Berkali-kali
Cakka melakukan lay-up di lapangan,
mencoba mencetak angka untuk dirinya sendiri. Namun, usahanya tak kunjung
berhasil sampai setengah bajunya basah dengan keringat. Ia menangkap bolanya
yang mental dan segera memantulkannya keras sembarangan. Kemudian, ia berjalan
menuju bangku yang ada di pinggir lapangan untuk beristirahat. Ia menundukkan
kepalanya, membiarkan ia mengatur nafasnya terlebih dahulu.
Lapangan
ini terasa sepi tanpa adanya keempat temannya. Sudah seminggu lamanya mereka
menghindari Cakka. Bahkan saat ekskul basket Cakka juga hanya duduk bersandar
sendirian di pinggir lapangan ketika ada beberapa menit istirahat.
Teman-temannya malah bermain dengan BD dan anak-anak anggota basket yang lain.
Ah, jangankan saat istirahat, saat latihan bertandingpun teman-temannya tak
pernah memberi bola. Cakka hanya dapat memegang bola di saat bola tak sengaja
terlepas menuju ke arahnya. Cakka benar-benar tak mengerti alasan apa yang ada
di balik kebencian mereka. Padahal, dulu lapangan ini tempat bermain mereka
berlima.
Cakka
mengangkat kepalanya lagi, menatap bola basketnya yang telah bergelinding jauh
dari tempatnya memantulkan bola tersebut tadi. Membuat lapangan menjadi
benar-benar kosong. Cakka menghela nafasnya dan beranjak dari tempat duduknya
untuk mengambil bola basketnya. Setelah itu, ia kembali menatap ke arah
lapangan. Sejenak membayangkan teman-temannya ada di sana, memanggilnya agar
kembali ke lapangan dan bermain bersama mereka. Tapi, tidak. Itu tidak mungkin.
Kenyataannya, sekarang mereka hanya diam jika melihatnya.
Drrt...
Drrt...
Cakka
merogoh saku celananya cepat, mencari-cari dimana ponselnya berada. Tercantum
nama Bunda di layar ponsel yang berkedap-kedip itu. Tanpa banyak bicara lagi ia
langsung menekan tombol telepon hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Halo?”
Sesekali
Cakka mengangguk-angguk mendengarkan Bunda berbicara di seberang sana. Namun,
seketika wajahnya berubah terkejut ketika mendengar berita mengejutkan yang
disampaikannya. Setelah telepon berakhir, ia langsung mengembalikan ponselnya
ke dalam saku celananya lagi dan langsung buru-buru pergi meninggalkan
lapangan.
J L J
Alvin
tengah fokus dengan layar komputernya ketika teman-temannya sibuk belajar. Ya,
mereka masih tetap melakukan jadwal rutin itu. Dan hari ini kebetulan giliran
rumah Alvin. Namun, tanpa adanya kehadiran Cakka di tengah-tengah mereka,
suasana belajar yang biasanya sangat menyenangkan kini berubah menjadi sepi.
Sunyi senyap tanpa suara apapun, seolah-olah mereka hanya belajar
sendiri-sendiri. Mungkin ini sudah ketiga kalinya suasana belajar mereka terasa
membosankan.
“Vin...”
tiba-tiba Ray memutar kursinya dan menatap Alvin.
“Apa?”
tanya Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.
“Apa
kita melakukan hal yang benar menjauhi Cakka seperti ini?” tanya Ray.
“Sebetulnya, Cakka tidak salah apa-apa, kan? Belum terbukti bahwa ucapan BD itu
tepat. Kita juga belum membahas ini dengan Cakka.”
Alvin
menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Kalau saja Cakka
tidak bersikap aneh belakangan ini, aku juga tidak ingin menjauhinya, Ray.
Tapi, ia benar-benar sudah berubah. Bukankah kau sudah melihatnya sendiri?”
“Setiap
kali terburu-buru, mencoba sebanyak mungkin merebut bola agar dapat banyak
mencetak angka. Dia seperti tak peduli ada kita di sekitarnya yang bisa
membantu,” kata Rio menambahkan. “Coba kau ingat saat pengumuman perwakilan
waktu itu. Dia bahkan tidak ikut senang kita semua terpilih.”
