Terdengar
suara langkah terburu-buru ketika Cakka turun ke bawah sambil mengucek-ngucek
matanya yang masih mengantuk. Begitu ia masuk ke ruang keluarga, ia mendapati
kakak perempuannya sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kakinya melangkah ke
sana kemari, sibuk mengambil barang-barang yang ia butuhkan. Benar juga, hari ini
kan hari pertamanya mengikuti Ujian Nasional, sehingga Cakka akan libur tiga
hari ke depan.
“Cakka,
kau sudah bangun?” kata Elang tiba-tiba muncul dari belakangnya dan memegang
pundaknya. Cakka hanya tersenyum menanggapinya. Elang melanjutkan ucapannya,
“Sarapan sudah ada di meja. Makanlah.”
“Kak
Biru sibuk sekali, Kak.”
“Ya,
dia harus memeriksa benar-benar alat tulis dan segala macam yang harus dia
bawa. Kalau tidak, nanti dia bisa kesulitan mengerjakan soal. Seperti kau dulu
saat Ujian Nasional SD.” kata Elang lagi sambil tersenyum. “Kau makan saja,
jangan ganggu dia.”
Cakka
mengangguk. Kemudian, ia mengikuti langkah Elang menuju ruang makan. Di sana
telah ada Bunda dan Ayah yang sedang menikmati sarapan mereka. Ternyata,
sarapan hari ini adalah roti dengan telur omelet. Benar-benar menggiur selera.
“Selamat
pagi, Cakka,” kata Bunda sambil tersenyum melihat anak bungsunya. Ia menggeser
sepiring roti kepadanya. “Kau bangun pagi sekali hari ini, padahal kau tidak
sekolah. Makanlah rotimu.”
“Terima
kasih, Bunda.” kata Cakka sambil tersenyum. Kemudian, ia langsung melahap roti
isi telur yang disodorkan Bunda itu. Sementara Elang duduk di sebelahnya sambil
menghabiskan segelas susu.
“Biar
nanti aku ajak Cakka ke lapangan untuk latihan basket, Bunda. Lumayan untuk
olahraga pagi.” kata Elang.
“Ide
bagus. Biar kalian tambah sehat,” kata Bunda. “Lagipula, lumayan juga untuk
latihan untuk turnamen. Ajak saja teman-temanmu ke lapangan, Kka.”
Cakka
diam mendengar ucapan Bunda. Ia tetap fokus dengan makanannya. Elang juga tak
menyahut, ia mengerti adiknya belakangan ini selalu murung bila membicarakan
teman-temannya. Keheningan terjadi sampai akhirnya Biru datang dengan
terburu-buru. Cakka dan Elang langsung menoleh ke arahnya.
“Kau
belum berangkat?” tanya Elang heran.
“Sebentar
lagi! Bunda, Ayah, Cakka, aku berangkat dulu!” kata Biru buru-buru.
“Ya,
hati-hati!” kata Bunda sambil tersenyum.
“Kerjakan
soal-soal dengan baik!” kata Ayah ikut menambahkan.
“Tentu,
Yah!” kata Biru langsung berlari keluar rumah. Cakka yang melihat itu langsung
beranjak dari kursinya dan mengejar kakaknya keluar rumah. Ia tak peduli dengan
Elang yang melihatnya heran karena tiba-tiba kabur dari ruang makan.
“Kak
Biru!” seru Cakka sebelum kakaknya benar-benar menghilang dari pandangannya.
Biru
menoleh. Ia tersenyum, memamerkan giginya kepada Cakka. “Tenang saja, Kka! Aku
tidak akan lupa dengan janjiku semalam! Kau cukup doakan aku agar lulus ke
kelas sepuluh saja!”
Cakka
mengacungkan jempol, kemudian melambaikan tangannya seiring kakak perempuannya
pergi. Hari ini kakaknya memang berangkat sendiri. Ia tak ingin merepotkan
Elang selama Ujian Nasional karena Cakka libur. Lagipula, jalan kaki lebih
sehat katanya. Lagipula, ia akan berangkat lebih pagi selama ujian agar bisa
belajar bersama Alvin dan teman-temannya. Ia tak akan membiarkan Elang harus
bangun lebih pagi daripada biasanya hanya karena dia.
