TOK…
TOK… TOK…
Cakka
menoleh ke arah pintu ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia berjalan
mendekati pintu kamarnya dan segera membukanya pelan-pelan. Ia pikir mungkin
kedua kakaknya atau Bunda yang ada di balik pintunya itu. Namun, dugaannya
salah. Ternyata orang lain. Cakka sampai kaget melihat kehadirannya.
“Alvin…”
kata Cakka lirih melihat salah satu sahabatnya berdiri di depan kamarnya
sekarang. Padahal sudah berapa minggu ini ia tak berkomunikasi dengannya. Cakka
menunduk dan memalingkan wajahnya. Tak siap bertemu dengan sahabatnya itu.
“Aku
ingin bicara denganmu. Kau sedang sibuk?” tanya Alvin pelan.
Cakka
diam. Ia menggelengkan kepalanya dan memberi jalan Alvin agar ia dapat masuk ke
dalam kamarnya yang kini agak berantakan karena tadi Cakka baru saja
mengerjakan beberapa PR untuk minggu depan dan juga bermain-main dengan
kasurnya karena ia merasa bosan.
Alvin
segera menghampiri tempat tidur Cakka begitu ia masuk ke dalam. Entah sudah
berapa lama ia tak berada di sana. Ia segera duduk dan mengatup kedua tangannya
yang kemudian ia main-mainkan karena tak tahu harus bicara apa.
Cakka
juga sama. Ia duduk di kursi meja belajarnya, tepat di hadapan Alvin, namun ia
juga tetap mengunci mulutnya. Kepalanya tetap ia tundukkan. Tak tahu bagaimana
harus memulai pembicaraan. Ia belum siap menjelaskan dan bertanya masalah
persahabatan mereka belakangan ini. Karena sudah lama tak berbicara, keadaan
semacam ini menjadi canggung bagi mereka berdua. Cakka yakin, kalau yang lain
juga ikut datang ke rumahnya, mereka juga mengunci mulut mereka karena bingung.
Alvin
menghela nafasnya. “Aku sudah mendengar semuanya dari Biru.”
Cakka
reflek mengangkat kepalanya mendengar ucapan Alvin. Ah, ternyata kakaknya telah
memenuhi janjinya. Ia menceritakan semuanya pada Alvin. Pantas saja Alvin bisa
berada di sini. Cakka tiba-tiba mengerti. Namun, yang tak ia mengerti sekarang,
tujuan Alvin datang ke sini. Padahal, ia sedang ujian.
“Maaf,
Kka, aku baru tahu kalau kau belakangan ini mengkhawatirkan Ayahmu yang sakit.
Aku sungguh-sungguh mengira kau sudah berubah. Apalagi melihat kau sampai bolos
latihan.” kata Alvin menyesal.
Cakka
tersenyum samar. “Aku yang salah, bukan kau.”
Alvin
mengangkat kepalanya menatap Cakka, meminta penjelasan.
Cakka
menghela nafas. “Kalau saja waktu itu aku cerita pada kalian soal kesibukan
waktu itu, semuanya tidak akan seperti ini. Waktu itu, pertama kali aku
buru-buru karena aku ada acara dengan Ayah, kemudian di acara itu Ayah
tiba-tiba demam. Kemudian, masuk rumah sakit. Aku hanya ingin menjaganya
seharian, mengganti seluruh kesalahanku dulu. Dan soal sikapku di lapangan itu,
maaf, Vin.”
“Sebenarnya
ada apa lagi?” tanya Alvin ingin tahu.
“Ayah
mengenalkanku pada Om Chris, teman Ayah yang membuat Ayah takut anak-anaknya
bermain basket. Waktu itu, Om Chris memberitahuku banyak hal hingga membuatku
sadar, aku seharusnya tetap bekerja sama apapun yang terjadi di lapangan. Aku
ingin meminta maaf karena tak memberimu bola waktu itu, tapi… kalian sudah
keburu membenciku.”
“Maaf,
Kka,” kata Alvin sekali lagi. “Kami hanya kecewa.”
Cakka
diam saja mendengarnya.
