa waktu satu jam dipakai oleh anak-anak cowok untuk tanding basket. Yang lainnya lebih memilih untuk beristirahat di lapangan karena sudah lelah.
“Cakka!” salah satu teman sekelas Cakka meminta bola.
“HUP!” Cakka langsung mengoper tanpa banyak bicara. Namun, tetap menjaga para lawan yang berusaha menghadang timnya untuk mencetak skor. Setelah beberapa lama, ia menerima bola lagi dari teman satu timnya dan beberapa detik sebelum pertandingan berakhir segera mencetak angka dengan mulusnya.
Good shot!” kata teman-teman tim Cakka langsung memberikan teman mereka tersebut high five saat pertandingan dinyatakan berakhir. Cakka menerima semua tangan teman-temannya tersebut kemudian langsung menuju ke pinggir lapangan dengan cuek. Ia butuh air dan handuk sekarang juga. Badannya sudah penuh dengan keringat, rambutnya sudah basah kuyup.
“Huh...” desah Cakka setelah menyambar botol minumnya sampai habis setengah. Ia menghapus keringatnya sejenak kemudian langsung duduk di kursi terdekat untuk mengistirahatkan badannya. Jam olahraga masih tersisa lima belas menit.
“Cieee... yang jago basket,” tiba-tiba Anka sudah ada di dekatnya. “Andai lo juga jago mengontrol sikap lo biar gue nggak ribet punya temen annoying kayak lo. Jangan lupa entar latihan, oke?”
Cakka menoleh sejenak ke arahnya, kemudian kembali menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menutup wajahnya dengan handuk bekas menghapus keringat tadi. Uh, tentu saja ia tak pernah lupa kalau nanti masih ada ekskul band. Ekskul kesayangannya itulah yang selalu ia tunggu jika sedang badmood. Dan juga soal anak baru itu.
“Hei, dengar nggak sih gue ngomong?” kata Anka langsung menjitak pelipis Cakka.
“Hm.” jawab Cakka cuek.
“Jangan lupa juga, tes tuh anak-anak baru. Gue lupa bilang tadi kalau ada dua orang anak baru,” kata Anka. “Personil kita kan ada yang bentar lagi lulus tuh, bisa jadi pengganti nanti. Yang lain juga udah pada setuju.”
“Iya, iya! Bawel banget lo, bule!” seru Cakka dari balik handuknya. Kemudian, ia segera beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Anka yang langsung berlari mengejar Cakka.
“Hei, tunggu kali, Kka!”

J L J

Hari sudah sore. Cakka, Anka dan anak-anak ekskul band lainnya sudah ada di ruang musik untuk latihan. Namun, karena ada anak baru yang akan masuk ke ekskul mereka, yang bukan anggota inti dibebaskan untuk latihan sendiri-sendiri dulu. Hanya lima orang saja yang dari tadi sibuk menunggu dengan alat musik masing-masing. Selain Anka yang perempuan sendiri, ada tiga orang laki-laki lainnya yang menjadi personil inti dalam ekskul band.
“Udah jam segini mereka belum dateng juga?” tanya seseorang yang sibuk melihat jam tangannya sejak tadi. Sesekali juga menggebuk dram yang ada di hadapannya. Laki-laki pendiam yang dikenal sebagai Alvin itu sudah tak tahan menunggu lagi. Dia sudah kelas tiga, tahun depan sudah akan menjalankan ujian. Tapi, walaupun begitu, ekskul tetap jalan walaupun tak setiap kali ekskul ia datang.
“Sabarlah, Vin, baru juga lima belas menit,” kata laki-laki yang sibuk dengan handphone-nya sejak tadi. Kalau yang ini Gabriel, bassist dewasa di ekskul band yang berasal dari kelas dua, XI-IPA1. Ia menoleh ke arah Cakka. “Eh, Kka, pinjem gitar lo dong, udah lama gue nggak megang.”
Cakka yang duduk di lantai diam saja menatap laki-laki itu, kemudian menyodorkan gitarnya. Setelah itu, dia langsung menutup matanya, berusaha tidur. Ia tidak akan tahan kalau harus menunggu tanpa melakukan kegiatan.
