Setelah ekskul basket
selesai, Cakka langsung buru-buru pulang tanpa menunggu teman-temannya. Masih
ingat dengan janji Ayah kepada Cakka, bukan? Karena itu, dia tak ingin membuat
Ayah menunggu terlalu lama. Apalagi dia harus mandi dan bersiap-siap terlebih
dahulu sebelum pergi. Tak mungkin ia pergi ke rumah orang lain dengan badan bau
tak sedap. Entah teman-teman Cakka akan mengerti atau tidak tanpa harus Cakka
beritahu soal ini. Tadi dia tak sempat memberitahu mereka.
“Cakka, kau sudah
pulang!” kata Bunda begitu melihat anak bungsunya berlari menuju kamarnya.
Karena gerak-geriknya begitu terburu-buru, ia langsung berjalan mengikutinya.
Ia menggelengkan kepalanya melihat Cakka cepat-cepat membongkar lemari bajunya,
mengambil handuk dan segala alat untuk mandi. “Kenapa kau buru-buru?”
Cakka menoleh. Ia
menggaruk-garuk tengkuknya sambil tersenyum malu melihat keberadaan Bunda.
“Maaf, Bunda. Ayah ingin mengajakku ke rumah seseorang. Aku harus cepat-cepat
mandi.”
“Begitu? Kalau begitu
mandilah pelan-pelan. Setelah selesai kau bisa makan malam terlebih dahulu.
Ayah belum tiba.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Oh.” kata Cakka
sambil mengangguk mengerti. Kemudian, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi
dengan pelan. Tak lama setelah itu sudah terdengar air shower yang sangat deras. Bunda hanya menggelengkan kepala
mendengarnya. Ia langsung kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Selang beberapa
menit, Cakka sudah keluar dari kamar mandi dengan baju putih yang dimasukkan ke
dalam celana jeans panjang. Ia segera menghampiri cerminnya sambil mengeringkan
rambutnya yang basah. Setelah cukup kering, ia segera menatanya dengan hair gel sambil menunggu Ayah.
Tapi, rencana
ternyata tidak berjalan begitu lancar. Begitu Ayah pulang, Ayah tidak terlihat
baik. Wajahnya berantakan dan terlihat sedikit pucat seperti orang yang tidak
enak badan. Cakka, Biru, Elang dan Bunda yang mengetahui hal tersebut justru
khawatir Ayah akan kelelahan jika ia harus pergi lagi. Namun, Ayah tetap saja
ingin pergi dengan Cakka.
“Tapi, aku tidak
ingin Ayah sakit.” kata Cakka dengan wajah cemas.
“Tidak apa-apa, Kka.
Kita tidak akan lama di sana. Setelah pulang nanti, Ayah akan langsung tidur,
oke? Tunggu Ayah mandi sebentar, kita akan segera pergi.” kata Ayah sambil
tersenyum.
Cakka mengangguk.
Sementara itu, di
lain tempat, Alvin, Gabriel dan Rio sedang berkumpul. Ray tidak bisa ikut
karena ada kegiatan lain. Dan itu membuat suasana kamar Gabriel dan Rio kali
ini benar-benar sepi. Gabriel yang duduk di kursi meja belajarnya hanya
menopang dagunya dengan kedua lengan tangannya di atas kepala kursi. Rio juga
menutup mulutnya di atas tempat tidur sambil bersandar di jendela kamarnya. Dan
Alvin juga hanya tiduran di tempat tidur yang sama.
“Guys...,” kata Alvin
sambil bangkit dari tidurnya, membuat Gabriel dan Rio menoleh ke arahnya.
“Kalian berdua pasti memikirkan kata-kata BD tadi. Aku benar, kan?”
Gabriel hanya
menghela napasnya. “Terus terang, aku bukan ingin mencurigai Cakka, tapi di
latihan ekskul basket hari ini dia memang terlihat berbeda dari biasanya. Dia
lebih terlihat ambisius dan tak banyak bicara dengan kita. Ditambah dengan
sikap buru-burunya tadi.”
“Kau percaya dengan
apa yang dikatakan BD?” tanya Alvin lagi kepadanya.
“Tentu saja tidak,
Vin. Kita lebih mengenalnya daripada anak baru itu. Tapi, kita juga tidak bisa
mengelak ucapannya soal sikap Cakka yang katanya tidak sepolos dan sealim yang
kita kira.”
