Pagi ini Cakka berangkat sekolah dengan kedua kakaknya. Harusnya memang
seperti ini. Semenjak Elang kuliah, ia diberi kewajiban untuk mengantar kedua
adiknya ke sekolah sehingga iburan kelulusan waktu itu ia pakai untuk belajar
mobil. Dan dengan kewajibannya ini, Bunda yang sudah lewat dari empat puluh
tahun bisa agak bersantai di rumah karena tak perlu mengantar anak-anaknya lagi
seperti dulu.
Cakka sih oke-oke saja jika disuruh berangkat dengan mereka. Tapi
masalahnya, dengan adanya peraturan ini, Cakka tak pernah bisa mendapatkan
tidur yang nyenyak. Setiap hari Biru mengganggu tidurnya dan membuatnya tambah
malas untuk bangun. Jujur, sebenarnya Cakka benci dengan orang yang terlalu
terburu-buru.
“Udah, jangan ditekuk terus
mukanya. Masih pagi juga.” kata Biru yang duduk di depan.
Cakka melirik Biru dari ujung matanya. Jangan ditekuk katanya? Hei, tak
sadarkah dia kalau ini justru akibat dari perbuatannya? Kalau saja tadi pagi
dia tidak rusuh membangunkannya, menyuruhnya cepat-cepat menghabiskan sarapan,
ia pasti tak akan begini. Masih untung Cakka tidak tersedak tadi pagi! Kalau
terjadi sesuatu dengannya karena perbuatannya itu, Biru sudah benar-benar habis
ia abaikan seumur hidup!
“Udah, biarin aja, Bi. Lo juga nyuruh dia cepet-cepet.” kata Elang
nimbrung, namun tetap fokus dengan setir mobilnya.
“Lah, kok gue sih?” protesnya.
“Udah, nggak usah dibahas. Yang penting sekarang lo biarin aja Cakka kayak
begitu. Entar juga baik sendiri kalau udah nyampe sekolah. Lo mau dimangsa
dia?” tanya Elang lagi.
Biru hanya diam saja mendengarnya. Ikut ngambek karena merasa tak didukung.
Sementara Elang kembali fokus menyetir.
Begitu sampai di sekolah, Cakka langsung pergi menuju kelas dan kembali
tidur dengan telinganya yang sudah tersumbat oleh headset, agar tak ada yang mengganggu tidurnya lagi. Untung saja ia
duduk sendiri, sehingga tak ada yang akan mengganggunya.
Sebenarnya kursi di sebelah Cakka dulu terisi oleh seseorang. Namun, karena
satu dan dua alasan, ia harus pindah sekolah sehingga Cakka kembali sendirian. Kepergiannya
membuat sebagian besar teman-teman sekelas merasa sedih karena dia adalah anak
yang sangat menyenangkan. Entahlah bagaimana dia sekarang. Cakka sudah tak
pernah menghubunginya lagi. Padahal, dulu dia cukup dekat dengan Cakka. Dia
adalah sebagian kecil dari orang yang bisa mengerti dan menerima sifat Cakka
yang aneh.
“Hei!”
Lagi enak-enaknya tidur, tiba-tiba Cakka merasa ada yang
mengguncang-guncang tubuhnya. Suara itu juga ikut memaksanya untuk bangun. Cakka
membiarkannya saja, berharap anak itu akan berhenti karena lelah. Namun, dugaannya
ternyata salah. Dia bukannya berhenti, dia justru terus mengguncangnya.
“Hei!” suara itu semakin keras.
‘Ngg...” Cakka mengeluarkan sedikit erangan, sukses membuat guncangan yang
dirasakannya berakhir. Selanjutnya terdengar suara menaruh barang, entah sedang
apa dia. Tapi, yang pasti ia kembali bisa tidur nyenyak kembali.
J L J
“Baik, anak-anak, sebelum memulai pelajaran hari ini, Bapak ingin
memberitahu bahwa ada siswa baru yang akan bergabung bersama kalian mulai hari
ini,” kata Pak Duta, wali kelas Cakka di depan kelas. Ia menoleh ke arah anak
baru yang sudah duduk manis di tempatnya. “Silahkan maju ke depan. Perkenalkan
diri kamu dulu.”
Anak baru itu segera menyingkir dari kursinya dan berjalan ke depan kelas.
Ia berdiri di samping Pak Duta dan tersenyum menatap anak-anak yang akan
menjadi teman-teman barunya kelak. Ia menemukan berbagai macam ekspresi dari
wajah mereka. Namun, sepertinya mereka semua menunjukkan rasa welcome begitu ia ada di depan.
Ia melambaikan tangannya kepada mereka. “Hai, nama saya---“
“Sebentar, Nak.” kata Pak Duta tiba-tiba menepuk pundaknya pelan.
Anak itu menoleh ke arah Pak Duta yang ternyata sedang menatap ke arah satu
titik dengan kesal. Ia langsung mengikuti kemana tatapan beliau berhenti.
Kemudian, ia tersenyum manis melihat pandangan tersebut. Ternyata itu, yang
membuat beliau merasa tak terhormati.
“Cakka!” seru beliau dengan lantang.
Namun, yang dipanggil tetap saja tidur dengan nyenyak.
“CHASE KARAYNE!!” teriak Pak Duta lagi, sukses membuat hampir semua murid
menutup telinganya karena tak tahan dengan suara nyaringnya.
