Cakka
menoleh ke arah pintu ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia berjalan
mendekati pintu kamarnya dan segera membukanya pelan-pelan. Ia pikir mungkin
kedua kakaknya atau Bunda yang ada di balik pintunya itu. Namun, dugaannya salah.
Ternyata orang lain. Cakka sampai kaget melihat kehadirannya.
“Alvin…”
kata Cakka lirih melihat salah satu sahabatnya berdiri di depan kamarnya
sekarang. Padahal sudah berapa minggu ini ia tak berkomunikasi dengannya. Cakka
menunduk dan memalingkan wajahnya. Tak siap bertemu dengan sahabatnya itu.
“Aku
ingin bicara denganmu. Kau sedang sibuk?” tanya Alvin pelan.
Cakka
diam. Ia menggelengkan kepalanya dan memberi jalan Alvin agar ia dapat masuk ke
dalam kamarnya yang kini agak berantakan karena tadi Cakka baru saja
mengerjakan beberapa PR untuk minggu depan.
Alvin
segera menghampiri tempat tidur Cakka begitu ia masuk ke dalam. Entah sudah
berapa lama ia tak berada di sana. Ia segera duduk dan mengatup kedua tangannya
yang kemudian ia main-mainkan karena tak tahu harus bicara apa.
Cakka
juga sama. Ia duduk di kursi meja belajarnya, tepat di hadapan Alvin, namun ia
juga tetap mengunci mulutnya. Kepalanya tetap ia tundukkan. Tak tahu bagaimana
harus memulai pembicaraan. Ia belum siap menjelaskan dan bertanya masalah
persahabatan mereka belakangan ini.
Alvin
menghela nafasnya. “Aku sudah mendengar semuanya dari Biru.”
Cakka
reflek mengangkat kepalanya mendengar ucapan Alvin. Ah, ternyata kakaknya telah
memenuhi janjinya. Ia menceritakan semuanya pada Alvin. Pantas saja Alvin bisa
berada di sini.
“Maaf,
Kka, aku baru tahu kalau kau belakangan ini merawat Ayahmu yang sakit. Aku
sungguh-sungguh mengira kau sudah berubah. Apalagi melihat kau sampai bolos
latihan.” kata Alvin menyesal.
Cakka
tersenyum samar. “Aku yang salah, bukan kau.”
Alvin
mengangkat kepalanya menatap Cakka, meminta penjelasan.
Cakka
menghela nafas. “Kalau saja waktu itu aku cerita pada kalian soal kesibukan
waktu itu, semuanya tidak akan seperti ini. Waktu itu, pertama kali aku
buru-buru karena aku ada acara dengan Ayah, kemudian di acara itu Ayah
tiba-tiba demam. Kemudian, masuk rumah sakit. Aku hanya ingin menjaganya
seharian, mengganti seluruh kesalahanku dulu. Dan soal sikapku di lapangan itu,
maaf, Vin.”
“Sebenarnya
ada apa?” tanya Alvin ingin tahu.
“Ayah
mengenalkanku pada Om Chris, teman Ayah yang membuat Ayah takut anak-anaknya
bermain basket. Waktu itu, Om Chris memberitahuku banyak hal hingga membuatku
sadar, aku seharusnya tetap bekerja sama apapun yang terjadi di lapangan. Aku
ingin meminta maaf karena tak memberimu bola waktu itu, tapi… kalian sudah
keburu membenciku.”
“Maaf,
Kka,” kata Alvin sekali lagi. “Kami hanya kecewa.”
Cakka
diam saja mendengarnya.
“Sudahlah,
tak perlu mengungkit-ungkit soal itu. Aku tak begitu kesal dengan hal itu, tapi
waktu itu aku dan yang lainnya begitu dihasut BD bahwa kau benar-benar
berubah,” kata Alvin. Ia mengulurkan tangannya. “Yang penting, sekarang kita
berbaikan, kan?”
Cakka
tersenyum dan menerima uluran tangan Alvin. Kemudian, mereka berdua berpelukan
seperti anak kecil. Rasa canggung yang mereka rasakan tadi seketika lenyap
karena mereka sudah saling terbuka satu sama lain. Namun, Alvin tiba-tiba
mendorong kedua bahu Cakka darinya. “Kka. Bukan muhrim.”