“Sudahlah,
tak perlu mengungkit-ungkit soal itu. Aku tak begitu kesal dengan hal itu, tapi
waktu itu aku dan yang lainnya begitu diyakinkan bahwa kau benar-benar
berubah,” kata Alvin. Ia mengulurkan tangannya. “Yang penting, sekarang kita
berbaikan, kan?”
Cakka
tersenyum dan menerima uluran tangan Alvin. Kemudian, mereka berdua berpelukan
seperti anak kecil. Rasa canggung yang mereka rasakan tadi seketika lenyap
karena mereka sudah saling terbuka satu sama lain. Namun, Alvin tiba-tiba
mendorong kedua bahu Cakka darinya. “Kka. Bukan muhrim.”
Mereka
berdua langsung melepaskan pelukan mereka. Kemudian, mereka tertawa bersama
karena tingkah mereka yang konyol. Benar-benar seperti kartun anak kecil yang
disebut teletabis itu. Akhirnya, kesalahpahaman di antara Cakka dan sahabatnya
berakhir juga. Walaupun baru dengan Alvin. Tapi, cepat atau lambat, Ray,
Gabriel dan Rio juga pasti akan tahu yang sebenarnya. Minimal dengan kembalinya
Alvin, Cakka sudah lebih tenang.
“Ciyeee…
Sudah baikan! Jangan bertengkar lagi ya!” tiba-tiba Elang dan Biru sudah
berdiri di depan pintu kamar Cakka dengan wajah yang bahagia.
Cakka
tersenyum menatap kedua kakaknya. Alvinpun begitu. Dari senyumannya itulah ia
berterima kasih kepada Biru dan Elang yang telah membantunya untuk
menyelesaikan masalah ini.
“Kka,
soal masalah ini, lebih baik kita tak perlu singgung dulu pada Ray, Gabriel dan
Rio ya? Aku tak ingin pertengkaran kita semakin buruk. Mereka pasti masih
percaya bahwa kau sudah tak perduli pada mereka. Biar saja nanti mereka tahu
sendiri,” kata Alvin. Ia menoleh ke arah Biru dan Elang. “Itu termasuk kau, Bi.
Dan Kak Elang.”
Cakka
tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Biru dan Elang juga langsung
mengacung jempol mereka, tanda bahwa mereka juga setuju dengan pendapat Alvin.
“Kalau
begitu, mulai sekarang, kalian harus berjuang sampai turnamen selesai, oke?
Jangan ada pertengkaran lagi. Aku juga akan berusaha untuk menampilkan
penampilan musik yang terbaik di kampus agar bisa terpilih sebagai perwakilan.
Akan diadakan lomba.” kata Elang.
“Siap,
Kak!” kata Alvin mengacungkan jempolnya.
J L J
Ray,
Rio dan Gabriel merasa heran ketika Alvin tiba-tiba akrab lagi dengan Cakka.
Padahal, tak sampai seminggu yang lalu dia masih merasa menjauhi Cakka adalah
pilihan yang tepat. Tapi, sekarang saat latihan Ray, Rio dan Gabriel sering
memergokinya mengobrol dan tertawa-tawa bersama Cakka di pinggir lapangan.
Rasanya ingin bertanya, namun mereka tak enak hati dengan Cakka. Bisa-bisa ia
merasa mereka bertiga tak senang ia berteman lagi dengan Alvin. Namun, di sisi
lain, mereka juga kecewa dengan Alvin. Pasalnya, selama ini dia yang keuhkeuh
bahwa menjauhi Cakka adalah jalan terbaik.
“Hei,
kalian melihat apa? Ayo latihan! Nanti keburu Pak Jo datang.” tanya BD ketika
memergoki ketiga temannya terdiam di tengah lapangan.
Mendengar
ucapan keras BD, mereka langsung memalingkan wajah mereka dan kembali fokus
dengan permainan mereka berempat. Sayang sekali, padahal kalau saja mereka
lebih lama melihat ke pinggir lapangan, mereka akan tahu kalau sebenarnya Cakka
sesekali melirik ke arah mereka di sela-sela tawanya.
