Jumat, 14 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 26


TOK… TOK… TOK…
Cakka menoleh ke arah pintu ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia berjalan mendekati pintu kamarnya dan segera membukanya pelan-pelan. Ia pikir mungkin kedua kakaknya atau Bunda yang ada di balik pintunya itu. Namun, dugaannya salah. Ternyata orang lain. Cakka sampai kaget melihat kehadirannya.

“Alvin…” kata Cakka lirih melihat salah satu sahabatnya berdiri di depan kamarnya sekarang. Padahal sudah berapa minggu ini ia tak berkomunikasi dengannya. Cakka menunduk dan memalingkan wajahnya. Tak siap bertemu dengan sahabatnya itu.
“Aku ingin bicara denganmu. Kau sedang sibuk?” tanya Alvin pelan.
Cakka diam. Ia menggelengkan kepalanya dan memberi jalan Alvin agar ia dapat masuk ke dalam kamarnya yang kini agak berantakan karena tadi Cakka baru saja mengerjakan beberapa PR untuk minggu depan dan juga bermain-main dengan kasurnya karena ia merasa bosan.
Alvin segera menghampiri tempat tidur Cakka begitu ia masuk ke dalam. Entah sudah berapa lama ia tak berada di sana. Ia segera duduk dan mengatup kedua tangannya yang kemudian ia main-mainkan karena tak tahu harus bicara apa.
Cakka juga sama. Ia duduk di kursi meja belajarnya, tepat di hadapan Alvin, namun ia juga tetap mengunci mulutnya. Kepalanya tetap ia tundukkan. Tak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan. Ia belum siap menjelaskan dan bertanya masalah persahabatan mereka belakangan ini. Karena sudah lama tak berbicara, keadaan semacam ini menjadi canggung bagi mereka berdua. Cakka yakin, kalau yang lain juga ikut datang ke rumahnya, mereka juga mengunci mulut mereka karena bingung.
Alvin menghela nafasnya. “Aku sudah mendengar semuanya dari Biru.”
Cakka reflek mengangkat kepalanya mendengar ucapan Alvin. Ah, ternyata kakaknya telah memenuhi janjinya. Ia menceritakan semuanya pada Alvin. Pantas saja Alvin bisa berada di sini. Cakka tiba-tiba mengerti. Namun, yang tak ia mengerti sekarang, tujuan Alvin datang ke sini. Padahal, ia sedang ujian.
“Maaf, Kka, aku baru tahu kalau kau belakangan ini mengkhawatirkan Ayahmu yang sakit. Aku sungguh-sungguh mengira kau sudah berubah. Apalagi melihat kau sampai bolos latihan.” kata Alvin menyesal.
Cakka tersenyum samar. “Aku yang salah, bukan kau.”
Alvin mengangkat kepalanya menatap Cakka, meminta penjelasan.
Cakka menghela nafas. “Kalau saja waktu itu aku cerita pada kalian soal kesibukan waktu itu, semuanya tidak akan seperti ini. Waktu itu, pertama kali aku buru-buru karena aku ada acara dengan Ayah, kemudian di acara itu Ayah tiba-tiba demam. Kemudian, masuk rumah sakit. Aku hanya ingin menjaganya seharian, mengganti seluruh kesalahanku dulu. Dan soal sikapku di lapangan itu, maaf, Vin.”
“Sebenarnya ada apa lagi?” tanya Alvin ingin tahu.
“Ayah mengenalkanku pada Om Chris, teman Ayah yang membuat Ayah takut anak-anaknya bermain basket. Waktu itu, Om Chris memberitahuku banyak hal hingga membuatku sadar, aku seharusnya tetap bekerja sama apapun yang terjadi di lapangan. Aku ingin meminta maaf karena tak memberimu bola waktu itu, tapi… kalian sudah keburu membenciku.”
“Maaf, Kka,” kata Alvin sekali lagi. “Kami hanya kecewa.”
Cakka diam saja mendengarnya.
