Rabu, 12 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 24


Berkali-kali Cakka melakukan lay-up di lapangan, mencoba mencetak angka untuk dirinya sendiri. Namun, usahanya tak kunjung berhasil sampai setengah bajunya basah dengan keringat. Ia menangkap bolanya yang mental dan segera memantulkannya keras sembarangan. Kemudian, ia berjalan menuju bangku yang ada di pinggir lapangan untuk beristirahat. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan ia mengatur nafasnya terlebih dahulu.
Lapangan ini terasa sepi tanpa adanya keempat temannya. Sudah seminggu lamanya mereka menghindari Cakka. Bahkan saat ekskul basket Cakka juga hanya duduk bersandar sendirian di pinggir lapangan ketika ada beberapa menit istirahat. Teman-temannya malah bermain dengan BD dan anak-anak anggota basket yang lain. Ah, jangankan saat istirahat, saat latihan bertandingpun teman-temannya tak pernah memberi bola. Cakka hanya dapat memegang bola di saat bola tak sengaja terlepas menuju ke arahnya. Cakka benar-benar tak mengerti alasan apa yang ada di balik kebencian mereka. Padahal, dulu lapangan ini tempat bermain mereka berlima.
Cakka mengangkat kepalanya lagi, menatap bola basketnya yang telah bergelinding jauh dari tempatnya memantulkan bola tersebut tadi. Membuat lapangan menjadi benar-benar kosong. Cakka menghela nafasnya dan beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil bola basketnya. Setelah itu, ia kembali menatap ke arah lapangan. Sejenak membayangkan teman-temannya ada di sana, memanggilnya agar kembali ke lapangan dan bermain bersama mereka. Tapi, tidak. Itu tidak mungkin. Kenyataannya, sekarang mereka hanya diam jika melihatnya.
Drrt... Drrt...
Cakka merogoh saku celananya cepat, mencari-cari dimana ponselnya berada. Tercantum nama Bunda di layar ponsel yang berkedap-kedip itu. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung menekan tombol telepon hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga. “Halo?”
Sesekali Cakka mengangguk-angguk mendengarkan Bunda berbicara di seberang sana. Namun, seketika wajahnya berubah terkejut ketika mendengar berita mengejutkan yang disampaikannya. Setelah telepon berakhir, ia langsung mengembalikan ponselnya ke dalam saku celananya lagi dan langsung buru-buru pergi meninggalkan lapangan.