J L J
“Hei!”
seru Biru setelah ia sampai di sekolah. Ia menghampiri Alvin, Alia, Melvi, Rika
dan Karin yang sudah menunggunya di kantin. Mereka sudah tampak mulai belajar.
Meja mereka penuh dengan buku paket dan lembaran soal-soal.
“Akhirnya
kau datang juga! Padahal kita sudah datang lebih awal!” kata Alia sambil
menggelengkan kepalanya melihat Biru. Setelah sekian menit akhirnya batang
hidungnya kelihatan juga.
“Maaf!
Kemarin aku lupa menyiapkan barang-barang untuk ujian hari ini, jadi aku
terlambat berangkat dari rumah. Belum lagi harus sarapan dan memeriksa tas
kembali. Besok aku akan datang lebih awal! Janji!” kata Biru mengatup kedua
tanganya di depan wajahnya.
“Ya,
baiklah. Duduk, Bi. Banyak hal yang harus kita tanyakan kepadamu. Materi kita
terlalu banyak yang tidak jelas. Aku sampai pusing mempelajarinya.” kata Alvin
sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.
“Ah,
bilang saja kau malas belajar sendiri,” kata Biru yang sukses membuat Alvin
nyengir. “Oh ya, omong-omong soal kau, pulang sekolah nanti, aku ingin
berbicara denganmu. Secara privasi! Kuharap kau ada waktu.”
Alvin
mengerutkan dahinya. “Ada apa?”
“Pokoknya
ini masalah penting, jadi kau harus sediakan waktu paling tidak beberapa jam.
Jangan banyak tanya sekarang, kita sudah mau ujian. Ayo belajar. Mana yang kau
tak paham?” kata Biru cepat dan meletakkan buku paketnya yang tebal di atas
meja.
“Banyak.”
“Sebutkanlah!”
“Ya,
ya. Sabar!”
Mereka
langsung sibuk belajar masing-masing kecuali Biru dan Alvin yang berdiskusi
bersama. Alia, Melvi, Karin dan Rika yang merasa aneh dengan ucapan Biru
tentang bertemu dengan Alvin itu memutuskan untuk tidak berpikir terlalu
banyak. Barangkali ada urusan yang tak boleh mereka tahu. Bagaimanapun juga,
setiap orang kan pasti memiliki rahasia sendiri.
Harus
diakui, ternyata Elang tak kalah mahir dari Cakka dan Biru yang hampir setiap
hari bermain basket. Walaupun ia jarang menyentuh bola oranye itu sekarang,
tapi Elang bisa dibilang cukup lincah di lapangan. Elang cukup menguasai banyak teknik. Cakka sampai tidak menyangka
sama sekali kakak sulungnya juga memiliki bakat dalam basket. Bermain di
lapangan bersama kakaknya pagi ini jadi terasa menyenangkan.
“HUP!”
Elang meloncat dan melempar bola tersebut ke ring dari posisi tembakan tiga
angka. Dan... MASUK! Bola tersebut dengan mulusnya mencetak angka ke dalam
ring. Cakka benar-benar kagum dibuatnya.
Elang
tertawa melihat Cakka tersenyum-senyum di tengah lapangan. Ia ambil bola basket
yang terjatuh di pinggir lapangan itu dan melemparnya ke arah adiknya. “Kau tak
pernah melihatku bermain basket semenjak kita masih sama-sama duduk di bangku
sekolah dasar, bukan? Aku juga tak akan kalah darimu. Melihat berbagai pertandingan juga bisa
membuatku jago basket.”
“Kau
sangat berbakat, Kak!” seru Cakka senang. Kemudian, ia langsung melakukan
tembakan. Ia memutar badannya dan melempar bola basket itu tanpa melihat ring.
Hebatnya, bola basket itu justru masuk dengan mulus seperti tembakan Elang
tadi.
“Show off,” canda Elang sambil tertawa
dan segera mengejar bola basket yang jatuh di dekatnya. “Kapan-kapan ajari aku
teknik itu! Aku juga ingin bisa melakukannya, Kka!”