“Sudahlah, tak perlu mengungkit-ungkit soal itu. Aku tak begitu kesal dengan hal itu, tapi waktu itu aku dan yang lainnya begitu diyakinkan bahwa kau benar-benar berubah,” kata Alvin. Ia mengulurkan tangannya. “Yang penting, sekarang kita berbaikan, kan?”
Cakka tersenyum dan menerima uluran tangan Alvin. Kemudian, mereka berdua berpelukan seperti anak kecil. Rasa canggung yang mereka rasakan tadi seketika lenyap karena mereka sudah saling terbuka satu sama lain. Namun, Alvin tiba-tiba mendorong kedua bahu Cakka darinya. “Kka. Bukan muhrim.”
Mereka berdua langsung melepaskan pelukan mereka. Kemudian, mereka tertawa bersama karena tingkah mereka yang konyol. Benar-benar seperti kartun anak kecil yang disebut teletabis itu. Akhirnya, kesalahpahaman di antara Cakka dan sahabatnya berakhir juga. Walaupun baru dengan Alvin. Tapi, cepat atau lambat, Ray, Gabriel dan Rio juga pasti akan tahu yang sebenarnya. Minimal dengan kembalinya Alvin, Cakka sudah lebih tenang.
“Ciyeee… Sudah baikan! Jangan bertengkar lagi ya!” tiba-tiba Elang dan Biru sudah berdiri di depan pintu kamar Cakka dengan wajah yang bahagia.
Cakka tersenyum menatap kedua kakaknya. Alvinpun begitu. Dari senyumannya itulah ia berterima kasih kepada Biru dan Elang yang telah membantunya untuk menyelesaikan masalah ini.
“Kka, soal masalah ini, lebih baik kita tak perlu singgung dulu pada Ray, Gabriel dan Rio ya? Aku tak ingin pertengkaran kita semakin buruk. Mereka pasti masih percaya bahwa kau sudah tak perduli pada mereka. Biar saja nanti mereka tahu sendiri,” kata Alvin. Ia menoleh ke arah Biru dan Elang. “Itu termasuk kau, Bi. Dan Kak Elang.”
Cakka tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Biru dan Elang juga langsung mengacung jempol mereka, tanda bahwa mereka juga setuju dengan pendapat Alvin.
“Kalau begitu, mulai sekarang, kalian harus berjuang sampai turnamen selesai, oke? Jangan ada pertengkaran lagi. Aku juga akan berusaha untuk menampilkan penampilan musik yang terbaik di kampus agar bisa terpilih sebagai perwakilan. Akan diadakan lomba.” kata Elang.
“Siap, Kak!” kata Alvin mengacungkan jempolnya.

J L J

Ray, Rio dan Gabriel merasa heran ketika Alvin tiba-tiba akrab lagi dengan Cakka. Padahal, tak sampai seminggu yang lalu dia masih merasa menjauhi Cakka adalah pilihan yang tepat. Tapi, sekarang saat latihan Ray, Rio dan Gabriel sering memergokinya mengobrol dan tertawa-tawa bersama Cakka di pinggir lapangan. Rasanya ingin bertanya, namun mereka tak enak hati dengan Cakka. Bisa-bisa ia merasa mereka bertiga tak senang ia berteman lagi dengan Alvin. Namun, di sisi lain, mereka juga kecewa dengan Alvin. Pasalnya, selama ini dia yang keuhkeuh bahwa menjauhi Cakka adalah jalan terbaik.
“Hei, kalian melihat apa? Ayo latihan! Nanti keburu Pak Jo datang.” tanya BD ketika memergoki ketiga temannya terdiam di tengah lapangan.
Mendengar ucapan keras BD, mereka langsung memalingkan wajah mereka dan kembali fokus dengan permainan mereka berempat. Sayang sekali, padahal kalau saja mereka lebih lama melihat ke pinggir lapangan, mereka akan tahu kalau sebenarnya Cakka sesekali melirik ke arah mereka di sela-sela tawanya.