Mereka
berdua langsung melepaskan pelukan mereka. Kemudian, mereka tertawa bersama
karena tingkah mereka yang konyol. Benar-benar seperti kartun anak kecil yang
disebut teletabis itu. Akhirnya, kesalahpahaman di antara Cakka dan sahabatnya
berakhir juga. Walaupun baru dengan Alvin. Tapi, cepat atau lambat, Ray,
Gabriel dan Rio juga pasti akan tahu yang sebenarnya. Minimal dengan kembalinya
Alvin, Cakka sudah lebih tenang.
“Ciyeee…
Sudah baikan! Jangan bertengkar lagi ya!” tiba-tiba Elang dan Biru sudah
berdiri di depan pintu kamar Cakka dengan wajah yang bahagia.
Cakka
tersenyum menatap kedua kakaknya. Alvinpun begitu. Dari senyumannya itulah ia
berterima kasih kepada Biru dan Elang yang telah membantunya untuk
menyelesaikan masalah ini.
“Kka,
soal masalah ini, lebih baik kita simpan dulu dari yang lain. Aku tak ingin
pertengkaran kita semakin buruk. Mereka pasti masih percaya bahwa kau sudah tak
perduli pada mereka. Biar saja nanti mereka tahu sendiri,” kata Alvin. Ia
menoleh ke arah Biru dan Elang. “Itu termasuk kau, Bi. Dan Kak Elang.”
Cakka
tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Biru dan Elang juga langsung
mengacung jempol mereka, tanda bahwa mereka juga setuju dengan pendapat Alvin.
“Kalau
begitu, mulai sekarang, kalian harus berjuang sampai turnamen selesai, oke?
Jangan ada pertengkaran lagi. Aku juga akan berusaha untuk menampilkan
penampilan musik yang terbaik di kampus agar bisa terpilih sebagai perwakilan.
Akan diadakan lomba.” kata Elang.
“Siap,
Kak!” kata Alvin mengacungkan jempolnya.
J L J
Ray,
Rio dan Gabriel merasa heran ketika Alvin tiba-tiba akrab lagi dengan Cakka.
Padahal, tak sampai seminggu yang lalu dia masih merasa menjauhi Cakka adalah
pilihan yang tepat. Tapi, sekarang Alvin justru lebih sering tertawa-tawa
bersama Cakka di pinggir lapangan. Rasanya ingin bertanya, namun mereka tak
enak hati dengan Cakka. Bisa-bisa ia merasa mereka bertiga tak senang ia
berteman lagi dengan Alvin. Namun, di sisi lain, mereka juga kecewa dengan
Alvin. Pasalnya, selama ini dia yang keuhkeuh bahwa menjauhi Cakka adalah jalan
terbaik.
“Hei,
kalian melihat apa? Ayo latihan! Nanti keburu Pak Jo datang.” tanya BD ketika
memergoki ketiga temannya terdiam di tengah lapangan.
Mendengar
ucapan keras BD, mereka langsung kembali fokus dengan permainan. Sayang sekali,
padahal kalau saja mereka lebih lama melihat ke pinggir lapangan, mereka akan
tahu kalau sebenarnya Cakka sesekali melirik ke arah mereka di sela-sela
tawanya. Berharap ketiga temannya itu juga bergabung bersama mereka berdua di
pinggir lapangan. Tapi, tentu saja itu mustahil untuk sekarang.
J L J
“Dengar,
anak-anak! Beberapa hari lagi hari turnamen Se-Jakarta akan tiba. Jadi saya
harap kalian menjaga kesehatan agar kalian dapat mengikuti turnamen sampai
selesai. Mengerti? Jangan sia-siakan latihan kalian selama ini.” kata Pak Jo
usai ekskul basket hari Jumat itu.
“Mengerti,
Pak!” seru tiga puluh anak perwakilan yang akan ikut turnamen.
“Baiklah,
selain Ray, Rio, Gabriel, Alvin dan Cakka, sekarang boleh bubar! Pulang dan
istirahatlah!” kata Pak Jo. “Untuk nama yang Bapak sebutkan tadi, harap tunggu
Bapak sebentar untuk rapat. Bapak akan mengembalikan bola dulu.”