“Hei,
kau kenapa?” tanya Alvin. Ia tersenyum memergoki Cakka melirik ke arah
lapangan. “Kau rindu dengan mereka? Tenang saja, nanti saat waktu yang tepat
kita pasti bersama lagi.”
Cakka
hanya tersenyum mendengar ucapan Alvin. Ya, memang. Cakka juga yakin kalau
nanti mereka pasti bisa kembali bersama. Namun, Cakka tak enak hati dengan
Alvin. Walaupun tak secara langsung Cakka melihat, tapi Cakka sedikit banyak
merasakan kekesalan Ray, Rio dan Gabriel karena Alvin berubah pikiran
tentangnya.
Alvin
segera menepuk pundak Cakka pelan. “Sudahlah, kau tak perlu mengkhawatirkanku.
Yang perlu kau pikirkan sekarang adalah bagaimana kita bisa tetap berlima.
Tetap berjuang bersama walaupun sekarang kita berada di jalan yang berbeda.
Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi di tempat yang sama. Berdiri
berdampingan. Bahu membahu untuk menggapai langit sampai kita...”
“Mencetak
angka ke dalam ring kesuksesan.” Cakka tiba-tiba melanjutkan.
Alvin
kaget sekilas mendengar ucapan Cakka sebelum akhirnya ia tersenyum. Mereka
tertawa bersama dan melakukan high five.
Kalau bukan karena ring kesuksesan, mereka tak akan bekerja keras sampai saat
ini. Hobi yang sama, mimpi yang sama, tujuan yang sama. Itu yang membuat mereka
terus berjalan walaupun banyak rintangan yang harus dilalui. Lagipula, sekarang
Alvin dan Biru telah menyelesaikan Ujian Nasional mereka. Sekolah mereka sudah
libur sehingga mereka tak akan kelelahan jika harus datang saat jam ekskul
basket.
J L J
“Dengar,
anak-anak! Beberapa hari lagi hari turnamen Se-Jakarta akan tiba. Jadi saya
harap kalian menjaga kesehatan agar kalian dapat mengikuti turnamen sampai
selesai. Mengerti? Jangan sia-siakan latihan kalian selama ini.” kata Pak Jo
usai ekskul basket hari Jumat itu.
“Mengerti,
Pak!” seru tiga puluh anak perwakilan yang akan ikut turnamen.
“Baiklah,
selain Ray, Rio, Gabriel, Alvin dan Cakka, sekarang boleh bubar! Pulang dan
istirahatlah!” kata Pak Jo. “Untuk nama yang Bapak sebutkan tadi, harap tunggu
Bapak sebentar untuk rapat. Bapak akan mengembalikan bola ke gedung dulu.”
Semuanya
langsung berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. Tak terkecuali Cakka, Alvin,
Ray, Rio dan Gabriel. Walaupun mereka ditahan, mereka juga ingin membereskan
barang agar nanti bisa cepat pulang setelah rapat. Namun, sampai saat ini
mereka masih belum saling bertegur sapa seperti biasanya. Tak ada keluhan lelah
yang biasanya keluar dari mulut Ray. Tak ada ucapan-ucapan nasihat yang
mengomeli Ray. Tak ada Gabriel dan Rio yang selalu tertawa melihat Ray diomeli.
Tak ada pembicaraan apapun yang terjadi walaupun mereka duduk berdekatan.
Begitu
selesai berkemas, Cakka langsung menyampirkan tasnya di sebelah pundak. Ia diam
saja melihat teman-temannya yang masih sibuk dengan tas mereka masing-masing.
Rasanya ingin berpamitan kepada mereka, tapi ia masih ragu. Ray, Rio, Gabriel.
Melihat kehadirannya di ekskul basket saja sudah membuat mereka mengunci mulut.
Cakka
berjalan menunduk meninggalkan lapangan. Walaupun ia sudah berbaikan dengan
salah satu dari mereka, sepertinya lebih baik ia tak berpamitan kepada siapapun
agar tak menimbulkan masalah. Bagaimanapun juga, mereka masih marah. Suasana di
antara mereka masih kurang baik.