“Ngg...” hanya terdengar suara lirih sebagai respon Cakka dari suara Pak
Duta itu.
Melihat ketegangan tersebut, anak baru yang bingung itu langsung menoleh ke
arah Pak Duta. “Pak, nggak apa-apa. Saya lanjutkan saja. Mungkin dia butuh
istirahat.”
Pak Duta menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Nak. Tidur di kelas itu sama
saja dengan tidak menghormati saya. Tidak menghormati kamu juga sebagai teman
baru.”
Anak baru itu menggeleng lagi. “Tidak apa-apa, Pak. Untuk kali ini biarkan
saja dia tidur.”
Pak Duta terdiam sejenak, kemudian melirik jam tangannya. “Ya sudah, saya juga
tidak ingin membuang banyak waktu di pelajaran saya, kalau begitu silahkan
perkenalkan diri. Nanti kamu saja yang menasehatinya.”
Anak baru itu tersenyum. Kemudian, ia menatap ke arah teman-temannya lagi.
“Hai semuanya. Nama saya Raynald Fillion Putra. Pindahan dari Bekasi. Saya
harap kalian semua bisa menerima dan berteman dekat dengan saya ya. Saya mohon
bantuannya.”
“Nah, anak-anak, bantu Ray agar dia bisa nyaman berada di sini ya!” kata
Pak Duta.
“Baik, Pak!” kata satu kelas dengan kompak.
“Nah, Ray, kalau kamu punya masalah, kamu bisa tanya-tanya ketua kelas di
sini, Deva, atau teman-teman barumu,” kata Pak Duta kepada Ray. Kemudian, ia
menoleh ke arah salah satu muridnya.
“Deva, coba kamu berdiri.”
Laki-laki yang bernama Deva itu segera berdiri dan tersenyum. Ray langsung
melambaikan tangannya dan tersenyum kembali kepadanya.
“Nah, itu yang namanya Deva. Kamu bisa tanya apa saja padanya,” kata Pak
Duta. “Oke, sekarang kamu boleh duduk kembali.”
“Baik, Pak.” kata Ray patuh. Ia segera kembali ke tempat duduknya.
Setelah itu, Pak Duta langsung memulai pelajarannya tanpa menghiraukan
Cakka yang masih saja asyik tertidur. Sesekali ia melirik ke arahnya, berharap
muridnya tersebut bangun dan memperhatikan seperti murid-murid yang lain.
Namun, harapannya sia-sia saja hingga bel pergantian pelajaran berbunyi.
Ray yang sekarang menempati kursi di sebelah Cakka juga hanya tersenyum
melihat teman sebangkunya tersebut bisa tertidur pulas di tengah-tengah pelajaran
seperti ini. Laki-laki yang unik, pikirnya.
J L J
“Lo udah bangun?”
Cakka yang baru saja mengucek-ngucek matanya kaget ketika mendengar suara
di sebelahnya. Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki berambut cepak sedang
tersenyum padanya. Ia mengernyitkan dahinya heran. Dengan wajah yang masih
mengantuk, ia bertanya, “Lo siapa?”
Ray mengulurkan tangannya. “Gue Ray, Raynald Fillion Putra. Hari ini baru
masuk dan jadi temen sebangku lo.”
Cakka manggut-manggut. Kemudian, ia membalas uluran tangan Ray. “Oh, anak
baru. Salam kenal, gue Cakka. Sori, sekarang jam berapa? Udah berapa lama gue
tidur?”
“Mungkin sekitar 3 jam. Sekarang sedang istirahat siang,” kata Ray sambil
tersenyum.
“Oh,” kata Cakka singkat. “Kenapa lo nggak bangunin gue?”
“Gue takut lo masih ingin istirahat,” kata Ray. Ia mengeluarkan sebuah buku
bacaan dari dalam tasnya dan melanjutkan ucapannya. “Tadi pagi lo kayaknya
capek banget, gue bangunin malah nggak bangun-bangun. Ya udah gue biarin aja.”
“Hah?” kata Cakka. “Jadi lo yang tadi bangunin gue?”
Ray nyengir. “Maaf ya. Kalau lo masih mau tidur, tidur aja.”
Cakka terdiam mendengarnya. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
Heran dengan anak baru yang ada di hadapannya ini. Belum pernah ada orang yang
tak keberatan ia tidur seharian. Dan lagi, memangnya tadi guru yang mengajar
tidak marah-marah dia tidur selama pelajaran mereka? Ah, nggak tahu lah.
J L J
Tak terasa bel pulang sekolah telah berbunyi. Semua anak-anak langsung
membereskan barang-barang mereka dan meninggalkan kelas. Tak terkecuali Cakka
dan Ray. Dua anak itu sibuk merapikan meja mereka yang penuh dengan peralatan
sekolah.
Cakka menggantungkan tasnya di pundak dan menatap ke arah teman sebangku
barunya yang masih sibuk dengan isi tasnya. Anak itu sepanjang pelajaran tadi selalu
mengajaknya bicara, entah bertanya-tanya soal tugas yang dikerjakan, tentang
sekolah maupun hal-hal di luar sekolah. Terkesan kepo seperti Rio, namun ia tak
cerewet. Entahlah, sampai detik ini Cakka masih merasa ada yang mengganjal dari
anak baru itu.