Cakka
tertawa kecil mendengarnya.
“Hei,
malah tertawa. Ya sudah, ayo kita tanding 1 on 1. Sudah lama aku tidak bermain
basket. Rasanya tidak puas kalau hari ini pulang tanpa bertanding,” kata Elang.
Ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat jam. “Jam kuliahku masih lama.
Bagaimana kalau targetnya dua puluh?”
Cakka
mengangguk semangat.
“Oke,
satu, dua... tiga!” kata Elang sambil melempar bola ke atas setinggi-tingginya.
Mereka berdua langsung berusaha merebut bola tersebut agar mendapatkan
kesempatan. HUP! Elang yang mendapatkan bola tersebut terlebih dahulu. Cakka
langsung mengejar kakaknya.
Berkali-kali
Cakka menghadang Elang agar ia tak dapat mencetak angka, berkali-kali juga
Elang mencoba menghindar dari hadangan Cakka dan mendribel bola menuju ring.
Sesekali mereka tertawa ketika sedang saling mencoba untuk unggul. Rasanya
menyenangkan bisa bermain basket bersama lagi. Mereka berdua bahkan tak ingat
kapan terakhir kali mereka bisa bermain sambil tertawa seperti ini. Mungkin
sudah belasan tahun yang lalu. Ketika mereka masih kecil. Sebelum konflik mereka
dengan Ayah terjadi.
“HUP!
Yes! Masuk!” seru Elang mengangkat kedua tangannya.
“Kau
belum menang, Kak!” kata Cakka sambil tertawa. Ia mengambil bolanya dan segera
mendribel ke tengah lapangan sebelum ia berniat melakukan tembakan. Elang hanya
tertawa melihatnya. Ia segera kembali fokus dan mengejar adiknya. Lagi-lagi
terdengar canda tawa dari kedua kakak beradik ini. Cakka tak bisa menahan
kebahagiaannya lagi saat ini.
Ya,
keluarga memang segalanya bagi Cakka. Terutama kedua kakaknya yang sangat menyayanginya.
Mereka yang selalu ada di sisinya ketika ia jatuh karena masalah hidup. Seperti
sekarang. Mereka bahkan bisa merasakan bahwa ia sedang sedih. Huh, sejujurnya,
Cakka sudah bingung bagaimana caranya agar dapat berbaikan dengan
teman-temannya. Ia rindu ingin bermain basket bersama keempat temannya itu.
Tapi, di samping hal itu, ia juga tak ingin membuat siapapun khawatir
kepadanya. Beruntung ia memiliki Elang, juga Biru yang setia menemaninya.
J L J
Alvin
menyeruput kopinya sejenak setelah pesanannya itu datang. Di kafe yang sepi
itu, ia duduk berdua dengan Biru untuk membicarakan sesuatu sesuai
permintaannya tadi pagi. Sebenarnya Alvin ingin cepat pulang agar bisa belajar
untuk ujian IPA besok, namun Biru benar-benar memaksanya untuk tidak pulang dulu
sampai ia selesai bicara. Entah apa yang mau dibicarakannya.
“Vin,”
sahut Biru akhirnya setelah lama. “Aku ingin kau bercerita kepadaku
selengkap-lengkapnya. Aku mengajakmu ke sini karena aku ingin tak ada masalah
di antara persahabatan kita.”
“Masalah?”
tanya Alvin sambil mengerutkan dahinya heran. “Memangnya kita sedang ada
masalah? Kita baik-baik saja, bukan? Kita tetap sering berkumpul bersama.”
Biru
menghela nafasnya. “Vin. Ini bukan soal kita. Tapi soal kau. Jangan pikir
selama ini aku tak memperhatikan kau dan yang lain tak bermain bersama Cakka.
Sekarang ceritakan kepadaku, sebenarnya ada apa dengan kalian?”
“Bukankah
aku sudah bilang kalau...”
“Tidak.
Aku tidak mau mendengarmu berkata kalau Cakka belakangan ini banyak urusan.
Oke, dia memang sibuk, tapi aku tahu ada sesuatu yang terjadi, bukan?” tanya
Biru dengan wajah menyelidik.
