Minggu, 23 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 26


TOK… TOK… TOK…
Cakka menoleh ke arah pintu ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia berjalan mendekati pintu kamarnya dan segera membukanya pelan-pelan. Ia pikir mungkin kedua kakaknya atau Bunda yang ada di balik pintunya itu. Namun, dugaannya salah. Ternyata orang lain. Cakka sampai kaget melihat kehadirannya.
“Alvin…” kata Cakka lirih melihat salah satu sahabatnya berdiri di depan kamarnya sekarang. Padahal sudah berapa minggu ini ia tak berkomunikasi dengannya. Cakka menunduk dan memalingkan wajahnya. Tak siap bertemu dengan sahabatnya itu.
“Aku ingin bicara denganmu. Kau sedang sibuk?” tanya Alvin pelan.
Cakka diam. Ia menggelengkan kepalanya dan memberi jalan Alvin agar ia dapat masuk ke dalam kamarnya yang kini agak berantakan karena tadi Cakka baru saja mengerjakan beberapa PR untuk minggu depan.
Alvin segera menghampiri tempat tidur Cakka begitu ia masuk ke dalam. Entah sudah berapa lama ia tak berada di sana. Ia segera duduk dan mengatup kedua tangannya yang kemudian ia main-mainkan karena tak tahu harus bicara apa.
Cakka juga sama. Ia duduk di kursi meja belajarnya, tepat di hadapan Alvin, namun ia juga tetap mengunci mulutnya. Kepalanya tetap ia tundukkan. Tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Ia belum siap menjelaskan dan bertanya masalah persahabatan mereka belakangan ini.
Alvin menghela nafasnya. “Aku sudah mendengar semuanya dari Biru.”
Cakka reflek mengangkat kepalanya mendengar ucapan Alvin. Ah, ternyata kakaknya telah memenuhi janjinya. Ia menceritakan semuanya pada Alvin. Pantas saja Alvin bisa berada di sini.
“Maaf, Kka, aku baru tahu kalau kau belakangan ini merawat Ayahmu yang sakit. Aku sungguh-sungguh mengira kau sudah berubah. Apalagi melihat kau sampai bolos latihan.” kata Alvin menyesal.
Cakka tersenyum samar. “Aku yang salah, bukan kau.”
Alvin mengangkat kepalanya menatap Cakka, meminta penjelasan.
Cakka menghela nafas. “Kalau saja waktu itu aku cerita pada kalian soal kesibukan waktu itu, semuanya tidak akan seperti ini. Waktu itu, pertama kali aku buru-buru karena aku ada acara dengan Ayah, kemudian di acara itu Ayah tiba-tiba demam. Kemudian, masuk rumah sakit. Aku hanya ingin menjaganya seharian, mengganti seluruh kesalahanku dulu. Dan soal sikapku di lapangan itu, maaf, Vin.”
“Sebenarnya ada apa?” tanya Alvin ingin tahu.
“Ayah mengenalkanku pada Om Chris, teman Ayah yang membuat Ayah takut anak-anaknya bermain basket. Waktu itu, Om Chris memberitahuku banyak hal hingga membuatku sadar, aku seharusnya tetap bekerja sama apapun yang terjadi di lapangan. Aku ingin meminta maaf karena tak memberimu bola waktu itu, tapi… kalian sudah keburu membenciku.”
“Maaf, Kka,” kata Alvin sekali lagi. “Kami hanya kecewa.”
Cakka diam saja mendengarnya.
“Sudahlah, tak perlu mengungkit-ungkit soal itu. Aku tak begitu kesal dengan hal itu, tapi waktu itu aku dan yang lainnya begitu dihasut BD bahwa kau benar-benar berubah,” kata Alvin. Ia mengulurkan tangannya. “Yang penting, sekarang kita berbaikan, kan?”
Cakka tersenyum dan menerima uluran tangan Alvin. Kemudian, mereka berdua berpelukan seperti anak kecil. Rasa canggung yang mereka rasakan tadi seketika lenyap karena mereka sudah saling terbuka satu sama lain. Namun, Alvin tiba-tiba mendorong kedua bahu Cakka darinya. “Kka. Bukan muhrim.”