“Tapi, dia sudah
berteman dengan kita sejak dia masuk sekolah kita. Kita juga sudah mengetahui
bagaimana dia di rumah dan kenal dengan keluarganya. Aku rasa itu sudah menjadi
bukti bahwa Cakka tidak seperti apa yang BD pikirkan,” kata Rio. “Atau kau
sudah mulai tidak percaya kepadanya, Yel?”
“Tidak, bukan seperti
itu, Yo,” kata Gabriel sambil menggeleng cepat. “Ah, entahlah. Aku tak tahu
bagaimana harus menjelaskannya. Yang pasti dia terasa sedikit berbeda hari
ini.”
“Sudahlah, lebih baik
kita bicarakan dengan orangnya langsung besok,” kata Alvin. “Yang terpenting
adalah bagaimana caranya kalian untuk mempertahankan persahabatan ini. Kalian
kan tahu kalau kita semua sudah berjanji bahwa kita akan selalu bersama apapun
yang terjadi, kan? Cakka tidak akan lupa dengan janji itu.”
Gabriel dan Rio
mengangguk.
J L J
Cakka diam saja
ketika melihat seseorang membuka pintu rumah teman Ayah. Setelah dipersilahkan
masuk, Cakka dan Ayah mengikuti orang tersebut ke dalam rumah. Orang itu adalah
seorang laki-laki yang berambut cepak dan berwajah ramah. Mungkin sebaya dengan
Ayah. Cakka menjadi semakin penasaran, sebenarnya apa yang membuat Ayah ngotot
untuk membawa Cakka ke sini. Kenapa Ayah ingin sekali Cakka bertemu dengan
temannya?
“Maaf ya, aku tidak
tahu kau ingin datang. Keluargaku sedang pergi semua. Padahal, mereka pasti
senang bertemu denganmu lagi.” kata orang itu ketika mereka sudah duduk di sofa
yang ada di ruang keluarga.
“Ah, tidak apa-apa.
Aku hanya sebentar di sini. Hanya ingin memperkenalkan anak bungsuku, Cakka.”
kata Ayah sambil menepuk pundak Cakka.
“Oh, ternyata ini
anakmu? Pantas mirip,” katanya sambil tersenyum kepada Cakka. “Hai. Saya teman
Ayahmu. Namaku Chris. Senang bertemu denganmu.”
Cakka tersenyum balik
dan menganggukkan kepalanya sopan.
“Cakka, Chris adalah
teman Ayah dari kecil. Kita berdua sudah bersahabat sejak SD. Walaupun sempat
terpisah karena berbeda universitas, tapi kita tetap menjaga komunikasi. Jadi,
Ayah harap kau bisa akrab dengannya, ya?” kata Ayah sambil tersenyum.
Cakka mengangguk.
“Baik, Ayah.”
“Kau bisa datang pada
Om kapan saja, Cakka. Kalau kau memiliki kesulitan, Om pasti akan membantu jika
kau memerlukannya,” kata Chris tersenyum. “Oh ya, sampai lupa, kalian ingin
minum apa? Akan kusiapkan untuk kalian.”
“Ah, tak perlu
repot-repot.” kata Ayah tak enak hati.
“Tidak apa-apa, aku merasa tidak sopan kalau membiarkan
kalian haus.”
“Aku tidak terlalu
haus, Om. Untuk Ayah saja cukup. Kasihan Ayah pasti masih lelah setelah pulang
kerja,” Akhirnya Cakka yang angkat suara, membuat Ayah menatap Cakka dengan
raut wajah protes. Tapi, Cakka diam saja. Sementara Chris hanya tertawa.
“Anakmu baik sekali.
Kalau begitu, biar aku ambilkan dulu.” kata Chris seraya pergi menuju ruang
dapurnya, meninggalkan Ayah dan Cakka berdua saja di ruang keluarga.
“Harusnya kau tak
perlu berkata seperti itu.” kata Ayah tersenyum masam.
“Aku hanya ingin Ayah sehat.”
Ayah diam
mendengarnya. Ia menghela nafas sejenak, kemudian mengatup kedua tangannya.
Keheningan terjadi beberapa saat karena Cakka juga diam saja menunggu Chris
kembali. Namun, tak lama kemudian, Ayah memecah keheningan tersebut dengan
suara pelannya. “Kka, Ayah membawamu untuk bertemu dengan Chris, bukan tanpa
alasan.”
“Hm?” Cakka menoleh
ke arah Ayah.