Ray
diam saja. Pikirannya melayang ke masa lalu, mengingat saat mereka semua
benar-benar terpilih untuk ikut turnamen Se-Jakarta. Setelah Pak Jo membubarkan
ekskul basket, mereka berempat hampir tak bisa mengekspresikan bagaimana
gembiranya mereka bisa ikut turnamen. Hanya Cakka yang tidak.
“Teman-teman,
kita masuk! Kita masuk!” teriak Ray saat itu sambil menatap teman-temannya
girang. Saking girangnya, ia bahkan sampai melompat-lompat.
“Kerja
bagus, teman-teman!” kata Alvin saat itu.
“Jangan
sebut kita CRAG Team kalau kita tak bisa ikut turnamen!” kata Rio sambil
tertawa. “Kita sudah satu langkah ke depan menuju impian kita!”
“Ya!
Dan kita pasti bisa menaklukkan langkah-langkah lain yang menanti!” kata
Gabriel. Ia merangkul Alvin dan Rio yang ada di kiri-kanannya. “Benar kan,
teman-teman?”
“Tentu
saja, Yel! Apalagi dengan kapten baik seperti Cakka!” kata Ray sambil merangkul
teman sebangkunya itu. Kemudian, setelah itu dia menoleh ke arahnya. “Kka, ayo
kita berjuang bersama! Nanti kita keluarkan semua tenaga untuk mengharumkan
nama sekolah! Kita pasti bisa, oke?!”
Namun,
bukannya ikut gembira dengan mereka, Cakka justru hanya tersenyum kecil dan
segera menyingkirkan tangan Ray dari bahunya. Ia mengambil tasnya dan segera
berlari meninggalkan lapangan. Ray dan kawan-kawannya sampai heran melihat
tingkah lakunya. Dia bahkan tak pamit kepada mereka, hanya menepuk-nepuk bahu
Ray sejenak kemudian langsung pergi.
“Tapi,
hanya tersenyum bukan berarti dia itu tak senang kita masuk, bukan?” tanya Ray
masih tidak yakin. “Jujur, sebenarnya aku tidak enak hati harus mengabaikannya
setiap hari. Masalahnya, aku teman sebangkunya. Aku tidak mungkin tak bicara
padanya, bukan? Pasti ada sesuatu di balik sikap anehnya itu!”
“Kalau
dia merasa dia tak salah, seharusnya dia berusaha agar kita tidak menjauhinya.
Tapi, dia tak pernah melakukan apa-apa semenjak kita menjauh,” kata Gabriel.
“Bahkan kegiatan rutin kita ini dia tak pernah datang lagi.”
“Bagaimana
dia bisa datang kalau dia tak tahu dimana kita akan belajar?” kata Ray masih
tetap mencari alasan.
“Ah,
sudahlah, Ray. Tak penting kita membicarakan dia. Lebih baik sekarang kita
belajar. Terutama kau Vin, jangan bermain terus. Ujian Nasional sudah di depan
mata.” Alvin hanya nyengir mendengar ucapan Gabriel. Memang, sedari tadi
dia bukan belajar atau membuat tugas di komputer, dia hanya bermain-main saja.
“Baiklah.
Ayo belajar. Lebih baik kita tak usah mengurus masalah ini.”
J L J
Sekitar
jam sebelas menjelang jam dua belas Cakka tiba di sebuah rumah sakit yang telah
disebutkan Bunda di telepon tadi. Ia segera bertanya kepada suster dimana ia harus
pergi dan langsung menaiki lift dengan terburu-buru. Tampak Bunda, Biru dan
Elang sudah berada di depan salah satu ruang perawatan di lantai tersebut.
Mereka langsung berdiri ketika mendapati Cakka telah tiba.
“Akhirnya
kau tiba juga!” kata Biru sambil tersenyum sekilas.
“Ayah
sedang diperiksa di dalam. Kita hanya bisa menunggu.” kata Elang.