“Anka, lo yang ngurusin dua anak itu, kan? Mereka nggak ngomong sama lo mereka kemana?” tanya laki-laki sibuk hinggap di ambang pintu ruang musik. Dia vokalis emosional yang bernama Dayat. “Bisa habis kalau band sekolah punya personil jam karet begini.”
“Udahlah, kalian sabar aja, kalau mereka niat, mereka pasti dateng,” kata Gabriel tanpa berhenti memetik gitar milik Cakka. Semuanya mengangguk, kemudian kembali sibuk sendiri.
Sebenarnya, MIFI Band, band sekolah mereka itu tak sering-sering tampil. Paling hanya ketika sekolah mengadakan lustrum, bazaar dan acara sejenisnya. Mereka jarang mengikuti lomba-lomba di luar karena takut mengganggu jam belajar mereka. Tapi, tetap saja, latihan tetap nomor satu. Jarang tampil bukan berarti tak ada kegiatan. Terkadang jika sedang bosan, mereka suka iseng rekaman untuk kenang-kenangan atau diunggah di media sosial. Dan dengan adanya Dayat di antara mereka, jelas disiplin harus diterapkan. Dayat paling tak suka jika ada salah satu dari teman bandnya terlambat datang, apalagi sampai bolos. Kecuali memang ada urusan mendesak yang tak bisa ditinggal. Makanya, sebenarnya disayangkan Dayat sudah akan lulus. Dia sekelas dengan Alvin, sudah akan menjalankan ujian nasional tahun depan.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki buru-buru seseorang menuju ruang musik. Alvin, Anka, Dayat dan Gabriel langsung menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat kedua orang tersebut datang, Dayat langsung berdiri tegak dan menatap mereka dengan tatapan datar. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Lo berdua anak baru ekskul band?” tanya Dayat dingin. “Darimana aja kalian? Ini udah jam berapa? Kalian terlambat hampir setengah jam.”
“Maaf, Kak, tadi saya habis dari ruang guru, ngumpulin tugas,” kata anak laki-laki yang berdiri di depan. Kemudian, ia menunjuk ke arah temannya yang di belakang. Laki-laki juga. “Kalau dia tadi katanya baru selesai ngerjain lagu.”
“Lagu?” tanya Gabriel tertarik. Ia menoleh ke arah teman anak baru itu. “Lo penulis lagu?”
Anak itu tersenyum. “Cuma hobi kok, Kak. Tapi, saya jaga-jaga saja kalau saya perlu lagu-lagu cadangan untuk dites di ekskul ini.”
Gabriel manggut-manggut. “Oke, kalau begitu, kita mulai aja ya tesnya. Kalian tahu kan kalau kalian harus dites dulu sebelum bisa masuk ekskul band, biar kita tahu aja kalian harus ditempatin dimana. Kalian siap?”
“Siap, Kak!” kata kedua anak tersebut. 
“Oke, dimulai dari lo dulu.” kata Alvin, menunjuk laki-laki yang berdiri di depan. “Siapa nama lo?”
“Oh, maaf, Kak, nama saya Kiki, kelas satu. Sekelas kok dengan Anka, rencananya saya ingin menyanyi, soalnya saya nggak begitu jago main musik.” katanya sambil tersenyum. “Kalau teman saya ini namanya Ray, sekelas dengan Cakka. Katanya jago dram.”
“Oke. Kalau begitu, kita mulai aja. Kka, lo---“ kata Alvin terputus karena ia baru sadar ternyata teman satu band-nya tersebut sudah tertidur pulas di tempatnya. Keempat personil band sekolah tersebut langsung menepuk dahi mereka melihat tingkah gitaris mereka itu. Benar-benar tukang tidur.
“Gila ya, sekalinya melamun dia pasti ketiduran,” kata Anka sambil menggelengkan kepalanya. “Udah, udah, lo bertiga bubarin dulu tuh anak-anak yang lain. Biar Kiki sama Ray gue yang urus. Kita perlu ruang kosong buat Ray.”
“Eh, nggak perlu. Kalau mereka mau di sini, nggak apa-apa kok,” tahan Ray sebelum kakak-kakak kelasnya bergerak untuk membubarkan yang lain.
“Lo yakin?” tanya Anka menatap Ray ragu. Namun, Ray mengangguk mantap. Kemudian, ia menoleh ke arah Kiki. “Ki, lo nggak apa-apa kan di tes di depan anak-anak?”