Alvin
mendengus mendengar ucapan Biru. “Bi, untuk informasi saja, adikmu sendiri yang
membuat kita menjauh darinya. Kalau saja dia tak bertindak cuek pada kita
semua, kita juga tidak akan seperti ini. Tanya saja pada adikmu itu, apa yang
sudah ia lakukan pada kita.”
“Memangnya
apa yang dia lakukan?”
“Huh,”
dengus Alvin sambil tersenyum miring. “Kau berani menyalahkanku tanpa tahu apa
yang sudah terjadi? Bi, adikmu itu sekarang bermain sendiri di lapangan.
Kemudian, dia selalu terburu-buru pulang tanpa pamit pada kita.”
“Apa?
Hanya karena itu kalian berpikir Cakka sudah berubah cuek?” tanya Biru tak
percaya.
“Kalau
kau harus tahu, Biru Putri Karayne. Dia bahkan tidak ikut bergembira ketika
kita semua terpilih untuk ikut turnamen. Dia hanya tersenyum dan langsung
meninggalkan kami begitu saja.” kata Alvin. “Lagipula, kapten macam apa yang
bolos latihan ketika akan turnamen. Kami akan lebih senang jika BD menggantikan
Cakka. Dia lebih bertanggung jawab.”
“Oh,
jadi begitu? Kalau begitu, untuk apa kalian membangga-banggakan Cakka dulu?
Dasar munafik. Dulu ketika Cakka baru masuk sekolah, kalian bahkan begitu
memujanya. Sekarang kalian justru membuangnya seperti barang bekas!” kata Biru
marah. Ia sampai berdiri dan melotot ke arah sahabatnya itu. Untung saja kafe
itu sepi, sehingga suaranya tidak menarik perhatian orang banyak.
“Munafik?
Cakka yang munafik! Dia yang sudah mengingkar janji persahabatan kita dan pergi
begitu saja! Kalau memang dia masih menganggap kita sahabatnya, setidaknya dia
akan berusaha untuk menarik kita kembali!” Alvin ikut berdiri dan marah.
“Oh
ya? Kalau Cakka tidak menganggapmu dan yang lain sahabat-sahabatnya, dia tidak
akan repot-repot memikirkan bagaimana caranya ia menjelaskan semuanya kepada
kalian!” kata Biru membuat Alvin bungkam. Biru mengatur nafasnya sejenak
sebelum ia melanjutkan ucapannya. Suaranya memelan. “Dia sudah cukup menderita,
Vin.”
Alvin
menghela nafas, kemudian membuang muka. Bibirnya tertutup rapat. Tak tahu lagi
harus menjawab apa.
“Kalau
kau harus tahu, belakangan ini Ayah kami masuk rumah sakit. Cakka hanya ingin
menebus kesalahannya selama ini kepada Ayah. Makanya, ia vakum sementara dari
latihan. Jumat besok ia juga akan mulai latihan lagi dengan kalian. Tapi, ia
juga bingung melihat kalian yang begitu menjauhinya. Dia sering mengurung
dirinya di kamar, Vin, karena masalah ini.” kata Biru lagi.
“Tapi...,”
kata Alvin ragu. “Kenapa ia tak pernah bercerita?”
“Kau
bukannya tak tahu bagaimana tabiat Cakka soal curhat, Vin. Dia tak ingin
membuat kalian khawatir. Kalau saja aku tak memergokinya ketiduran di meja
belajar kemarin, aku juga tidak akan tahu,” kata Biru. Ia mengeluarkan sebuah
kertas dari dalam tasnya. “Lihat ini.”
“Apa
ini?” tanya Alvin sambil menerima kertas itu.
“Itu
tulisan Cakka semalam. Kurasa dia tak tahan menyimpannya sendiri, makanya
kemarin dia sempat tertidur di meja belajar,” kata Biru sambil membiarkan Alvin
membacanya sekilas. Ia menepuk pundak Alvin pelan agar ia menatap ke arahnya
kembali. “Aku harap kau berbicara padanya seusai kita Ujian Nasional, oke?”
Alvin
diam. Ia hanya mengangguk pelan.
