“Bawa nih!” Elang meletakkan sebuah kotak bekal di meja.
Cakka yang sedang sibuk melahap sarapannya hanya menatap kotak bekal
tersebut cuek, kemudian kembali fokus dengan makanannya. Biru yang melihat
tingkah adiknya tersebut hanya bisa menggelengkan kepala. Pasalnya, pagi ini
Biru kembali mengerjakan tugas rutinnya. Membangunkan sang adik agar tidak
terlambat ke sekolah. Dan hari ini ia berhasil. Cakka bangun lebih awal, namun
seperti biasanya, Cakka langsung menekukkan wajahnya karena kesal setengah mati
dengan tugas rutin kakaknya tersebut.
“Hei, lo denger omongan gue barusan, kan?” tanya Elang memastikan. “Entar
bawa tuh kotak bekalnya, lo kan pulang telat hari ini. Kasihan Bunda udah
susah-susah buatin lo makan siang. Biar hemat uang jajan juga.”
“Iya iya. Bawel amat sih lo? Udah tahu gue lagi sibuk sarapan,” kata Cakka
akhirnya dengan mulut yang penuh dengan makanan. “Lagian kalaupun gue lupa bawa
itu makanan, gue nggak bakalan pingsan kok di tengah-tengah latihan. Lo pikir
gue penyakitan?”
“Ya udah sih, santai aja kali ngomongnya,” kata Elang.
“Tau nih, Cakka terlalu sensitif jadi orang, tau nggak? Heran gue kenapa
bisa punya adik sensian kayak lo. Padahal, Ayah sama Bunda aja nggak gitu-gitu
amat cueknya.” Biru menambahkan.
“Masalah buat lo, Kak?” balas Cakka sebal.
“Menurut lo?!”
Cakka mendengus mendengarnya. “Lo pikir lo doang yang kesel, gue juga kesel
kali punya kakak cacing kepanasan kayak lo. Nggak pernah bisa diem, gangguin
gue terus lo kerjanya. Capek gue! CAPEK!”
“Eh, udah, udah. Kalian ini bertengkar terus kerjanya. Lihat tuh, bentar
lagi udah jam setengah tujuh, kalian akan terlambat kalau nggak cepet-cepet
sarapan,” lerai Ayah dari balik koran yang sedang ia baca. “Kamu juga, Cakka,
yang sopan dong kalau ngomong sama kakak-kakak kamu. Mereka kan maksudnya
baik.”
“Ah, terserah Ayah,” kata Cakka segera menyingkir dari kursinya. Ia
menggantungkan tasnya di pundak, menjinjing tas gitarnya dan segera memakai
sepatu sekolah di depan.
“Cakka! Bekal lo jangan ditinggal!” seru Elang nyaring. Tapi, yang
diteriaki tak menyahut balik. Ia hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya.
Suasana hati adiknya sudah buruk saja pagi-pagi.
“Udah, biarin aja, Kak, nanti aku yang bawain ke kelas Cakka, nanti juga
dia malu sendiri,” kata Biru sambil tertawa. Ia menyingkir dari kursinya. “Udah
yuk, nanti telat lagi. Gue nggak mau terkenal gara-gara sering telat juga kayak
adik kita itu.”
“Hahaha... ayo!” kata Elang sambil menjitak kepala Biru sekilas. Kemudian,
ia langsung menyalami Ayah, diikuti oleh Biru. “Yah, kita bertiga pergi dulu
ya, pamitin kita sama Bunda juga. Beliau pasti lagi sibuk di dapur.”
“Siap, jagoan,” kata Ayah sambil tersenyum. “Bi, jagain adik kamu ya.”
“Tenang aja, Yah,” kata Biru sambil mengacungkan jempol. Ia mengambil kotak
bekal Cakka dan langsung pergi keluar, diikuti oleh Elang. Tak lama kemudian,
terdengar suara mobil Elang melesat meninggalkan rumah. Meninggalkan Ayah yang
segera merapikan dasinya dan mengambil tas kerjanya karena sudah hampir
waktunya ia untuk pergi juga.
J L J
Begitu sampai di sekolah, Cakka buru-buru menaruh tasnya di kelas dan
keluar lagi dengan tas gitarnya tanpa basa basi. Ray yang sudah sibuk sendiri
di tempat duduknya sampai bingung melihat teman sebangkunya tersebut. Sepeninggalan
Cakka, Deva langsung menghampiri Ray di tempat duduknya.
“Kenapa tuh Cakka?” tanyanya.
Ray tertawa kecil, kemudian mengangkat bahunya. Ia lebih memilih untuk kembali
sibuk sendiri dengan pekerjaannya. “Mungkin ada urusan di luar kali. Gue juga
nggak tahu.”
“Iya, gue tahu sih, dia suka nitip gitar kalau ekskul band, tapi rasanya
itu muka ditekuk parah,” kata Deva sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia
melipat kedua tangannya di depan dada. “Pasti berantem lagi sama kakak-kakaknya
lagi deh.”
Ray tertawa mendengarnya.
Deva mengernyitkan dahinya heran. “Kok lo ketawa sih?”
“Lo lucu deh, Va, udah tahu alesannya kenapa masih nanya sama gue,” kata
Ray sambil tersenyum-senyum. Deva hanya nyengir dan menggaruk-garukkan
kepalanya yang tak gatal mendengar ucapan Ray. Benar juga ya?
“Hei, Ray! Lagi ngapain lo? Ikutan dong. Kayaknya seru banget,” Tiba-tiba
seseorang duduk di kursi Cakka dan menepuk pundak Ray. Yang ditepuk hanya
tersenyum.
