Jumat, 14 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 25


Terdengar suara langkah terburu-buru ketika Cakka turun ke bawah sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. Begitu ia masuk ke ruang keluarga, ia mendapati kakak perempuannya sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kakinya melangkah ke sana kemari, sibuk mengambil barang-barang yang ia butuhkan. Benar juga, hari ini kan hari pertamanya mengikuti Ujian Nasional, sehingga Cakka akan libur tiga hari ke depan.

“Cakka, kau sudah bangun?” kata Elang tiba-tiba muncul dari belakangnya dan memegang pundaknya. Cakka hanya tersenyum menanggapinya. Elang melanjutkan ucapannya, “Sarapan sudah ada di meja. Makanlah.”
“Kak Biru sibuk sekali, Kak.”
“Ya, dia harus memeriksa benar-benar alat tulis dan segala macam yang harus dia bawa. Kalau tidak, nanti dia bisa kesulitan mengerjakan soal. Seperti kau dulu saat Ujian Nasional SD.” kata Elang lagi sambil tersenyum. “Kau makan saja, jangan ganggu dia.”
Cakka mengangguk. Kemudian, ia mengikuti langkah Elang menuju ruang makan. Di sana telah ada Bunda dan Ayah yang sedang menikmati sarapan mereka. Ternyata, sarapan hari ini adalah roti dengan telur omelet. Benar-benar menggiur selera.
“Selamat pagi, Cakka,” kata Bunda sambil tersenyum melihat anak bungsunya. Ia menggeser sepiring roti kepadanya. “Kau bangun pagi sekali hari ini, padahal kau tidak sekolah. Makanlah rotimu.”
“Terima kasih, Bunda.” kata Cakka sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung melahap roti isi telur yang disodorkan Bunda itu. Sementara Elang duduk di sebelahnya sambil menghabiskan segelas susu.
“Biar nanti aku ajak Cakka ke lapangan untuk latihan basket, Bunda. Lumayan untuk olahraga pagi.” kata Elang.
“Ide bagus. Biar kalian tambah sehat,” kata Bunda. “Lagipula, lumayan juga untuk latihan untuk turnamen. Ajak saja teman-temanmu ke lapangan, Kka.”
Cakka diam mendengar ucapan Bunda. Ia tetap fokus dengan makanannya. Elang juga tak menyahut, ia mengerti adiknya belakangan ini selalu murung bila membicarakan teman-temannya. Keheningan terjadi sampai akhirnya Biru datang dengan terburu-buru. Cakka dan Elang langsung menoleh ke arahnya.
“Kau belum berangkat?” tanya Elang heran.
“Sebentar lagi! Bunda, Ayah, Cakka, aku berangkat dulu!” kata Biru buru-buru.
“Ya, hati-hati!” kata Bunda sambil tersenyum.
“Kerjakan soal-soal dengan baik!” kata Ayah ikut menambahkan.
“Tentu, Yah!” kata Biru langsung berlari keluar rumah. Cakka yang melihat itu langsung beranjak dari kursinya dan mengejar kakaknya keluar rumah. Ia tak peduli dengan Elang yang melihatnya heran karena tiba-tiba kabur dari ruang makan.
“Kak Biru!” seru Cakka sebelum kakaknya benar-benar menghilang dari pandangannya.
Biru menoleh. Ia tersenyum, memamerkan giginya kepada Cakka. “Tenang saja, Kka! Aku tidak akan lupa dengan janjiku semalam! Kau cukup doakan aku agar lulus ke kelas sepuluh saja!”
Cakka mengacungkan jempol, kemudian melambaikan tangannya seiring kakak perempuannya pergi. Hari ini kakaknya memang berangkat sendiri. Ia tak ingin merepotkan Elang selama Ujian Nasional karena Cakka libur. Lagipula, jalan kaki lebih sehat katanya. Lagipula, ia akan berangkat lebih pagi selama ujian agar bisa belajar bersama Alvin dan teman-temannya. Ia tak akan membiarkan Elang harus bangun lebih pagi daripada biasanya hanya karena dia.