Semuanya
langsung berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Tak terkecuali Cakka, Alvin,
Ray, Rio dan Gabriel. Walaupun mereka ditahan, mereka juga ingin membereskan
barang agar nanti bisa cepat pulang setelah rapat. Namun, sampai saat ini
mereka masih belum saling bertegur sapa seperti biasanya. Tak ada keluhan lelah
yang biasanya keluar dari mulut Ray. Tak ada ucapan-ucapan nasihat yang
mengomeli Ray. Tak ada Gabriel dan Rio yang selalu tertawa melihat Ray diomeli.
Begitu
selesai berkemas, Cakka langsung menyampirkan tasnya di sebelah pundak. Ia diam
saja melihat teman-temannya yang masih sibuk dengan tas mereka masing-masing.
Rasanya ingin berpamitan kepada mereka, tapi ia masih ragu. Ray, Rio, Gabriel.
Melihat kehadirannya di ekskul basket saja sudah membuat mereka mengunci mulut.
Cakka
berjalan menunduk meninggalkan lapangan. Walaupun ia sudah berbaikan dengan
salah satu dari mereka, sepertinya lebih baik ia tak berpamitan kepada siapapun
agar tak menimbulkan masalah. Bagaimanapun juga, mereka masih marah. Suasana di
antara mereka masih kurang baik.
“Kka!”
seru Alvin begitu melihat Cakka hampir keluar dari lapangan.
Cakka
menoleh.
“Kau
ingin kemana? Tak ikut rapat? Pak Jo sebentar lagi datang.” kata Alvin.
Cakka
tersenyum samar. Kemudian, ia berbalik badan lagi, hendak pergi. Namun,
kepergiannya tertunda karena ternyata Pak Jo telah kembali ke lapangan.
“Cakka?”
tanyanya heran.
“Pak...”
kata Cakka tersenyum paksa.
“Ayo
berkumpul sebentar. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kalian berlima. Atau
kau ada urusan?” tanya Pak Jo lagi.
Cakka
diam saja. Ia melihat ke arah teman-temannya sejenak dengan gelisah. Kehadiran
Pak Jo membuatnya menjadi sulit kabur dari sana. Masalahnya bukan ia buru-buru
atau bagaimana. Tapi, ia masih belum terlalu nyaman berada di antara
teman-temannya dengan keadaan seperti ini.
Keheningan
menguasai mereka beberapa waktu. Semuanya menunggu Cakka angkat bicara duluan.
Namun, Cakka tetap mengunci mulutnya. Laki-laki itu menghela nafasnya berat,
membenarkan sampiran tasnya dan segera melangkah meninggalkan lapangan tanpa
memperdulikan mereka.
Ray,
Rio dan Gabriel diam saja menyadari Cakka meninggalkan lapangan tanpa
meninggalkan sepatah katapun untuk mereka. Sementara Alvin menghela nafasnya
melihat kepergian Cakka.
“Sudahlah,
Pak. Biarkan saja dia pulang. Dia hanya perlu waktu sendiri. Biar nanti aku
yang menyampaikan rapat hari ini.” kata Alvin.
Pak
Jo diam sejenak memandang Alvin. “Oh... baiklah kalau begitu.”
“Sebenarnya
ada apa, Pak Jo? Apa terjadi sesuatu?” tanya Gabriel penasaran.
Pak
Jo berjalan mendekati anak-anak didiknya dan duduk di antara mereka yang duduk
melingkar. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum mulai bicara. “Oke. Mungkin
kalian tak sadar, tapi belakangan ini saya perhatikan kekompakan kalian berlima
kurang. Terutama hari ini. Kenapa? Kalian bertengkar?”
Keempat
laki-laki yang ada di antaranya terdiam.
“Jujur,
saya agak kecewa dengan kalian karena kalian membawa-bawa masalah ke lapangan.
Padahal waktu saya sudah mengingatkan kalian,” kata Pak Jo. “CRAG Team yang
saya didik itu?”
“Sebenarnya,
terjadi sedikit kesalahpahaman, Pak.” Alvin akhirnya angkat bicara untuk
meluruskan semuanya. Tak perduli dengan tatapan teman-temannya.