“Hei, kau kenapa?” tanya Alvin. Ia tersenyum memergoki Cakka melirik ke arah lapangan. “Kau rindu dengan mereka? Tenang saja, nanti saat waktu yang tepat kita pasti bersama lagi.”
Cakka hanya tersenyum mendengar ucapan Alvin. Ya, memang. Cakka juga yakin kalau nanti mereka pasti bisa kembali bersama. Namun, Cakka tak enak hati dengan Alvin. Walaupun tak secara langsung Cakka melihat, tapi Cakka sedikit banyak merasakan kekesalan Ray, Rio dan Gabriel karena Alvin berubah pikiran tentangnya.
Alvin segera menepuk pundak Cakka pelan. “Sudahlah, kau tak perlu mengkhawatirkanku. Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah bagaimana kita bisa tetap berlima. Tetap berjuang bersama walaupun sekarang kita berada di jalan yang berbeda. Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi di tempat yang sama. Berdiri berdampingan. Bahu membahu untuk menggapai langit sampai kita...”
“Mencetak angka ke dalam ring kesuksesan.” Cakka tiba-tiba melanjutkan.
Alvin kaget sekilas mendengar ucapan Cakka sebelum akhirnya ia tersenyum. Mereka tertawa bersama dan melakukan high five. Kalau bukan karena ring kesuksesan, mereka tak akan bekerja keras sampai saat ini. Hobi yang sama, mimpi yang sama, tujuan yang sama. Itu yang membuat mereka terus berjalan walaupun banyak rintangan yang harus dilalui. Lagipula, sekarang Alvin dan Biru telah menyelesaikan Ujian Nasional mereka. Sekolah mereka sudah libur sehingga mereka tak akan kelelahan jika harus datang saat jam ekskul basket.

J L J

“Dengar, anak-anak! Beberapa hari lagi hari turnamen Se-Jakarta akan tiba. Jadi saya harap kalian menjaga kesehatan agar kalian dapat mengikuti turnamen sampai selesai. Mengerti? Jangan sia-siakan latihan kalian selama ini.” kata Pak Jo usai ekskul basket hari Jumat itu.
“Mengerti, Pak!” seru tiga puluh anak perwakilan yang akan ikut turnamen.
“Baiklah, selain Ray, Rio, Gabriel, Alvin dan Cakka, sekarang boleh bubar! Pulang dan istirahatlah!” kata Pak Jo. “Untuk nama yang Bapak sebutkan tadi, harap tunggu Bapak sebentar untuk rapat. Bapak akan mengembalikan bola ke gedung dulu.”
Semuanya langsung berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Tak terkecuali Cakka, Alvin, Ray, Rio dan Gabriel. Walaupun mereka ditahan, mereka juga ingin membereskan barang agar nanti bisa cepat pulang setelah rapat. Namun, sampai saat ini mereka masih belum saling bertegur sapa seperti biasanya. Tak ada keluhan lelah yang biasanya keluar dari mulut Ray. Tak ada ucapan-ucapan nasihat yang mengomeli Ray. Tak ada Gabriel dan Rio yang selalu tertawa melihat Ray diomeli. Tak ada pembicaraan apapun yang terjadi walaupun mereka duduk berdekatan.
Begitu selesai berkemas, Cakka langsung menyampirkan tasnya di sebelah pundak. Ia diam saja melihat teman-temannya yang masih sibuk dengan tas mereka masing-masing. Rasanya ingin berpamitan kepada mereka, tapi ia masih ragu. Ray, Rio, Gabriel. Melihat kehadirannya di ekskul basket saja sudah membuat mereka mengunci mulut.
Cakka berjalan menunduk meninggalkan lapangan. Walaupun ia sudah berbaikan dengan salah satu dari mereka, sepertinya lebih baik ia tak berpamitan kepada siapapun agar tak menimbulkan masalah. Bagaimanapun juga, mereka masih marah. Suasana di antara mereka masih kurang baik.