“Ini,
Bunda sudah membawakanmu bekal jika kau lapar.” kata Bunda sambil menyodorkan
sebuah kotak bekal kecil kepada anak bungsunya.
Cakka
tersenyum sekilas kepada Bunda saat menerima kotak bekal tersebut. “Terima
kasih, Bunda. Tapi, bagaimana bisa ini terjadi? Ayah bukannya sembuh malah
justru menjadi lebih parah.”
“Sepertinya
Ayah tidak tahan harus izin terus-menerus dari kantor. Ia tak ingin menumpukkan
semua pekerjaannya kepada asistennya terus. Di rumah tadi, Ayah memaksakan diri
untuk bekerja.” kata Elang.
Biru
mengangguk-angguk. “Padahal, tadi Ayah hanya sarapan sedikit. Tidak nafsu makan
katanya. Mungkin itu yang membuat Ayah menjadi pusing dan lemas.”
Cakka menghela nafasnya. Ayah memang
tipe orang pekerja keras dan mandiri. Mungkin terlalu mandiri sehingga beliau
tak pernah rela merepotkan orang lain terlalu lama. Tapi, kalau seperti ini
caranya, Ayah bisa sakit jangka panjang. Cakka benar-benar tak tahu harus
berbuat apa jika itu benar-benar terjadi. Padahal, masalah di kehidupannya
sudah terlalu banyak. Mulai dari teman-temannya, sekarang keluarganya.
“Sudah,
ayo kita duduk saja.” kata Bunda mengajak anak-anaknya.
Cakka,
Biru dan Elang menganggukkan kepala mereka. Mereka berempat duduk di depan
ruang perawatan sambil menunggu dokter selesai memeriksa Ayah. Sekitar setengah
jam mereka diam saja di sana, membiarkan suara-suara rumah sakit dan bau-bau
obat di sana menemani mereka. Hingga pada akhirnya, dokter tersebut akhirnya
keluar juga.
“Kalian
kerabat pasien?” tanya Dokter.
Mereka
berempat mengangguk.
“Bagaimana
keadaan Ayah, Dok?” tanya Elang khawatir.
“Ayah
kalian terkena tifus karena terlalu lelah. Dia harus diopname untuk memulihkan
kondisinya. Kalau tiga hari ke depan kondisinya sudah stabil, dia sudah boleh
pulang. Biarkan dia istirahat lebih banyak daripada bekerja agar bisa cepat
sembuh.” kata Dokter sambil tersenyum.
“Begitu?
Baiklah, Dokter, terima kasih. Boleh kami masuk?” tanya Bunda.
“Ya,
silahkan. Saya permisi dulu.”
Dokter
itu langsung pergi meninggalkan Bunda dan anak-anaknya di sana. Mereka berempat
langsung masuk ke dalam ruang perawatan Ayah dan menjaganya di sana. Ayah
tampak tersenyum pucat ketika melihat keluarganya masuk ke dalam. Tangan
kanannya tampak diinfus.
“Cakka...
kau sudah pulang?” katanya lirih.
Cakka
mengangguk. “Istirahatlah, Yah. Aku ingin Ayah sehat.”
“Ayah
tidak apa-apa, Kka. Ayah hanya kelelahan.”
“Yah,
kata Dokter Ayah terkena tifus karena terlalu lelah bekerja. Ayah harus
diopname untuk memulihkan kondisi tubuh Ayah. Biar nanti kita berempat yang
akan bergantian menjaga Ayah di sini.” kata Elang.
“Ah,
kalian tidak perlu repot-repot. Kalian kan juga sibuk, apalagi kalian, Biru dan
Cakka, kalian harus tetap latihan untuk turnamen itu. Dan kau juga akan
menghadapi ujian kelulusan, kan, Bi?” tanya Ayah terbata-bata. Sesekali ia juga
terbatuk-batuk.
Biru
menganggukkan kepala. Sementara Cakka diam saja.
“Biar
Bunda saja yang menjaga Ayah, anak-anak. Kalian sekolah saja dengan baik.