J L J

Alvin tengah fokus dengan layar komputernya ketika teman-temannya sibuk belajar. Ya, mereka masih tetap melakukan jadwal rutin itu. Dan hari ini kebetulan giliran rumah Alvin. Namun, tanpa adanya kehadiran Cakka di tengah-tengah mereka, suasana belajar yang biasanya sangat menyenangkan kini berubah menjadi sepi. Sunyi senyap tanpa suara apapun, seolah-olah mereka hanya belajar sendiri-sendiri. Mungkin ini sudah ketiga kalinya suasana belajar mereka terasa membosankan.
“Vin...” tiba-tiba Ray memutar kursinya dan menatap Alvin.
“Apa?” tanya Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari komputer.
“Apa kita melakukan hal yang benar menjauhi Cakka seperti ini?” tanya Ray. “Sebetulnya, Cakka tidak salah apa-apa, kan? Belum terbukti bahwa ucapan BD itu tepat. Kita juga belum membahas ini dengan Cakka.”
Alvin menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah teman-temannya. “Kalau saja Cakka tidak bersikap aneh belakangan ini, aku juga tidak ingin menjauhinya, Ray. Tapi, ia benar-benar sudah berubah. Bukankah kau sudah melihatnya sendiri?”
“Setiap kali terburu-buru, mencoba sebanyak mungkin merebut bola agar dapat banyak mencetak angka. Dia seperti tak peduli ada kita di sekitarnya yang bisa membantu,” kata Rio menambahkan. “Coba kau ingat saat pengumuman perwakilan waktu itu. Dia bahkan tidak ikut senang kita semua terpilih.”
Ray diam saja. Pikirannya melayang ke masa lalu, mengingat saat mereka semua benar-benar terpilih untuk ikut turnamen Se-Jakarta. Setelah Pak Jo membubarkan ekskul basket, mereka berempat hampir tak bisa mengekspresikan bagaimana gembiranya mereka bisa ikut turnamen. Hanya Cakka yang tidak.
“Teman-teman, kita masuk! Kita masuk!” teriak Ray saat itu sambil menatap teman-temannya girang. Saking girangnya, ia bahkan sampai melompat-lompat.
“Kerja bagus, teman-teman!” kata Alvin saat itu.
“Jangan sebut kita CRAG Team kalau kita tak bisa ikut turnamen!” kata Rio sambil tertawa. “Kita sudah satu langkah ke depan menuju impian kita!”
“Ya! Dan kita pasti bisa menaklukkan langkah-langkah lain yang menanti!” kata Gabriel. Ia merangkul Alvin dan Rio yang ada di kiri-kanannya. “Benar kan, teman-teman?”
“Tentu saja, Yel! Apalagi dengan kapten baik seperti Cakka!” kata Ray sambil merangkul teman sebangkunya itu. Kemudian, setelah itu dia menoleh ke arahnya. “Kka, ayo kita berjuang bersama! Nanti kita keluarkan semua tenaga untuk mengharumkan nama sekolah! Kita pasti bisa, oke?!”
Namun, bukannya ikut gembira dengan mereka, Cakka justru hanya tersenyum kecil dan segera menyingkirkan tangan Ray dari bahunya. Ia mengambil tasnya dan segera berlari meninggalkan lapangan. Ray dan kawan-kawannya sampai heran melihat tingkah lakunya. Dia bahkan tak pamit kepada mereka, hanya menepuk-nepuk bahu Ray sejenak kemudian langsung pergi.
“Tapi, hanya tersenyum bukan berarti dia itu tak senang kita masuk, bukan?” tanya Ray masih tidak yakin. “Jujur, sebenarnya aku tidak enak hati harus mengabaikannya setiap hari. Masalahnya, aku teman sebangkunya. Aku tidak mungkin tak bicara padanya, bukan? Pasti ada sesuatu di balik sikap anehnya itu!”
“Kalau dia merasa dia tak salah, seharusnya dia berusaha agar kita tidak menjauhinya. Tapi, dia tak pernah melakukan apa-apa semenjak kita menjauh,” kata Gabriel. “Bahkan kegiatan rutin kita ini dia tak pernah datang lagi.”
“Bagaimana dia bisa datang kalau dia tak tahu dimana kita akan belajar?” kata Ray masih tetap mencari alasan.
“Ah, sudahlah, Ray. Tak penting kita membicarakan dia. Lebih baik sekarang kita belajar. Terutama kau Vin, jangan bermain terus. Ujian Nasional sudah di depan mata.” Alvin hanya nyengir mendengar ucapan Gabriel. Memang, sedari tadi dia bukan belajar atau membuat tugas di komputer, dia hanya bermain-main saja.
“Baiklah. Ayo belajar. Lebih baik kita tak usah mengurus masalah ini.”