“Ayah tidak tahu
kenapa, kau itu sangat mirip dengan Chris. Kalian berdua memiliki ambisi yang
besar dalam dunia basket. Kalian berdua sama-sama menemukan teman-teman yang
baik dan juga kebahagiaan di sana,” kata Ayah. Ia memutar posisi duduknya menghadap
Cakka. “Dulu, Chris juga kapten basket sepertimu. Dia sangat diandalkan dalam
tim. Namun, sayangnya semenjak Chris berumur delapan belas tahun, ia terpaksa
menyerah dari dunia basket karena kakinya yang cedera.”
Cakka terdiam
sejenak. “Kenapa, Yah?”
“Waktu itu
pertandingannya hampir mirip seperti pertandinganmu melawan Verrell waktu itu.
Tim lawan bermain fisik hingga membuat kakinya keseleo dan lecet. Dan rasa
sakit itu tidak sembuh begitu saja. Rasa sakit itu bisa kembali datang kapan
saja jika dia bermain basket atau jatuh lagi. Makanya, dulu Ayah begitu keras
padamu dan kakak-kakakmu.”
“Oh. Begitu.” kata Cakka pelan. Ia
menundukkan kepalanya.
Ayah mengangguk.
“Hei, sedang
berbicara apa? Sepertinya seru. Silahkan diminum.” Tiba-tiba Chris datang dengan
membawa dua gelas besar berisi air putih penuh. Kemudian, ia kembali duduk di
hadapan Ayah dan Cakka.
“Oh, terima kasih,
Chris. Aku hanya menceritakan hobi basketmu kepada Cakka. Anak bungsuku ini
sangat suka bermain basket sepertimu. Dia dan kakak perempuannya akan mengikuti
turnamen Se-Jakarta beberapa bulan lagi.” kata Ayah.
“Oh ya? Hebat sekali!
Masa-masa waktu itu memang menyenangkan. Sayang sekali aku harus berhenti,”
kata Chris. Ia menatap ke arah Cakka. “Hei, Cakka, Om beritahu ya, dalam bermain
basket itu tujuannya berbeda dari olahraga yang lain.”
Cakka mengerutkan
dahinya mendengar ucapan Chris.
Chris tersenyum.
“Basket itu tak perlu hebat. Kau hanya perlu percaya dan bekerja sama. Kau tak
akan bisa jadi pebasket hebat kalau kau tidak percaya maupun bekerja sama
dengan seluruh anggota tim.”
Seketika kerutan dahi
Cakka hilang, ia menatap Chris dalam diam. Meminta penjelasan lebih lanjut atas
penuturannya tersebut. Tapi, Chris hanya tersenyum dan berkata, “Kau akan
mengerti maksud Om, ketika kau ada di lapangan.”
Cakka menganggukkan
kepalanya patuh. Semuanya diam, hingga tiba-tiba Ayah memegang kepalanya. Ia
juga menutup matanya seperti orang sakit. Chris yang melihatnya langsung cemas.
Cakka juga langsung bertanya khawatir, “Ayah kenapa? Sakit kepala?”
“Tidak, Ayah tidak
apa-apa.” kata Ayah menyakinkan anaknya.
“Benarkah?” tanya
Cakka sambil memegang dahi Ayah. Ia terkejut ketika merasakan sebuah hawa yang
cukup panas di sana. “Astaga, Ayah demam! Om, kalau begitu, aku dan Ayah
permisi dulu! Ayah sedang tidak enak badan!”
“Tunggu, Kka. Biar Om
ambilkan obat demam dulu, supaya Ayahmu bisa menyetir sampai ke rumah. Kalau
tidak, bisa berbahaya!” kata Chris panik. Ia langsung pergi meninggalkan mereka
lagi untuk mencari obat. Cakka yang cemas langsung mengambil air putih yang
telah tersedia di meja untuk Ayah minum.
“Sudah lebih baik?”
tanya Cakka.
Ayah mengangguk
pelan.
“Ini, makanlah dulu
obatnya. Seharusnya kau tak perlu datang kemari jika kau sedang sakit. Aku jadi
merasa tak enak membuatmu sakit seperti ini.” kata Chris merasa bersalah. Ia
menyodorkan sebuah obat kapsul.
Cakka segera
mengambil gelas air miliknya dan mengambil obat tersebut untuk diberikan kepada
Ayah. Setelah itu, Cakka dan Chris membiarkan Ayah beristirahat di sana. Mereka
berdua pergi ke balkon. Terpaksa Cakka menunda kepulangannya sebentar agar
demam Ayah tidak bertambah parah.
Cakka berdiri di
belakang Chris yang duduk di balkon sambil melihat ke arah langit malam.