Ray yang merasa diperhatikan menoleh ke arah Cakka. “Kenapa?”
Cakka kaget sejenak, kemudian nyengir. “Nggak apa-apa. Gue... duluan ya?”
“Oh, lo buru-buru?” tanya Ray sambil tersenyum.
Cakka menggeleng. “Memang kenapa?”
“Nggak sih, gue kan baru di sini, mumpung udah sepi, gue pengen nyuruh lo
nganterin gue keliling sekolah. Biar besok-besok gue nggak nyasar. Tapi, kalau
lo sibuk, ya udah besok aja.” kata Ray.
Cakka mengenyitkan dahinya heran. “Mumpung sepi? Maksud lo?”
Ray terdiam sejenak, kemudian menggaruk-garuk tengkuknya malu. “Gue kan
baru masuk ke sekolah ini, jadi gue masih kurang nyaman kalau ada yang lain.
Kalau sama lo kan gue udah kenal.”
Cakka diam mendengar jawabannya. Apa? Malu? Kurang nyaman? Dia berkata seperti
itu terkesan aneh. Dua hal itu adalah perbuatan tak penting yang pernah ia
dengar. Untuk apa malu dengan teman-teman baru? Kalaupun karena belum kenal,
tinggal kenalan saja. Kalau kurang nyaman dengan mereka, lebih baik sendirian
saja. Dam mengajak Cakka dengan alasan sudah kenal rasanya seperti Ray tertarik
padanya saja. Yang ada Cakka bisa-bisa ilfil dengan Ray besok-besok karena hal
ini.
“Eh... gue aneh ya?” tanya Ray melihat Cakka diam saja. Ia masih merasa
malu.
“Oh, nggak kok, jangan salah paham.” Buru-buru Cakka angkat bicara.
Ray tertawa kecil mendengarnya. “Kalau begitu, gue duluan ya.”
“Loh, katanya lo mau eksplor sekolah?”
“Bukannya lo sibuk? Besok aja, istirahat siang,” kata Ray lagi membuat
Cakka bungkam. Kemudian, ia langsung pergi tanpa menunggu jawaban.
Cakka diam saja melihat langkah Ray menjauh darinya dan hilang di balik pintu
kelas. Heran, anak itu setengah aneh setengah menyebalkan. Dia laki-laki tapi
pemalunya keterlaluan. Di samping hal itu, dia seenaknya membuat janji tanpa
sempat Cakka konfirmasi. Tapi... ah, untuk apa sih dia memikirkan anak baru
itu? Tak penting.
Cakka segera melangkah keluar meninggalkan kelas. Ia ingin cepat-cepat
beristirahat di kamar tercintanya. Hari ini Biru latihan jujitsu, sementara kuliah
Elang pulang sore, ia yang pulang siang sendiri harus berjalan kaki pulang ke
rumah karena sampai sekarang Cakka tak tertarik untuk belajar menyetir sendiri.
Padahal, kalau dibilang dilarang orang tua juga tidak. Bunda dan Ayah justru
senang-senang saja jika Cakka ingin belajar menyetir.
Begitu ia sampai di rumah, Cakka langsung masuk ke kamarnya untuk menaruh
tas dan membongkar lemari bajunya. Ia butuh pencerahan setelah hari yang
panjang ini. Dan mandi sore, keramas dan makan malam adalah jawaban dari semua
kebutuhan itu. Biarlah ia menghabiskan banyak waktu dulu di kamar mandi, biar
setelah keluar dari sana nanti, ia sudah kembali segar.
“Huh...” desah Cakka ketika sudah selesai membersihkan badan. Rambutnya
yang masih basah ia kibas sejenak agar tidak menutupi wajahnya.
Bunda yang kebetulan baru saja masuk ke dalam kamar Cakka langsung spontan
mengangkat tangannya agar terlindung dari cipratan air rambut Cakka. “Aduh,
Kka, kamu ini kibas-kibas rambut sembarangan.”
Cakka yang sedang menggantung handuknya langsung menoleh.
“Ah, nggak ada orang ini, Bun,” kata Cakka cuek. “Lagian lumayan juga nggak
usah ngepel.”
“Nggak usah ngepel? Yang ada kamu malah nambahin masalah, Kka. Entar kalau
ada yang kepeleset gara-gara air rambut kamu itu bagaimana?” tanya Bunda sambil
menggelengkan kepala.
“Ya itu nasib kan, Bun?” jawab Cakka singkat. “Udahlah, aku lagi pusing
nih. Capek sekolah tadi. Laper. Ada makanan nggak, Bun?”
“Ya udah ayo ke dapur. Bunda tadi membelikanmu nasi uduk, lauknya habis
soalnya. Bunda belum sempat ke pasar buat belanja.” kata Bunda, kemudian
berjalan duluan meninggalkan kamar anaknya.
“Asyik!” kata Cakka dengan mata yang berbinar-binar. Ia langsung pergi
mengikuti langkah Bundanya ke dapur. Ia sudah tak sabar ingin mengisi perutnya
dengan makanan kesukaannya itu. Bunda yang melihatnya hanya menggelengkan
kepalanya.
“Kamu tuh ya, kalau udah denger nasi uduk aja langsung girang. Memangnya
tadi di sekolah kamu ngapain sih sampai capek begitu?” tanya Bunda sambil
mengambil bungkus nasi uduk dan menaruhnya di atas piring. Setelah itu, ia
langsung memberikannya kepada Cakka.