J L J

Sekitar jam sebelas menjelang jam dua belas Cakka tiba di sebuah rumah sakit yang telah disebutkan Bunda di telepon tadi. Ia segera bertanya kepada suster dimana ia harus pergi dan langsung menaiki lift dengan terburu-buru. Tampak Bunda, Biru dan Elang sudah berada di depan salah satu ruang perawatan di lantai tersebut. Mereka langsung berdiri ketika mendapati Cakka telah tiba.
“Akhirnya kau tiba juga!” kata Biru sambil tersenyum sekilas.
“Ayah sedang diperiksa di dalam. Kita hanya bisa menunggu.” kata Elang.
“Ini, Bunda sudah membawakanmu bekal jika kau lapar.” kata Bunda sambil menyodorkan sebuah kotak bekal kecil kepada anak bungsunya.
Cakka tersenyum sekilas kepada Bunda saat menerima kotak bekal tersebut. “Terima kasih, Bunda. Tapi, bagaimana bisa ini terjadi? Ayah bukannya sembuh malah justru menjadi lebih parah.”
“Sepertinya Ayah tidak tahan harus izin terus-menerus dari kantor. Ia tak ingin menumpukkan semua pekerjaannya kepada asistennya terus. Di rumah tadi, Ayah memaksakan diri untuk bekerja.” kata Elang.
Biru mengangguk-angguk. “Padahal, tadi Ayah hanya sarapan sedikit. Tidak nafsu makan katanya. Mungkin itu yang membuat Ayah menjadi pusing dan lemas.”
 Cakka menghela nafasnya. Ayah memang tipe orang pekerja keras dan mandiri. Mungkin terlalu mandiri sehingga beliau tak pernah rela merepotkan orang lain terlalu lama. Tapi, kalau seperti ini caranya, Ayah bisa sakit jangka panjang. Cakka benar-benar tak tahu harus berbuat apa jika itu benar-benar terjadi. Padahal, masalah di kehidupannya sudah terlalu banyak. Mulai dari teman-temannya, sekarang keluarganya.
“Sudah, ayo kita duduk saja.” kata Bunda mengajak anak-anaknya.
Cakka, Biru dan Elang menganggukkan kepala mereka. Mereka berempat duduk di depan ruang perawatan sambil menunggu dokter selesai memeriksa Ayah. Sekitar setengah jam mereka diam saja di sana, membiarkan suara-suara rumah sakit dan bau-bau obat di sana menemani mereka. Hingga pada akhirnya, dokter tersebut akhirnya keluar juga.
“Kalian kerabat pasien?” tanya Dokter.
Mereka berempat mengangguk.
“Bagaimana keadaan Ayah, Dok?” tanya Elang khawatir.
“Ayah kalian terkena tifus karena terlalu lelah. Dia harus diopname untuk memulihkan kondisinya. Kalau tiga hari ke depan kondisinya sudah stabil, dia sudah boleh pulang. Biarkan dia istirahat lebih banyak daripada bekerja agar bisa cepat sembuh.” kata Dokter sambil tersenyum.
“Begitu? Baiklah, Dokter, terima kasih. Boleh kami masuk?” tanya Bunda.
“Ya, silahkan. Saya permisi dulu.”
Dokter itu langsung pergi meninggalkan Bunda dan anak-anaknya di sana. Mereka berempat langsung masuk ke dalam ruang perawatan Ayah dan menjaganya di sana. Ayah tampak tersenyum pucat ketika melihat keluarganya masuk ke dalam. Tangan kanannya tampak diinfus.
“Cakka... kau sudah pulang?” katanya lirih.
Cakka mengangguk. “Istirahatlah, Yah. Aku ingin Ayah sehat.”
“Ayah tidak apa-apa, Kka. Ayah hanya kelelahan.”
“Yah, kata Dokter Ayah terkena tifus karena terlalu lelah bekerja. Ayah harus diopname untuk memulihkan kondisi tubuh Ayah. Biar nanti kita berempat yang akan bergantian menjaga Ayah di sini.” kata Elang.
“Ah, kalian tidak perlu repot-repot. Kalian kan juga sibuk, apalagi kalian, Biru dan Cakka, kalian harus tetap latihan untuk turnamen itu. Dan kau juga akan menghadapi ujian kelulusan, kan, Bi?” tanya Ayah terbata-bata. Sesekali ia juga terbatuk-batuk.
Biru menganggukkan kepala. Sementara Cakka diam saja.
“Biar Bunda saja yang menjaga Ayah, anak-anak. Kalian sekolah saja dengan baik. Kuliah dengan baik. Setelah jadwal kalian selesai, baru berkunjung ke sini kalau ada waktu kosong,” kata Bunda. “Bagaimanapun juga, pendidikan tetap nomor satu.”
“Baik, Bunda.” kata Cakka, Biru dan Elang hampir bersamaan.
“Kalau begitu, kalian pulanglah terlebih dahulu. Biar Bunda yang menjaga Ayah di sini. Oke?”
Ketiganya mengangguk patuh, kemudian langsung keluar dari ruangan tanpa bicara apa-apa. Mereka bertiga menuju parkiran, masuk ke mobil Elang dan langsung melesat pergi menuju rumah mereka. Selama perjalanan, mereka mengobrol panjang tentang sekolah. Hingga akhirnya, Biru menyinggung-nyinggung soal teman-teman Cakka.
“Kka, belakangan ini rasanya kau tak bergabung dengan teman-temanmu di kantin. Memangnya kau sibuk berbuat apa?” tanya Biru. “Setiap kali aku bertanya Alvin dan yang lain, mereka selalu menjawab kau ada urusan.”
Cakka diam mendengar ucapan itu. Justru Elang yang menyahut karena baru tahu tentang hal itu. “Kau bertengkar dengan teman-temanmu, Kka? Pantas saja belakangan ini kau sering menyendiri di kamar.”
Cakka menggelengkan kepalanya. “Kami tidak bertengkar.”
“Lalu, kenapa?” tanya Biru penasaran. “Kau kan selalu bersama mereka setiap waktu. Kalian berlima itu sudah seperti amplop dan prangko. Hampir kemana-mana kalian bersama. Aneh kalau tiba-tiba kalian memisah seperti itu.”
“Sahabat juga butuh waktu sendiri, bukan?” kata Cakka sambil tersenyum.
“Waktu sendiri apa? Kalau kau butuh waktu sendiri, berarti kau memang bermasalah dengan mereka. Ceritalah, sebenarnya ada apa? Aku tidak mungkin bertanya kepada Alvin lagi, dia tak pernah mau menjawab.”
Cakka menggelengkan kepalanya lagi, bersikeras tak ingin berbicara.
Biru menghela nafasnya putus asa. Adiknya itu memang tak pernah bisa diajak bercerita tentang masalahnya. Susah sekali rasanya bagi adiknya itu untuk terbuka, walaupun kepada kakaknya sendiri.
“Ya sudah kalau kau tak ingin bercerita. Tapi ingat, Kka, sahabat itu berharga. Kau beruntung bisa menemukan sahabat-sahabat baik seperti mereka. Teman-teman baik seperti mereka itu jarang ada di dunia ini. Jangan sampai kau kehilangan mereka begitu saja.” kata Elang.
Cakka menatap keluar jendela sambil menghela nafas. Ia mengangguk pelan. Ia betul-betul tahu kakak sulungnya benar. Sahabat seperti Ray dan kawan-kawan memang tidak ada duanya. Tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Dari merekalah Cakka memperoleh hidup yang menyenangkan. Tapi, mereka juga yang membuat hidupnya menyedihkan lagi.