Mereka berdua langsung melepaskan pelukan mereka. Kemudian, mereka tertawa bersama karena tingkah mereka yang konyol. Benar-benar seperti kartun anak kecil yang disebut teletabis itu. Akhirnya, kesalahpahaman di antara Cakka dan sahabatnya berakhir juga. Walaupun baru dengan Alvin. Tapi, cepat atau lambat, Ray, Gabriel dan Rio juga pasti akan tahu yang sebenarnya. Minimal dengan kembalinya Alvin, Cakka sudah lebih tenang.
“Ciyeee… Sudah baikan! Jangan bertengkar lagi ya!” tiba-tiba Elang dan Biru sudah berdiri di depan pintu kamar Cakka dengan wajah yang bahagia.
Cakka tersenyum menatap kedua kakaknya. Alvinpun begitu. Dari senyumannya itulah ia berterima kasih kepada Biru dan Elang yang telah membantunya untuk menyelesaikan masalah ini.
“Kka, soal masalah ini, lebih baik kita simpan dulu dari yang lain. Aku tak ingin pertengkaran kita semakin buruk. Mereka pasti masih percaya bahwa kau sudah tak perduli pada mereka. Biar saja nanti mereka tahu sendiri,” kata Alvin. Ia menoleh ke arah Biru dan Elang. “Itu termasuk kau, Bi. Dan Kak Elang.”
Cakka tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Biru dan Elang juga langsung mengacung jempol mereka, tanda bahwa mereka juga setuju dengan pendapat Alvin.
“Kalau begitu, mulai sekarang, kalian harus berjuang sampai turnamen selesai, oke? Jangan ada pertengkaran lagi. Aku juga akan berusaha untuk menampilkan penampilan musik yang terbaik di kampus agar bisa terpilih sebagai perwakilan. Akan diadakan lomba.” kata Elang.
“Siap, Kak!” kata Alvin mengacungkan jempolnya.

J L J

Ray, Rio dan Gabriel merasa heran ketika Alvin tiba-tiba akrab lagi dengan Cakka. Padahal, tak sampai seminggu yang lalu dia masih merasa menjauhi Cakka adalah pilihan yang tepat. Tapi, sekarang Alvin justru lebih sering tertawa-tawa bersama Cakka di pinggir lapangan. Rasanya ingin bertanya, namun mereka tak enak hati dengan Cakka. Bisa-bisa ia merasa mereka bertiga tak senang ia berteman lagi dengan Alvin. Namun, di sisi lain, mereka juga kecewa dengan Alvin. Pasalnya, selama ini dia yang keuhkeuh bahwa menjauhi Cakka adalah jalan terbaik.
“Hei, kalian melihat apa? Ayo latihan! Nanti keburu Pak Jo datang.” tanya BD ketika memergoki ketiga temannya terdiam di tengah lapangan.
Mendengar ucapan keras BD, mereka langsung kembali fokus dengan permainan. Sayang sekali, padahal kalau saja mereka lebih lama melihat ke pinggir lapangan, mereka akan tahu kalau sebenarnya Cakka sesekali melirik ke arah mereka di sela-sela tawanya. Berharap ketiga temannya itu juga bergabung bersama mereka berdua di pinggir lapangan. Tapi, tentu saja itu mustahil untuk sekarang.

J L J

“Dengar, anak-anak! Beberapa hari lagi hari turnamen Se-Jakarta akan tiba. Jadi saya harap kalian menjaga kesehatan agar kalian dapat mengikuti turnamen sampai selesai. Mengerti? Jangan sia-siakan latihan kalian selama ini.” kata Pak Jo usai ekskul basket hari Jumat itu.
“Mengerti, Pak!” seru tiga puluh anak perwakilan yang akan ikut turnamen.
“Baiklah, selain Ray, Rio, Gabriel, Alvin dan Cakka, sekarang boleh bubar! Pulang dan istirahatlah!” kata Pak Jo. “Untuk nama yang Bapak sebutkan tadi, harap tunggu Bapak sebentar untuk rapat. Bapak akan mengembalikan bola dulu.”