“Heh, Yo, lo tiba-tiba muncul aja kayak bensin,” kata Deva mencibir. “Nggak
ada Cakka, lo ngegangguin Ray? Mendingan lo ngerjain PR matematika lo dulu baru
gangguin orang. Belum kerjain kan lo? Biasanya juga nyalin.”
“Alah, lo ngebuka aib gue, Dev! Jahat lo!” kata Rio manyun. "Lagian
bensin itu nyamber, bukan muncul!"
“Yeee... biarin,” kata Deva. “Eh, Ray, lo kan baru di sini, lo harus tahu
temen sekelas kita yang satu ini anaknya agak aneh. Udah kepo maksimal sama
Cakka, males ngerjain PR, otaknya rada-rada lagi.”
“Heh, ngehina gue, nanti lo pulang sendiri, oke?” kata Rio menunjuk Deva.
“Yeee... ngancem, baru hari ini gue nebeng aja udah sombong. Lagian, gue
nggak bakal mati juga kalau nggak bareng sama lo. Gue bisa naik taksi.” balas
Deva.
“Tunggu, kenapa kalian jadi berantem juga? Udah, mendingan bantuin gue
ngerjain ini.” kata Ray sambil tersenyum. Deva langsung merapat, mengambil kursi
dan melihat kertas yang sedang dikerjakan teman baru mereka tersebut bersama
Rio.
“Wah, ini lo buat sendiri? Pasti bagus nih,” kata Deva tersenyum melihat
pekerjaan Ray.
“Ini buat apaan memangnya, Ray?” tanya Rio.
Ray tersenyum. “Ada deh.”
J L J
JREEEEENG...
Terdengar suara ekstrim dari senar gitar listrik Cakka yang sedang dipetik
pemiliknya. Dia menumpahkan semua ilham yang ada di pikirannya menjadi musik blues yang asyik. Genre kesukaan Cakka
itu memang selalu menggema di ruang musik setiap hari ekskul band tiba. Selain
karena ingin mencari teman-teman yang juga hobi musik, Cakka ingin
sering-sering nongkrong di ruang kesukaannya itu. Di saat suasana hatinya
buruk, ruang musiklah salah satu tempat pelampiasan terbaik yang ia punya. Lega
nggak lega, pokoknya dia harus mengeluarkan semua beban sampai dia kembali
seperti semula.
Krek...
“Cakka! There you are!”
Cakka langsung menghentikan kesibukannya dan menoleh ke arah si sumber
suara. Ia menyimpan gitar listriknya di tempat gitar dan duduk menghadap ke
arahnya. “Tumben pagi-pagi udah dateng.”
“Harusnya gue yang ngomong gitu sama lo.” katanya sambil tertawa. Ia
mengambil tempat duduk di samping Cakka.
Cakka mendengus mendengarnya. Dia Anka, anak kelas sebelah yang juga ikut
ekskul band. Sejak masuk ke SMA MIFI, ia sudah dinobatkan menjadi keyboardist
band sekolah. Makanya, Cakka sudah cukup mengenal perempuan setengah bule ini.
Makanya tak heran rambutnya panjang berwarna cokelat tua. Turunan dari ibunya
yang juga berambut sama. Cakka senang-senang saja sih, berteman dengannya, tapi
tetap saja, yang namanya orang bule, tak suka basa basi. Dan kebiasaannya
memakai bahasa campuran kadang-kadang membuatnya kesal.
“Ada apaan sih memangnya? Gue lagi pengen sendiri kali.”
“Lo pikir gue nggak hafal sama sifat annoying
lo?” tanya Anka. “Gue ke sini cuma mau ngsih tau, kemarin ada anak baru tuh mau
masuk ekskul kita. Tapi, Obiet bilang, dia harus dites dulu. Dia nyuruh lo yang
jadi tester-nya. So, what do you say?”
“Kok gue sih? Dia kan ketuanya!” protes Cakka.
“Dia izin hari ini, ada urusan keluarga. Jadi lo yang ngetes dia. Oke ya?
Lo cuma menilai kemampuan dia kok, supaya kita tahu dia bakatnya dimana. Kalau
ada personil cadangan kan lumayan juga!” kata Anka sambil menepuk-nepuk pelan
punggung Cakka. Kemudian, ia langsung ngacir dari ruang musik.
Cakka langsung memukul lututnya kesal. Ah, baru dibuat kesal kakak-kakaknya
di rumah, sekarang Obiet ikut-ikutan membuat masalah. Ketua ekskul musik itu
pakai absen segala hari ini. Anak baru itu juga, berani-beraninya mengganggu
ketenangannya hari ini. Uh, awas saja, pokoknya saat pengujian nanti, dia akan
bertindak. Anak baru di ekskul band itu harus mendapatkan pelajaran.
J L J
DUK... DUK...
“Ayo, ayo, defense!” teriak guru
olahraga dari pinggir lapangan.
Pelajaran olahraga kelas Cakka dan kelas sebelah hari ini selesai lebih
awal karena hanya dipakai untuk mengambil nilai basket. Hanya dibutuhkan waktu
yang cukup pendek untuk menguji dua kelas yang sekarang sedang pelajaran
olahraga, sehingga sisa waktu satu jam dipakai oleh anak-anak cowok untuk
tanding basket. Yang lainnya lebih memilih untuk beristirahat di lapangan
karena sudah lelah.
“Cakka!” salah satu teman sekelas Cakka meminta bola.
“HUP!” Cakka langsung mengoper tanpa banyak bicara. Namun, tetap menjaga
para lawan yang berusaha menghadang timnya untuk mencetak skor. Setelah
beberapa lama, ia menerima bola lagi dari teman satu timnya dan beberapa detik
sebelum pertandingan berakhir segera mencetak angka dengan mulusnya.