“Kka!” seru Alvin begitu melihat Cakka hampir keluar dari lapangan.
Cakka menoleh.
“Kau ingin kemana? Tak ikut rapat? Pak Jo sebentar lagi datang.” kata Alvin.
Cakka tersenyum samar. Kemudian, ia berbalik badan lagi, hendak pergi. Namun, kepergiannya tertunda karena ternyata Pak Jo telah kembali ke lapangan. Beliau heran melihat Cakka hampir saja pergi.
“Cakka?” tanyanya heran.
“Pak...” kata Cakka tersenyum paksa.
“Ayo berkumpul sebentar. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kalian berlima tentang turnamen nanti. Atau kau ada urusan?” tanya Pak Jo lagi.
Cakka diam saja. Ia melihat ke arah teman-temannya sejenak dengan gelisah. Kehadiran Pak Jo membuatnya menjadi sulit kabur dari sana. Masalahnya bukan ia buru-buru atau bagaimana. Tapi, ia masih belum terlalu nyaman berada di antara teman-temannya dengan keadaan seperti ini.
Keheningan menguasai mereka beberapa waktu. Semuanya menunggu Cakka angkat bicara duluan. Namun, Cakka tetap mengunci mulutnya. Laki-laki itu menghela nafasnya berat, membenarkan sampiran tasnya dan segera melangkah meninggalkan lapangan tanpa memperdulikan mereka. Ia benar-benar tak tahu harus berbicara apa kepada mereka. Kalau saja Cakka tahu bagaimana caranya saat itu juga mencairkan suasana, ia pasti akan melakukannya. Tapi, sayangnya ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya. 
Ray, Rio dan Gabriel diam saja menyadari Cakka meninggalkan lapangan tanpa meninggalkan sepatah katapun untuk mereka. Mereka tak terlalu mengharapkan Cakka kembali seperti biasanya. Selama ekskul tadi ia tak berbicara kepada mereka. Di lapangan ia juga masih ragu-ragu saat memberikan bola kepada salah satu dari antara mereka.
Alvin menghela nafasnya melihat kepergian Cakka. “Sudahlah, Pak. Biarkan saja dia pulang. Dia hanya perlu waktu sendiri. Biar nanti aku yang menyampaikan rapat hari ini.”
Pak Jo diam sejenak memandang Alvin. “Oh... baiklah kalau begitu.”
“Sebenarnya ada apa, Pak Jo? Apa terjadi sesuatu?” tanya Gabriel penasaran.
Pak Jo berjalan mendekati anak-anak didiknya dan duduk di antara mereka yang duduk melingkar. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum mulai bicara. “Mungkin kalian tak sadar, tapi belakangan ini Bapak memperhatikan kalian berempat dengan Cakka berbeda dari biasanya. Bahkan kekompakan kalian juga berkurang. Terutama hari ini. Kenapa? Kalian bertengkar?”
Keempat laki-laki yang ada di antaranya terdiam.
“Jujur, saya agak kecewa dengan kalian karena kalian membawa-bawa masalah ke lapangan. Kalian harus tahu, pebasket profesional itu tak akan berbuat seperti itu. Basket itu olahraga tim, bukan individu. Kalau kalian tak ingin bekerja sama, untuk apa kalian masuk basket?” tanya Pak Jo. “Sebenarnya kalian kenapa? Apa karena Cakka bolos latihan minggu kemarin? Kalian bahkan lebih akrab dengan BD sekarang. Kemana CRAG Team yang saya didik itu?”
“Sebenarnya, terjadi sedikit kesalahpahaman, Pak.” Alvin akhirnya angkat bicara untuk meluruskan semuanya. Tak perduli dengan tatapan teman-temannya.
“Maksudmu?” Pak Jo beralih ke arah Alvin.