Semuanya langsung berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Tak terkecuali Cakka, Alvin, Ray, Rio dan Gabriel. Walaupun mereka ditahan, mereka juga ingin membereskan barang agar nanti bisa cepat pulang setelah rapat. Namun, sampai saat ini mereka masih belum saling bertegur sapa seperti biasanya. Tak ada keluhan lelah yang biasanya keluar dari mulut Ray. Tak ada ucapan-ucapan nasihat yang mengomeli Ray. Tak ada Gabriel dan Rio yang selalu tertawa melihat Ray diomeli.
Begitu selesai berkemas, Cakka langsung menyampirkan tasnya di sebelah pundak. Ia diam saja melihat teman-temannya yang masih sibuk dengan tas mereka masing-masing. Rasanya ingin berpamitan kepada mereka, tapi ia masih ragu. Ray, Rio, Gabriel. Melihat kehadirannya di ekskul basket saja sudah membuat mereka mengunci mulut.
Cakka berjalan menunduk meninggalkan lapangan. Walaupun ia sudah berbaikan dengan salah satu dari mereka, sepertinya lebih baik ia tak berpamitan kepada siapapun agar tak menimbulkan masalah. Bagaimanapun juga, mereka masih marah. Suasana di antara mereka masih kurang baik.
“Kka!” seru Alvin begitu melihat Cakka hampir keluar dari lapangan.
Cakka menoleh.
“Kau ingin kemana? Tak ikut rapat? Pak Jo sebentar lagi datang.” kata Alvin.
Cakka tersenyum samar. Kemudian, ia berbalik badan lagi, hendak pergi. Namun, kepergiannya tertunda karena ternyata Pak Jo telah kembali ke lapangan.
“Cakka?” tanyanya heran.
“Pak...” kata Cakka tersenyum paksa.
“Ayo berkumpul sebentar. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kalian berlima. Atau kau ada urusan?” tanya Pak Jo lagi.
Cakka diam saja. Ia melihat ke arah teman-temannya sejenak dengan gelisah. Kehadiran Pak Jo membuatnya menjadi sulit kabur dari sana. Masalahnya bukan ia buru-buru atau bagaimana. Tapi, ia masih belum terlalu nyaman berada di antara teman-temannya dengan keadaan seperti ini.
Keheningan menguasai mereka beberapa waktu. Semuanya menunggu Cakka angkat bicara duluan. Namun, Cakka tetap mengunci mulutnya. Laki-laki itu menghela nafasnya berat, membenarkan sampiran tasnya dan segera melangkah meninggalkan lapangan tanpa memperdulikan mereka.
Ray, Rio dan Gabriel diam saja menyadari Cakka meninggalkan lapangan tanpa meninggalkan sepatah katapun untuk mereka. Sementara Alvin menghela nafasnya melihat kepergian Cakka.
“Sudahlah, Pak. Biarkan saja dia pulang. Dia hanya perlu waktu sendiri. Biar nanti aku yang menyampaikan rapat hari ini.” kata Alvin.
Pak Jo diam sejenak memandang Alvin. “Oh... baiklah kalau begitu.”
“Sebenarnya ada apa, Pak Jo? Apa terjadi sesuatu?” tanya Gabriel penasaran.
Pak Jo berjalan mendekati anak-anak didiknya dan duduk di antara mereka yang duduk melingkar. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum mulai bicara. “Oke. Mungkin kalian tak sadar, tapi belakangan ini saya perhatikan kekompakan kalian berlima kurang. Terutama hari ini. Kenapa? Kalian bertengkar?”
Keempat laki-laki yang ada di antaranya terdiam.
“Jujur, saya agak kecewa dengan kalian karena kalian membawa-bawa masalah ke lapangan. Padahal waktu saya sudah mengingatkan kalian,” kata Pak Jo. “CRAG Team yang saya didik itu?”