“Good shot!” kata teman-teman tim
Cakka langsung memberikan teman mereka tersebut high five saat pertandingan dinyatakan berakhir. Cakka menerima
semua tangan teman-temannya tersebut kemudian langsung menuju ke pinggir
lapangan dengan cuek. Ia butuh air dan handuk sekarang juga. Badannya sudah
penuh dengan keringat, rambutnya sudah basah kuyup.
“Huh...” desah Cakka setelah menyambar botol minumnya sampai habis
setengah. Ia menghapus keringatnya sejenak kemudian langsung duduk di kursi
terdekat untuk mengistirahatkan badannya. Jam olahraga masih tersisa lima belas
menit.
“Cieee... yang jago basket,” tiba-tiba Anka sudah ada di dekatnya. “Andai
lo juga jago mengontrol sikap lo biar gue nggak ribet punya temen annoying kayak lo. Jangan lupa entar
latihan, oke?”
Cakka menoleh sejenak ke arahnya, kemudian kembali menyandarkan tubuhnya ke
dinding dan menutup wajahnya dengan handuk bekas menghapus keringat tadi. Uh,
tentu saja ia tak pernah lupa kalau nanti masih ada ekskul band. Ekskul
kesayangannya itulah yang selalu ia tunggu jika sedang badmood. Dan juga soal anak baru itu.
“Hei, dengar nggak sih gue ngomong?” kata Anka langsung menjitak pelipis
Cakka.
“Hm.” jawab Cakka cuek.
“Jangan lupa juga, tes tuh anak-anak baru. Gue lupa bilang tadi kalau ada
dua orang anak baru,” kata Anka. “Personil kita kan ada yang bentar lagi lulus
tuh, bisa jadi pengganti nanti. Yang lain juga udah pada setuju.”
“Iya, iya! Bawel banget lo, bule!” seru Cakka dari balik handuknya.
Kemudian, ia segera beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Anka yang
langsung berlari mengejar Cakka.
“Hei, tunggu kali, Kka!”
J L J
Hari sudah sore. Cakka, Anka dan anak-anak ekskul band lainnya sudah ada di
ruang musik untuk latihan. Namun, karena ada anak baru yang akan masuk ke
ekskul mereka, yang bukan anggota inti dibebaskan untuk latihan sendiri-sendiri
dulu. Hanya lima orang saja yang dari tadi sibuk menunggu dengan alat musik
masing-masing. Selain Anka yang perempuan sendiri, ada tiga orang laki-laki
lainnya yang menjadi personil inti dalam ekskul band.
“Udah jam segini mereka belum dateng juga?” tanya seseorang yang sibuk
melihat jam tangannya sejak tadi. Sesekali juga menggebuk dram yang ada di
hadapannya. Laki-laki pendiam yang dikenal sebagai Alvin itu sudah tak tahan
menunggu lagi. Dia sudah kelas tiga, tahun depan sudah akan menjalankan ujian.
Tapi, walaupun begitu, ekskul tetap jalan walaupun tak setiap kali ekskul ia
datang.
“Sabarlah, Vin, baru juga lima belas menit,” kata laki-laki yang sibuk
dengan handphone-nya sejak tadi. Kalau yang ini Gabriel, bassist dewasa di
ekskul band yang berasal dari kelas dua, XI-IPA1. Ia menoleh ke arah Cakka.
“Eh, Kka, pinjem gitar lo dong, udah lama gue nggak megang.”
Cakka yang duduk di lantai diam saja menatap laki-laki itu, kemudian
menyodorkan gitarnya. Setelah itu, dia langsung menutup matanya, berusaha
tidur. Ia tidak akan tahan kalau harus menunggu tanpa melakukan kegiatan.
“Anka, lo yang ngurusin dua anak itu, kan? Mereka nggak ngomong sama lo
mereka kemana?” tanya laki-laki sibuk hinggap di ambang pintu ruang musik. Dia
vokalis emosional yang bernama Dayat. “Bisa habis kalau band sekolah punya
personil jam karet begini.”
“Udahlah, kalian sabar aja, kalau mereka niat, mereka pasti dateng,” kata
Gabriel tanpa berhenti memetik gitar milik Cakka. Semuanya mengangguk, kemudian
kembali sibuk sendiri.
Sebenarnya, MIFI Band, band sekolah mereka itu tak sering-sering tampil.
Paling hanya ketika sekolah mengadakan lustrum, bazaar dan acara sejenisnya.
Mereka jarang mengikuti lomba-lomba di luar karena takut mengganggu jam belajar
mereka. Tapi, tetap saja, latihan tetap nomor satu. Jarang tampil bukan berarti
tak ada kegiatan. Terkadang jika sedang bosan, mereka suka iseng rekaman untuk
kenang-kenangan atau diunggah di media sosial. Dan dengan adanya Dayat di
antara mereka, jelas disiplin harus diterapkan. Dayat paling tak suka jika ada
salah satu dari teman bandnya terlambat datang, apalagi sampai bolos. Kecuali
memang ada urusan mendesak yang tak bisa ditinggal. Makanya, sebenarnya
disayangkan Dayat sudah akan lulus. Dia sekelas dengan Alvin, sudah akan
menjalankan ujian nasional tahun depan.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki buru-buru seseorang menuju
ruang musik. Alvin, Anka, Dayat dan Gabriel langsung menoleh ke arah sumber
suara. Begitu melihat kedua orang tersebut datang, Dayat langsung berdiri tegak
dan menatap mereka dengan tatapan datar. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam
saku.
“Lo berdua anak baru ekskul band?” tanya Dayat dingin. “Darimana aja
kalian? Ini udah jam berapa? Kalian terlambat hampir setengah jam.”