Kiki mengangguk.
“Ya udah, berarti gini aja. Lo berdua Vin, Yel, atur anak-anak supaya nggak ribut. Dayat sama gue ikutan jadi tester sama Cakka. Nanti kalau masih ada waktu, kita lanjutin latihan sama yang lain.” kata Anka.
“Oke!”
Semuanya langsung bergerak dengan tugas masing-masing. Gabriel dan Alvin langsung mengatur anak-anak yang lain, sementara Anka dan Dayat langsung mengajak Kiki dan Ray untuk masuk ke dalam. Sementara dua anak baru tersebut bersiap-siap sejenak, Anka dan Dayat sibuk membangunkan Cakka yang masih saja belum sadar dari tidur pulasnya.
“Hei! Cakka! Wake up!” seru Anka sambil mengguncang bahu Cakka.
“Ngg...” sahut Cakka malas.
“Kka, itu anak-anak ekskul yang baru udah pada dateng, ayo cepetan bangun!” kata Dayat. Namun, Cakka tetap saja tidak membuka matanya. “Aduh, Cakka! Lo lagi ekskul begini malah tidur! Udah cepetan melek! Gue tendang juga lo dari ekskul musik kalau begini terus!”
“Ngg...” kata Cakka lagi, kemudian segera mengucek-ngucek matanya pelan-pelan. “Apaan sih lo pada? Gangguin gue tidur aja. Lagian itu dua anak lama banget. Gue kan bosen. Udah pada dateng?”
“Udah. Tuh lagi siap-siap sambil nungguin lo melek,” kata Dayat. “Oh ya, kan akhirnya kita bertiga nih yang nilai mereka berdua. Jadi, gimana kalau gue nilai Kiki, terus lo berdua nilai si Ray? Soalnya Kiki kan nyanyi, Ray main musik. Jadi, lo berdua lebih tahu. Entar keputusannya baru bareng-bareng.”
“Oke, oke,” kata Cakka cepat. Namun, sedetik kemudian matanya membesar. “Apa kata lo?! Ray?! Maksud lo Raynald Fillion Putra dari kelas gue?!”
“Iya, kenapa?” tanya Dayat heran.
Cakka langsung menepuk dahinya pusing. Kemudian, ia melirik ke arah dimana Kiki dan Ray berada. Matanya tak sengaja bertemu dengan Ray. Ia langsung mendengus kesal dan membuang muka begitu Ray tersenyum dan melambaikan tangannya.
“Udah, nanti urusan Ray serahin sama gue. Lo berdua urus Kiki. Abis itu, bubarin anak-anak. Gue mau saat tes nanti cuma ada gue sama Ray di ruang musik. Nggak pake ngebantah, oke?” kata Cakka kepada dua temannya.
“Lah, lo mau ngapain, Kka?” tanya Anka ingin tahu.
“Lo nggak usah banyak tanya!”
Dayat menggelengkan kepalanya. Ia sudah biasa dengan sikap Cakka yang seperti itu. Ia langsung mengajak Anka untuk memulai tes dengan Kiki. Sementara Cakka duduk di pinggir sambil memetik gitarnya yang sudah dikembalikan oleh Gabriel. Setelah Kiki selesai tes, semua anggota ekskul langsung dibubarkan sesuai dengan perintah Cakka tadi.

J L J

“Lo ngapain sih di sini?”
Ray hanya tersenyum mendengar pertanyaan Cakka itu, begitu ruang musik sudah benar-benar kosong. Cakka yang tadinya duduk di pinggir langsung menghampirinya dengan kesal. Terlihat sekali di wajahnya bahwa ia sama sekali tak suka kalau Ray ada di ruang itu. Kerutan dahinya berlipat-lipat, matanya melotot hingga hampir keluar. Mungkin kalau bukan Ray yang ada di hadapannya sekarang, semuanya sudah pada kabur karena takut melihat wajah Cakka yang begitu seram.
“Gue pengen gabung sama kalian.” kata Ray tenang.
“Lo nggak inget apa yang gue bilang kemarin? Masih berani lo muncul di sini?” tanya Cakka. “Kalau aja gue tahu kemarin lo mau ngedaftar di ekskul band, gue nggak akan sudi ninggalin lo sendirian di sekolah. Gue kan udah bilang, JANGAN MASUK EKSKUL BAND!”