“Sebenarnya, terjadi sedikit kesalahpahaman, Pak.” Alvin akhirnya angkat bicara untuk meluruskan semuanya. Tak perduli dengan tatapan teman-temannya.
“Maksudmu?” Pak Jo beralih ke arah Alvin.
“Sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa, tapi semenjak BD masuk ke ekskul basket dan berlatih bersama kami, BD selalu bilang kalau Cakka itu tidak becus latihan. Dan dia itu bukan kapten yang baik. Dan didukung dengan sikap Cakka yang akhir-akhir ini berubah, kami pikir ucapan BD itu benar, Pak.”
“Lalu?”
“Kami... Kami menjauhinya, Pak.” kata Alvin pelan.
“Kalian pikir itu adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah kalian?” tanya Pak Jo sambil menghela nafas. “Dengar ya, anak-anak. Semua masalah itu hanya akan selesai jika kalian bicara. Bukan perang dingin seperti itu. Pantas saja Cakka menjadi tidak nyaman. Kalian pasti tahu itu, kan?”
“Tapi, Cakka memang tidak becus, Pak. Dia bolos latihan dua kali. Dia juga berkali-kali bermain sendiri di lapangan. Bapak juga melihatnya sendiri setiap kali latihan, bukan?” kata Ray tak mau mendengarkan.
“Ray, semua yang dilakukan manusia itu ada alasannya. Begitu juga dengan Cakka. Kalian bahkan tidak membicarakan ini dengan Cakka, bukan?”
“Kami sudah mengajaknya berbicara waktu itu, Pak. Tapi, dia bilang dia ada urusan. Tak bisa ikut ke rumah Alvin untuk membicarakan hal ini. Dia bukannya menjelaskan, malah lari dari kita semua.” kata Gabriel.
“Pikiran macam apa itu, Gabriel Astroken?” kata Pak Jo langsung melotot ke arahnya sebal. “Kau itu sudah kelas delapan. Tapi, pikiranmu masih sedangkal anak SD. Kau tak bisa mengambil kesimpulan sendiri seperti itu.”
“Lalu, kalau bukan lari dari masalah, apa namanya?” tanya Rio membela kembarannya. Ia mendengus pelan. “Kalau tahu Bapak akan membahas hal ini, saya sudah pulang dari tadi. Saya malas membahas kapten bodoh itu.”
“Rio! Jaga ucapanmu!” Pak Jo mulai tak sabar.
“Sudah, sudah! Kalian semua tak ada yang benar!” kata Alvin ikutan tak sabar. “Ray! Rio! Gabriel! Kalian tak ingin membicarakan Cakka, bukan? Kalau begitu, lebih baik kalian pulang. Biar aku yang jelaskan semuanya pada Pak Jo.”
“Kau ingin menjelaskan apa? Menjauhi Cakka itu idemu, Vin!” kata Ray sebal.
“Banyak omong kau, Ray! Sudah sana pulang!” kata Alvin terkesan mengusir.
Ray, Rio dan Gabriel menatap Alvin dengan darah yang sudah mendidih. Mereka benar-benar emosi dengan Alvin hari ini. Pikiran mereka tertuju kepada Cakka sekarang. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sampai Alvin begitu membelanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung meninggalkan lapangan tanpa pamit. Alvin yang melihat tingkah mereka bertiga hanya menggelengkan kepalanya.
“Seharusnya kau tak seperti itu, Vin. Mereka teman-temanmu.” kata Pak Jo.
“Ya, saya tahu, Pak,” kata Alvin pelan. “Tapi, saya benar-benar butuh privasi untuk menceritakan semuanya. Hanya saya yang tahu apa yang sedang terjadi di antara kita berlima. Walau tidak semuanya.”
“Sebelum itu, Bapak harap kau menyesal dengan idemu menjauhi Cakka.”
Alvin mengangguk pelan.
Pak Jo tersenyum. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduklah. Cerita pada Bapak. Bapak benar-benar khawatir dengan CRAG Team sekarang, Vin. Kalau kalian begini terus, bagaimana kalian bisa bertanding di turnamen besar Se-Jakarta itu.”