“Ya gitu deh, Bun. Capek pokoknya,” kata Cakka lagi, kemudian langsung
makan dengan semangat. Tak tertarik lagi untuk berbicara tentang sekolahnya.
“Cerita dong, kamu tuh dari dulu jarang banget berbagi tentang sekolah
kamu, padahal kita semua kan juga mau tahu bagaimana kamu di sekolah,” kata
Bunda ingin tahu. “Tadi ngapain aja? Pasti ada kejadian menarik nih kalau kamu
udah begini.”
“Ah, biasa aja,” kata Cakka sambil mengunyah. “Namanya sekolah. Ya aku
belajar aja, Bun.”
“Bohong, ayolah cerita.” kata Bunda sambil tertawa.
“Ya udah kalau nggak percaya. Kepo banget,” kata Cakka cuek.
“Udahlah, Bun, kita maksa dia cerita juga nggak bakalan mau dia bawel sama
kita. Percuma, biarin aja nanti dia waras dulu, pasti entar juga dia ngerti
maunya Bunda.” tiba-tiba Elang muncul di tengah-tengah mereka.
“Eh, Elang, kamu udah pulang, Nak. Mau makan?” tanya Bunda sambil
tersenyum.
“Boleh, Bun. Laper nih!” kata Elang.
“Ya udah, biar Bunda ambilkan makanan kamu.”
“Iya, makasih, Bunda.” kata Elang, kemudian menoleh ke arah adiknya yang
mulai makan dengan wajah kesal. “Kenapa lo? Ngambek gara-gara gue bilang nggak
waras? Makanya, jadi orang tuh baik-baik. Jutek sana-sini, mau kemana lo nyari
temen?”
“Yeee... terserah gue! Bukan urusan lo!” kata Cakka sebal terhadap
kakaknya.
“Tuh kan, masih belum waras.” kata Elang sambil tertawa.
“Udah, jangan berantem. Nih, Elang, makan dulu nasi uduknya. Temani adik
kamu ya, Bunda mau ke tetangga sebelah sebentar.” kata Bunda sambil menaruh
sepiring makanan di sebelah Cakka duduk.
“Oke, Bunda,” kata Elang patuh kemudian langsung mengambil tempat duduk di
sebelah adiknya dan melahap makanannya dengan tenang. “Kenapa sih lo hari ini?
Sensitif amat.”
“Masalah buat lo?” tanya Cakka datar. Namun, Elang hanya mengendikkan bahu.
“Tau ah.”
J L J
“Aduh, tukang jam karet udah dateng!” Rio tiba-tiba muncul di sebelah Cakka
ketika ia sedang asyik-asyiknya mengerjakan PR Bahasa Indonesia. “Lagi ngapain
lo? Ngerjain PR? Gue udah selesai tuh, mau lihat nggak? Daripada lo
pusing-pusing mikir.”
Cakka diam saja mendengar ocehan laki-laki itu.
“Kka, lo denger nggak gue ngomong?” tanya Rio heran.
“Hm.” jawabnya singkat. Tangannya tetap sibuk menulis soal sekaligus
jawabannya.
“Udah, liat gue aja. Gue yakin kok bener semua. Bentar gue ambil buku gue
deh.”
“Nggak perlu.” kata Cakka tiba-tiba. Namun, pandangannya tetap fokus ke
buku tulis.
“Serius nih? Gue lagi baik, loh. Kan katanya rezeki itu nggak—“ kata-kata
Rio langsung terputus karena Cakka langsung membekap mulutnya yang bawel itu.
“Lo tahu kan, gue lagi sibuk?
Lo tahu kan bentar lagi bel masuk bunyi? Mendingan lo balik ke tempat duduk lo
daripada ngegangguin gue!” kata Cakka sebal. “Lagian siapa juga yang nyontek
sama orang macem lo?”
Cakka langsung melepaskan tangannya dari mulut Rio dan kembali fokus dengan
pekerjaannya. Bukan apa-apa, tapi ia sudah datang telat tadi pagi. Dan
pelajaran Bahasa Indonesia itu pelajaran pertama! Waktunya untuk mengerjakan
PRnya sampai selesai hanya tinggal lima belas menit lagi. Sial banget tadi
sampai di kelas baru ingat kalau ada PR yang belum dia selesaikan.
Ray juga hanya tersenyum melihat Cakka masih buru-buru mengerjakan PR
ketika ia datang. Padahal, dia saja sudah datang ngepas karena bangun
kesiangan. Ray hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat teman sebangkunya
tersebut sampai pada akhirnya Cakka tampak pusing karena ada soal yang tak bisa
dikerjakannya.
Ray mengintip sejenak buku tulis pelajaran Bahasa Indonesia milik Cakka
itu, kemudian langsung menatap ke arah Cakka lagi. Ia menepuk pundak Cakka
sejenak dan berkata, “Aliterasi.”
“Hah?”
“Jawabannya aliterasi.” kata Ray tersenyum.
Cakka terdiam sejenak, kemudian langsung tersenyum. Ia langsung menuliskan
kata tersebut di dalam buku tulisnya dan langsung menghela nafas lega. Tepat di
saat ia menutup bukunya, bel masuk berbunyi dengan nyaring. Ia tepat waktu.