“Kka!”
seru Alvin begitu melihat Cakka hampir keluar dari lapangan.
Cakka
menoleh.
“Kau
ingin kemana? Tak ikut rapat? Pak Jo sebentar lagi datang.” kata Alvin.
Cakka
tersenyum samar. Kemudian, ia berbalik badan lagi, hendak pergi. Namun,
kepergiannya tertunda karena ternyata Pak Jo telah kembali ke lapangan. Beliau
heran melihat Cakka hampir saja pergi.
“Cakka?”
tanyanya heran.
“Pak...”
kata Cakka tersenyum paksa.
“Ayo
berkumpul sebentar. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kalian berlima
tentang turnamen nanti. Atau kau ada urusan?” tanya Pak Jo lagi.
Cakka
diam saja. Ia melihat ke arah teman-temannya sejenak dengan gelisah. Kehadiran
Pak Jo membuatnya menjadi sulit kabur dari sana. Masalahnya bukan ia buru-buru
atau bagaimana. Tapi, ia masih belum terlalu nyaman berada di antara
teman-temannya dengan keadaan seperti ini.
Keheningan
menguasai mereka beberapa waktu. Semuanya menunggu Cakka angkat bicara duluan.
Namun, Cakka tetap mengunci mulutnya. Laki-laki itu menghela nafasnya berat,
membenarkan sampiran tasnya dan segera melangkah meninggalkan lapangan tanpa
memperdulikan mereka. Ia benar-benar tak tahu harus berbicara apa kepada
mereka. Kalau saja Cakka tahu bagaimana caranya saat itu juga mencairkan
suasana, ia pasti akan melakukannya. Tapi, sayangnya ia sama sekali tak tahu
bagaimana caranya.
Ray,
Rio dan Gabriel diam saja menyadari Cakka meninggalkan lapangan tanpa
meninggalkan sepatah katapun untuk mereka. Mereka tak terlalu mengharapkan
Cakka kembali seperti biasanya. Selama ekskul tadi ia tak berbicara kepada
mereka. Di lapangan ia juga masih ragu-ragu saat memberikan bola kepada salah
satu dari antara mereka.
Alvin
menghela nafasnya melihat kepergian Cakka. “Sudahlah, Pak. Biarkan saja dia
pulang. Dia hanya perlu waktu sendiri. Biar nanti aku yang menyampaikan rapat
hari ini.”
Pak
Jo diam sejenak memandang Alvin. “Oh... baiklah kalau begitu.”
“Sebenarnya
ada apa, Pak Jo? Apa terjadi sesuatu?” tanya Gabriel penasaran.
Pak
Jo berjalan mendekati anak-anak didiknya dan duduk di antara mereka yang duduk
melingkar. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum mulai bicara. “Mungkin kalian
tak sadar, tapi belakangan ini Bapak memperhatikan kalian berempat dengan Cakka
berbeda dari biasanya. Bahkan kekompakan kalian juga berkurang. Terutama hari
ini. Kenapa? Kalian bertengkar?”
Keempat
laki-laki yang ada di antaranya terdiam.
“Jujur,
saya agak kecewa dengan kalian karena kalian membawa-bawa masalah ke lapangan.
Kalian harus tahu, pebasket profesional itu tak akan berbuat seperti itu.
Basket itu olahraga tim, bukan individu. Kalau kalian tak ingin bekerja sama,
untuk apa kalian masuk basket?” tanya Pak Jo. “Sebenarnya kalian kenapa? Apa
karena Cakka bolos latihan minggu kemarin? Kalian bahkan lebih akrab dengan BD
sekarang. Kemana CRAG Team yang saya didik itu?”
“Sebenarnya,
terjadi sedikit kesalahpahaman, Pak.” Alvin akhirnya angkat bicara untuk
meluruskan semuanya. Tak perduli dengan tatapan teman-temannya.
“Maksudmu?”
Pak Jo beralih ke arah Alvin.