“Maksudmu?”
Pak Jo beralih ke arah Alvin.
“Sebenarnya
saya juga tidak tahu kenapa, tapi semenjak BD masuk ke ekskul basket dan
berlatih bersama kami, BD selalu bilang kalau Cakka itu tidak becus latihan.
Dan dia itu bukan kapten yang baik. Dan didukung dengan sikap Cakka yang
akhir-akhir ini berubah, kami pikir ucapan BD itu benar, Pak.”
“Lalu?”
“Kami...
Kami menjauhinya, Pak.” kata Alvin pelan.
“Kalian
pikir itu adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah kalian?” tanya Pak
Jo sambil menghela nafas. “Dengar ya, anak-anak. Semua masalah itu hanya akan
selesai jika kalian bicara. Bukan perang dingin seperti itu. Pantas saja Cakka
menjadi tidak nyaman. Kalian pasti tahu itu, kan?”
“Tapi,
Cakka memang tidak becus, Pak. Dia bolos latihan dua kali. Dia juga
berkali-kali bermain sendiri di lapangan. Bapak juga melihatnya sendiri setiap
kali latihan, bukan?” kata Ray tak mau mendengarkan.
“Ray,
semua yang dilakukan manusia itu ada alasannya. Begitu juga dengan Cakka.
Kalian bahkan tidak membicarakan ini dengan Cakka, bukan?”
“Kami
sudah mengajaknya berbicara waktu itu, Pak. Tapi, dia bilang dia ada urusan.
Tak bisa ikut ke rumah Alvin untuk membicarakan hal ini. Dia bukannya
menjelaskan, malah lari dari kita semua.” kata Gabriel.
“Pikiran
macam apa itu, Gabriel Astroken?” kata Pak Jo langsung melotot ke arahnya
sebal. “Kau itu sudah kelas delapan. Tapi, pikiranmu masih sedangkal anak SD.
Kau tak bisa mengambil kesimpulan sendiri seperti itu.”
“Lalu,
kalau bukan lari dari masalah, apa namanya?” tanya Rio membela kembarannya. Ia
mendengus pelan. “Kalau tahu Bapak akan membahas hal ini, saya sudah pulang
dari tadi. Saya malas membahas kapten bodoh itu.”
“Rio!
Jaga ucapanmu!” Pak Jo mulai tak sabar.
“Sudah,
sudah! Kalian semua tak ada yang benar!” kata Alvin ikutan tak sabar. “Ray! Rio!
Gabriel! Kalian tak ingin membicarakan Cakka, bukan? Kalau begitu, lebih baik
kalian pulang. Biar aku yang jelaskan semuanya pada Pak Jo.”
“Kau
ingin menjelaskan apa? Menjauhi Cakka itu idemu, Vin!” kata Ray sebal.
“Banyak
omong kau, Ray! Sudah sana pulang!” kata Alvin terkesan mengusir.
Ray,
Rio dan Gabriel menatap Alvin dengan darah yang sudah mendidih. Mereka
benar-benar emosi dengan Alvin hari ini. Pikiran mereka tertuju kepada Cakka
sekarang. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sampai Alvin begitu
membelanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung meninggalkan lapangan
tanpa pamit. Alvin yang melihat tingkah mereka bertiga hanya menggelengkan
kepalanya.
“Seharusnya
kau tak seperti itu, Vin. Mereka teman-temanmu.” kata Pak Jo.
“Ya,
saya tahu, Pak,” kata Alvin pelan. “Tapi, saya benar-benar butuh privasi untuk
menceritakan semuanya. Hanya saya yang tahu apa yang sedang terjadi di antara
kita berlima. Walau tidak semuanya.”
“Sebelum
itu, Bapak harap kau menyesal dengan idemu menjauhi Cakka.”
Alvin
mengangguk pelan.
Pak
Jo tersenyum. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduklah. Cerita
pada Bapak. Bapak benar-benar khawatir dengan CRAG Team sekarang, Vin. Kalau
kalian begini terus, bagaimana kalian bisa bertanding di turnamen besar
Se-Jakarta itu.”