J L J

Sore itu, BD pergi ke rumah seseorang dengan membawa kabar yang pasti akan menyenangkan orang tersebut. Begitu sampai di sana, BD langsung menceritakan semua yang ia alami di sekolah tanpa melewatkan sedikitpun adegan-adegan ‘seru’ pada saat ekskul basket. Setelah selesai bercerita, senyum perlahan-lahan mengembang di wajah orang itu.
“Bagus. Kau mengerjakan tugasmu dengan baik, Bid.” kata orang itu tersenyum puas. “Sekarang, pastikan mereka tidak akan bersatu lagi. Kalau sampai misi ini gagal, kau akan tahu akibatnya!”
BD tersenyum sinis. “Tenang saja. Kau akan segera mendapatkan kehormatanmu lagi di keluarga kita. Aku juga tak akan diremehkan lagi.”
Orang itu mengangguk. “Tapi, karena kau tak berhasil mencegah dia masuk turnamen, kau kuberikan misi tambahan.”
“Apa?”
“Tendang dia dari turnamen itu!”
BD mendengus sekilas mendengarnya. “Kau pikir aku tidak berencana untuk melakukannya? Aku jelas ingin melakukannya lebih dari yang kau pikirkan. Bagaimanapun dia sudah menghancurkan kita. Kitapun akan menghancurkannya!”
Orang itu mengangguk, kemudian tertawa jahat. “Bagus!”