Biru
tersenyum. Ia menepuk-nepuk pundak Alvin lagi sebelum akhirnya Biru pamit untuk
pulang dan meninggalkan Alvin yang masih terdiam di sana. Niat Alvin untuk
cepat-cepat pulang akhirnya tertunda lagi karena ia justru duduk kembali dan
memegang kepalanya. Pusing. Ia tak menyangka ia bisa salah presepsi dengan
Cakka selama ini. Padahal, selama ini dia yang menyakinkan teman-temannya agar
berpikir positif jika ada masalah.
J L J
“Oke,
sebelum kita sudahi perkuliahan ini, saya ingin menyampaikan tugas untuk bulan
depan. Kalian siapkan satu lagu yang menurut kalian bagus. Terserah, mungkin
kalian memiliki lagu yang menurut kalian bisa menginspirasi orang atau karena
kalian suka dengan lagu tersebut. Nanti kalian bawakan lagu itu di depan kelas
dan bapak atau teman-teman kalian akan menanyakan beberapa pertanyaan seputar
lagu untuk kalian. Yang menjadi penilaian adalah bagaimana kalian membawakan
lagu tersebut dan bagaimana kalian menjawab pertanyaan. Oke?” kata bapak dosen
di depan kelas.
“Oke,
Pak!” jawab seluruh mahasiswa jurusan musik yang ada di sana.
“Baiklah.
Ini adalah tugas akhir sebelum tugas akhir semester jadi kalian persiapkanlah
dengan baik. Dan tugas itu yang akan menentukan siapa yang akan ikut lomba
seperti teman kalian waktu itu. Kalian tak harus individual, berkelompok juga
boleh. Yang penting tak lebih dari empat orang. Tergantung bagaimana
kreativitas kalian. Selamat siang dan sampai bertemu minggu depan!”
“Terima
kasih, Pak!” Anak-anak langsung segera membereskan barang-barang mereka. Ada
beberapa juga yang langsung mengangkat tas mereka dan meninggalkan kelas.
Namun, ada beberapa juga yang langsung berdiskusi tentang tugas yang baru saja
diberikan. Salah satunya adalah Elang.
“Hei,
Bianca. Bagaimana rencanamu tentang tugas tadi?” tanya Elang menghampiri
temannya yang duduk di belakang. Tasnya sudah tersampir di sebelah pundaknya.
“Entahlah.
Aku belum memikirkannya. Kenapa? Kau butuh teman kelompok?” tanya Bianca. Elang
mengangguk menanggapi ucapannya. Bianca langsung manggut-manggut dan berkata
lagi. “Aku mau-mau saja berkelompok, asal tak ada temanmu itu yang menjajah
ruang musik kita.”
Elang
tertawa. “Kalau begitu, nanti aku kabari lagi soal tugas ini. Kalau kita jadi
berkelompok, kita bisa berlatih ketika Mike tidak kuliah. Selasa dan Jumat.
Bagaimana? Aku butuh satu gitar lagi untuk memeriahkan penampilanku.”
“Oke.
Kalau begitu aku tunggu kabarmu.” kata Bianca sambil menggantungkan tasnya di
kedua pundak. Kemudian, memakai topinya terbalik. Pakaiannya sehari-hari.
“Kalau begitu, aku akan pulang duluan. Bagaimana dengan kau?”
“Tentu
saja aku ingin pulang.” kata Elang menjitak dahi Bianca. “Sudahlah, ayo kita
turun ke lantai dasar. Aku ingin mampir ke suatu tempat untuk membeli makanan
dulu.”
“Hei,
tunggu!” kata Bianca langsung mengejar Elang yang sudah lebih dulu meninggalkan
kelas dan menuruni tangga. “Kau tak bisa ya pelan-pelan saja?”
“Tidak.”
kata Elang sambil tertawa.
“Hei,
Lang! Kau bawa mobil tidak?” tanya Mike tiba-tiba berteriak dari bawah.
“Ah,
baru kudoakan lenyap, sudah muncul lagi! Sudah, aku pulang duluan, Lang! Nanti
aku kabari kau jika aku mempunyai ide!” keluh Bianca sambil memutar matanya
malas. Ia mempercepat langkahnya dan segera berlalu melewati Mike dengan cepat.