Untung saja ada Ray yang membantunya.
Ray hanya tertawa kecil melihatnya, kemudian langsung menyiapkan buku
pelajaran di atas mejanya sendiri. Begitu juga dengan Cakka. Setelah itu, Cakka
menyempatkan diri untuk menoleh ke arah teman sebangkunya tersebut. Ingin
mengucapkan terima kasih, namun terlambat. Guru mereka telah masuk ke dalam
kelas.
J L J
Saat istirahat...
“Ray!” seru Deva datang menghampiri meja Ray yang sedang sibuk membereskan
meja.
Ray menoleh, kemudian langsung tersenyum. Mereka berdua langsung melakukan
toss ala laki-laki. “Hei, Va!”
“Bagaimana? Lo udah nyaman belum sama sekolah kita? Gue harap lo gampang
beradaptasi di sini,” kata Deva ingin tahu. “Soalnya sehabis ini lo harus
daftar ekskul.”
“Oh ya, benar juga. Gue belum terlalu familiar dengan tempat-tempat di
sini, tapi mungkin nanti Cakka akan menemani gue keliling, mungkin bisa
sekalian.” kata Ray tersenyum. Cakka yang terpanggil langsung menoleh ke arah
mereka, ikut mendengarkan.
“Oh, begitu ya? Kalau begitu, ini formulir lo,” kata Deva sambil memberikan
selembar kertas kepada Ray. “Itu bisa lo pake buat semua ekskul, tinggal lo
pilih aja. Kalau udah selesai, lo kasih ke Pak Duta. Minggu depan lo baru
ikutan.”
“Oke deh, makasih ya, Va.”
“Sama-sama, Ray. Eh iya, gue mau ke kantin, lo mau ikut?” tanya Deva.
“Boleh, kebetulan gue laper, siapa tahu lo bisa ngasih tahu gue makanan
enak di sini,” kata Ray sambil tertawa. Ia menoleh ke arah Cakka. “Lo mau ikut
nggak, Kka? Kita makan bareng.”
“Nggak usah,” kata Cakka singkat. “Lo berdua duluan aja.”
“Yakin?” tanya Ray. “Udah sarapan belum lo tadi pagi?”
“Apa urusannya sama lo?” kata Cakka. “Udah ah, kalian pergi aja, gue mau
tidur.”
“Yaelah, tidur mulu kerjaannya lo, Kka. Ya udah, ayo, Ray.” ajak Deva
sambil berjalan duluan meninggalkan kelas, disusul oleh Ray. Cakka? Langsung
pergi ke alam mimpinya seperti biasa.
J L J
“Nih, di sini tuh langganan gue,” kata Deva ketika ia dan Ray sudah sampai
di penjual kantin yang ada di ujung. Untungnya sedang tidak ada antrean di
sana. “Mas, hari ini ada mi goreng nggak? Kalau ada, saya mau satu ya, seperti
biasa.”
“Oke!” kata mas penjualnya. Ia langsung segera menyiapkan pesanan Deva.
“Lo mau makan apa, Ray? Di sini banyak pilihan sih, tapi tiap hari menunya
beda,” kata Deva. Ia mengambil sebuah kertas yang terletak di sudut kiri meja.
“Nah, ini dia. Hari ini ada mi goreng, nasi gudeg, nasi goreng sama aneka
camilan.”
Ray manggut-manggut, kemudian berpikir sejenak. “Hmm... Nasi goreng
sepertinya enak.”
“Oke,” kata Deva sambil tersenyum. “Mas, nasi gorengnya satu ya!”
“Baik!”
“Kayaknya lo udah kenal baik sama penjualnya ya?” tanya Ray.
“Ya, namanya juga langganan, Ray. Mungkin penjualnya sampai bosen kali
ngeliat gue terus,” kata Deva sambil tertawa. “Omong-omong, hari ini dompet gue
lagi tebel nih. Gue bayarin ya? Anggep aja buat perkenalan.”
Ray tersenyum. “Terserah lo deh, Va. Gue ngikut aja.”
Deva mengangguk. “Lo mah kayaknya apa aja ngikut ya? Pantes aja lo bisa
akrab sama Cakka. Padahal, dia tuh dikenal egois loh sama beberapa teman
sekelas kita.”
“Dia menyenangkan kok.”
“Mungkin lo orang ketiga yang bisa ngomong kayak begitu tentang dia.”
Ray tertawa lucu mendengarnya. “Orang ketiga?”
“Deva, ini pesanannya.” kata si penjual memberikan sebuah baki dengan dua
piring makanan yang dipesan mereka berdua.
“Makasih, Mas. Ambil aja kembaliannya.” kata Deva sambil memberikan uang
dua puluh ribuan. Kemudian, ia langsung mengajak Ray untuk mencari meja yang
kosong. Untung saja kantin hari ini tak terlalu ramai. Tak berapa lama, mereka
sudah bisa duduk di kursi dan menyantap makanan mereka.
“Lo harus tahu, Ray, di sekolah ini ada banyak yang kenal sama Cakka, tapi
kebanyakan dari mereka nggak merasa nyaman temenan sama dia. Soalnya dia itu
cueknya kebangetan sih, kalau dia ngerasa omongan kita nggak penting, pasti
nggak digubris.” kata Deva sambil mengunyah makanannya.