“Kalau harus jujur, sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa, tapi semenjak BD masuk ke ekskul basket dan berlatih bersama kami, BD selalu bilang kalau Cakka itu tidak becus latihan. Dan dia itu bukan kapten yang baik. Dan didukung dengan sikap Cakka yang akhir-akhir ini berubah, kami pikir ucapan BD itu benar, Pak.”
“Lalu?”
“Kami... Kami menjauhinya, Pak.” kata Alvin pelan.
“Kalian pikir itu adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah kalian?” tanya Pak Jo sambil menghela nafas. “Dengar ya, anak-anak. Semua masalah itu hanya akan selesai jika kalian membicarakannya langsung. Bukan perang dingin seperti itu. Pantas saja Cakka menjadi tidak nyaman. Kalian pasti tahu itu, kan?”
“Tapi, Cakka memang tidak becus, Pak. Dia bolos latihan dua kali. Dia juga berkali-kali bermain sendiri di lapangan. Bapak juga melihatnya sendiri setiap kali latihan, bukan?” kata Ray tak mau mendengarkan.
“Ray, semua yang dilakukan manusia itu ada alasannya. Begitu juga dengan Cakka. Kalian bahkan tidak membicarakan ini dengan Cakka, bukan?”
“Kami sudah mengajaknya berbicara waktu itu, Pak. Tapi, dia bilang dia ada urusan. Tak bisa ikut ke rumah Alvin untuk membicarakan hal ini. Dia bukannya menjelaskan, malah lari dari kita semua.” kata Gabriel.
“Pikiran macam apa itu, Gabriel Astroken?” kata Pak Jo langsung melotot ke arahnya sebal. “Kau itu sudah kelas delapan. Tapi, pikiranmu masih sedangkal anak SD. Kau tak bisa menyimpulkan Cakka lari dari masalah hanya karena dia tak bisa berkumpul dengan kalian satu kali.”
“Lalu, kalau bukan lari dari masalah, apa namanya?” tanya Rio membela kembarannya. Ia mendengus pelan. “Kalau tahu Bapak akan membahas hal ini, saya sudah pulang dari tadi. Saya malas membahas kapten bodoh itu.”
“Rio! Jaga ucapanmu!” Pak Jo mulai tak sabar.
“Sudah, sudah! Kalian semua tak ada yang benar!” kata Alvin ikutan tak sabar. “Ray! Rio! Gabriel! Kalian tak ingin membicarakan Cakka, bukan? Kalau begitu, lebih baik kalian pulang. Biar aku yang jelaskan semuanya pada Pak Jo.”
“Kau ingin menjelaskan apa? Menjauhi Cakka itu idemu, Vin!” kata Ray sebal.
“Banyak omong kau, Ray! Sudah sana pulang!” kata Alvin terkesan mengusir.
Ray, Rio dan Gabriel menatap Alvin dengan darah yang sudah mendidih. Mereka benar-benar emosi dengan Alvin hari ini. Pikiran mereka tertuju kepada Cakka sekarang. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sampai Alvin begitu membelanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung meninggalkan lapangan tanpa pamit. Alvin yang melihat tingkah mereka bertiga hanya menggelengkan kepalanya.
“Seharusnya kau tak seperti itu, Vin. Mereka teman-temanmu.” kata Pak Jo.
“Ya, saya tahu, Pak,” kata Alvin pelan. “Tapi, saya benar-benar butuh privasi untuk menceritakan semuanya. Hanya saya yang tahu apa yang sedang terjadi di antara kita berlima. Walau tidak semuanya.”
“Sebelum itu, Bapak harap kau menyesal dengan idemu menjauhi Cakka.”
Alvin mengangguk pelan.
Pak Jo tersenyum. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduklah. Cerita pada Bapak. Bapak benar-benar khawatir dengan CRAG Team sekarang, Vin. Kalau kalian begini terus, bagaimana kalian bisa bertanding di turnamen besar Se-Jakarta itu.”
Alvin menurut. Ia duduk di sebelah Pak Jo. “Sebenarnya begini, Pak...”