J L J

Berhari-hari Cakka, Elang, Biru beserta Bunda bergantian menjaga Ayah di rumah sakit. Mereka bekerja sama agar Ayah bisa memulihkan kondisinya kembali sehingga membuat Cakka dan keluarganya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Bahkan Cakka sampai bolos latihan demi menjaga Ayah. Tapi, apa yang ditangkap oleh teman-teman Cakka justru berbeda. Melihat Cakka yang kini semakin aneh, mereka menjadi sangat yakin bahwa Cakka memang bukan Cakka yang polos seperti dulu. Cakka bukan lagi Cakka yang mereka bangga-banggakan. Kapten? Bolos latihan? Benar-benar bukan contoh yang baik.
Dengan sibuknya Cakka dengan keluarganya, Alvin, Ray, Rio dan Gabriel jelas lebih sering bergaul dengan BD dan yang lainnya, sehingga membuat mereka terbiasa bermain tanpa Cakka. Sedikit demi sedikit pola pikir mereka tentang Cakka menjadi berubah. Kalau dulu mereka lebih senang bermain dengannya, sekarang mungkin bermain tanpa Cakkapun tidak apa-apa. Toh Cakka juga tidak merasa kehilangan mereka. Padahal, kalau dia peka kepada perasaan teman-temannya, Cakka seharusnya tahu kalau mereka berempat justru rindu dengan Cakka yang dulu. Cakka yang selalu ada untuk mereka.
“Hari ini dia tidak latihan lagi?” tanya Alvin sambil mendribel di tempat.
Ray menggeleng lemah. Mereka berempat menghela nafas putus asa.
“Padahal, turnamen sudah semakin dekat.” kata Gabriel.
“Apa dia sudah tak menganggap turnamen itu penting?” tanya Rio.
Tak ada yang menyahut pertanyaan Rio. Mereka masuk ke dalam suasana hening, hingga tiba-tiba BD memanggil mereka dari kejauhan. “Hei! Kalian sedang apa di sana? Ayo latihan!”
Tak ada yang berniat menyahut ajakan BD itu. Ray, Rio dan Gabriel tampak lesu, tak bersemangat untuk latihan hari ini. Namun, Alvin juga tak tahu harus bagaimana agar dia semangat.
“Ayolah guys, kita latihan saja.” kata Alvin lirih. Ia berjalan mendekati BD sambil mendribel. Teman-temannya mengikuti dari belakang dalam diam. Akan menambah masalah jika mereka juga bolos latihan. Pak Jo pasti marah kalau melihat mereka juga tak hadir.