“Serius? Gue nggak tahu dia segitunya.” kata Ray.
“Ya entar lo juga tahu sendiri kalau lo udah lama kenal dia. Pokoknya dia
tuh teguh pendirian banget, sekali begini ya harus begini semua. Kita korbannya
yang harus ngikutin dia terus.” kata Deva.
“Tapi, lo betah-betah aja temenan sama Cakka.”
“Kalau gue bisa ngejauh kayak yang lain, mungkin gue akan melakukannya
juga, Ray. Tapi, gue ini ketua kelas. Mau nggak mau, gue harus komunikasi sama
dia. Itu yang bikin gue akhirnya kebal sama ucapan-ucapan kasar dia.”
Ray manggut-manggut mengerti. “Berarti lo berhasil dong, menghadapi sikap
Cakka. Menurut gue, sikapnya itu bukan nyebelin sih, justru unik, kan?”
“Unik?” kata Deva heran. Kemudian, dia tertawa. Sumpah, baru kali ini dia
mendengar ada orang yang mengatakan bahwa sikap menyebalkan Cakka itu sebagai
sifat yang unik. Ia tak mengerti dimana letak keunikan seorang laki-laki yang
selalu jutek sana-sini seperti Cakka.
Ray tersenyum. “Eh, entar temenin gue beli camilan ya abis makan?”
“Camilan? Buat apa?”
“Ada deh.” kata Ray sambil tertawa.
J L J
“Selain fungsi transportasi, darah juga memiliki fungsi regulasi,
distribusi juga hemostasis,” kata Ibu Inca, guru biologi yang sedang mengajar
di depan kelas Cakka. “Nah, fungsi regulasi pada darah itu maksudnya darah
berperan sebagai pengatur pH, keseimbangan elektrolit dan juga mengatur suhu di
seluruh tubuh badan kita.”
Suasana kelas saat itu sangat hening. Hampir seluruh murid sibuk mencatat
apa yang sedang dijelaskan oleh guru mereka. Tentu saja karena materi tersebut
akan masuk ke dalam ujian akhir nanti. Namun, semua itu tak dilakukan oleh satu
orang. Ya, tentu saja Cakka. Anak itu sibuk menahan matanya yang sudah kembali
merem melek karena merasa bosan dengan penjelasan guru biologinya itu.
“Selanjutnya adalah fungsi distribusi. Di dalam fungsi ini darah akan
mendistribusi nutrien yang berasal dari lemak, otot atau jaringan untuk digunakan
oleh bagian tubuh yang lain,” kata Ibu Inca lagi.
Cakka menopang dagunya dengan kedua tangannya. Berusaha konsentrasi dengan
penjelasan materi. Walaupun cara ini tak pernah berhasil. Cakka tak mengerti
sebenarnya apa yang menarik dari biologi. Belajar di kelas berAC seperti ini
dengan guru yang membosankan jelas akan membuatnya mengantuk. Kalau saja Ibu
Inca tak mengatakan materi yang ia dengar sekarang ini akan masuk dalam ujian,
ia sudah tidur dari tadi.
Ray yang menyadari teman sebangkunya itu tak mencatat hanya bisa nyengir.
Dari hari pertama ia mengenal Cakka, anak itu selalu menonjol dengan hobi
tidurnya. Rasanya matanya itu tak pernah lepas dari kata lelah. Entah harus
merasa aneh atau apa, tapi ia baru pertama kali bertemu dengan orang yang betah
tidur seharian.
“Kka?” bisik Ray sambil menepuk pundak Cakka pelan.
“Hm.” jawab Cakka singkat.
“Materi ini masuk UAS loh,
Kka, lo nggak catet buat bahan belajar nanti?”
Cakka bergeming, tak berniat menggubris pertanyaan tersebut.
Ray yang masih menunggu jawaban akhirnya bersuara kembali karena teman
sebangkunya tersebut tak menjawab. “Kka?”
“Apaan sih? Lo kalau mau catet materi ya catet aja, nggak usah ajak-ajak
gue.” kata Cakka cuek. Kemudian, ia menenggelamkan wajahnya di atas kedua
tangannya.
“Kalau kebanyakan tidur nanti lo bisa sakit kepala.” kata Ray.
Cakka langsung melotot ke arah Ray. “Ish, ribet banget sih jadi orang.”
Ray sempat kaget, namun tak lama ia langsung menggeleng kepala dan
memutuskan untuk kembali sibuk mencatat. Sejujurnya, ia tak pernah bisa belajar
dengan tanpa catatan. Sejak kecil ia selalu membiasakan diri untuk mencatat
semua yang diucapkan guru di sekolah, kemudian mengulangnya kembali saat sudah
kembali ke rumah. Kalau tidak seperti itu, biasanya akan mengancam nilai ujian.
Mungkin cara belajarnya berbeda dengan Cakka.
“Nah, ini adalah proses pembekuan darah,” jelas Ibu Inca sambil mengarahkan
penggaris panjang yang dipegangnya ke papan tulis. “Saat kita terkena luka,
trombosit akan pecah sehingga kulit kita mengeluarkan darah. Trombosit yang
pecah tersebut akan mengeluarkan trombokinase yang akan diubah menjadi
protombin.”