Alvin menurut. Ia duduk di sebelah Pak Jo. “Sebenarnya begini, Pak...”

J L J

Cakka diam saja melihat keluar jendela selama perjalanan pulang ke rumah. Ia masih betah memikirkan teman-temannya. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu untuk mencari tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi sampai persahabatan mereka menjadi seperti ini. Kepala sudah pusing memikirkan masalah yang terjadi.
Elang yang sedang menyetir juga diam saja menyadari adiknya masih murung. Sesekali ia perhatikan adik bungsunya itu dari kaca spion mobilnya, berharap Cakka hanya sedang lelah. Tapi, Cakka sama sekali tak bergerak dari tempatnya.
Berbeda dengan Biru yang dari tadi menatap cemas adiknya itu. Ia percaya bahwa perasaan perempuan itu tak pernah salah. Dan pikirannya tertuju pada Alvin. Entah apa yang dilakukan anak itu.
“Cakka...” panggil Biru pelan.
Cakka menoleh ke arah kakaknya dengan wajah datar dan sendu.
“Ada apa lagi denganmu? Apa Alvin mengganggumu lagi? Kau harus menjaga kesehatanmu. Jangan sampai kau sakit karena memikirkan hal ini. Sebentar lagi turnamen.” kata Biru.
Cakka menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Kak.”
“Cakka...”
“Kka, dengarkan kakakmu. Kalau kau banyak pikiran, kau tak akan bisa konsentrasi di pertandingan nanti atau kau akan mengecewakan orang banyak.” Elang akhirnya angkat bicara.
Cakka menatap kakak sulungnya kaget. Seketika ia teringat dengan perjuangannya dulu. Tidak, ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia sudah menempuh jalan yang panjang untuk bisa sampai di detik ini. Dan yang paling penting, ia sudah banyak bertengkar dengan Ayah karena masalah ini. Ya, dia yang sudah berjanji agar ia dapat membanggakan Ayah. Kenapa dia harus banyak berpikir tentang hal-hal yang lain? Ia harus fokus!
Biru tersenyum. “Janji pada kami kau akan melakukan yang terbaik apapun yang terjadi, Kka. Kalau teman-temanmu tak mau mendukungmu, biar kami berdua yang akan mendukungmu!”
“Ya, betul kata Biru. Semangat!”
“Aku akan marah jika kau kalah begitu saja!” kata Biru lagi.
Cakka tersenyum menatap kedua kakaknya. Ia terharu. Mereka begitu setia menyemangatinya dari awal hingga saat ini. Memang benar kata orang, keluarga itu nomor satu. Mereka yang akan selalu ada ketika kita mengalami kesulitan. Mereka yang akan selalu menuntunmu melewati jalan-jalan yang berliku-liku. “Terima kasih, Kak!”

J L J

BRUK!
Gabriel menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu ia sampai di rumah. Sementara Rio duduk di kursi meja belajar dan Ray yang ikut ke rumah duduk di atas karpet. Masing-masing dari mereka masih menyimpan kekesalan yang dalam terhadap Alvin. Benar-benar keterlaluan! Kalau saja mereka tak ingat dia adalah kakak kelas, mungkin mereka sudah menghabisinya.
“Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Alvin,” kata Gabriel sambil mengatur nafasnya yang lelah. “Siapa yang dulu berkata bahwa kita menjauh saja dari Cakka, katanya dia sudah berubah lah, sudah tak perduli pada kita lah.”
“Kalau begini akhirnya, seharusnya ia tak perlu menyangkal waktu itu,” kata Ray. “Bukankah dulu aku sudah bilang, kalau aku merasa tak enak hati menjauhi Cakka. Tapi, dia sendiri yang tak perlu. Namun, sekarang? Ia termakan omongannya sendiri.”
“Kurasa Cakka sudah melakukan sesuatu saat kita menjauhinya. Pasti itu.”