“Kenapa?”
“Ngeliat muka lo di kelas aja gue udah muak! Gue nggak mau ngeliat muka lo lagi sepulang sekolah!” kata Cakka sebal. “Pokoknya gue nggak sudi masukin lo ekskul band. Sekarang, lo pulang. Silahkan daftar di ekskul lain. Bikin gue tambah emosi aja!”
“Gue masuk ke ekskul ini karena hobi gue memang main musik, Kka. Waktu itu kan gue udah cerita sama lo,” kata Ray lagi. “Gue pikir, seru juga kalau kita bisa main musik bareng. Sama anak-anak yang lain juga.”
“Peduli apa gue soal itu? Pulang lo sana!” seru Cakka emosi.
Namun, Ray tetap diam dan tersenyum kalem di tempatnya. Cakka sampai benar-benar tak bisa menahan amarahnya lagi. Nafasnya sampai tak beraturan karena amarahnya yang memuncak.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Ray khawatir melihat Cakka.
“Lo nggak usah sok peduli,” kata Cakka dengan nada yang lebih pelan karena lelah. Tapi, Ray tetap diam di sana. “Oke, kalau lo nggak mau pulang, gue yang akan pulang. Capek gue ngadepin lo.”
Ray tetap saja diam melihat langkah kaki Cakka yang menjauh dari ruang musik. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Cakka. Ia tahu teman sebangkunya itu tak akan setuju jika dia masuk ke dalam ekskul band juga, seperti yang dikatakannya kemarin. Makanya, Ray sengaja membiarkan dia pulang duluan, agar Ray dapat daftar di ekskul ini. Tapi, tak disangka, ternyata yang akan memberikan dia tes justru teman sebangkunya sendiri.
Ray menoleh ke arah sekeliling ruang musik sampai ia menemukan sebuah dram yang sejak tadi menganggur. Ia tersenyum sejenak, kemudian langsung bergerak menuju alat musik pukul tersebut. Ia duduk di belakang dram dan memukul dram tersebut perlahan-lahan hingga akhirnya ia asyik ngedram sendiri.
Cakka yang sebenarnya masih ada di luar tiba-tiba berhenti mendengar suara berisik dari ruang musik. Dengan ragu-ragu ia kembali lagi ke dalam ruang musik dan berdiri di depan dram tersebut. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap cara bermain Ray dengan saksama.
Ray yang menyadari Cakka kembali lagi ke dalam ruang musik, langsung berhenti bermain. Ia nyengir menatap Cakka. Rasanya tidak sopan memakai properti ruang musik tanpa izin. Tapi, Cakka juga tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia akan segera marah.
Cakka mengangkat alis. “Ada yang suruh lo berhenti main?”
Ray terdiam mendengar pertanyaan Cakka. Ia menatap Cakka heran.
“Cepet lanjutin!” kata Cakka sebal. “Coba lo main tiga lagu kesukaan lo tanpa berhenti. Jadiin medley. Abis itu, lo mainin alat musik lain yang lo bisa, terus nyanyi satu lagu bebas. Setelah itu, tunjukkin portofolio lo selama ini sama gue.”
Ray tersenyum, kemudian langsung dengan senang hati menurutinya. Tanpa keluhan sedikitpun ia langsung melakukan medley tiga lagu tersebut seperti yang Cakka minta. Kemudian, ia juga memainkan piano dan gitar sedikit. Diakhiri dengan bernyanyi lagu kesukaannya juga diiringi dengan gitar yang ia pinjam dari Cakka.
Selama Ray menunjukkan semua bakat-bakatnya, Cakka hanya diam saja di tempatnya. Tangannya tetap terlipat di depan dada tanpa bergerak sedikitpun. Tak ada yang bisa menebak pikirannya saat itu. Matanya tetap fokus kepada Ray, entah ingin mencari-cari kesalahan atau apa. Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan reaksi apa-apa.
Ray tersenyum setelah ia selesai bernyanyi. “Ada lagi yang harus gue lakukan?”
Cakka tampak tersenyum meremehkan. “Banyak. Tadi dram lo ketukannya banyak yang nggak rapi, nyanyian lo ada yang fals dan lo masih payah di piano sama gitar. Sekarang coba lo bikin lagu dalam waktu lima menit, terus lo nyanyiin sesuka lo. Terus lo juga harus nyanyi lagu kebangsaan band kita, lagu Bendera dari Cokelat.”