“Kemudian, dengan bantuan vitamin K dan ion kalsium, protombin tersebut
akan—“ kata-kata Ibu Inca itu terputus tiba-tiba, membuat semua murid
menatapnya heran. Entah apa yang terjadi dengannya, yang jelas wajahnya
seketika menjadi kesal.
Seketika suasana kelas hening, tanpa siapapun yang berbicara. Guru biologi
mereka itu menurunkan penggaris panjangnya dan menepuk-nepuknya di tangan kanan
sambil berjalan mendekati salah satu meja murid. Semua murid yang ada di sana merasa
tegang, kepala mereka hanya bisa mengikuti kemana arah Ibu Inca melangkah
hingga beliau sampai di meja seseorang yang ternyata tidak memperhatikannya.
BRAK!
“Hah?” tiba-tiba murid yang duduk di hadapan Ibu Inca tersebut kaget. Namun,
sedetik kemudian, ia kembali biasa.
“Chase Karayne, kamu tahu kan, sekarang sedang pelajaran saya?” tanya Ibu
Inca dengan nada yang datar.
“Ya, saya tahu,” jawab Cakka singkat. “Tapi, saya mengantuk, Bu.”
“Mengantuk? Menurutmu alasan itu bisa diterima agar kamu boleh tidur di
kelas?” tanya Ibu Inca sebal. “Tidur jam berapa kamu semalam? Cepat cuci muka
sana! Kamu kan tahu materi pelajaran kita masih banyak, sementara UAS akan
segera tiba.”
“Alah, memangnya tempat belajar tuh sekolah doang?” tanya Cakka meremehkan.
“Kalaupun hari ini saya tidak mendengarkan, ulangan besok saya juga pasti dapet
nilai delapan puluh ke atas. Ibu juga tahu sendiri nilai-nilai saya.”
“Terserah apa katamu, Cakka, tapi nggak bisa ya sekali saja kamu
menghormati saya sebagai guru? Walaupun kamu selalu mendapatkan nilai bagus,
tapi kamu juga harus memperhatikan. Tidur di kelas akan mengganggu konsentrasi
yang lain, kamu tahu itu, kan?”
“Enggak.” jawab Cakka cuek.
“Cakka!” kata Ibu Inca emosi. Penggaris yang ada di tangan kirinya
tergenggam kuat, sudah siap melayang kapan saja kepada anak muridnya tersebut.
Ia menghela nafasnya sejenak, berubah mengatur emosinya. Baru setelah itu, ia
bersuara kembali. “Sekarang kamu keluar dari kelas sampai jam pulang.”
Cakka tersenyum miring. “Guru macam apa yang ingin anak muridnya
memperhatikan, tapi malah menyuruh anak itu ninggalin pelajaran? Secara tak
langsung, Anda bukan mengajari saya untuk lebih patuh, justru Anda mengajari
saya untuk bolos setiap kali Anda masuk kelas.”
“CHASE KARAYNE!” kata Ibu Inca nyaring. Emosinya sudah memuncak mendengar
ucapan kurang ajar dari anak muridnya itu. “KELUAR SEKARANG JUGA!”
Cakka mendengus kecil, kemudian dengan langkah enteng langsung keluar dari
kelas. Ia tak peduli dengan tatapan garang dari guru biologinya maupun tatapan
kasihan dari teman-temannya. Memang semua orang itu sama. Setiap orang yang
ditemuinya tak pernah membuatnya senang. Mereka menyebalkan.
J L J
Ray diam saja menatap Cakka yang sudah berjalan duluan di depannya.
Sepertinya suasana hatinya menjadi buruk karena pelajaran biologi tadi, setiap
kali diajak bicara pasti dia membentak. Ray jadi menyesal telah meminta teman
sebangkunya itu menemaninya keliling sekolah. Waktunya tidak tepat.
“Lantai dua cuma ada ruang musik, multimedia sama lab bahasa,” kata Cakka
malas. “Biasanya band sekolah kita latihan kalau ada acara di ruang musik.
Kalau multimedia, biasanya dipake buat guru yang mau nunjukkin video atau film.
Lab bahasa lo tahu sendirilah.”
Ray manggut-manggut mengerti. “Berarti ada ekskul band dong di sini? Keren!
Mungkin gue bisa ikut ekskul itu aja mulai minggu depan. Gue suka banget main
dram, tapi gue pengen ada yang ngiringin ketukan dram gue juga.”
Cakka langsung melotot ke arah Ray begitu mendengar ucapannya. Ray yang
kaget dengan tatapan tajam itu langsung menatapnya bingung.
“Lo nggak boleh masuk band. Udah cukup ya gue jadi temen sebangku lo, lelah
gue ngeliat muka lo terus. Awas kalau lo berani-beraninya masuk ekskul band,”
kata Cakka sebal.
Ray bergeming sejenak, kemudian menghela nafasnya. Ia melepaskan tas ransel
yang sedari tadi tergantung di pundaknya agar ia dapat meletakkannya di ubin.
Setelah itu, ia mengobrak-abrik isi tasnya tersebut sampai ia mengeluarkan
kantong plastik kresek kecil berwarna putih. Plastik tersebut ia berikan kepada
Cakka. “Nih.”
Cakka menatap kantong plastik tersebut diam.
Ray tersenyum. “Dari kecil nyokap gue selalu bilang, kalau laper sering
bikin kita cepet kesel sama apapun. Bahkan otak aja susah mikir kalau nggak
makan. Ini, buat lo.”