“Maaf, Kak, tadi saya habis dari ruang guru, ngumpulin tugas,” kata anak
laki-laki yang berdiri di depan. Kemudian, ia menunjuk ke arah temannya yang di
belakang. Laki-laki juga. “Kalau dia tadi katanya baru selesai ngerjain lagu.”
“Lagu?” tanya Gabriel tertarik. Ia menoleh ke arah teman anak baru itu. “Lo
penulis lagu?”
Anak itu tersenyum. “Cuma hobi kok, Kak. Tapi, saya jaga-jaga saja kalau
saya perlu lagu-lagu cadangan untuk dites di ekskul ini.”
Gabriel manggut-manggut. “Oke, kalau begitu, kita mulai aja ya tesnya.
Kalian tahu kan kalau kalian harus dites dulu sebelum bisa masuk ekskul band,
biar kita tahu aja kalian harus ditempatin dimana. Kalian siap?”
“Siap, Kak!” kata kedua anak tersebut.
“Oke, dimulai dari lo dulu.” kata Alvin, menunjuk laki-laki yang berdiri di
depan. “Siapa nama lo?”
“Oh, maaf, Kak, nama saya Kiki, kelas satu. Sekelas kok dengan Anka,
rencananya saya ingin menyanyi, soalnya saya nggak begitu jago main musik.”
katanya sambil tersenyum. “Kalau teman saya ini namanya Ray, sekelas dengan
Cakka. Katanya jago dram.”
“Oke. Kalau begitu, kita mulai aja. Kka, lo---“ kata Alvin terputus karena
ia baru sadar ternyata teman satu band-nya tersebut sudah tertidur pulas di
tempatnya. Keempat personil band sekolah tersebut langsung menepuk dahi mereka
melihat tingkah gitaris mereka itu. Benar-benar tukang tidur.
“Gila ya, sekalinya melamun dia pasti ketiduran,” kata Anka sambil
menggelengkan kepalanya. “Udah, udah, lo bertiga bubarin dulu tuh anak-anak
yang lain. Biar Kiki sama Ray gue yang urus. Kita perlu ruang kosong buat Ray.”
“Eh, nggak perlu. Kalau mereka mau di sini, nggak apa-apa kok,” tahan Ray
sebelum kakak-kakak kelasnya bergerak untuk membubarkan yang lain.
“Lo yakin?” tanya Anka menatap Ray ragu. Namun, Ray mengangguk mantap.
Kemudian, ia menoleh ke arah Kiki. “Ki, lo nggak apa-apa kan di tes di depan
anak-anak?”
Kiki mengangguk.
“Ya udah, berarti gini aja. Lo berdua Vin, Yel, atur anak-anak supaya nggak
ribut. Dayat sama gue ikutan jadi tester sama Cakka. Nanti kalau masih ada
waktu, kita lanjutin latihan sama yang lain.” kata Anka.
“Oke!”
Semuanya langsung bergerak dengan tugas masing-masing. Gabriel dan Alvin
langsung mengatur anak-anak yang lain, sementara Anka dan Dayat langsung
mengajak Kiki dan Ray untuk masuk ke dalam. Sementara dua anak baru tersebut
bersiap-siap sejenak, Anka dan Dayat sibuk membangunkan Cakka yang masih saja
belum sadar dari tidur pulasnya.
“Hei! Cakka! Wake up!” seru Anka
sambil mengguncang bahu Cakka.
“Ngg...” sahut Cakka malas.
“Kka, itu anak-anak ekskul yang baru udah pada dateng, ayo cepetan bangun!”
kata Dayat. Namun, Cakka tetap saja tidak membuka matanya. “Aduh, Cakka! Lo
lagi ekskul begini malah tidur! Udah cepetan melek! Gue tendang juga lo dari
ekskul musik kalau begini terus!”
“Ngg...” kata Cakka lagi, kemudian segera mengucek-ngucek matanya pelan-pelan.
“Apaan sih lo pada? Gangguin gue tidur aja. Lagian itu dua anak lama banget.
Gue kan bosen. Udah pada dateng?”
“Udah. Tuh lagi siap-siap sambil nungguin lo melek,” kata Dayat. “Oh ya,
kan akhirnya kita bertiga nih yang nilai mereka berdua. Jadi, gimana kalau gue
nilai Kiki, terus lo berdua nilai si Ray? Soalnya Kiki kan nyanyi, Ray main
musik. Jadi, lo berdua lebih tahu. Entar keputusannya baru bareng-bareng.”
“Oke, oke,” kata Cakka cepat. Namun, sedetik kemudian matanya membesar.
“Apa kata lo?! Ray?! Maksud lo Raynald Fillion Putra dari kelas gue?!”
“Iya, kenapa?” tanya Dayat heran.
Cakka langsung menepuk dahinya pusing. Kemudian, ia melirik ke arah dimana
Kiki dan Ray berada. Matanya tak sengaja bertemu dengan Ray. Ia langsung
mendengus kesal dan membuang muka begitu Ray tersenyum dan melambaikan
tangannya.
“Udah, nanti urusan Ray serahin sama gue. Lo berdua urus Kiki. Abis itu,
bubarin anak-anak. Gue mau saat tes nanti cuma ada gue sama Ray di ruang musik.
Nggak pake ngebantah, oke?” kata Cakka kepada dua temannya.
“Lah, lo mau ngapain, Kka?” tanya Anka ingin tahu.
“Lo nggak usah banyak tanya!”
Dayat menggelengkan kepalanya. Ia sudah biasa dengan sikap Cakka yang
seperti itu. Ia langsung mengajak Anka untuk memulai tes dengan Kiki. Sementara
Cakka duduk di pinggir sambil memetik gitarnya yang sudah dikembalikan oleh
Gabriel. Setelah Kiki selesai tes, semua anggota ekskul langsung dibubarkan
sesuai dengan perintah Cakka tadi.