J L J

Cakka diam saja melihat keluar jendela selama perjalanan pulang ke rumah. Ia masih betah memikirkan teman-temannya. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan semuanya. Ia harus tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi sampai persahabatan mereka menjadi seperti ini. Tapi, kepala Cakka sudah pusing memikirkan bagaimana caranya meluruskan masalah ini.
Elang yang sedang menyetir juga diam saja menyadari adiknya masih murung. Sesekali ia perhatikan adik bungsunya itu dari kaca spion mobilnya, berharap ada perubahan yang menepiskan pikirannya bahwa ada masalah baru yang mengganggu pikirannya. Lagi-lagi membuat suasana mobil menjadi hening. Yang terdengar di telinganya hanyalah suara AC semenjak ia menyalakan mesin mobil tadi.
Berbeda dengan Biru yang dari tadi menatap cemas adiknya itu. Ia percaya bahwa perasaan perempuan itu tak pernah salah. Dan pikirannya tertuju pada Alvin. Apalagi yang telah dilakukannya kepada Cakka sampai ia murung seperti itu. Ia hela nafasnya berat.
“Cakka...” panggil Biru pelan.
Cakka menoleh ke arah kakaknya dengan wajah datar dan sendu.
Biru menghela nafasnya lagi. Rasa ibanya meledak seketika melihat wajah adiknya yang begitu... Ah, sudahlah.
“Ada apa lagi denganmu? Apa Alvin mengganggumu lagi? Atau teman-temanmu yang lain? Cerita padaku, Kka. Kau harus menjaga kesehatanmu. Jangan sampai kau sakit karena memikirkan hal ini. Sebentar lagi turnamen.” kata Biru.
Cakka menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Kak.”
“Cakka...”
“Kka, dengarkan kakakmu. Kalau kau banyak pikiran, kau tak akan bisa konsentrasi di pertandingan nanti. Itu akan mempengaruhi turnamen dan hasil pertandinganmu. Kau tak ingin mengecewakan siapapun kan, Kka?” Elang akhirnya angkat bicara.
Cakka menatap kakak sulungnya kaget. Seketika ia teringat dengan perjuangannya dulu. Tidak, ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia sudah menempuh jalan yang panjang untuk bisa sampai di detik ini. Ia tak ingin mengecewakan keempat temannya yang sudah begitu mendukungnya sampai sekarang, walaupun mereka sedang bertengkar. Dan yang paling penting, ia sudah banyak bertengkar dengan Ayah karena masalah ini. Dan dukungan yang Ayah berikan kepadanya tak boleh sia-sia. Ya, dia yang sudah berjanji agar ia dapat membanggakan Ayah. Kenapa dia harus banyak berpikir tentang hal-hal yang lain? Ia harus fokus!
Biru tersenyum. “Janji pada kami, Kka. Bahwa kau akan melakukan yang terbaik. Apapun yang terjadi. Kalau teman-temanmu tak mau mendukungmu, biar kami berdua yang akan mendukungmu! Kami berdua akan selalu ada di belakangmu, Kka!”
“Ya, betul kata Biru. Semangat!” kata Elang ikut menyemangati. “Kau ingin membuat Ayah bangga, bukan? Inilah saatnya! Kau tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan pelatihmu.”
“Aku akan marah jika kau kalah begitu saja!” kata Biru lagi.
Cakka tersenyum menatap kedua kakaknya. Ia terharu. Mereka begitu setia menyemangatinya dari awal hingga saat ini. Memang benar kata orang, keluarga itu nomor satu. Mereka yang akan selalu ada ketika kita mengalami kesulitan. Mereka yang akan selalu menuntunmu melewati jalan-jalan yang berliku-liku. “Terima kasih, Kak!”

J L J

BRUK!