Cakka diam saja mendengar ucapan Ray, kemudian perlahan-lahan menerima
kantong plastik tersebut dari tangannya. Ternyata isi plastik itu adalah roti
isi cokelat, pastel dan beberapa camilan lainnya.
“Lo belum makan dari pagi, kan? Makanlah. Kasihan kali perut lo nggak
diisi, entar dia sakit lagi,” kata Ray sambil tertawa. “Kalau perut lo itu
manusia, dia pasti udah ngejerit tuannya malah tidur terus.”
“Terus lo pikir gue nggak mampu beli makanan?” tanya Cakka menyebalkan.
“Gue juga bakal makan kok pulang nanti. Ngapain lo sok-sok peduli beliin
makanan gue segala? Kurang kerjaan banget lo!”
Ray menghela nafasnya mendengar ucapan Cakka. “Sori kalau ini semua
nyinggung perasaan lo. Tapi, gue akan lebih merasa bersalah lagi kalau lo
ngebantuin gue ngenalin sekolah dengan suasana hati lo yang sama sekali nggak
enak. Gue jadinya nyusahin lo banget.”
“Dari awal lo memang udah nyusahin gue, baru nyadar lo?” tanya Cakka sambil
menghela nafas kasar. Ia mengambil salah satu roti yang ada di dalam plastik
itu, kemudian segera melahapnya. Harus diakui, dia memang sedang lapar. Tadi
saat istirahat kedua dia hanya membeli camilan kecil untuk mengganjal perut.
Ray tersenyum. Ia segera duduk di kursi terdekat yang bisa ia gapai. “Duduk
dulu, Kka. Entar abis lo makan baru lanjut lagi. Gue rasa lo perlu istirahat
sehabis lo dimarahin habis-habisan sama Ibu Inca tadi.”
Tanpa banyak bicara, Cakka langsung duduk di sebelah Ray. Dan selama ia
melahap rotinya, tak ada yang bersuara untuk membuka pembicaraan. Ray hanya
sibuk bersenandung di sebelahnya.
Cakka hanya diam setelah ia selesai melahap rotinya dan meneguk air minum
dari botol yang dibawanya dari rumah. Perutnya sudah terasa lumayan kenyang.
Ray benar, ternyata makan bisa membuat rasa kesalnya hilang. Rasanya ia sudah
lebih baik.
“Bagaimana? Sudah lebih baik?” tanya Ray ketika ia menyadari Cakka sedang
memasukkan sisa camilan dan botol minumnya ke dalam tas.
Cakka tersenyum, kemudian mengangguk. “Sori ya, Ray, gue bener-bener kesel
sama guru biologi kita itu. Dia tuh aneh, setiap kali dia marah karena nggak
diperatiin, dia pasti ngeluarin gue dari kelas. Yang ada gue kan malah jadi
tambah nggak meratiin dia? Bukan salah gue dong.”
Ray tertawa. “Ya, ya. Terserah lo deh, Kka. Gue mah ngikut aja.”
“Yeee, serius kali. Gue tuh heran tahu nggak, lo sama yang lain tuh bisa
betah dengerin dia, padahal menurut gue cara dia ngejelasin materi aja udah
kayak ngedongengin anak kecil buat tidur. Sama sekali nggak kayak ngajar
anak-anak SMA.”
“Udahlah, yang udah lewat nggak usah dipikirin, yang penting lain kali lo
harus berusaha buat nggak tidur di pelajaran dia, itu aja kok,” kata Ray sambil
menepuk pundak Cakka pelan.
“Nggak janjilah gue, Ray.” kata Cakka. Ia bangkit dari tempat duduknya dan
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. “Udahlah, nggak usah
dibahas. Males banget gue ngebicarain orang-orang menyebalkan. Ayo jalan lagi.
Gue pengen cepet-cepet pulang.”
Ray tertawa. “Memangnya kenapa sih lo suka tidur di siang hari? Memangnya
pas malemnya lo ngapain?”
“Macem-macem. Gue tuh banyak kegiatan, Ray. Tapi, kalau maksud lo yang tadi
pagi, gue tuh tadi malem habis nonton bola sampai subuh. Gue cuma sempet tidur
beberapa jam dan paginya kakak gue rusuh banget bangunin gue.” kata Cakka
sambil berjalan menuju tangga. Masih ada beberapa lantai lagi yang harus ia
tunjukkan pada Ray.
“Kalo pas hari pertama gue kenapa?” tanya Ray.
“Kenapa lo mendadak kepo begini sih?” tanya Cakka sebal. “Udahlah, males
cerita gue.”
Lagi-lagi Ray tertawa. “Ya udah terserah lo deh. Gue nggak maksa. Tapi,
Kka, lo beneran harus cari cara deh supaya lo tuh nggak tidur di tengah-tengah
pelajaran. Ibu Inca itu nggak ngedongeng lagi.”
“Idih, kata siapa? Dia itu ngedongeng abis, tahu. Kan gue udah bilang, dia
tuh ngajarin kita udah kayak ngedongengin anak-anak kecil buat tidur di malam
hari.” kata Cakka.
“Berarti lo anak kecil dong? Lo kan suka tidur kalau dia ngejelasin materi.”
canda Ray sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya.
“Sialan lo.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p