J L J
“Lo ngapain sih di sini?”
Ray hanya tersenyum mendengar pertanyaan Cakka itu, begitu ruang musik
sudah benar-benar kosong. Cakka yang tadinya duduk di pinggir langsung
menghampirinya dengan kesal. Terlihat sekali di wajahnya bahwa ia sama sekali
tak suka kalau Ray ada di ruang itu. Kerutan dahinya berlipat-lipat, matanya melotot
hingga hampir keluar. Mungkin kalau bukan Ray yang ada di hadapannya sekarang,
semuanya sudah pada kabur karena takut melihat wajah Cakka yang begitu seram.
“Gue pengen gabung sama kalian.” kata Ray tenang.
“Lo nggak inget apa yang gue bilang kemarin? Masih berani lo muncul di
sini?” tanya Cakka. “Kalau aja gue tahu kemarin lo mau ngedaftar di ekskul
band, gue nggak akan sudi ninggalin lo sendirian di sekolah. Gue kan udah
bilang, JANGAN MASUK EKSKUL BAND!”
“Kenapa?”
“Ngeliat muka lo di kelas aja gue udah muak! Gue nggak mau ngeliat muka lo
lagi sepulang sekolah!” kata Cakka sebal. “Pokoknya gue nggak sudi masukin lo
ekskul band. Sekarang, lo pulang. Silahkan daftar di ekskul lain. Bikin gue
tambah emosi aja!”
“Gue masuk ke ekskul ini karena hobi gue memang main musik, Kka. Waktu itu
kan gue udah cerita sama lo,” kata Ray lagi. “Gue pikir, seru juga kalau kita
bisa main musik bareng. Sama anak-anak yang lain juga.”
“Peduli apa gue soal itu? Pulang lo sana!” seru Cakka emosi.
Namun, Ray tetap diam dan tersenyum kalem di tempatnya. Cakka sampai
benar-benar tak bisa menahan amarahnya lagi. Nafasnya sampai tak beraturan
karena amarahnya yang memuncak.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Ray khawatir melihat Cakka.
“Lo nggak usah sok peduli,” kata Cakka dengan nada yang lebih pelan karena
lelah. Tapi, Ray tetap diam di sana. “Oke, kalau lo nggak mau pulang, gue yang
akan pulang. Capek gue ngadepin lo.”
Ray tetap saja diam melihat langkah kaki Cakka yang menjauh dari ruang
musik. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Cakka. Ia tahu
teman sebangkunya itu tak akan setuju jika dia masuk ke dalam ekskul band juga,
seperti yang dikatakannya kemarin. Makanya, Ray sengaja membiarkan dia pulang
duluan, agar Ray dapat daftar di ekskul ini. Tapi, tak disangka, ternyata yang
akan memberikan dia tes justru teman sebangkunya sendiri.
Ray menoleh ke arah sekeliling ruang musik sampai ia menemukan sebuah dram
yang sejak tadi menganggur. Ia tersenyum sejenak, kemudian langsung bergerak
menuju alat musik pukul tersebut. Ia duduk di belakang dram dan memukul dram
tersebut perlahan-lahan hingga akhirnya ia asyik ngedram sendiri.
Cakka yang sebenarnya masih ada di luar tiba-tiba berhenti mendengar suara
berisik dari ruang musik. Dengan ragu-ragu ia kembali lagi ke dalam ruang musik
dan berdiri di depan dram tersebut. Ia melipat kedua tangannya di depan dada
dan menatap cara bermain Ray dengan saksama.
Ray yang menyadari Cakka kembali lagi ke dalam ruang musik, langsung
berhenti bermain. Ia nyengir menatap Cakka. Rasanya tidak sopan memakai
properti ruang musik tanpa izin. Tapi, Cakka juga tidak memberikan tanda-tanda
bahwa dia akan segera marah.
Cakka mengangkat alis. “Ada yang suruh lo berhenti main?”
Ray terdiam mendengar pertanyaan Cakka. Ia menatap Cakka heran.
“Cepet lanjutin!” kata Cakka sebal. “Coba lo main tiga lagu kesukaan lo
tanpa berhenti. Jadiin medley. Abis itu, lo mainin alat musik lain yang lo bisa,
terus nyanyi satu lagu bebas. Setelah itu, tunjukkin portofolio lo selama ini
sama gue.”
Ray tersenyum, kemudian langsung dengan senang hati menurutinya. Tanpa
keluhan sedikitpun ia langsung melakukan medley tiga lagu tersebut seperti yang
Cakka minta. Kemudian, ia juga memainkan piano dan gitar sedikit. Diakhiri
dengan bernyanyi lagu kesukaannya juga diiringi dengan gitar yang ia pinjam
dari Cakka.
Selama Ray menunjukkan semua bakat-bakatnya, Cakka hanya diam saja di
tempatnya. Tangannya tetap terlipat di depan dada tanpa bergerak sedikitpun.
Tak ada yang bisa menebak pikirannya saat itu. Matanya tetap fokus kepada Ray,
entah ingin mencari-cari kesalahan atau apa. Raut wajahnya sama sekali tak
menunjukkan reaksi apa-apa.
Ray tersenyum setelah ia selesai bernyanyi. “Ada lagi yang harus gue
lakukan?”
Cakka tampak tersenyum meremehkan. “Banyak. Tadi dram lo ketukannya banyak
yang nggak rapi, nyanyian lo ada yang fals dan lo masih payah di piano sama
gitar. Sekarang coba lo bikin lagu dalam waktu lima menit, terus lo nyanyiin
sesuka lo. Terus lo juga harus nyanyi lagu kebangsaan band kita, lagu Bendera
dari Cokelat.”