Alvin
menurut. Ia duduk di sebelah Pak Jo. “Sebenarnya begini, Pak...”
J L J
Cakka
diam saja melihat keluar jendela selama perjalanan pulang ke rumah. Ia masih
betah memikirkan teman-temannya. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu untuk
mencari tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi sampai persahabatan mereka
menjadi seperti ini. Kepala sudah pusing memikirkan masalah yang terjadi.
Elang
yang sedang menyetir juga diam saja menyadari adiknya masih murung. Sesekali ia
perhatikan adik bungsunya itu dari kaca spion mobilnya, berharap Cakka hanya
sedang lelah. Tapi, Cakka sama sekali tak bergerak dari tempatnya.
Berbeda
dengan Biru yang dari tadi menatap cemas adiknya itu. Ia percaya bahwa perasaan
perempuan itu tak pernah salah. Dan pikirannya tertuju pada Alvin. Entah apa
yang dilakukan anak itu.
“Cakka...”
panggil Biru pelan.
Cakka
menoleh ke arah kakaknya dengan wajah datar dan sendu.
“Ada
apa lagi denganmu? Apa Alvin mengganggumu lagi? Kau harus menjaga kesehatanmu.
Jangan sampai kau sakit karena memikirkan hal ini. Sebentar lagi turnamen.”
kata Biru.
Cakka
menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Kak.”
“Cakka...”
“Kka,
dengarkan kakakmu. Kalau kau banyak pikiran, kau tak akan bisa konsentrasi di
pertandingan nanti atau kau akan mengecewakan orang banyak.” Elang akhirnya
angkat bicara.
Cakka
menatap kakak sulungnya kaget. Seketika ia teringat dengan perjuangannya dulu.
Tidak, ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia sudah menempuh jalan yang panjang
untuk bisa sampai di detik ini. Dan yang paling penting, ia sudah banyak
bertengkar dengan Ayah karena masalah ini. Ya, dia yang sudah berjanji agar ia
dapat membanggakan Ayah. Kenapa dia harus banyak berpikir tentang hal-hal yang
lain? Ia harus fokus!
Biru
tersenyum. “Janji pada kami kau akan melakukan yang terbaik apapun yang
terjadi, Kka. Kalau teman-temanmu tak mau mendukungmu, biar kami berdua yang
akan mendukungmu!”
“Ya,
betul kata Biru. Semangat!”
“Aku
akan marah jika kau kalah begitu saja!” kata Biru lagi.
Cakka
tersenyum menatap kedua kakaknya. Ia terharu. Mereka begitu setia
menyemangatinya dari awal hingga saat ini. Memang benar kata orang, keluarga
itu nomor satu. Mereka yang akan selalu ada ketika kita mengalami kesulitan.
Mereka yang akan selalu menuntunmu melewati jalan-jalan yang berliku-liku. “Terima
kasih, Kak!”
J L J
BRUK!
Gabriel
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu ia sampai di rumah. Sementara Rio
duduk di kursi meja belajar dan Ray yang ikut ke rumah duduk di atas karpet.
Masing-masing dari mereka masih menyimpan kekesalan yang dalam terhadap Alvin.
Benar-benar keterlaluan! Kalau saja mereka tak ingat dia adalah kakak kelas,
mungkin mereka sudah menghabisinya.
“Aku
sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Alvin,” kata Gabriel sambil mengatur
nafasnya yang lelah. “Siapa yang dulu berkata bahwa kita menjauh saja dari
Cakka, katanya dia sudah berubah lah, sudah tak perduli pada kita lah.”
“Kalau
begini akhirnya, seharusnya ia tak perlu menyangkal waktu itu,” kata Ray.
“Bukankah dulu aku sudah bilang, kalau aku merasa tak enak hati menjauhi Cakka.
Tapi, dia sendiri yang tak perlu. Namun, sekarang? Ia termakan omongannya
sendiri.”
“Kurasa
Cakka sudah melakukan sesuatu saat kita menjauhinya. Pasti itu.”
“Sekarang,
dua orang dari kita sudah melanggar janji,” kata Gabriel sambil bangkit dari tidurnya
dan duduk bersila di tempat tidur. “Padahal, dulu Cakka sendiri yang bilang
kalau kita akan tetap jadi satu tim. Sampai kapanpun. Tapi, sekarang kita
terpecah seperti ini.”