Kuliah dengan baik. Setelah jadwal kalian selesai, baru berkunjung ke sini
kalau ada waktu kosong,” kata Bunda. “Bagaimanapun juga, pendidikan tetap nomor
satu.”
“Baik,
Bunda.” kata Cakka, Biru dan Elang hampir bersamaan.
“Kalau
begitu, kalian pulanglah terlebih dahulu. Biar Bunda yang menjaga Ayah di sini.
Oke?”
Ketiganya
mengangguk patuh, kemudian langsung keluar dari ruangan tanpa bicara apa-apa.
Mereka bertiga menuju parkiran, masuk ke mobil Elang dan langsung melesat pergi
menuju rumah mereka. Selama perjalanan, mereka mengobrol panjang tentang
sekolah. Hingga akhirnya, Biru menyinggung-nyinggung soal teman-teman Cakka.
“Kka,
belakangan ini rasanya kau tak bergabung dengan teman-temanmu di kantin.
Memangnya kau sibuk berbuat apa?” tanya Biru. “Setiap kali aku bertanya Alvin
dan yang lain, mereka selalu menjawab kau ada urusan.”
Cakka
diam mendengar ucapan itu. Justru Elang yang menyahut karena baru tahu tentang
hal itu. “Kau bertengkar dengan teman-temanmu, Kka? Pantas saja belakangan ini
kau sering menyendiri di kamar.”
Cakka
menggelengkan kepalanya. “Kami tidak bertengkar.”
“Lalu,
kenapa?” tanya Biru penasaran. “Kau kan selalu bersama mereka setiap waktu.
Kalian berlima itu sudah seperti amplop dan prangko. Hampir kemana-mana kalian
bersama. Aneh kalau tiba-tiba kalian memisah seperti itu.”
“Sahabat
juga butuh waktu sendiri, bukan?” kata Cakka sambil tersenyum.
“Waktu
sendiri apa? Kalau kau butuh waktu sendiri, berarti kau memang bermasalah
dengan mereka. Ceritalah, sebenarnya ada apa? Aku tidak mungkin bertanya kepada
Alvin lagi, dia tak pernah mau menjawab.”
Cakka
menggelengkan kepalanya lagi, bersikeras tak ingin berbicara.
Biru
menghela nafasnya putus asa. Adiknya itu memang tak pernah bisa diajak
bercerita tentang masalahnya. Susah sekali rasanya bagi adiknya itu untuk
terbuka, walaupun kepada kakaknya sendiri.
“Ya
sudah kalau kau tak ingin bercerita. Tapi ingat, Kka, sahabat itu berharga. Kau
beruntung bisa menemukan sahabat-sahabat baik seperti mereka. Teman-teman baik
seperti mereka itu jarang ada di dunia ini. Jangan sampai kau kehilangan mereka
begitu saja.” kata Elang.
Cakka
menatap keluar jendela sambil menghela nafas. Ia mengangguk pelan. Ia
betul-betul tahu kakak sulungnya benar. Sahabat seperti Ray dan kawan-kawan
memang tidak ada duanya. Tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Dari
merekalah Cakka memperoleh hidup yang menyenangkan. Tapi, mereka juga yang
membuat hidupnya menyedihkan lagi.
J L J
Sore
itu, BD pergi ke rumah seseorang dengan membawa kabar yang pasti akan
menyenangkan orang tersebut. Begitu sampai di sana, BD langsung menceritakan
semua yang ia alami di sekolah tanpa melewatkan sedikitpun adegan-adegan ‘seru’
pada saat ekskul basket. Setelah selesai bercerita, senyum perlahan-lahan
mengembang di wajah orang itu.
“Bagus.
Kau mengerjakan tugasmu dengan baik, Bid.” kata orang itu tersenyum puas.
“Sekarang, pastikan mereka tidak akan bersatu lagi. Kalau sampai misi ini
gagal, kau akan tahu akibatnya!”
BD
tersenyum sinis. “Tenang saja. Kau akan segera mendapatkan kehormatanmu lagi di
keluarga kita. Aku juga tak akan diremehkan lagi.”