“Oh, gue bawa lagu kok, tadi baru bikin,” kata Ray sambil mengeluarkan
kertas lagunya.
“Ada yang bilang lo boleh pake lagu lama? Lo harus bikin lagu baru sekarang
juga dan nyanyiin tanpa teks,” kata Cakka cuek. “Kalau lo nggak bisa, ya udah
nggak usah masuk ekskul band. Kita nggak butuh pemusik payah kayak lo.”
“Gue bisa,” kata Ray sambil tersenyum. “Mulai sekarang juga nggak apa-apa.”
“Oke, silahkan.”
Ray tampak berpikir sejenak sambil memangku gitar Cakka. Sekitar dua menit
kemudian, ia langsung tersenyum dan mencari-cari chord gitar sebentar. Setelah
itu, ia langsung mulai menyanyikan satu bait lagu. “Mungkin kau tak akan
mengerti, arti persahabatan yang sebenarnya, bukan karena harta ataupun status
yang kupinta, namun ketulusan hati yang terpenting...”
“Oke, sekarang, lagu kebangsaan.” kata Cakka.
“Nggak boleh minum dulu?” tanya Ray. Tenggorokannya sudah haus kalau boleh
jujur. Badannya juga cukup lelah karena banyak tes. Melakukan semua yang
dilakukan barusan itu butuh banyak energi. Apalagi dram. Dia sudah menguras
setengah energi badannya kalau bermain dengan alat musik pukul tersebut.
“Kalau lo nggak bisa ya gue bisa cari—“
“Oke, oke,” potong Ray. “Gue mulai sekarang.”
“Bagus, setelah ini lo harus lari keliling lapangan lima kali. Sambil gue
ngeliat portofolio lo,” kata Cakka.
“Habis itu, gue dinyatakan resmi jadi anggota?” tanya Ray lagi.
“Tunggu keputusan Dayat dan Anka,” kata Cakka lagi dengan entengnya.
Langsung membuat Ray menepuk dahinya lelah. Ternyata susah juga mau masuk ekskul
band saja di sekolah barunya itu. Harus melewati banyak cobaan dulu dari
gitaris band sekolahnya. Udah kayak mau masuk kerja aja harus dites ini-itu.
“Memangnya apa hubungannya lari sama musik sih?” tanya Ray penasaran.
“Udah, cepetan! Gue mau pulang!” kata Cakka lagi melihat Ray tak mulai
juga.
“Duh, iya iya, gue mulai sekarang!”
J L J
Berkat tes ekskul kemarin, badan Ray sukses pegal-pegal hingga pagi hari.
Kepalanya juga masih pusing karena memikirkan kejadian kemarin. Begitu sampai
di kelas, Ray langsung menarik-narik semua ototnya agar terasa lega sedikit. Ia
mengurut kedua tangannya dari bahu hingga ke jari-jarinya kemudian juga
meluruskan kedua kakinya. Setelah selesai, ia langsung menyandarkan dirinya di
kursi.
“Hah...” desah Ray lelah. Ah, untung saja Cakka belum datang. Akan panjang
lagi masalahnya kalau Cakka melihatnya seperti ini. Padahal, kemarin ia sudah
beristirahat lebih awal agar badannya tidak pegal-pegal lagi. Ternyata, rasa
pegalnya masih ada.
“Pagi, Ray!” tiba-tiba terdengar suara Deva di dekatnya. Ternyata, ia baru
saja datang. “Kenapa lo? Masih pagi-pagi begini lo udah kayak orang stres aja.”
Ray mengangkat kepalanya dari sandaran kursi dan tersenyum ke arah Deva. “Pagi,
Va. Gue nggak apa-apa kok. Kemarin abis tes ekskul band doang.”
“Hah? Tes ekskul band sampe kayak begini? Lo diapain sama Obiet?” tanya
Deva heran.
“Obiet? Siapa tuh?” tanya Ray heran. “Kemarin yang ngetes gue bukan Obiet
kok.”
“Hah? Kemana itu anak? Dia tuh anak kelas dua, Ray, biasanya dia yang
ngetes anak-anak baru soalnya dia kan ketua ekskul. Terus kalau bukan dia,
siapa dong yang ngetes lo?”
“Cakka.” jawab Ray singkat, kemudian ia menyandarkan kepalanya kembali ke
kursi.
Deva langsung menepuk dahinya. “Pantes aja lo sampe kayak begini.”
Ray tertawa kecil. “Udahlah, nggak apa-apa. Entar gue juga baik lagi. Gue
cuma agak lelah.”
“Oh, ya udah, gue ke tempat duduk gue dulu ya.” kata Deva, kemudian
langsung pergi menuju bangkunya yang ada di belakang. Ia ingin menghabiskan
waktunya dengan membaca buku sambil sesekali melihat teman barunya yang sedang
beristirahat. Ia hanya bisa menghela nafas. Pasti Cakka sedang emosi, makanya
Ray kena imbasnya. Benar-benar menyebalkan.
Bukan Deva saja yang heran, Riopun ikut-ikutan kepo begitu melihat Ray
seperti itu. Tapi, Ray tentu saja berkata bahwa dia baik-baik saja. Ah,
cukuplah Deva saja yang tahu kalau dia lelah. Ia tak ingin membuat banyak orang
kasihan padanya. Baginya itu perbuatan yang kurang baik. Kayak orang kurang
perhatian aja.
“Serius lo nggak apa-apa, Ray?” tanya Rio. “Kalau lo perlu istirahat
mending ke UKS aja.”
“Ah, UKS kan kalau sakitnya parah doang. Udah, lo nggak usah khawatir,”
kata Ray sambil tersenyum. Kemudian, ia menyingkir dari tempat duduknya. “Gue
ke kamar mandi dulu ya. Lo nggak usah mikirin gue, oke?”