“Kalau
harus jujur, sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa, tapi semenjak BD masuk ke
ekskul basket dan berlatih bersama kami, BD selalu bilang kalau Cakka itu tidak
becus latihan. Dan dia itu bukan kapten yang baik. Dan didukung dengan sikap
Cakka yang akhir-akhir ini berubah, kami pikir ucapan BD itu benar, Pak.”
“Lalu?”
“Kami...
Kami menjauhinya, Pak.” kata Alvin pelan.
“Kalian
pikir itu adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah kalian?” tanya Pak
Jo sambil menghela nafas. “Dengar ya, anak-anak. Semua masalah itu hanya akan
selesai jika kalian membicarakannya langsung. Bukan perang dingin seperti itu.
Pantas saja Cakka menjadi tidak nyaman. Kalian pasti tahu itu, kan?”
“Tapi,
Cakka memang tidak becus, Pak. Dia bolos latihan dua kali. Dia juga
berkali-kali bermain sendiri di lapangan. Bapak juga melihatnya sendiri setiap
kali latihan, bukan?” kata Ray tak mau mendengarkan.
“Ray,
semua yang dilakukan manusia itu ada alasannya. Begitu juga dengan Cakka.
Kalian bahkan tidak membicarakan ini dengan Cakka, bukan?”
“Kami
sudah mengajaknya berbicara waktu itu, Pak. Tapi, dia bilang dia ada urusan.
Tak bisa ikut ke rumah Alvin untuk membicarakan hal ini. Dia bukannya menjelaskan,
malah lari dari kita semua.” kata Gabriel.
“Pikiran
macam apa itu, Gabriel Astroken?” kata Pak Jo langsung melotot ke arahnya
sebal. “Kau itu sudah kelas delapan. Tapi, pikiranmu masih sedangkal anak SD.
Kau tak bisa menyimpulkan Cakka lari dari masalah hanya karena dia tak bisa
berkumpul dengan kalian satu kali.”
“Lalu,
kalau bukan lari dari masalah, apa namanya?” tanya Rio membela kembarannya. Ia
mendengus pelan. “Kalau tahu Bapak akan membahas hal ini, saya sudah pulang
dari tadi. Saya malas membahas kapten bodoh itu.”
“Rio!
Jaga ucapanmu!” Pak Jo mulai tak sabar.
“Sudah,
sudah! Kalian semua tak ada yang benar!” kata Alvin ikutan tak sabar. “Ray!
Rio! Gabriel! Kalian tak ingin membicarakan Cakka, bukan? Kalau begitu, lebih
baik kalian pulang. Biar aku yang jelaskan semuanya pada Pak Jo.”
“Kau
ingin menjelaskan apa? Menjauhi Cakka itu idemu, Vin!” kata Ray sebal.
“Banyak
omong kau, Ray! Sudah sana pulang!” kata Alvin terkesan mengusir.
Ray,
Rio dan Gabriel menatap Alvin dengan darah yang sudah mendidih. Mereka
benar-benar emosi dengan Alvin hari ini. Pikiran mereka tertuju kepada Cakka
sekarang. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sampai Alvin begitu
membelanya. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung meninggalkan lapangan
tanpa pamit. Alvin yang melihat tingkah mereka bertiga hanya menggelengkan
kepalanya.
“Seharusnya
kau tak seperti itu, Vin. Mereka teman-temanmu.” kata Pak Jo.
“Ya,
saya tahu, Pak,” kata Alvin pelan. “Tapi, saya benar-benar butuh privasi untuk
menceritakan semuanya. Hanya saya yang tahu apa yang sedang terjadi di antara
kita berlima. Walau tidak semuanya.”
“Sebelum
itu, Bapak harap kau menyesal dengan idemu menjauhi Cakka.”
Alvin
mengangguk pelan.
Pak
Jo tersenyum. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. “Duduklah. Cerita
pada Bapak. Bapak benar-benar khawatir dengan CRAG Team sekarang, Vin. Kalau
kalian begini terus, bagaimana kalian bisa bertanding di turnamen besar
Se-Jakarta itu.”
Alvin
menurut. Ia duduk di sebelah Pak Jo. “Sebenarnya begini, Pak...”