Orang
itu mengangguk. “Tapi, karena kau tak berhasil mencegah dia masuk turnamen, kau
kuberikan misi tambahan.”
“Apa?”
“Tendang
dia dari turnamen itu!”
BD
mendengus sekilas mendengarnya. “Kau pikir aku tidak berencana untuk
melakukannya? Aku jelas ingin melakukannya lebih dari yang kau pikirkan.
Bagaimanapun dia sudah menghancurkan kita. Kitapun akan menghancurkannya!”
Orang
itu mengangguk, kemudian tertawa jahat. “Bagus!”
J L J
Berhari-hari
Cakka, Elang, Biru beserta Bunda bergantian menjaga Ayah di rumah sakit. Mereka
bekerja sama agar Ayah bisa memulihkan kondisinya kembali sehingga membuat
Cakka dan keluarganya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Cakka sampai
bolos latihan demi menjaga Ayah. Tapi, apa yang ditangkap oleh teman-teman
Cakka justru berbeda. Melihat Cakka yang kini semakin aneh, mereka menjadi
sangat yakin bahwa Cakka memang bukan Cakka yang polos seperti dulu. Cakka
bukan lagi Cakka yang mereka bangga-banggakan. Kapten? Bolos latihan?
Benar-benar bukan contoh yang baik.
Dengan
sibuknya Cakka dengan keluarganya, Alvin, Ray, Rio dan Gabriel jelas lebih
sering bergaul dengan BD dan yang lainnya, sehingga membuat mereka terbiasa
bermain tanpa Cakka. Sedikit demi sedikit pola pikir mereka tentang Cakka
menjadi berubah. Kalau dulu mereka lebih senang bermain dengannya, sekarang
mungkin bermain tanpa Cakkapun tidak apa-apa. Toh Cakka juga tidak merasa
kehilangan mereka. Padahal, kalau dia peka kepada perasaan teman-temannya,
Cakka seharusnya tahu kalau mereka berempat justru rindu dengan Cakka yang
dulu. Cakka yang selalu ada untuk mereka.
“Hari
ini dia tidak latihan lagi?” tanya Alvin sambil mendribel di tempat.
Ray
menggeleng lemah. Mereka berempat menghela nafas putus asa.
“Padahal,
turnamen sudah semakin dekat.” kata Gabriel.
“Apa
dia sudah tak menganggap turnamen itu penting?” tanya Rio.
Tak
ada yang menyahut pertanyaan Rio. Mereka masuk ke dalam suasana hening, hingga
tiba-tiba BD memanggil mereka dari kejauhan. “Hei! Kalian sedang apa di sana?
Ayo latihan!”
Tak
ada yang berniat menyahut ajakan BD itu. Ray, Rio dan Gabriel tampak lesu, tak
bersemangat untuk latihan hari ini. Namun, Alvin juga tak tahu harus bagaimana
agar dia semangat.
“Ayolah
guys, kita latihan saja.” kata Alvin
lirih. Ia berjalan mendekati BD sambil mendribel. Teman-temannya mengikuti dari
belakang dalam diam. Akan menambah masalah jika mereka juga bolos latihan. Pak
Jo pasti marah kalau melihat mereka juga tak hadir.
J L J
Malam
itu, Biru terbangun dari tidurnya karena hampir jatuh dari tempat tidur. Ia
mengucek-ngucek matanya sejenak, kemudian melirik ke arah jam dinding. Ternyata
masih jam tiga pagi. Masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Karena itu, ia
memutuskan untuk keluar sebentar untuk mengambil air minum untuk memuaskan
tenggorokannya sedikit.
Dengan
wajah mengantuk ia keluar dari kamar dan bergerak menuju dapur dan mengisi
segelas air dari dispenser. Setelah selesai, ia langsung meletakkan gelas itu
di wastafel dapur dan hendak masuk ke kamar lagi untuk melanjutkan jam
tidurnya. Namun, sebelum ia sampai di kamar, ia menghentikan langkahnya karena
tak sengaja melihat pintu kamar Cakka yang tidak tertutup rapat. Aneh! Lampunya
menyala pula. Memangnya adiknya itu tidak tidur? Biru membatalkan niatnya untuk
kembali ke kamar dan memutuskan untuk memeriksa terlebih dahulu keadaan
adiknya.