“Sekarang, dua orang dari kita sudah melanggar janji,” kata Gabriel sambil bangkit dari tidurnya dan duduk bersila di tempat tidur. “Padahal, dulu Cakka sendiri yang bilang kalau kita akan tetap jadi satu tim. Sampai kapanpun. Tapi, sekarang kita terpecah seperti ini.”
“Guys, apa selamanya kita akan berpihak pada BD?” tanya Ray tiba-tiba.
“Kenyataannya dia memang benar, kan?” kata Rio menoleh ke arah Ray.
“Tapi, kata-kata Pak Jo ada benarnya juga, Yo, Yel. Kita belum membicarakan ini dengan Cakka. Bukankah waktu itu kita juga berpikir kalau semua ini harus kita bicarakan dengan Cakka dulu baru bisa memutuskan BD benar atau tidak?” tanya Ray. “Aku tak ingin melawan pikiran kalian, tapi...”
“Ray, kalau kau ingin kembali pada Cakka, silahkan kau kembali sendiri. Kita berdua tak ingin dikhianati dua kali.” kata Gabriel.
Ray bungkam mendengarnya.
“Omong-omong, untuk strategi pertandingan besok, lebih baik kita buat strategi sendiri. Dua orang menyebalkan itu tak punya hak untuk mengatur kita.”
“Hah? Kau serius? Memangnya kau punya rencana apa, Yel?” tanya Ray.
Gabriel mengisyaratkan kedua temannya agar segera mendekat ke arahnya. Setelah itu, Gabriel mulai menjelaskan rencananya untuk turnamen nanti. “Begini...”
Selama beberapa menit Gabriel, Rio dan Ray berembuk di tempat tidur. Setelah selesai, mereka langsung duduk tegak kembali di tempat masing-masing.
“Bagaimana? Setuju?” tanya Gabriel sambil tersenyum.
“Kau yakin Pak Jo akan menerima strategi ini?” tanya Rio agak ragu.
“Tenang saja. Aku sudah memikirkan semuanya.”
Rio dan Ray saling pandang sebelum akhirnya mereka menganggukkan kepala mereka tanda bahwa mereka setuju. Kemudian, mereka langsung beristirahat agar tidak kelelahan sebelum turnamen besok.

J L J

GOR Sunter! Itulah dimana Cakka berada sekarang. Dengan penuh percaya diri, ia melangkah menuju ruang ganti dimana teman-temannya sudah menunggu. Ia berusaha untuk mengingat pesan-pesan keluarganya bahwa ia harus melakukan yang terbaik apapun yang terjadi. Yap, hari ini adalah hari H. Turnamen Se-Jakarta akan dimulai hari ini dengan sekian banyak sekolah SMP yang akan bertanding.
“Cakka!” seru Alvin ketika melihat Cakka masuk ke dalam ruang ganti. Ia sudah siap dengan seragam basket SMP Idola yang berwarna hitam. Mungkin dia sedang menunggu yang lainnya selesai.
Cakka tersenyum. “Hai, Vin.”
“Akhirnya kau datang juga. Cepat ganti bajumu. Tadi Pak Jo sudah memberikan pengarahan sebentar. Mengingatkan kita agar kita melakukan yang terbaik,” kata Alvin. Ia mendekatkan diri ke arah Cakka dan berbisik. “Buang masalahmu jauh-jauh selama pertandingan.”
Cakka tersenyum. Ia menepuk pundak Alvin pelan. “Thanks.
Alvin mengangguk. “Itu gunanya sahabat, bukan?”
“Hei, jangan berbicara terus! Lebih baik cepat-cepat bersiap.” tiba-tiba Ray menyahut.
Alvin menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Ray. Berbeda dengan Cakka yang hanya tertawa geli. Ia langsung cepat-cepat mengganti bajunya dengan seragam basket dan tak lupa berdoa kepada Tuhan agar perjuangannya selama tak sia-sia. Mereka berembuk sejenak, seperti biasanya jika mereka akan bertanding. Cakka, Alvin, Gabriel, Rio dan Ray menumpuk tangan mereka masing-masing.