“Oh, gue bawa lagu kok, tadi baru bikin,” kata Ray sambil mengeluarkan kertas lagunya.
“Ada yang bilang lo boleh pake lagu lama? Lo harus bikin lagu baru sekarang juga dan nyanyiin tanpa teks,” kata Cakka cuek. “Kalau lo nggak bisa, ya udah nggak usah masuk ekskul band. Kita nggak butuh pemusik payah kayak lo.”
“Gue bisa,” kata Ray sambil tersenyum. “Mulai sekarang juga nggak apa-apa.”
“Oke, silahkan.”
Ray tampak berpikir sejenak sambil memangku gitar Cakka. Sekitar dua menit kemudian, ia langsung tersenyum dan mencari-cari chord gitar sebentar. Setelah itu, ia langsung mulai menyanyikan satu bait lagu. “Mungkin kau tak akan mengerti, arti persahabatan yang sebenarnya, bukan karena harta ataupun status yang kupinta, namun ketulusan hati yang terpenting...”
“Oke, sekarang, lagu kebangsaan.” kata Cakka.
“Nggak boleh minum dulu?” tanya Ray. Tenggorokannya sudah haus kalau boleh jujur. Badannya juga cukup lelah karena banyak tes. Melakukan semua yang dilakukan barusan itu butuh banyak energi. Apalagi dram. Dia sudah menguras setengah energi badannya kalau bermain dengan alat musik pukul tersebut.
“Kalau lo nggak bisa ya gue bisa cari—“
“Oke, oke,” potong Ray. “Gue mulai sekarang.”
“Bagus, setelah ini lo harus lari keliling lapangan lima kali. Sambil gue ngeliat portofolio lo,” kata Cakka.
“Habis itu, gue dinyatakan resmi jadi anggota?” tanya Ray lagi.
“Tunggu keputusan Dayat dan Anka,” kata Cakka lagi dengan entengnya. Langsung membuat Ray menepuk dahinya lelah. Ternyata susah juga mau masuk ekskul band saja di sekolah barunya itu. Harus melewati banyak cobaan dulu dari gitaris band sekolahnya. Udah kayak mau masuk kerja aja harus dites ini-itu.
“Memangnya apa hubungannya lari sama musik sih?” tanya Ray penasaran.
“Udah, cepetan! Gue mau pulang!” kata Cakka lagi melihat Ray tak mulai juga.
“Duh, iya iya, gue mulai sekarang!”

J L J

Berkat tes ekskul kemarin, badan Ray sukses pegal-pegal hingga pagi hari. Kepalanya juga masih pusing karena memikirkan kejadian kemarin. Begitu sampai di kelas, Ray langsung menarik-narik semua ototnya agar terasa lega sedikit. Ia mengurut kedua tangannya dari bahu hingga ke jari-jarinya kemudian juga meluruskan kedua kakinya. Setelah selesai, ia langsung menyandarkan dirinya di kursi.
“Hah...” desah Ray lelah. Ah, untung saja Cakka belum datang. Akan panjang lagi masalahnya kalau Cakka melihatnya seperti ini. Padahal, kemarin ia sudah beristirahat lebih awal agar badannya tidak pegal-pegal lagi. Ternyata, rasa pegalnya masih ada.
“Pagi, Ray!” tiba-tiba terdengar suara Deva di dekatnya. Ternyata, ia baru saja datang. “Kenapa lo? Masih pagi-pagi begini lo udah kayak orang stres aja.”
Ray mengangkat kepalanya dari sandaran kursi dan tersenyum ke arah Deva. “Pagi, Va. Gue nggak apa-apa kok. Kemarin abis tes ekskul band doang.”
“Hah? Tes ekskul band sampe kayak begini? Lo diapain sama Obiet?” tanya Deva heran.
“Obiet? Siapa tuh?” tanya Ray heran. “Kemarin yang ngetes gue bukan Obiet kok.”
“Hah? Kemana itu anak? Dia tuh anak kelas dua, Ray, biasanya dia yang ngetes anak-anak baru soalnya dia kan ketua ekskul. Terus kalau bukan dia, siapa dong yang ngetes lo?”