J L J

“Hei!” seru Biru setelah ia sampai di sekolah. Ia menghampiri Alvin, Alia, Melvi, Rika dan Karin yang sudah menunggunya di kantin. Mereka sudah tampak mulai belajar. Meja mereka penuh dengan buku paket dan lembaran soal-soal.
“Akhirnya kau datang juga! Padahal kita sudah datang lebih awal!” kata Alia sambil menggelengkan kepalanya melihat Biru. Setelah sekian menit akhirnya batang hidungnya kelihatan juga.
“Maaf! Kemarin aku lupa menyiapkan barang-barang untuk ujian hari ini, jadi aku terlambat berangkat dari rumah. Belum lagi harus sarapan dan memeriksa tas kembali. Besok aku akan datang lebih awal! Janji!” kata Biru mengatup kedua tanganya di depan wajahnya.
“Ya, baiklah. Duduk, Bi. Banyak hal yang harus kita tanyakan kepadamu. Materi kita terlalu banyak yang tidak jelas. Aku sampai pusing mempelajarinya.” kata Alvin sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.
“Ah, bilang saja kau malas belajar sendiri,” kata Biru yang sukses membuat Alvin nyengir. “Oh ya, omong-omong soal kau, pulang sekolah nanti, aku ingin berbicara denganmu. Secara privasi! Kuharap kau ada waktu.”
Alvin mengerutkan dahinya. “Ada apa?”
“Pokoknya ini masalah penting, jadi kau harus sediakan waktu paling tidak beberapa jam. Jangan banyak tanya sekarang, kita sudah mau ujian. Ayo belajar. Mana yang kau tak paham?” kata Biru cepat dan meletakkan buku paketnya yang tebal di atas meja.
“Banyak.”
“Sebutkanlah!”
“Ya, ya. Sabar!”
Mereka langsung sibuk belajar masing-masing kecuali Biru dan Alvin yang berdiskusi bersama. Alia, Melvi, Karin dan Rika yang merasa aneh dengan ucapan Biru tentang bertemu dengan Alvin itu memutuskan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Barangkali ada urusan yang tak boleh mereka tahu. Bagaimanapun juga, setiap orang kan pasti memiliki rahasia sendiri.