“Guys, aku tahu, persahabatan kita sedang renggang. Tapi, bagaimanapun ini adalah mimpi kita bersama. Jadi, apapun yang terjadi, kita harus melakukan yang terbaik. Oke? Ayo, kita lakukan yel-yel kita.” kata Alvin.
“CRAG Team, Friends Till The End!” seru kelima laki-laki tersebut penuh semangat sambil merentangkan tangan mereka ke atas. Setelah itu, barulah mereka bersiap-siap untuk bertanding karena sebentar lagi turnamen akan dimulai. Para pemain cadangan juga.
Namun, pertandingan tak berjalan seperti yang Cakka dan Alvin bayangkan. Cakka tidak diturunkan untuk bermain! Kata Pak Jo ini semua adalah strategi dari Gabriel. Mereka semua ingin menyimpan Cakka untuk sementara agar Cakka dapat turun ke lapangan di saat yang tepat. Karena itu, kali ini Cakka hanya duduk di pinggir lapangan, menonton mereka dengan para pemain cadangan yang lain.
“Kenapa Cakka tidak masuk? Bukankah dia kaptennya?” kata Biru.
“Mungkin itu strategi mereka. Sudahlah, tonton saja.” kata Elang.
Pertandingan pertama mereka terlihat cukup lancar di mata Cakka. SMPN 21 yang menjadi lawan mereka tampak tidak terlalu kuat. Teman-temannya tampak sering berhasil melakukan steal bola dengan mudah dari tangan lawan dan skor mereka juga terpaut jauh. Dalam dua kuarter, SMP Idola bisa unggul telak dengan skor 30-12. Tapi walaupun begitu, SMPN 21 tampaknya cukup mahir dalam melakukan tembakan tiga angka. Mereka tak boleh lengah kalau tidak ingin kalah. Dan lagi, strategi mereka belum terlalu kelihatan.
Defense!” teriak Pak Jo dari pinggir lapangan ketika melihat bola basketnya ada di tangan lawan. “Jangan lengah! Tetap waspada!”
Berkali-kali Cakka lihat teman-temannya itu merebut bola dan diakhiri dengan BD yang mencetak angka. Semuanya berjalan mulus hingga lawan mereka mengeluarkan seluruh tenaga di dua kuarter terakhir. Ternyata, mereka sengaja lengah di awal agar membuat teman-teman Cakka menganggap bahwa mereka bukan lawan yang susah.
“Yel!” teriak Ray mengoper bolanya.
“HUP!” Gabriel menangkap bola tersebut dan mendribelnya hingga ia dekat dengan ring. Di sana sudah ada Alvin yang menjaga ring dan BD yang siap menembak. Ia langsung mengoper lagi. “BD!”
BD menangkap bola tersebut dan mendribel. Kemudian, ia langsung menembak.
MASUK! Skor berubah menjadi 52-45 untuk keunggulan SMP Idola.
“Waktu tinggal tiga menit! Pertahankan!” seru Pak Jo nyaring.
Cakka tersenyum mendengar teriakan Pak Jo tersebut. Waktu tinggal sebentar lagi. Dan ia masih juga belum diturunkan. Sepertinya itu berarti dia tidak akan bermain di pertandingan ini. Sama sekali. Tim SMP Idola akhirnya dapat mengalahkan SMPN 21 dengan skor 62-50.

J L J

“Maaf ya, Kka,” kata Alvin ketika seusai pertandingan. “Aku juga tak tahu kalau Gabriel berniat untuk tidak menurunkan kau ke lapangan. Padahal, aku sudah tak sabar ingin bermain denganmu lagi.”
Cakka tersenyum. “Sudahlah, Vin. Masih banyak kesempatan lain.”
“Ya, sudahlah, Vin. Untuk apa kau meminta maaf kepada kapten bodoh itu? Dia memang tak pantas bermain di lapangan.” kata Rio yang sedang menghapuskan keringatnya yang sudah banjir.
“Diam kau, aku tahu kalian bertiga sengaja, kan?” kata Alvin selembut mungkin agar tak terjadi pertengkaran lagi. “Masih untung aku tak emosi dan memberimu bola. Kau, Gabriel dan Ray itu tega ya membiarkan Cakka duduk di bangku cadangan. Dia itu kapten kita!”