“Cakka.” jawab Ray singkat, kemudian ia menyandarkan kepalanya kembali ke kursi.
Deva langsung menepuk dahinya. “Pantes aja lo sampe kayak begini.”
Ray tertawa kecil. “Udahlah, nggak apa-apa. Entar gue juga baik lagi. Gue cuma agak lelah.”
“Oh, ya udah, gue ke tempat duduk gue dulu ya.” kata Deva, kemudian langsung pergi menuju bangkunya yang ada di belakang. Ia ingin menghabiskan waktunya dengan membaca buku sambil sesekali melihat teman barunya yang sedang beristirahat. Ia hanya bisa menghela nafas. Pasti Cakka sedang emosi, makanya Ray kena imbasnya. Benar-benar menyebalkan.
Bukan Deva saja yang heran, Riopun ikut-ikutan kepo begitu melihat Ray seperti itu. Tapi, Ray tentu saja berkata bahwa dia baik-baik saja. Ah, cukuplah Deva saja yang tahu kalau dia lelah. Ia tak ingin membuat banyak orang kasihan padanya. Baginya itu perbuatan yang kurang baik. Kayak orang kurang perhatian aja.
“Serius lo nggak apa-apa, Ray?” tanya Rio. “Kalau lo perlu istirahat mending ke UKS aja.”
“Ah, UKS kan kalau sakitnya parah doang. Udah, lo nggak usah khawatir,” kata Ray sambil tersenyum. Kemudian, ia menyingkir dari tempat duduknya. “Gue ke kamar mandi dulu ya. Lo nggak usah mikirin gue, oke?”
“Terserah lo deh, Ray. Padahal, niat gue baik loh.” kata Rio heran.
Ray tertawa. “Iya, iya, gue tahu, Rio.” Kemudian, dia langsung meninggalkan kelas.
Begitu sampai di kamar mandi, Ray membasuh wajahnya di wastafel, kemudian menatap dirinya di cermin. Hari ini ia baru bisa mengartikan apa maksud dari kata-kata Deva kemarin tentang Cakka. Laki-laki memang teguh pendirian. Sekali bilang tidak, tetap tidak. Dia mau semua orang mengikuti bagaimana cara hidupnya. Karena itulah kemarin dia begitu marah ketika menyadari Ray membantah soal masuk ekskul. Dan mungkin rasa pegal-pegal di badannya ini, sudah direncanakan Cakka sejak awal. Agar ia menuruti ucapannya.
Tapi, tidak. Ray jelas tak akan menyerah untuk masuk ke dalam ekskul band itu hanya karena kemarin dikerjai Cakka. Ini bukan salah siapapun, Cakka juga tidak salah melakukan ini kepadanya karena ia juga yang membantah kemauan Cakka. Mungkin sebagian besar orang yang mengenalnya hanya tak tahu apa yang Cakka butuhkan, apa yang Cakka inginkan. Makanya, Cakka lebih cenderung tak nyaman dengan mereka. Dan Ray tak mau itu terjadi padanya juga. Bagaimanapun juga, Cakka teman pertama yang ia kenal di SMA MIFI. Ia ingin bersahabat dengannya, sama seperti dengan Deva, Rio dan teman-teman yang lain. Masa bodo dengan apa yang dipikirkan laki-laki cuek itu. Ray tidak bermaksud buruk, ia hanya belum mengenal baik teman sebangkunya itu.
“Ray?” tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu kamar mandi.
Ray menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum. “Hei. Kak Dayat, kan?”
Dayat mengangguk. “Lo ngapain sendirian di sini? Bentar lagi masuk loh.”
Ray menggeleng. “Nggak apa-apa kok, Kak. Cuci muka doang, ini juga mau balik.”
“Oh,” kata Dayat manggut-manggut mengerti. “Eh, kemarin bagaimana tes ekskulnya? Lo diapain sih sama Cakka? Sampe harus privasi begitu. Lo nggak dikerjain sama dia, kan? Terus lo udah resmi jadi anggota, kan?”
“Nggak kok, Kak, biasa aja,” kata Ray nyengir. “Tapi, kata dia nunggu keputusan Kakak sama Anka dulu baru bisa resmi jadi anggota. Kemarin kata Cakka ketukan dram gue nggak rapi, nyanyian gue fals. Macem-macem deh kurangnya, Kak. Terus lari keliling lapangan gitu deh.”