Harus diakui, ternyata Elang tak kalah mahir dari Cakka dan Biru yang hampir setiap hari bermain basket. Walaupun ia jarang menyentuh bola oranye itu sekarang, tapi Elang bisa dibilang cukup lincah di lapangan. Elang cukup menguasai banyak teknik. Cakka sampai tidak menyangka sama sekali kakak sulungnya juga memiliki bakat dalam basket. Bermain di lapangan bersama kakaknya pagi ini jadi terasa menyenangkan.
“HUP!” Elang meloncat dan melempar bola tersebut ke ring dari posisi tembakan tiga angka. Dan... MASUK! Bola tersebut dengan mulusnya mencetak angka ke dalam ring. Cakka benar-benar kagum dibuatnya.
Elang tertawa melihat Cakka tersenyum-senyum di tengah lapangan. Ia ambil bola basket yang terjatuh di pinggir lapangan itu dan melemparnya ke arah adiknya. “Kau tak pernah melihatku bermain basket semenjak kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, bukan? Aku juga tak akan kalah darimu. Melihat berbagai pertandingan juga bisa membuatku jago basket.
“Kau sangat berbakat, Kak!” seru Cakka senang. Kemudian, ia langsung melakukan tembakan. Ia memutar badannya dan melempar bola basket itu tanpa melihat ring. Hebatnya, bola basket itu justru masuk dengan mulus seperti tembakan Elang tadi.
Show off,” canda Elang sambil tertawa dan segera mengejar bola basket yang jatuh di dekatnya. “Kapan-kapan ajari aku teknik itu! Aku juga ingin bisa melakukannya, Kka!”
Cakka tertawa kecil mendengarnya.
“Hei, malah tertawa. Ya sudah, ayo kita tanding 1 on 1. Sudah lama aku tidak bermain basket. Rasanya tidak puas kalau hari ini pulang tanpa bertanding,” kata Elang. Ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat jam. “Jam kuliahku masih lama. Bagaimana kalau targetnya dua puluh?”
Cakka mengangguk semangat.
“Oke, satu, dua... tiga!” kata Elang sambil melempar bola ke atas setinggi-tingginya. Mereka berdua langsung berusaha merebut bola tersebut agar mendapatkan kesempatan. HUP! Elang yang mendapatkan bola tersebut terlebih dahulu. Cakka langsung mengejar kakaknya.
Berkali-kali Cakka menghadang Elang agar ia tak dapat mencetak angka, berkali-kali juga Elang mencoba menghindar dari hadangan Cakka dan mendribel bola menuju ring. Sesekali mereka tertawa ketika sedang saling mencoba untuk unggul. Rasanya menyenangkan bisa bermain basket bersama lagi. Mereka berdua bahkan tak ingat kapan terakhir kali mereka bisa bermain sambil tertawa seperti ini. Mungkin sudah belasan tahun yang lalu. Ketika mereka masih kecil. Sebelum konflik mereka dengan Ayah terjadi.
“HUP! Yes! Masuk!” seru Elang mengangkat kedua tangannya.
“Kau belum menang, Kak!” kata Cakka sambil tertawa. Ia mengambil bolanya dan segera mendribel ke tengah lapangan sebelum ia berniat melakukan tembakan. Elang hanya tertawa melihatnya. Ia segera kembali fokus dan mengejar adiknya. Lagi-lagi terdengar canda tawa dari kedua kakak beradik ini. Cakka tak bisa menahan kebahagiaannya lagi saat ini.
Ya, keluarga memang segalanya bagi Cakka. Terutama kedua kakaknya yang sangat menyayanginya. Mereka yang selalu ada di sisinya ketika ia jatuh karena masalah hidup. Seperti sekarang. Mereka bahkan bisa merasakan bahwa ia sedang sedih. Huh, sejujurnya, Cakka sudah bingung bagaimana caranya agar dapat berbaikan dengan teman-temannya. Ia rindu ingin bermain basket bersama keempat temannya itu. Tapi, di samping hal itu, ia juga tak ingin membuat siapapun khawatir kepadanya. Beruntung ia memiliki Elang, juga Biru yang setia menemaninya.