Lagi-lagi keheningan menguasai mereka. Tak ada satupun yang membuka mulut untuk
sekedar memberikan suasana seru. Yang terdengar hanya helaan nafas
masing-masing, juga angin yang berhembus pelan menari-narikan baju mereka.
Cakka sampai memeluk tubuhnya.
Chris tersenyum
menatap Cakka. “Kau kedinginan?”
Cakka menoleh. Ia
nyengir sejenak. “Tidak apa-apa, Om.”
Chris mengangguk
mengerti. “Baguslah kalau begitu.”
Cakka tersenyum.
Chris menghela
nafasnya. Ia tersenyum menatap bintang-bintang yang bersinar di langit.
“Melihatmu dan Ayahmu datang kemari, Om jadi ingat masa-masa sekolah dulu.”
“Hm?”
“Om memiliki banyak
teman dari basket. Bahkan Om bisa mendapatkan banyak pelajaran dari mereka.
Juga dari pertandingan-pertandingan basket yang kita ikuti,” kata Chris. “Waktu
itu, kita berjuang mati-matian agar bisa sampai ke turnamen besar. Cita-cita
kita adalah bermain sampai ke luar negeri.”
“Tapi, Om yang
ceroboh. Kalau saja waktu itu, Om berhati-hati, kaki Om tidak akan cedera
jangka panjang. Om terpukul waktu diberitahu kalau Om tidak boleh melanjutkan
DBL. Waktu itu, Om nekat tetap bertanding. Tapi, akhirnya kaki Om malah makin
sakit. Akhirnya, kaki Om selalu sakit kalau diajak latihan. Teman-teman Om
mungkin masih berkarir menjadi pebasket sekarang. Sesuai impian mereka.”
“Bagaimana dengan
Om?”
Chris tertawa kecil.
“Om jelas tak bisa lagi menjadi pebasket. Latihan saja sakit. Apalagi
bertanding. Om hanya bisa duduk di kantor menatap layar komputer.”
“Om tidak sedih
menjalaninya?”
“Kenapa harus sedih?
Kadang-kadang kita memang harus bisa melepaskan keinginan kita. Yang terpenting
sekarang, kami semua masih tetap bersahabat. Kadang-kadang kalau mereka sedang
tidak sibuk, mereka sering mengunjungi Om.”
Cakka diam
mendengarnya.
J L J
"Cakka! Alvin! Gabriel! Rio! Ray! BD! Dan yang lainnya!
Istirahat!" seru Pak Jo di lapangan, menyuruh para anggota ekskul basket
yang terpilih menjadi perwakilan dalam turnamen Se-Jakarta. Ya, mereka berhasil
menjadi salah satu dari tiga puluh anak yang terpilih mewakili sekolah. Tentu
saja dengan berita gembira tersebut, mereka menjadi sangat semangat dalam
latihan. Tadi mereka baru saja melakukan pertandingan bergiliran. Namun, dengan
tim andalan mereka, CRAG Team yang beranggotakan Cakka dan teman-temannya.
Beserta BD sebagai cadangan karena kemampuannya yang begitu menyakinkan.
“Hei,
nanti kita jadi berkumpul, kan?” tanya Ray setelah meneguk air mineralnya.
“Ya,
tentu saja jika semuanya lancar,” kata Alvin. Ia menoleh ke arah Cakka yang
sedang sibuk membersihkan peluh yang banjir di wajahnya. “Hei, Kka, setelah
pulang nanti, kita ingin berkumpul di rumahku. Ada yang perlu kita bicarakan.
Kau bisa ikut, bukan?”
Cakka
diam saja mendengarnya. Ia menaruh handuknya ke dalam tas kembali dan menatap
ke arah teman-temannya. “Maaf, teman-teman. Sore ini aku buru-buru. Ada urusan
penting.”
“Rasanya
belakangan ini kau sering sekali buru-buru, Chase Karayne. Sebenarnya ada apa
denganmu?” tanya Gabriel heran. “Apa kau sedang mengalami masalah? Ceritalah
pada kami.”
“Ya.
Bahkan dalam pertandingan kau juga aneh. Sebenarnya ada apa?” tanya Rio
ikut-ikutan bertanya.
Cakka
hanya tersenyum mendengar pertanyaan mereka. Ia menggelengkan kepalanya,
kemudian langsung beranjak dari kursinya. Ia pergi menuju lapangan dan latihan
mendribel bola sendirian. Sesekali ia juga melempar bolanya ke arah ring.