J L J

Malam itu, Biru terbangun dari tidurnya karena hampir jatuh dari tempat tidur. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak, kemudian melirik ke arah jam dinding. Ternyata masih jam tiga pagi. Masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Karena itu, ia memutuskan untuk keluar sebentar untuk mengambil air minum untuk memuaskan tenggorokannya sedikit.
Dengan wajah mengantuk ia keluar dari kamar dan bergerak menuju dapur dan mengisi segelas air dari dispenser. Setelah selesai, ia langsung meletakkan gelas itu di wastafel dapur dan hendak masuk ke kamar lagi untuk melanjutkan jam tidurnya. Namun, sebelum ia sampai di kamar, ia menghentikan langkahnya karena tak sengaja melihat pintu kamar Cakka yang tidak tertutup rapat. Aneh! Lampunya menyala pula. Memangnya adiknya itu tidak tidur? Biru membatalkan niatnya untuk kembali ke kamar dan memutuskan untuk memeriksa terlebih dahulu keadaan adiknya.
Krek...
Biru mencondongkan kepalanya ke dalam kamar adiknya kemudian melihat sekelilingnya. Ternyata dugaannya salah. Cakka tidak begadang. Ia sudah tidur. Tepatnya tertidur di meja belajarnya. Biru tersenyum adiknya yang duduk sambil menyandarkan kepalanya di meja.
Biru berjalan masuk ke dalam kamar Cakka dan mendekati adiknya. Ia menghela nafas, kemudian menggelengkan kepalanya melihat betapa pulasnya Cakka tidur di sana. Pasti ia kelelahan karena sudah sibuk menjaga Ayah sampai beliau dipulangkan tadi sore. Padahal, ia seharusnya latihan basket tadi di sekolah. Tapi, ia lebih memilih bolos untuk berbakti kepada orang tuanya.
Senyum Biru memudar ketika melihat sebuah kertas yang ada di dekat kepala Cakka. Karena penasaran, ia ambil kertas itu dan membacanya perlahan-lahan. Sepertinya itu adalah curahan hatinya. Tertulis di sana dengan rapi apa yang sedang dipikirkannya, apa yang sedang dirasakannya. Ah, ternyata ini yang membuatnya kelelahan.
“Ng...” tiba-tiba Cakka bergerak. “Kak Biru?”
Biru kaget sekilas. Ia langsung menaruh kertas itu kembali ke atas meja dan memegang kepala belakang Cakka. “Maaf Kka, aku mengganggu tidurmu ya?”
Cakka menggeleng. Ia mengucek-ngucek matanya sejenak dan menatap kakaknya. “Lalu, kenapa kau ada di sini?”
“Tadi aku tak sengaja melihat lampumu masih menyala. Kupikir kau belum tidur. Ternyata kau ketiduran di meja.” kata Biru membuat Cakka diam. Biru menghela nafasnya. “Kka, kalau kau sedang sedih, butuh teman, seharusnya kau bercerita padaku. Atau pada Kak Elang. Kenapa kau menyimpan masalahmu sendiri?”
Cakka diam saja.
Biru menepuk-nepuk pundak Cakka. “Aku bukan ingin memaksamu bercerita, Kka. Tapi, kau kan tahu, kami berdua adalah kakakmu. Kontak batin kita terlalu kuat. Kami akan tahu apapun yang kau rasakan. Termasuk kesedihanmu.”
Cakka hanya tersenyum mendengarnya.
Biru menghela nafasnya. “Oke. Karena aku tak ingin mengganggumu terlalu lama, lebih baik kau tidur saja. Kau harus beristirahat lebih banyak agar selanjutnya bisa ikut latihan basket lagi. Kurasa kau harus berbicara dengan Alvin dan teman-temanmu yang lain.”
Cakka menundukkan kepalanya mendengar teman-temannya disebut. Ia mengangguk pelan. “Mungkin sekarang mereka sudah salah paham denganku.”
“Kau pasti tak bercerita kepada mereka tentang kesibukanmu, kan?”
Cakka mengangkat kepalanya. Biru sudah tahu tanpa Cakka menjawabnya.
Biru tersenyum. Ia sempatkan dirinya mengacak-acak rambut adiknya yang sebenarnya sudah tidak beraturan sambil tertawa kecil. “Sudahlah, lanjutkan tidurmu. Aku juga ingin melanjutkan tidurku. Tenang saja, aku akan membantumu berbicara dengan Alvin. Oke?”
Cakka ikut tertawa kecil melihat kelakuan kakak perempuannya, kemudian langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur untuk melanjutkan tidurnya. Kini ia bisa tidur nyenyak dengan perasaan yang cukup lega. Beban yang ia tampung di dalam hatinya berkurang karena telah berbagi dengan kakaknya.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p