J L J

Alvin menyeruput kopinya sejenak setelah pesanannya itu datang. Di kafe yang sepi itu, ia duduk berdua dengan Biru untuk membicarakan sesuatu sesuai permintaannya tadi pagi. Sebenarnya Alvin ingin cepat pulang agar bisa belajar untuk ujian IPA besok, namun Biru benar-benar memaksanya untuk tidak pulang dulu sampai ia selesai bicara. Entah apa yang mau dibicarakannya.
“Vin,” sahut Biru akhirnya setelah lama. “Aku ingin kau bercerita kepadaku selengkap-lengkapnya. Aku mengajakmu ke sini karena aku ingin tak ada masalah di antara persahabatan kita.”
“Masalah?” tanya Alvin sambil mengerutkan dahinya heran. “Memangnya kita sedang ada masalah? Kita baik-baik saja, bukan? Kita tetap sering berkumpul bersama.”
Biru menghela nafasnya. “Vin. Ini bukan soal kita. Tapi soal kau. Jangan pikir selama ini aku tak memperhatikan kau dan yang lain tak bermain bersama Cakka. Sekarang ceritakan kepadaku, sebenarnya ada apa dengan kalian?”
“Bukankah aku sudah bilang kalau...”
“Tidak. Aku tidak mau mendengarmu berkata kalau Cakka belakangan ini banyak urusan. Oke, dia memang sibuk, tapi aku tahu ada sesuatu yang terjadi, bukan?” tanya Biru dengan wajah menyelidik.
Alvin mendengus mendengar ucapan Biru. “Bi, untuk informasi saja, adikmu sendiri yang membuat kita menjauh darinya. Kalau saja dia tak bertindak cuek pada kita semua, kita juga tidak akan seperti ini. Tanya saja pada adikmu itu, apa yang sudah ia lakukan pada kita.”
“Memangnya apa yang dia lakukan?”
“Huh,” dengus Alvin sambil tersenyum miring. “Kau berani menyalahkanku tanpa tahu apa yang sudah terjadi? Bi, adikmu itu sekarang bermain sendiri di lapangan. Kemudian, dia selalu terburu-buru pulang tanpa pamit pada kita.”
“Apa? Hanya karena itu kalian berpikir Cakka sudah berubah cuek?” tanya Biru tak percaya.
“Kalau kau harus tahu, Biru Putri Karayne. Dia bahkan tidak ikut bergembira ketika kita semua terpilih untuk ikut turnamen. Dia hanya tersenyum dan langsung meninggalkan kami begitu saja.” kata Alvin. “Lagipula, kapten macam apa yang bolos latihan ketika akan turnamen. Kami akan lebih senang jika BD menggantikan Cakka. Dia lebih bertanggung jawab.”
“Oh, jadi begitu? Kalau begitu, untuk apa kalian membangga-banggakan Cakka dulu? Dasar munafik. Dulu ketika Cakka baru masuk sekolah, kalian bahkan begitu memujanya. Sekarang kalian justru membuangnya seperti barang bekas!” kata Biru marah. Ia sampai berdiri dan melotot ke arah sahabatnya itu. Untung saja kafe itu sepi, sehingga suaranya tidak menarik perhatian orang banyak.
“Munafik? Cakka yang munafik! Dia yang sudah mengingkar janji persahabatan kita dan pergi begitu saja! Kalau memang dia masih menganggap kita sahabatnya, setidaknya dia akan berusaha untuk menarik kita kembali!” Alvin ikut berdiri dan marah.
“Oh ya? Kalau Cakka tidak menganggapmu dan yang lain sahabat-sahabatnya, dia tidak akan repot-repot memikirkan bagaimana caranya ia menjelaskan semuanya kepada kalian!” kata Biru membuat Alvin bungkam. Biru mengatur nafasnya sejenak sebelum ia melanjutkan ucapannya. Suaranya memelan. “Dia sudah cukup menderita, Vin.”
Alvin menghela nafas, kemudian membuang muka. Bibirnya tertutup rapat. Tak tahu lagi harus menjawab apa.
“Kalau kau harus tahu, belakangan ini Ayah kami masuk rumah sakit. Cakka hanya ingin menebus kesalahannya selama ini kepada Ayah. Makanya, ia vakum sementara dari latihan. Jumat besok ia juga akan mulai latihan lagi dengan kalian. Tapi, ia juga bingung melihat kalian yang begitu menjauhinya. Dia sering mengurung dirinya di kamar, Vin, karena masalah ini.” kata Biru lagi.
“Tapi...,” kata Alvin ragu. “Kenapa ia tak pernah bercerita?”
“Kau bukannya tak tahu bagaimana tabiat Cakka soal curhat, Vin. Dia tak ingin membuat kalian khawatir. Kalau saja aku tak memergokinya ketiduran di meja belajar kemarin, aku juga tidak akan tahu,” kata Biru. Ia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya. “Lihat ini.”
“Apa ini?” tanya Alvin sambil menerima kertas itu.
“Itu tulisan Cakka semalam. Kurasa dia tak tahan menyimpannya sendiri, makanya kemarin dia sempat tertidur di meja belajar,” kata Biru sambil membiarkan Alvin membacanya sekilas. Ia menepuk pundak Alvin pelan agar ia menatap ke arahnya kembali. “Aku harap kau berbicara padanya seusai kita Ujian Nasional, oke?”
Alvin diam. Ia hanya mengangguk pelan.
Biru tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundak Alvin lagi sebelum akhirnya Biru pamit untuk pulang dan meninggalkan Alvin yang masih terdiam di sana. Niat Alvin untuk cepat-cepat pulang akhirnya tertunda lagi karena ia justru duduk kembali dan memegang kepalanya. Pusing. Ia tak menyangka ia bisa salah presepsi dengan Cakka selama ini. Padahal, selama ini dia yang menyakinkan teman-temannya agar berpikir positif jika ada masalah.