Gabriel, Rio, Ray dan Alvin sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah
sahabat mereka itu.
Tiba-tiba,
BD bersuara. “Kalian lihat sendiri bukan? Bahkan dia tidak ingin berkumpul
dengan kalian lagi. Apa kalian masih mau mengelak kalau Cakka itu memang tidak
perduli kepada kalian?”
Tak
ada yang menyahut ucapan BD tersebut. Mereka berusaha membuang jauh-jauh
pikiran mereka yang tidak-tidak dan kembali sibuk dengan urusan mereka
masing-masing sebelum istirahat mereka selesai. BD hanya mendengus melihat
respon mereka dan tersenyum misterius berjalan melewati mereka.
J L J
Seperti
kebiasaannya belakangan ini, Cakka langsung cepat-cepat meninggalkan lapangan
setelah latihan usai. Gabriel, Rio, Ray dan Alvin yang tadinya berencana untuk
mengajak Cakka sekali lagi langsung hancur sudah ketika laki-laki itu berlari
meninggalkan lapangan tanpa pamit pada mereka. Mereka hanya bisa menatap
punggung Cakka yang semakin menjauh dengan perasaan campur aduk. Mereka tak
mengerti mereka harus sedih, prihatin atau justru marah kepada kapten basket mereka
itu. Cakka yang dulu mereka kenal sebagai anak yang polos dan bersemangat dalam
tim basket mereka justru cenderung tertutup dan menghindar dari mereka.
“Hei,
untuk apa kalian diam di sana? Ini sudah sore. Kalian tak ingin pulang?” tanya
Pak Jo yang sudah siap-siap meninggalkan lapangan membuyarkan lamunan mereka.
“Maaf,
Pak. Kami akan segera pulang.” Ray angkat suara.
“BD,
kau juga harus pulang. Istirahatlah agar kau dapat mempertahankan stamina dan
konsentrasimu di bidang basket.” kata Pak Jo lagi.
“Baik,
Pak!” kata BD sambil mengangguk. Lalu, ia berjalan menuju Gabriel, Rio, Ray dan
Alvin. “Ayo guys, kita pulang saja. Kalian tak perlu mengkhawatirkan kapten
basket kalian itu.”
Lagi-lagi
tak ada yang menyahut ucapan BD. Mereka langsung segera meninggalkan lapangan.
Namun, BD tak langsung pulang seperti yang lainnya. Ia justru masuk kembali ke
dalam gedung untuk menemui seseorang. Dan jelas tidak ada orang yang tahu
tentang pertemuan mereka tersebut.
“Ternyata
kau datang juga.” kata BD ketika ia sudah sampai di tempat paling atas. Lantai
lima. Ia tersenyum sinis ketika mendapati seorang laki-laki tengah duduk di
tanah sambil melihat ke arah langit sembari menunggunya.
Laki-laki
itu menoleh dan segera berdiri. Ia tersenyum manis melihat BD.
“Oke,
langsung saja. Aku tidak ingin berlama-lama dekat denganmu. Yang harus kau
tahu. Aku tak suka kau terpilih untuk mewakili sekolah. Kemampuan kau itu tidak
pantas berada di turnamen besar!” kata BD sambil menunjuk-nunjuk laki-laki
tersebut. Wajahnya memancarkan kekesalan yang dalam.
“Kenapa?”
tanya laki-laki itu polos.
“Ah,
kau tak perlu tahu! Yang pasti mulai saat ini jangan harap aku ingin bekerja
sama denganmu, Chase Karayne. Akan aku pastikan tak ada yang akan mendukungmu
setelah ini! Kau itu hanya membawa masalah bagi keluargaku, tahu!” kata BD
sebal. Kemudian, ia langsung meninggalkan laki-laki tersebut di sana sendirian.
Laki-laki
tersebut yang tak lain adalah Cakka hanya mengerutkan dahinya mendengar ucapan
BD. Tak mengerti maksudnya. Ia bahkan baru mengenal BD saat dia baru masuk ke
sekolah ini. Namun, ia mengatakan hal itu seolah-olah Cakka sudah pernah
membuatnya kecewa. Apa maksudnya dengan ia telah membawa masalah kepada
keluarganya? Siapa yang dia maksud?
J L J
“Minum
dulu, Yah.”
Ayah
tersenyum dan berusaha mengangkat kepalanya agar dapat minum dari segelas air
yang dipegang oleh Cakka. Kondisinya masih belum pulih juga hari ini hingga ia
tak bisa masuk kerja. Suhu badannya masih di atas normal. Dan ini yang membuat
Cakka khawatir seharian. Ayah tak pernah sampai seperti ini walaupun pekerjaan
menyita banyak waktunya.