“Ah, kau itu selalu membela dia. Sebenarnya apa sih yang telah ia lakukan kepadamu?” tanya Gabriel ikut menyahut. Ia mendekati Alvin dan Cakka. “Jangan-jangan Cakka membayarmu sampai kau begitu membelanya?”
“Tutup mulutmu, Gabriel Astroken. Kau pikir persahabatan kita hanya sebatas uang? Kalau kau marah padaku karena aku kembali pada Cakka, tak usah libatkan dia. Balas dendam saja kepadaku.”
“Huh, sok pahlawan,” kata Rio. “Kau lihat sendiri bukan, tim kita dengan BD bisa mencetak banyak angka. Kami menang telak dari mereka. Berbeda jika Cakka yang turun ke lapangan.”
“Terserah apa katamu, kalian bertiga akan menyesal mengataiku seperti itu karena justru kalian yang masih tersesat di jalan yang salah.” kata Alvin.
Cakka diam saja melihat pertengkaran yang terjadi di sana. Ah, Cakka tak pernah suka dengan suasana ini. Tapi, memang harus diakui, mungkin teman-temannya memang sengaja tak membiarkannya bermain di lapangan. Terbukti, pertandingan kedua dan ketiga juga ia hampir sama sekali tidak main. Hanya bermain satu-dua menit, itupun karena paksaan Pak Jo. Hal itu membuat Pak Jo sedikit curiga.
“Kalian itu sebenarnya ingin apa dari strategi kalian?” tanya Pak Jo setelah mereka menang di pertandingan ketiga, melawan SMP Bintang Bangsa. “Bapak sama sekali tidak bangga kalau kalian menang dengan cara seperti ini. Jangan karena kalian benci pada satu orang, kalian menghancurkan semuanya!”
“Pak! Kita itu sudah menang! Bahkan sebentar lagi masuk Final Four!” kata Gabriel. “Saya sudah bilang kalau strategi saya itu justru karena saya tahu Cakka itu sangat berbakat dalam basket, makanya saya menyimpannya di akhir!”
“Ya, tapi kau tidak menurunkan Cakka di kuarter akhir seperti yang kau bilang. Kenyataannya kau justru terlihat mengandalkan BD. Jika BD masih bisa lanjut, kau tidak akan perduli dengan Cakka. Bapak rasa kau masih dendam dengan Cakka, betul?” tanya Pak Jo.
Gabriel diam saja mendengarnya.
“Gabriel Astroken, Bapak bukannya ingin memaksamu agar Cakka bermain di lapangan. Tapi, sadarlah. Kalian sudah berteman sejak CRAG Team terbentuk. Kau hanya terlalu dendam karena insiden perubahan Cakka.” kata Pak Jo.
“Dendam? Saya tidak dendam! Saya hanya mengatur strategi sesuai kenyataan! Saya tidak butuh kapten yang egois dan suka bolos latihan seperti dia!”
“Tuh kan? Kau membahas itu lagi,” kata Pak Jo menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, lebih baik kalian pulang. Beristirahat untuk pertandingan selanjutnya. Gabriel, Rio, Ray, Bapak minta kalian merenungkan kesalahan kalian.”
Setelah berkata begitu, Pak Jo langsung pergi meninggalkan mereka. Alvin langsung duduk di samping Cakka dan menepuk pundaknya pelan. “Sabar, Kka. Kau tidak salah.”
Cakka hanya bisa tersenyum menanggapinya.
“Kau tampak lelah, lebih baik kita pulang. Biru dan Kak Elang pasti sudah menunggu di luar. Aku juga ingin beristirahat.” kata Alvin lagi.
“Kau ikut mobil Kak Elang?” tanya Cakka.
Alvin mengangguk. Kemudian, ia dan Cakka langsung meninggalkan ruang ganti tanpa pamit kepada anak-anak yang lain. Gabriel, Rio dan Ray yang melihat mereka pergi hanya bisa mendengus kesal. Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p