J L J

“Oke, sebelum kita sudahi perkuliahan ini, saya ingin menyampaikan tugas untuk bulan depan. Kalian siapkan satu lagu yang menurut kalian bagus. Terserah, mungkin kalian memiliki lagu yang menurut kalian bisa menginspirasi orang atau karena kalian suka dengan lagu tersebut. Nanti kalian bawakan lagu itu di depan kelas dan bapak atau teman-teman kalian akan menanyakan beberapa pertanyaan seputar lagu untuk kalian. Yang menjadi penilaian adalah bagaimana kalian membawakan lagu tersebut dan bagaimana kalian menjawab pertanyaan. Oke?” kata bapak dosen di depan kelas.
“Oke, Pak!” jawab seluruh mahasiswa jurusan musik yang ada di sana.
“Baiklah. Ini adalah tugas akhir sebelum tugas akhir semester jadi kalian persiapkanlah dengan baik. Dan tugas itu yang akan menentukan siapa yang akan ikut lomba seperti teman kalian waktu itu. Kalian tak harus individual, berkelompok juga boleh. Yang penting tak lebih dari empat orang. Tergantung bagaimana kreativitas kalian. Selamat siang dan sampai bertemu minggu depan!”
“Terima kasih, Pak!” Anak-anak langsung segera membereskan barang-barang mereka. Ada beberapa juga yang langsung mengangkat tas mereka dan meninggalkan kelas. Namun, ada beberapa juga yang langsung berdiskusi tentang tugas yang baru saja diberikan. Salah satunya adalah Elang.
“Hei, Bianca. Bagaimana rencanamu tentang tugas tadi?” tanya Elang menghampiri temannya yang duduk di belakang. Tasnya sudah tersampir di sebelah pundaknya.
“Entahlah. Aku belum memikirkannya. Kenapa? Kau butuh teman kelompok?” tanya Bianca. Elang mengangguk menanggapi ucapannya. Bianca langsung manggut-manggut dan berkata lagi. “Aku mau-mau saja berkelompok, asal tak ada temanmu itu yang menjajah ruang musik kita.”
Elang tertawa. “Kalau begitu, nanti aku kabari lagi soal tugas ini. Kalau kita jadi berkelompok, kita bisa berlatih ketika Mike tidak kuliah. Selasa dan Jumat. Bagaimana? Aku butuh satu gitar lagi untuk memeriahkan penampilanku.”
“Oke. Kalau begitu aku tunggu kabarmu.” kata Bianca sambil menggantungkan tasnya di kedua pundak. Kemudian, memakai topinya terbalik. Pakaiannya sehari-hari. “Kalau begitu, aku akan pulang duluan. Bagaimana dengan kau?”
“Tentu saja aku ingin pulang.” kata Elang menjitak dahi Bianca. “Sudahlah, ayo kita turun ke lantai dasar. Aku ingin mampir ke suatu tempat untuk membeli makanan dulu.”
“Hei, tunggu!” kata Bianca langsung mengejar Elang yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas dan menuruni tangga. “Kau tak bisa ya pelan-pelan saja?”
“Tidak.” kata Elang sambil tertawa.
“Hei, Lang! Kau bawa mobil tidak?” tanya Mike tiba-tiba berteriak dari bawah.
“Ah, baru kudoakan lenyap, sudah muncul lagi! Sudah, aku pulang duluan, Lang! Nanti aku kabari kau jika aku mempunyai ide!” keluh Bianca sambil memutar matanya malas. Ia mempercepat langkahnya dan segera berlalu melewati Mike dengan cepat.
Mike hanya menatap Bianca sambil menggelengkan kepalanya. “Aku tak habis pikir kau bisa berteman dengan anak jurusan musik seaneh dia, Lang. Dia selalu kabur jika aku datang.”
“Mungkin dia hanya gugup melihatmu.” kata Elang kembali tertawa.