J L J
Cakka
diam saja melihat keluar jendela selama perjalanan pulang ke rumah. Ia masih
betah memikirkan teman-temannya. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu untuk
menyelesaikan semuanya. Ia harus tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi sampai
persahabatan mereka menjadi seperti ini. Tapi, kepala Cakka sudah pusing
memikirkan bagaimana caranya meluruskan masalah ini.
Elang
yang sedang menyetir juga diam saja menyadari adiknya masih murung. Sesekali ia
perhatikan adik bungsunya itu dari kaca spion mobilnya, berharap ada perubahan
yang menepiskan pikirannya bahwa ada masalah baru yang mengganggu pikirannya.
Lagi-lagi membuat suasana mobil menjadi hening. Yang terdengar di telinganya
hanyalah suara AC semenjak ia menyalakan mesin mobil tadi.
Berbeda
dengan Biru yang dari tadi menatap cemas adiknya itu. Ia percaya bahwa perasaan
perempuan itu tak pernah salah. Dan pikirannya tertuju pada Alvin. Apalagi yang
telah dilakukannya kepada Cakka sampai ia murung seperti itu. Ia hela nafasnya
berat.
“Cakka...”
panggil Biru pelan.
Cakka
menoleh ke arah kakaknya dengan wajah datar dan sendu.
Biru
menghela nafasnya lagi. Rasa ibanya meledak seketika melihat wajah adiknya yang
begitu... Ah, sudahlah.
“Ada
apa lagi denganmu? Apa Alvin mengganggumu lagi? Atau teman-temanmu yang lain? Cerita
padaku, Kka. Kau harus menjaga kesehatanmu. Jangan sampai kau sakit karena
memikirkan hal ini. Sebentar lagi turnamen.” kata Biru.
Cakka
menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Kak.”
“Cakka...”
“Kka,
dengarkan kakakmu. Kalau kau banyak pikiran, kau tak akan bisa konsentrasi di
pertandingan nanti. Itu akan mempengaruhi turnamen dan hasil pertandinganmu.
Kau tak ingin mengecewakan siapapun kan, Kka?” Elang akhirnya angkat bicara.
Cakka
menatap kakak sulungnya kaget. Seketika ia teringat dengan perjuangannya dulu.
Tidak, ia tak ingin mengecewakan siapapun. Ia sudah menempuh jalan yang panjang
untuk bisa sampai di detik ini. Ia tak ingin mengecewakan keempat temannya yang
sudah begitu mendukungnya sampai sekarang, walaupun mereka sedang bertengkar.
Dan yang paling penting, ia sudah banyak bertengkar dengan Ayah karena masalah
ini. Dan dukungan yang Ayah berikan kepadanya tak boleh sia-sia. Ya, dia yang
sudah berjanji agar ia dapat membanggakan Ayah. Kenapa dia harus banyak
berpikir tentang hal-hal yang lain? Ia harus fokus!
Biru
tersenyum. “Janji pada kami, Kka. Bahwa kau akan melakukan yang terbaik. Apapun
yang terjadi. Kalau teman-temanmu tak mau mendukungmu, biar kami berdua yang
akan mendukungmu! Kami berdua akan selalu ada di belakangmu, Kka!”
“Ya,
betul kata Biru. Semangat!” kata Elang ikut menyemangati. “Kau ingin membuat
Ayah bangga, bukan? Inilah saatnya! Kau tak boleh menyia-nyiakan kesempatan
yang sudah diberikan pelatihmu.”
“Aku
akan marah jika kau kalah begitu saja!” kata Biru lagi.
Cakka
tersenyum menatap kedua kakaknya. Ia terharu. Mereka begitu setia
menyemangatinya dari awal hingga saat ini. Memang benar kata orang, keluarga
itu nomor satu. Mereka yang akan selalu ada ketika kita mengalami kesulitan.
Mereka yang akan selalu menuntunmu melewati jalan-jalan yang berliku-liku.
“Terima kasih, Kak!”
J L J
BRUK!
Gabriel
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur begitu ia sampai di rumah. Sementara Rio
duduk di kursi meja belajar dan Ray yang ikut ke rumah duduk di atas karpet.