“Lari?” tanya Dayat heran.
“Iya, Kak.”
“Itu sih namanya dikerjain, Ray. Harusnya tesnya tuh cuma kemampuan lo doang. Lo bisanya apa, disuruh praktek. Nggak harus lari juga sih,” kata Dayat sambil menggelengkan kepalanya. Ia menepuk pundak Ray. “ Ya udah, lo sabar aja deh. Cakka memang begitu. Lo resmi jadi anggota sekarang. Anka juga pasti setuju. Tapi, boleh dong minggu depan gue lihat aksi dram lo? Siapa tahu bisa jadi drammer band sekolah kita. Si Alvin udah mau lulus soalnya.”
Ray tersenyum. “Terima kasih, Kak.”
“Ya udah, lo balik ke kelas gih. Daripada telat.” kata Dayat.
Ray mengangguk, kemudian hendak keluar dari kamar mandi. Tapi, sebelum ia sempat memegang gagang pintu, ia menoleh lagi ke arah Dayat. “Kak, hampir lupa. Ruang musik boleh dipakai kan kalau band lagi nggak latihan?”
Dayat tersenyum. “Silahkan.”

J L J

Kelakuan menyebalkan Cakka kepada Ray kemarin jelas menyebar setelah Dayat mengetahuinya. Ia segera memberitahu Anka saat istirahat, kemudian Anka juga memberitahu anak-anak lain yang perlu tahu soal ini. Bukan itu saja, begitu pulang sekolah, Anka juga langsung menarik Cakka keluar dari kelas untuk membicarakannya.
“Apaan sih lo? Gue mau pulang!” kata Cakka sebal begitu Anka melepaskan bajunya di depan kelas. Namun, Anka memanyunkan bibirnya mendengar ucapan Cakka.
“Lo yang apa-apaan! Ngapain lo ngerjain Ray kemarin? Sejak kapan musik ada urusan sama keliling lapangan, coba? Tes ekskul yang harus lo kasih ke dia kan cuma tes kemampuan doang. Pake bawa-bawa nama kita lagi. Lo tahu nggak, Dayat marah besar tahu! Kemarin bukannya lo bilang lo yang bakal urus tesnya Ray? Ngapain lo pake nunggu keputusan kita sih?” kata gadis berambut cokelat itu sebal.
“Memangnya kenapa?” tanya Cakka datar.
“Kenapa, kenapa! Duh, capek ya gue ngomong sama lo. Tinggal bilang udah boleh masuk ekskul aja susah amat sih kayaknya? Awas ya kalau nanti lo apa-apain anak-anak ekskul lagi. Habis lo sama gue! Sama Dayat juga!” kata Anka lagi putus asa.
“Siapa suruh gue yang ngetes,” kata Cakka cuek. Kemudian, ia berbalik badan, meninggalkan Anka. Teriakan gadis itupun tak digubrisnya lagi. Sejenak ia sempatkan melirik ke arah dalam kelas, dimana Ray berada. Kemudian, ia langsung meninggalkan kelas. Benar-benar pembuat masalah semuanya. Mungkin kalau Cakka tak emosi, itu akan jadi masalah untuk semua orang ya? Makanya, semua orang selalu membuat masalah dengannya.
Ray yang melihat kejadian itu dari dalam hanya diam saja. Begitu ia selesai membereskan barang-barangnya, ia langsung menghampiri Anka yang masih ada di depan kelas. Ia menepuk pundak Anka dengan ragu. “Hei.”
Anka tersenyum. “Hei, Ray.”
“Cakka udah pulang ya?”
Anka mengangguk. “You’re okay now? Gue denger lo dikerjain Cakka.”
Ray tersenyum. “Lo harusnya nggak usah marah sama dia. Ini murni salah gue, kok.”
“Salah lo bagaimana? Jelas-jelas Cakka yang salah, dia itu udah ngerjain lo sampai lo kelelahan begitu. Pake nunggu keputusan gue sama Dayat lagi,” kata Anka tak terima.
“Cuma kelelahan, kan? Udah, nggak apa-apa, kok,” kata Ray menyakinkan.