“Guys,
apa selamanya kita akan berpihak pada BD?” tanya Ray tiba-tiba.
“Kenyataannya
dia memang benar, kan?” kata Rio menoleh ke arah Ray.
“Tapi,
kata-kata Pak Jo ada benarnya juga, Yo, Yel. Kita belum membicarakan ini dengan
Cakka. Bukankah waktu itu kita juga berpikir kalau semua ini harus kita
bicarakan dengan Cakka dulu baru bisa memutuskan BD benar atau tidak?” tanya
Ray. “Aku tak ingin melawan pikiran kalian, tapi...”
“Ray,
kalau kau ingin kembali pada Cakka, silahkan kau kembali sendiri. Kita berdua
tak ingin dikhianati dua kali.” kata Gabriel.
Ray
bungkam mendengarnya.
“Omong-omong,
untuk strategi pertandingan besok, lebih baik kita buat strategi sendiri. Dua
orang menyebalkan itu tak punya hak untuk mengatur kita.”
“Hah?
Kau serius? Memangnya kau punya rencana apa, Yel?” tanya Ray.
Gabriel
mengisyaratkan kedua temannya agar segera mendekat ke arahnya. Setelah itu,
Gabriel mulai menjelaskan rencananya untuk turnamen nanti. “Begini...”
Selama
beberapa menit Gabriel, Rio dan Ray berembuk di tempat tidur. Setelah selesai,
mereka langsung duduk tegak kembali di tempat masing-masing.
“Bagaimana?
Setuju?” tanya Gabriel sambil tersenyum.
“Kau
yakin Pak Jo akan menerima strategi ini?” tanya Rio agak ragu.
“Tenang
saja. Aku sudah memikirkan semuanya.”
Rio
dan Ray saling pandang sebelum akhirnya mereka menganggukkan kepala mereka tanda
bahwa mereka setuju. Kemudian, mereka langsung beristirahat agar tidak
kelelahan sebelum turnamen besok.
J L J
GOR
Sunter! Itulah dimana Cakka berada sekarang. Dengan penuh percaya diri, ia
melangkah menuju ruang ganti dimana teman-temannya sudah menunggu. Ia berusaha
untuk mengingat pesan-pesan keluarganya bahwa ia harus melakukan yang terbaik
apapun yang terjadi. Yap, hari ini adalah hari H. Turnamen Se-Jakarta akan
dimulai hari ini dengan sekian banyak sekolah SMP yang akan bertanding.
“Cakka!”
seru Alvin ketika melihat Cakka masuk ke dalam ruang ganti. Ia sudah siap
dengan seragam basket SMP Idola yang berwarna hitam. Mungkin dia sedang
menunggu yang lainnya selesai.
Cakka
tersenyum. “Hai, Vin.”
“Akhirnya
kau datang juga. Cepat ganti bajumu. Tadi Pak Jo sudah memberikan pengarahan
sebentar. Mengingatkan kita agar kita melakukan yang terbaik,” kata Alvin. Ia
mendekatkan diri ke arah Cakka dan berbisik. “Buang masalahmu jauh-jauh selama
pertandingan.”
Cakka
tersenyum. Ia menepuk pundak Alvin pelan. “Thanks.”
Alvin
mengangguk. “Itu gunanya sahabat, bukan?”
“Hei,
jangan berbicara terus! Lebih baik cepat-cepat bersiap.” tiba-tiba Ray
menyahut.
Alvin
menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Ray. Berbeda dengan Cakka yang hanya
tertawa geli. Ia langsung cepat-cepat mengganti bajunya dengan seragam basket
dan tak lupa berdoa kepada Tuhan agar perjuangannya selama tak sia-sia. Mereka
berembuk sejenak, seperti biasanya jika mereka akan bertanding. Cakka, Alvin,
Gabriel, Rio dan Ray menumpuk tangan mereka masing-masing.
“Guys,
aku tahu, persahabatan kita sedang renggang. Tapi, bagaimanapun ini adalah
mimpi kita bersama. Jadi, apapun yang terjadi, kita harus melakukan yang
terbaik. Oke? Ayo, kita lakukan yel-yel kita.” kata Alvin.