“Terserah lo deh, Ray. Padahal, niat gue baik loh.” kata Rio heran.
Ray tertawa. “Iya, iya, gue tahu, Rio.” Kemudian, dia langsung meninggalkan
kelas.
Begitu sampai di kamar mandi, Ray membasuh wajahnya di wastafel, kemudian
menatap dirinya di cermin. Hari ini ia baru bisa mengartikan apa maksud dari
kata-kata Deva kemarin tentang Cakka. Laki-laki memang teguh pendirian. Sekali
bilang tidak, tetap tidak. Dia mau semua orang mengikuti bagaimana cara
hidupnya. Karena itulah kemarin dia begitu marah ketika menyadari Ray membantah
soal masuk ekskul. Dan mungkin rasa pegal-pegal di badannya ini, sudah
direncanakan Cakka sejak awal. Agar ia menuruti ucapannya.
Tapi, tidak. Ray jelas tak akan menyerah untuk masuk ke dalam ekskul band
itu hanya karena kemarin dikerjai Cakka. Ini bukan salah siapapun, Cakka juga
tidak salah melakukan ini kepadanya karena ia juga yang membantah kemauan
Cakka. Mungkin sebagian besar orang yang mengenalnya hanya tak tahu apa yang
Cakka butuhkan, apa yang Cakka inginkan. Makanya, Cakka lebih cenderung tak
nyaman dengan mereka. Dan Ray tak mau itu terjadi padanya juga. Bagaimanapun
juga, Cakka teman pertama yang ia kenal di SMA MIFI. Ia ingin bersahabat
dengannya, sama seperti dengan Deva, Rio dan teman-teman yang lain. Masa bodo
dengan apa yang dipikirkan laki-laki cuek itu. Ray tidak bermaksud buruk, ia
hanya belum mengenal baik teman sebangkunya itu.
“Ray?” tiba-tiba seseorang muncul dari balik pintu kamar mandi.
Ray menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum. “Hei. Kak Dayat, kan?”
Dayat mengangguk. “Lo ngapain sendirian di sini? Bentar lagi masuk loh.”
Ray menggeleng. “Nggak apa-apa kok, Kak. Cuci muka doang, ini juga mau
balik.”
“Oh,” kata Dayat manggut-manggut mengerti. “Eh, kemarin bagaimana tes
ekskulnya? Lo diapain sih sama Cakka? Sampe harus privasi begitu. Lo nggak
dikerjain sama dia, kan? Terus lo udah resmi jadi anggota, kan?”
“Nggak kok, Kak, biasa aja,” kata Ray nyengir. “Tapi, kata dia nunggu
keputusan Kakak sama Anka dulu baru bisa resmi jadi anggota. Kemarin kata Cakka
ketukan dram gue nggak rapi, nyanyian gue fals. Macem-macem deh kurangnya, Kak.
Terus lari keliling lapangan gitu deh.”
“Lari?” tanya Dayat heran.
“Iya, Kak.”
“Itu sih namanya dikerjain, Ray. Harusnya tesnya tuh cuma kemampuan lo
doang. Lo bisanya apa, disuruh praktek. Nggak harus lari juga sih,” kata Dayat
sambil menggelengkan kepalanya. Ia menepuk pundak Ray. “ Ya udah, lo sabar aja
deh. Cakka memang begitu. Lo resmi jadi anggota sekarang. Anka juga pasti
setuju. Tapi, boleh dong minggu depan gue lihat aksi dram lo? Siapa tahu bisa
jadi drammer band sekolah kita. Si Alvin udah mau lulus soalnya.”
Ray tersenyum. “Terima kasih, Kak.”
“Ya udah, lo balik ke kelas gih. Daripada telat.” kata Dayat.
Ray mengangguk, kemudian hendak keluar dari kamar mandi. Tapi, sebelum ia
sempat memegang gagang pintu, ia menoleh lagi ke arah Dayat. “Kak, hampir lupa.
Ruang musik boleh dipakai kan kalau band lagi nggak latihan?”
Dayat tersenyum. “Silahkan.”
J L J
Kelakuan menyebalkan Cakka kepada Ray kemarin jelas menyebar setelah Dayat
mengetahuinya. Ia segera memberitahu Anka saat istirahat, kemudian Anka juga
memberitahu anak-anak lain yang perlu tahu soal ini. Bukan itu saja, begitu
pulang sekolah, Anka juga langsung menarik Cakka keluar dari kelas untuk
membicarakannya.
“Apaan sih lo? Gue mau pulang!” kata Cakka sebal begitu Anka melepaskan
bajunya di depan kelas. Namun, Anka memanyunkan bibirnya mendengar ucapan
Cakka.
“Lo yang apa-apaan! Ngapain lo ngerjain Ray kemarin? Sejak kapan musik ada
urusan sama keliling lapangan, coba? Tes ekskul yang harus lo kasih ke dia kan
cuma tes kemampuan doang. Pake bawa-bawa nama kita lagi. Lo tahu nggak, Dayat
marah besar tahu! Kemarin bukannya lo bilang lo yang bakal urus tesnya Ray?
Ngapain lo pake nunggu keputusan kita sih?” kata gadis berambut cokelat itu
sebal.
“Memangnya kenapa?” tanya Cakka datar.
“Kenapa, kenapa! Duh, capek ya gue ngomong sama lo. Tinggal bilang udah
boleh masuk ekskul aja susah amat sih kayaknya? Awas ya kalau nanti lo
apa-apain anak-anak ekskul lagi. Habis lo sama gue! Sama Dayat juga!” kata Anka
lagi putus asa.