Krek...
Biru
mencondongkan kepalanya ke dalam kamar adiknya kemudian melihat sekelilingnya.
Ternyata dugaannya salah. Cakka tidak begadang. Ia sudah tidur. Tepatnya
tertidur di meja belajarnya. Biru tersenyum adiknya yang duduk sambil
menyandarkan kepalanya di meja.
Biru
berjalan masuk ke dalam kamar Cakka dan mendekati adiknya. Ia menghela nafas,
kemudian menggelengkan kepalanya melihat betapa pulasnya Cakka tidur di sana. Pasti
ia kelelahan karena sudah sibuk menjaga Ayah sampai beliau dipulangkan tadi
sore. Padahal, ia seharusnya latihan basket tadi di sekolah. Tapi, ia lebih
memilih bolos untuk berbakti kepada orang tuanya.
Senyum
Biru memudar ketika melihat sebuah kertas yang ada di dekat kepala Cakka.
Karena penasaran, ia ambil kertas itu dan membacanya perlahan-lahan. Sepertinya
itu adalah curahan hatinya. Tertulis di sana dengan rapi apa yang sedang
dipikirkannya, apa yang sedang dirasakannya. Ah, ternyata ini yang membuatnya
kelelahan.
“Ng...”
tiba-tiba Cakka bergerak. “Kak Biru?”
Biru
kaget sekilas. Ia langsung menaruh kertas itu kembali ke atas meja dan memegang
kepala belakang Cakka. “Maaf Kka, aku mengganggu tidurmu ya?”
Cakka
menggeleng. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak dan menatap kakaknya. “Lalu,
kenapa kau ada di sini?”
“Tadi
aku tak sengaja melihat lampumu masih menyala. Kupikir kau belum tidur.
Ternyata kau ketiduran di meja.” kata Biru membuat Cakka diam. Biru menghela
nafasnya. “Kka, kalau kau sedang sedih, butuh teman, seharusnya kau bercerita
padaku. Atau pada Kak Elang. Kenapa kau menyimpan masalahmu sendiri?”
Cakka
diam saja.
Biru
menepuk-nepuk pundak Cakka. “Aku bukan ingin memaksamu bercerita, Kka. Tapi,
kau kan tahu, kami berdua adalah kakakmu. Kontak batin kita terlalu kuat. Kami
akan tahu apapun yang kau rasakan. Termasuk kesedihanmu.”
Cakka
hanya tersenyum mendengarnya.
Biru
menghela nafasnya. “Oke. Karena aku tak ingin mengganggumu terlalu lama, lebih
baik kau tidur saja. Kau harus beristirahat lebih banyak agar selanjutnya bisa
ikut latihan basket lagi. Kurasa kau harus berbicara dengan Alvin dan
teman-temanmu yang lain.”
Cakka
menundukkan kepalanya mendengar teman-temannya disebut. Ia mengangguk pelan.
“Mungkin sekarang mereka sudah salah paham denganku.”
“Kau
pasti tak bercerita kepada mereka tentang kesibukanmu, kan?”
Cakka
mengangkat kepalanya. Biru sudah tahu tanpa Cakka menjawabnya.
Biru
tersenyum. Ia sempatkan dirinya mengacak-acak rambut adiknya yang sebenarnya
sudah tidak beraturan sambil tertawa kecil. “Sudahlah, lanjutkan tidurmu. Aku
juga ingin melanjutkan tidurku. Tenang saja, aku akan membantumu berbicara
dengan Alvin. Oke?”
Cakka
ikut tertawa kecil melihat kelakuan kakak perempuannya, kemudian langsung
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur untuk melanjutkan tidurnya. Kini ia bisa
tidur nyenyak dengan perasaan yang cukup lega. Beban yang ia tampung di dalam
hatinya berkurang karena telah berbagi dengan kakaknya.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p