“Cakka,
Bunda bawakan bubur untuk Ayah.” Tiba-tiba Bunda muncul dari balik pintu sambil
membawakan semangkuk bubur panas. Ia meletakkan mangkuk tersebut di atas meja
yang ada di sebelah tempat tidur.
Cakka
mengangguk sambil tersenyum.
“Makanlah
sedikit agar kau bisa cepat pulih, sayang,” kata Bunda ikut duduk di samping
Cakka agar dapat menjaga suaminya. “Kalau tidak, nanti kau akan membuat
anak-anakmu khawatir.”
“Tapi,
aku tidak nafsu makan.” keluh Ayah lirih. Disusul dengan batuk-batuk.
“Walaupun
tidak nafsu makan, Ayah juga harus makan,” kata Biru tiba-tiba masuk ke dalam
kamar Ayah dan Bunda. Semuanya langsung menoleh ke arahnya, membuat Biru
nyengir. “Tadi aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Maaf kalau kalian
kaget.”
“Tak
apa-apa, Bi. Kau baru pulang?” tanya Bunda.
“Ya.
Aku ke rumah temanku sebentar, makanya Cakka kusuruh pulang duluan untuk
menjaga Ayah,” kata Biru sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Ayah. “Bagaimana
keadaan Ayah? Sudah lebih baik?”
Ayah
tersenyum, ia mengangguk pelan. “Kalian tak perlu repot-repot menjaga Ayah.
Jalani saja aktivitas kalian seperti biasa, Ayah bisa menjaga diri Ayah
sendiri.”
Cakka
dan Biru langsung reflek menggelengkan kepala mereka sambil mengerutkan dahi
mereka, tanda bahwa mereka tak setuju. Biru langsung angkat bicara, “Ayah,
selama ini kami berdua telah banyak melawan Ayah. Biarkanlah kami merawat Ayah
sekarang, sebagai tanda penebusan kesalahan kami di masa lalu. Kami ingin
menjadi anak yang berbakti kepada orang tua kita. Betul bukan, Cakka?”
Cakka
mengangguk-angguk cepat. “Ya!”
“Tapi...”
“Sudahlah,
Yah, kami hanya ingin menjadi anak-anak yang baik. Untuk kali ini saja, Ayah
izinkan kami untuk merawat Ayah setiap hari ya?” kata Biru sambil mengatup
kedua tangannya di depan wajah dan memasang wajah memelas.
Ayah
menghela nafasnya. Sebenarnya ia benar-benar tak ingin anak-anaknya terganggu
karena penyakitnya ini. Namun, kalau mereka sudah memohon-mohon seperti itu, ia
juga tak tega menolaknya. Akhirnya, ia tersenyum menatap mereka dan setuju.
“Baiklah.”
Biru
dan Cakka bersorak senang karena Ayah akhirnya mengizinkan mereka merawatnya
selama ia sakit. Bunda juga tersenyum melihat anak-anaknya sekarang telah akrab
dengan suaminya. Keluarga mereka yang tadinya bermasalah sudah mulai menjadi
keluarga bahagia yang ia harapkan. Ia senang sekali mengetahuinya. Namun, ia
juga tahu, bahwa tak akan ada yang lebih bahagia selain Cakka karena ia bisa
dekat dengan Ayah sekarang.
Namun,
masalah belum selesai bagi Cakka. Di samping masalah keluarganya,
teman-temannya justru semakin lama semakin menjauh. Mereka sudah hampir tak
pernah mengajaknya berbicara. Bahkan Ray yang sehari-hari duduk di sampingnya
juga mengunci mulutnya walaupun ia ajak berbicara. Entah apa lagi yang terjadi
dengan mereka sehingga membuat persahabatan mereka renggang seperti ini.
Padahal, sebentar lagi turnamen Se-Jakarta akan tiba.
“Huh...”
Cakka menghela nafasnya ketika istirahat tiba. Berbeda dengan hari-hari
sebelumnya, ia hanya makan sendirian di kelas. Tak ada satupun orang yang
mengajaknya ke kantin bersama. Makanan yang ia bawa dari rumah menjadi terasa
hambar tanpa kehadiran mereka berempat. Tapi, mereka juga tak berbicara apa-apa
jika Cakka bertanya mengapa mereka menjadi tertutup dengannya.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p