“Siapa suruh gue yang ngetes,” kata Cakka cuek. Kemudian, ia berbalik
badan, meninggalkan Anka. Teriakan gadis itupun tak digubrisnya lagi. Sejenak
ia sempatkan melirik ke arah dalam kelas, dimana Ray berada. Kemudian, ia
langsung meninggalkan kelas. Benar-benar pembuat masalah semuanya. Mungkin
kalau Cakka tak emosi, itu akan jadi masalah untuk semua orang ya? Makanya,
semua orang selalu membuat masalah dengannya.
Ray yang melihat kejadian itu dari dalam hanya diam saja. Begitu ia selesai
membereskan barang-barangnya, ia langsung menghampiri Anka yang masih ada di
depan kelas. Ia menepuk pundak Anka dengan ragu. “Hei.”
Anka tersenyum. “Hei, Ray.”
“Cakka udah pulang ya?”
Anka mengangguk. “You’re okay now?
Gue denger lo dikerjain Cakka.”
Ray tersenyum. “Lo harusnya nggak usah marah sama dia. Ini murni salah gue,
kok.”
“Salah lo bagaimana? Jelas-jelas Cakka yang salah, dia itu udah ngerjain lo
sampai lo kelelahan begitu. Pake nunggu keputusan gue sama Dayat lagi,” kata
Anka tak terima.
“Cuma kelelahan, kan? Udah, nggak apa-apa, kok,” kata Ray menyakinkan.
“Lo perasaan kebal banget sih sama Cakka? Padahal dia kasar banget sama
lo.” kata Anka heran melihat sikap Ray. Sejauh yang ia tahu, tak pernah ada
yang tahan dengan laki-laki cuek itu jika sudah diapa-apain.
“Itu nggak seberapa, Ka.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Anka heran. Tak mengerti apa maksudnya. Namun, senyum
manis yang terpancar di wajah Ray membuatnya menghela nafas menyerah.
“Whatever you say deh, Ray. Gue baru mau ke ruang musik buat
ngerjain lagu buat band sekolah. Lo mau ikut?” tanya Anka. “Kayaknya lo jago
nih bikin-bikin lagu. Siapa tahu bisa bantu gue, sekalian gue pengen liat
sebenernya lo semana sih jagonya lo main musik.”
Ray tersenyum. “Nggak deh, makasih. Gue harus balik cepet-cepet hari ini.
Nggak bisa pulang telat. Sori ya.”
“Oh, ya udah, sori udah ganggu lo. Gue duluan ya!” kata Anka sambil
tersenyum, kemudian langsung meninggalkan Ray yang juga langsung berjalan
meninggalkan sekolah.
J L J
“Aku pulang.” seru Ray pelan begitu ia sampai di rumah. Ia melepaskan
sepatunya dan menaruh tasnya di sofa. Setelah itu, ia bergerak menuju sebuah
kamar yang terletak di lantai dua. Di sana ada dua kamar, selain kamarnya, ada
satu kamar lagi yang ditempati adiknya. Namun, sudah lama ia tak berkunjung ke
sana. Semenjak kejadian itu.
Perlahan-lahan Ray mengulurkan tangannya, mencoba untuk memegang gagang
pintu dan melihat adiknya yang pasti sudah pulang. Namun, sebelum hal itu
terjadi, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari dalam kamar.
“Kak Ray bukan kakakku! Kak Ray
bukan kakakku!” teriakan itu berhasil membuat Ray menghentikan tangan Ray yang
ingin memegang gagang pintu. Pria itu hanya bisa berdiri diam di depan
mendengar suara tersebut. Sudah terlalu kebal ia mendengarkan suara itu melukai
hatinya hingga ia tak bisa merasakan apa-apa lagi bila kalimat tersebut
lagi-lagi harus didengarnya.
“Kamu udah makan belum, Cha?” tanya Ray pelan. “Ini kakak bawakan makanan
buat kamu kalau kamu laper. Tapi, buka pintunya dulu dong.”
“Kak Ray bukan kakakku! Kak Ray bukan kakakku!” teriakan itu lagi-lagi
terdengar dari dalam. “Kak Ray nggak usah sok peduli sama aku! Nggak usah
sok-sok beli makanan! Kak Ray jahat!”
“Kalau begitu, nanti kalau laper, makan ya, Cha? Kakak taruh makanannya di
depan pintu.”
Tak ada sahutan dari dalam.
Ray hanya bisa menghela nafas. Ia menaruh seplastik makanan yang tadi
dibelinya sepulang sekolah itu di sudut pintu kamar adiknya, kemudian memilih
masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Ia mengganti baju seragamnya dengan
baju rumah, kemudian membanting tubuhnya di tempat tidur. Berusaha
menghilangkan rasa lelah yang selama ini tak pernah hilang. Rasa lelah yang
sama sekali tidak seberapa dengan rasa lelah yang ia dapatkan akibat kerjaan
Cakka kemarin.
Ray tahu sebabnya. Ayah pernah menceritakannya. Tapi, Ray tak pernah
menyangka bahwa sebab itu akan berlanjut hingga ia dewasa. Sudah bertahun-tahun
adiknya tak ingin berbicara kepadanya. Kalaupun ia bersedia, itu hanya karena
dipaksa Ayah atau karena memang harus berbicara. Dan Ray tak pernah mengharapkan
itu. Ray hanya ingin adiknya nyaman berada di dekatnya. Tapi, semua itu hampir
menjadi harapan mustahil. Ia sudah gagal menjadi kakak yang baik. Dan adik
siapapun pasti kecewa mengetahuinya.
Ray menghela nafas. Entah sampai kapan ia harus menunggu sampai ia bisa
bertatapan muka lagi dengan adiknya. Melihat adiknya tersenyum menatapnya,
tertawa bersamanya, bukan tatap muka yang seram, marah, emosi seperti sekarang.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p