“CRAG
Team, Friends Till The End!” seru
kelima laki-laki tersebut penuh semangat sambil merentangkan tangan mereka ke
atas. Setelah itu, barulah mereka bersiap-siap untuk bertanding karena sebentar
lagi turnamen akan dimulai. Para pemain cadangan juga.
Namun,
pertandingan tak berjalan seperti yang Cakka dan Alvin bayangkan. Cakka tidak
diturunkan untuk bermain! Kata Pak Jo ini semua adalah strategi dari Gabriel.
Mereka semua ingin menyimpan Cakka untuk sementara agar Cakka dapat turun ke
lapangan di saat yang tepat. Karena itu, kali ini Cakka hanya duduk di pinggir
lapangan, menonton mereka dengan para pemain cadangan yang lain.
“Kenapa
Cakka tidak masuk? Bukankah dia kaptennya?” kata Biru.
“Mungkin
itu strategi mereka. Sudahlah, tonton saja.” kata Elang.
Pertandingan
pertama mereka terlihat cukup lancar di mata Cakka. SMPN 21 yang menjadi lawan
mereka tampak tidak terlalu kuat. Teman-temannya tampak sering berhasil
melakukan steal bola dengan mudah
dari tangan lawan dan skor mereka juga terpaut jauh. Dalam dua kuarter, SMP
Idola bisa unggul telak dengan skor 30-12. Tapi walaupun begitu, SMPN 21
tampaknya cukup mahir dalam melakukan tembakan tiga angka. Mereka tak boleh
lengah kalau tidak ingin kalah. Dan lagi, strategi mereka belum terlalu
kelihatan.
“Defense!” teriak Pak Jo dari pinggir lapangan
ketika melihat bola basketnya ada di tangan lawan. “Jangan lengah! Tetap
waspada!”
Berkali-kali
Cakka lihat teman-temannya itu merebut bola dan diakhiri dengan BD yang
mencetak angka. Semuanya berjalan mulus hingga lawan mereka mengeluarkan seluruh
tenaga di dua kuarter terakhir. Ternyata, mereka sengaja lengah di awal agar
membuat teman-teman Cakka menganggap bahwa mereka bukan lawan yang susah.
“Yel!”
teriak Ray mengoper bolanya.
“HUP!”
Gabriel menangkap bola tersebut dan mendribelnya hingga ia dekat dengan ring.
Di sana sudah ada Alvin yang menjaga ring dan BD yang siap menembak. Ia
langsung mengoper lagi. “BD!”
BD
menangkap bola tersebut dan mendribel. Kemudian, ia langsung menembak.
MASUK!
Skor berubah menjadi 52-45 untuk keunggulan SMP Idola.
“Waktu
tinggal tiga menit! Pertahankan!” seru Pak Jo nyaring.
Cakka
tersenyum mendengar teriakan Pak Jo tersebut. Waktu tinggal sebentar lagi. Dan
ia masih juga belum diturunkan. Sepertinya itu berarti dia tidak akan bermain
di pertandingan ini. Sama sekali. Tim SMP Idola akhirnya dapat mengalahkan SMPN
21 dengan skor 62-50.
J L J
“Maaf
ya, Kka,” kata Alvin ketika seusai pertandingan. “Aku juga tak tahu kalau
Gabriel berniat untuk tidak menurunkan kau ke lapangan. Padahal, aku sudah tak
sabar ingin bermain denganmu lagi.”
Cakka
tersenyum. “Sudahlah, Vin. Masih banyak kesempatan lain.”
“Ya,
sudahlah, Vin. Untuk apa kau meminta maaf kepada kapten bodoh itu? Dia memang
tak pantas bermain di lapangan.” kata Rio yang sedang menghapuskan keringatnya
yang sudah banjir.
“Diam
kau, aku tahu kalian bertiga sengaja, kan?” kata Alvin selembut mungkin agar
tak terjadi pertengkaran lagi. “Masih untung aku tak emosi dan memberimu bola.
Kau, Gabriel dan Ray itu tega ya membiarkan Cakka duduk di bangku cadangan. Dia
itu kapten kita!”