Gabriel menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu ia sampai di rumah. Sementara Rio duduk di kursi meja belajar dan Ray yang ikut ke rumah duduk di atas karpet. Masing-masing dari mereka masih menyimpan kekesalan yang sama sekali tidak ringan terhadap Alvin. Bayangkan, baru kali ini laki-laki itu mengusir mereka bertiga dari lapangan. Benar-benar keterlaluan. Kalau saja mereka tak ingat dia adalah kakak kelas, mungkin mereka sudah menghabisinya.
“Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Alvin,” kata Gabriel sambil mengatur nafasnya yang lelah. “Siapa yang dulu berkata bahwa kita menjauh saja dari Cakka, katanya dia sudah berubah lah, sudah tak perduli pada kita? Sekarang dia bahkan sampai seperti itu pada kita.”
“Jangan-jangan dari dulu dia memang sudah kesal pada kita.” kata Rio.
“Kalau begini akhirnya, seharusnya ia tak perlu menyangkal waktu itu,” kata Ray. “Bukankah dulu aku sudah bilang, kalau aku merasa tak enak hati menjauhi Cakka. Tapi, dia sendiri yang bilang kalau Cakka membutuhkan kita, dia yang akan kembali sendiri. Namun, sekarang? Ia termakan omongannya sendiri. Dia yang justru menghampiri Cakka.”
“Kurasa Cakka sudah melakukan sesuatu saat kita menjauhinya. Pasti itu.”
“Sekarang, dua orang dari kita sudah melanggar janji,” kata Gabriel sambil bangkit dari tidurnya dan duduk bersila di tempat tidur. “Padahal, dulu Cakka sendiri yang bilang kalau kita akan tetap jadi satu tim. Sampai kapanpun. Tapi, sekarang kita terpecah seperti ini.”
“Guys, apa selamanya kita akan berpihak pada BD?” tanya Ray tiba-tiba.
“Kenyataannya dia memang benar, kan?” kata Rio menoleh ke arah Ray. “Kesibukan Cakka, sikap Cakka, semuanya telah membuktikan ucapan BD. Memangnya kau ragu, Ray?”
“Aku bukan ragu, tapi kata-kata Pak Jo ada benarnya juga, Yo, Yel. Kita belum membicarakan ini dengan Cakka. Bukankah waktu itu kita juga berpikir kalau semua ini harus kita bicarakan dengan Cakka dulu baru bisa memutuskan BD benar atau tidak?” tanya Ray. “Aku tak ingin melawan pikiran kalian, tapi...”
“Ray, kalau kau ingin kembali pada Cakka, silahkan kau kembali sendiri. Karena kita berdua tak ingin dikhianati dua kali,” kata Gabriel. “Lagipula, memikirkan strategi untuk menang di turnamen nanti lebih penting.”
“Strategi kita biasanya ada di tangan Alvin atau Cakka, Yel.” kata Rio.
“Tidak. Tidak untuk kali ini. Lebih baik kita buat strategi sendiri. Kalau Alvin berpihak pada Cakka, lebih baik dia diam dan ikut strategi kita bertiga. Karena dia tak punya hak untuk mengatur kita. Sama seperti Cakka.”
Rio menghela nafas. “Baiklah, terserah kau.”
“Memangnya kau punya rencana apa, Yel?” tanya Ray.
Gabriel mengisyaratkan kedua temannya agar segera mendekat ke arahnya. Setelah itu, Gabriel mulai menjelaskan rencananya untuk turnamen nanti. “Begini...”
Selama beberapa menit Gabriel, Rio dan Ray berembuk di tempat tidur. Setelah selesai, mereka langsung duduk tegak kembali di tempat masing-masing.
“Bagaimana? Setuju?” tanya Gabriel sambil tersenyum.
“Kau yakin Pak Jo akan menerima strategi ini?” tanya Rio agak ragu.
“Tenang saja. Aku sudah memikirkan semuanya.”
Rio dan Ray saling pandang sebelum akhirnya mereka menganggukkan kepala mereka tanda bahwa mereka setuju. Kemudian, mereka langsung beristirahat agar tidak kelelahan sebelum turnamen besok.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p