“Lo perasaan kebal banget sih sama Cakka? Padahal dia kasar banget sama lo.” kata Anka heran melihat sikap Ray. Sejauh yang ia tahu, tak pernah ada yang tahan dengan laki-laki cuek itu jika sudah diapa-apain.
“Itu nggak seberapa, Ka.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Anka heran. Tak mengerti apa maksudnya. Namun, senyum manis yang terpancar di wajah Ray membuatnya menghela nafas menyerah.
Whatever you say deh, Ray. Gue baru mau ke ruang musik buat ngerjain lagu buat band sekolah. Lo mau ikut?” tanya Anka. “Kayaknya lo jago nih bikin-bikin lagu. Siapa tahu bisa bantu gue, sekalian gue pengen liat sebenernya lo semana sih jagonya lo main musik.”
Ray tersenyum. “Nggak deh, makasih. Gue harus balik cepet-cepet hari ini. Nggak bisa pulang telat. Sori ya.”
“Oh, ya udah, sori udah ganggu lo. Gue duluan ya!” kata Anka sambil tersenyum, kemudian langsung meninggalkan Ray yang juga langsung berjalan meninggalkan sekolah.

J L J

“Aku pulang.” seru Ray pelan begitu ia sampai di rumah. Ia melepaskan sepatunya dan menaruh tasnya di sofa. Setelah itu, ia bergerak menuju sebuah kamar yang terletak di lantai dua. Di sana ada dua kamar, selain kamarnya, ada satu kamar lagi yang ditempati adiknya. Namun, sudah lama ia tak berkunjung ke sana. Semenjak kejadian itu.
Perlahan-lahan Ray mengulurkan tangannya, mencoba untuk memegang gagang pintu dan melihat adiknya yang pasti sudah pulang. Namun, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari dalam kamar.
 “Kak Ray bukan kakakku! Kak Ray bukan kakakku!” teriakan itu berhasil membuat Ray menghentikan tangan Ray yang ingin memegang gagang pintu. Pria itu hanya bisa berdiri diam di depan mendengar suara tersebut. Sudah terlalu kebal ia mendengarkan suara itu melukai hatinya hingga ia tak bisa merasakan apa-apa lagi bila kalimat tersebut lagi-lagi harus didengarnya.
“Kamu udah makan belum, Cha?” tanya Ray pelan. “Ini kakak bawakan makanan buat kamu kalau kamu laper. Tapi, buka pintunya dulu dong.”
“Kak Ray bukan kakakku! Kak Ray bukan kakakku!” teriakan itu lagi-lagi terdengar dari dalam. “Kak Ray nggak usah sok peduli sama aku! Nggak usah sok-sok beli makanan! Kak Ray jahat!”
“Kalau begitu, nanti kalau laper, makan ya, Cha? Kakak taruh makanannya di depan pintu.”
Tak ada sahutan dari dalam.
Ray hanya bisa menghela nafas. Ia menaruh seplastik makanan yang tadi dibelinya sepulang sekolah itu di sudut pintu kamar adiknya, kemudian memilih masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Ia mengganti baju seragamnya dengan baju rumah, kemudian membanting tubuhnya di tempat tidur. Berusaha menghilangkan rasa lelah yang selama ini tak pernah hilang. Rasa lelah yang sama sekali tidak seberapa dengan rasa lelah yang ia dapatkan akibat kerjaan Cakka kemarin.
Ray tahu sebabnya. Ayah pernah menceritakannya. Tapi, Ray tak pernah menyangka bahwa sebab itu akan berlanjut hingga ia dewasa. Sudah bertahun-tahun adiknya tak ingin berbicara kepadanya. Kalaupun ia bersedia, itu hanya karena dipaksa Ayah atau karena memang harus berbicara. Dan Ray tak pernah mengharapkan itu. Ray hanya ingin adiknya nyaman berada di dekatnya. Tapi, semua itu hampir menjadi harapan mustahil. Ia sudah gagal menjadi kakak yang baik. Dan adik siapapun pasti kecewa mengetahuinya.
Ray menghela nafas. Entah sampai kapan ia harus menunggu sampai ia bisa bertatapan muka lagi dengan adiknya. Melihat adiknya tersenyum menatapnya, tertawa bersamanya, bukan tatap muka yang seram, marah, emosi seperti sekarang.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p