“Ah,
kau itu selalu membela dia. Sebenarnya apa sih yang telah ia lakukan kepadamu?”
tanya Gabriel ikut menyahut. Ia mendekati Alvin dan Cakka. “Jangan-jangan Cakka
membayarmu sampai kau begitu membelanya?”
“Tutup
mulutmu, Gabriel Astroken. Kau pikir persahabatan kita hanya sebatas uang?
Kalau kau marah padaku karena aku kembali pada Cakka, tak usah libatkan dia.
Balas dendam saja kepadaku.”
“Huh,
sok pahlawan,” kata Rio. “Kau lihat sendiri bukan, tim kita dengan BD bisa
mencetak banyak angka. Kami menang telak dari mereka. Berbeda jika Cakka yang
turun ke lapangan.”
“Terserah
apa katamu, kalian bertiga akan menyesal mengataiku seperti itu karena justru
kalian yang masih tersesat di jalan yang salah.” kata Alvin.
Cakka
diam saja melihat pertengkaran yang terjadi di sana. Ah, Cakka tak pernah suka
dengan suasana ini. Tapi, memang harus diakui, mungkin teman-temannya memang
sengaja tak membiarkannya bermain di lapangan. Terbukti, pertandingan kedua dan
ketiga juga ia hampir sama sekali tidak main. Hanya bermain satu-dua menit,
itupun karena paksaan Pak Jo. Hal itu membuat Pak Jo sedikit curiga.
“Kalian
itu sebenarnya ingin apa dari strategi kalian?” tanya Pak Jo setelah mereka
menang di pertandingan ketiga, melawan SMP Bintang Bangsa. “Bapak sama sekali
tidak bangga kalau kalian menang dengan cara seperti ini. Jangan karena kalian
benci pada satu orang, kalian menghancurkan semuanya!”
“Pak!
Kita itu sudah menang! Bahkan sebentar lagi masuk Final Four!” kata Gabriel.
“Saya sudah bilang kalau strategi saya itu justru karena saya tahu Cakka itu
sangat berbakat dalam basket, makanya saya menyimpannya di akhir!”
“Ya,
tapi kau tidak menurunkan Cakka di kuarter akhir seperti yang kau bilang.
Kenyataannya kau justru terlihat mengandalkan BD. Jika BD masih bisa lanjut,
kau tidak akan perduli dengan Cakka. Bapak rasa kau masih dendam dengan Cakka,
betul?” tanya Pak Jo.
Gabriel
diam saja mendengarnya.
“Gabriel
Astroken, Bapak bukannya ingin memaksamu agar Cakka bermain di lapangan. Tapi,
sadarlah. Kalian sudah berteman sejak CRAG Team terbentuk. Kau hanya terlalu
dendam karena insiden perubahan Cakka.” kata Pak Jo.
“Dendam?
Saya tidak dendam! Saya hanya mengatur strategi sesuai kenyataan! Saya tidak
butuh kapten yang egois dan suka bolos latihan seperti dia!”
“Tuh
kan? Kau membahas itu lagi,” kata Pak Jo menggelengkan kepalanya. “Sudahlah,
lebih baik kalian pulang. Beristirahat untuk pertandingan selanjutnya. Gabriel,
Rio, Ray, Bapak minta kalian merenungkan kesalahan kalian.”
Setelah
berkata begitu, Pak Jo langsung pergi meninggalkan mereka. Alvin langsung duduk
di samping Cakka dan menepuk pundaknya pelan. “Sabar, Kka. Kau tidak salah.”
Cakka
hanya bisa tersenyum menanggapinya.
“Kau
tampak lelah, lebih baik kita pulang. Biru dan Kak Elang pasti sudah menunggu
di luar. Aku juga ingin beristirahat.” kata Alvin lagi.
“Kau
ikut mobil Kak Elang?” tanya Cakka.
Alvin
mengangguk. Kemudian, ia dan Cakka langsung meninggalkan ruang ganti tanpa
pamit kepada anak-anak yang lain. Gabriel, Rio dan Ray yang melihat mereka
pergi hanya bisa mendengus kesal. Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan
urusannya masing-masing.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p