“Omong kosong!” kata Mike sambil menjitak sahabatnya itu. “Hei, boleh aku menumpang di mobilmu? Orang tuaku tak bisa menjemput, motorku sedang ada di bengkel. Jadi, aku tak ada kendaraan untuk pulang.”
“Tentu saja. Tapi, aku ingin mampir untuk membeli makanan dulu.”
Mike mengacungkan jempolnya. Kemudian, ia merangkul sahabatnya itu meninggalkan gedung kampus. “Tak masalah. Ayo pulang.”
Mereka berdua pergi menuju parkiran dan segera melesat meninggalkan kampus dengan mobil Elang. Keheningan menguasai mereka selama perjalanan. Mike sibuk dengan ponselnya sehingga terus menatap layar gadget itu, Elang juga lebih fokus ke jalanan yang ada di hadapannya. Hanya suara AC dan mesin mobil yang menemani perjalanan mereka, beserta dengan wangi parfum yang terpasang di dalam mobil.
Sebenarnya Elang mau-mau saja mengajaknya berbicara. Tapi, ia sudah paling hafal dengan tabiat sahabatnya itu. Kalau sudah memegang ponsel, dia tidak akan fokus dengan apa yang dibicarakan orang lain. Dia itu ibarat seorang gadget freak. Dan lagipula, mengobrol sambil menyetir itu bahaya. Benar-benar konyol jika ia harus kecelakaan hanya karena mengobrol dengan temannya. Ada lagi alasan lain. Elang khawatir Cakka mengurungkan dirinya lagi di kamar setelah ia tinggal ke kampus.
Elang menyipitkan matanya ketika ia melihat seseorang dari kaca mobilnya. Ia tampak familiar melihat punggung laki-laki itu. Karena penasaran, ia memperlambat jalan mobilnya dan menepi menuju ke arah orang itu sambil mengawasinya agar tidak kehilangan jejak. 
Mike yang sadar jalan mobil sahabatnya semakin lama semakin lambat langsung menoleh ke arahnya dengan heran. “Kenapa, Lang?”
“Hah? Tidak apa-apa. Sepertinya itu temanku. Sebentar ya!” kata Elang sambil tersenyum. Setelah menghentikan mobilnya, ia langsung turun sejenak dan menghampiri orang itu. “Alvin!”
Orang yang diikutinya langsung menoleh karena merasa terpanggil. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum ketika melihat Elang menghampirinya. “Kak Elang. Baru pulang kuliah?”
Elang mengangguk. “Aku sedang mengantar teman kuliahku pulang. Setelah itu, aku membeli makanan dan langsung pulang. Kau kenapa masih di sini? Bukankah ujian sudah selesai dari tadi pagi?”
Alvin mengangguk. “Tadi Biru mengajakku bicara dulu di kafe sampai siang. Lalu, aku ditinggal. Sepertinya dia agak kesal padaku karena masalah basket. Aku baru mau pulang.”
“Oh, Biru mengungkit-ungkit soal Cakka ya? Aku sempat mendengar soal itu.” tanya Elang sambil tersenyum. “Lalu, bagaimana? Apa masalahnya sudah selesai?”
Alvin menggeleng. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menyadari sesuatu. Perlahan-lahan ia menoleh ke arah Elang dalam diam. Ya, masalah kesalahpahaman ini pasti bisa selesai jika ia segera mengambil tindakan. Ia tersenyum kecil sambil berkata, “Kak, boleh aku ikut ke rumah? Aku ingin bicara pada adikmu.”
Elang tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pelan pundak Alvin. “Tentu saja boleh. Ayo.”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


1 komentar:

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p