Mike
hanya menatap Bianca sambil menggelengkan kepalanya. “Aku tak habis pikir kau
bisa berteman dengan anak jurusan musik seaneh dia, Lang. Dia selalu kabur jika
aku datang.”
“Mungkin
dia hanya gugup melihatmu.” kata Elang kembali tertawa.
“Omong
kosong!” kata Mike sambil menjitak sahabatnya itu. “Hei, boleh aku menumpang di
mobilmu? Orang tuaku tak bisa menjemput, motorku sedang ada di bengkel. Jadi,
aku tak ada kendaraan untuk pulang.”
“Tentu
saja. Tapi, aku ingin mampir untuk membeli makanan dulu.”
Mike
mengacungkan jempolnya. Kemudian, ia merangkul sahabatnya itu meninggalkan
gedung kampus. “Tak masalah. Ayo pulang.”
Mereka
berdua pergi menuju parkiran dan segera melesat meninggalkan kampus dengan
mobil Elang. Keheningan menguasai mereka selama perjalanan. Mike sibuk dengan
ponselnya sehingga terus menatap layar gadget
itu, Elang juga lebih fokus ke jalanan yang ada di hadapannya. Hanya suara
AC dan mesin mobil yang menemani perjalanan mereka, beserta dengan wangi parfum
yang terpasang di dalam mobil.
Sebenarnya
Elang mau-mau saja mengajaknya berbicara. Tapi, ia sudah paling hafal dengan
tabiat sahabatnya itu. Kalau sudah memegang ponsel, dia tidak akan fokus dengan
apa yang dibicarakan orang lain. Dia itu ibarat seorang gadget freak. Dan lagipula, mengobrol sambil menyetir itu bahaya.
Benar-benar konyol jika ia harus kecelakaan hanya karena mengobrol dengan
temannya. Ada lagi alasan lain. Elang khawatir Cakka mengurungkan dirinya lagi
di kamar setelah ia tinggal ke kampus.
Elang
menyipitkan matanya ketika ia melihat seseorang dari kaca mobilnya. Ia tampak
familiar melihat punggung laki-laki itu. Karena penasaran, ia memperlambat
jalan mobilnya dan menepi menuju ke arah orang itu sambil mengawasinya agar
tidak kehilangan jejak.
Mike
yang sadar jalan mobil sahabatnya semakin lama semakin lambat langsung menoleh
ke arahnya dengan heran. “Kenapa, Lang?”
“Hah?
Tidak apa-apa. Sepertinya itu temanku. Sebentar ya!” kata Elang sambil
tersenyum. Setelah menghentikan mobilnya, ia langsung turun sejenak dan
menghampiri orang itu. “Alvin!”
Orang
yang diikutinya langsung menoleh karena merasa terpanggil. Ia terdiam sejenak
sebelum akhirnya tersenyum ketika melihat Elang menghampirinya. “Kak Elang.
Baru pulang kuliah?”
Elang
mengangguk. “Aku sedang mengantar teman kuliahku pulang. Setelah itu, aku
membeli makanan dan langsung pulang. Kau kenapa masih di sini? Bukankah ujian
sudah selesai dari tadi pagi?”
Alvin
mengangguk. “Tadi Biru mengajakku bicara dulu di kafe sampai siang. Lalu, aku
ditinggal. Sepertinya dia agak kesal padaku karena masalah basket. Aku baru mau
pulang.”
“Oh,
Biru mengungkit-ungkit soal Cakka ya? Aku sempat mendengar soal itu.” tanya
Elang sambil tersenyum. “Lalu, bagaimana? Apa masalahnya sudah selesai?”
Alvin
menggeleng. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menyadari sesuatu.
Perlahan-lahan ia menoleh ke arah Elang dalam diam. Ya, masalah kesalahpahaman
ini pasti bisa selesai jika ia segera mengambil tindakan. Ia tersenyum kecil
sambil berkata, “Kak, boleh aku ikut ke rumah? Aku ingin bicara pada adikmu.”
Elang
tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pelan pundak Alvin. “Tentu saja boleh. Ayo.”
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
salam sobat blogger
BalasHapuscoretanku26.blogspot.com