Masing-masing dari mereka masih menyimpan kekesalan yang sama sekali tidak
ringan terhadap Alvin. Bayangkan, baru kali ini laki-laki itu mengusir mereka
bertiga dari lapangan. Benar-benar keterlaluan. Kalau saja mereka tak ingat dia
adalah kakak kelas, mungkin mereka sudah menghabisinya.
“Aku
sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Alvin,” kata Gabriel sambil mengatur
nafasnya yang lelah. “Siapa yang dulu berkata bahwa kita menjauh saja dari
Cakka, katanya dia sudah berubah lah, sudah tak perduli pada kita? Sekarang dia
bahkan sampai seperti itu pada kita.”
“Jangan-jangan
dari dulu dia memang sudah kesal pada kita.” kata Rio.
“Kalau
begini akhirnya, seharusnya ia tak perlu menyangkal waktu itu,” kata Ray.
“Bukankah dulu aku sudah bilang, kalau aku merasa tak enak hati menjauhi Cakka.
Tapi, dia sendiri yang bilang kalau Cakka membutuhkan kita, dia yang akan
kembali sendiri. Namun, sekarang? Ia termakan omongannya sendiri. Dia yang
justru menghampiri Cakka.”
“Kurasa
Cakka sudah melakukan sesuatu saat kita menjauhinya. Pasti itu.”
“Sekarang,
dua orang dari kita sudah melanggar janji,” kata Gabriel sambil bangkit dari
tidurnya dan duduk bersila di tempat tidur. “Padahal, dulu Cakka sendiri yang
bilang kalau kita akan tetap jadi satu tim. Sampai kapanpun. Tapi, sekarang
kita terpecah seperti ini.”
“Guys,
apa selamanya kita akan berpihak pada BD?” tanya Ray tiba-tiba.
“Kenyataannya
dia memang benar, kan?” kata Rio menoleh ke arah Ray. “Kesibukan Cakka, sikap
Cakka, semuanya telah membuktikan ucapan BD. Memangnya kau ragu, Ray?”
“Aku
bukan ragu, tapi kata-kata Pak Jo ada benarnya juga, Yo, Yel. Kita belum
membicarakan ini dengan Cakka. Bukankah waktu itu kita juga berpikir kalau
semua ini harus kita bicarakan dengan Cakka dulu baru bisa memutuskan BD benar
atau tidak?” tanya Ray. “Aku tak ingin melawan pikiran kalian, tapi...”
“Ray,
kalau kau ingin kembali pada Cakka, silahkan kau kembali sendiri. Karena kita
berdua tak ingin dikhianati dua kali,” kata Gabriel. “Lagipula, memikirkan
strategi untuk menang di turnamen nanti lebih penting.”
“Strategi
kita biasanya ada di tangan Alvin atau Cakka, Yel.” kata Rio.
“Tidak.
Tidak untuk kali ini. Lebih baik kita buat strategi sendiri. Kalau Alvin
berpihak pada Cakka, lebih baik dia diam dan ikut strategi kita bertiga. Karena
dia tak punya hak untuk mengatur kita. Sama seperti Cakka.”
Rio
menghela nafas. “Baiklah, terserah kau.”
“Memangnya
kau punya rencana apa, Yel?” tanya Ray.
Gabriel
mengisyaratkan kedua temannya agar segera mendekat ke arahnya. Setelah itu,
Gabriel mulai menjelaskan rencananya untuk turnamen nanti. “Begini...”
Selama
beberapa menit Gabriel, Rio dan Ray berembuk di tempat tidur. Setelah selesai,
mereka langsung duduk tegak kembali di tempat masing-masing.
“Bagaimana?
Setuju?” tanya Gabriel sambil tersenyum.
“Kau
yakin Pak Jo akan menerima strategi ini?” tanya Rio agak ragu.
“Tenang
saja. Aku sudah memikirkan semuanya.”
Rio
dan Ray saling pandang sebelum akhirnya mereka menganggukkan kepala mereka
tanda bahwa mereka setuju. Kemudian, mereka langsung beristirahat agar tidak
kelelahan sebelum turnamen besok.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p