Rabu, 12 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 23


Setelah ekskul basket selesai, Cakka langsung buru-buru pulang tanpa menunggu teman-temannya. Masih ingat dengan janji Ayah kepada Cakka, bukan? Karena itu, dia tak ingin membuat Ayah menunggu terlalu lama. Apalagi dia harus mandi dan bersiap-siap terlebih dahulu sebelum pergi. Tak mungkin ia pergi ke rumah orang lain dengan badan bau tak sedap. Entah teman-teman Cakka akan mengerti atau tidak tanpa harus Cakka beritahu soal ini. Tadi dia tak sempat memberitahu mereka.

“Cakka, kau sudah pulang!” kata Bunda begitu melihat anak bungsunya berlari menuju kamarnya. Karena gerak-geriknya begitu terburu-buru, ia langsung berjalan mengikutinya. Ia menggelengkan kepalanya melihat Cakka cepat-cepat membongkar lemari bajunya, mengambil handuk dan segala alat untuk mandi. “Kenapa kau buru-buru?”
Cakka menoleh. Ia menggaruk-garuk tengkuknya sambil tersenyum malu melihat keberadaan Bunda. “Maaf, Bunda. Ayah ingin mengajakku ke rumah seseorang. Aku harus cepat-cepat mandi.”
“Begitu? Kalau begitu mandilah pelan-pelan. Setelah selesai kau bisa makan malam terlebih dahulu. Ayah belum tiba.” kata Bunda sambil tersenyum.
“Oh.” kata Cakka sambil mengangguk mengerti. Kemudian, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan pelan. Tak lama setelah itu sudah terdengar air shower yang sangat deras. Bunda hanya menggelengkan kepala mendengarnya. Ia langsung kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.
Selang beberapa menit, Cakka sudah keluar dari kamar mandi dengan baju putih yang dimasukkan ke dalam celana jeans panjang. Ia segera menghampiri cerminnya sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Setelah cukup kering, ia segera menatanya dengan hair gel sambil menunggu Ayah.
Tapi, rencana ternyata tidak berjalan begitu lancar. Begitu Ayah pulang, Ayah tidak terlihat baik. Wajahnya berantakan dan terlihat sedikit pucat seperti orang yang tidak enak badan. Cakka, Biru, Elang dan Bunda yang mengetahui hal tersebut justru khawatir Ayah akan kelelahan jika ia harus pergi lagi. Namun, Ayah tetap saja ingin pergi dengan Cakka.
“Tapi, aku tidak ingin Ayah sakit.” kata Cakka dengan wajah cemas.
“Tidak apa-apa, Kka. Kita tidak akan lama di sana. Setelah pulang nanti, Ayah akan langsung tidur, oke? Tunggu Ayah mandi sebentar, kita akan segera pergi.” kata Ayah sambil tersenyum.
Cakka mengangguk.
Sementara itu, di lain tempat, Alvin, Gabriel dan Rio sedang berkumpul. Ray tidak bisa ikut karena ada kegiatan lain. Dan itu membuat suasana kamar Gabriel dan Rio kali ini benar-benar sepi. Gabriel yang duduk di kursi meja belajarnya hanya menopang dagunya dengan kedua lengan tangannya di atas kepala kursi. Rio juga menutup mulutnya di atas tempat tidur sambil bersandar di jendela kamarnya. Dan Alvin juga hanya tiduran di tempat tidur yang sama.
“Guys...,” kata Alvin sambil bangkit dari tidurnya, membuat Gabriel dan Rio menoleh ke arahnya. “Kalian berdua pasti memikirkan kata-kata BD tadi. Aku benar, kan?”
Gabriel hanya menghela napasnya. “Terus terang, aku bukan ingin mencurigai Cakka, tapi di latihan ekskul basket hari ini dia memang terlihat berbeda dari biasanya. Dia lebih terlihat ambisius dan tak banyak bicara dengan kita. Ditambah dengan sikap buru-burunya tadi.”
“Kau percaya dengan apa yang dikatakan BD?” tanya Alvin lagi kepadanya.
“Tentu saja tidak, Vin. Kita lebih mengenalnya daripada anak baru itu. Tapi, kita juga tidak bisa mengelak ucapannya soal sikap Cakka yang katanya tidak sepolos dan sealim yang kita kira.”
“Tapi, dia sudah berteman dengan kita sejak dia masuk sekolah kita. Kita juga sudah mengetahui bagaimana dia di rumah dan kenal dengan keluarganya. Aku rasa itu sudah menjadi bukti bahwa Cakka tidak seperti apa yang BD pikirkan,” kata Rio. “Atau kau sudah mulai tidak percaya kepadanya, Yel?”
“Tidak, bukan seperti itu, Yo,” kata Gabriel sambil menggeleng cepat. “Ah, entahlah. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Yang pasti dia terasa sedikit berbeda hari ini.”
“Sudahlah, lebih baik kita bicarakan dengan orangnya langsung besok,” kata Alvin. “Yang terpenting adalah bagaimana caranya kalian untuk mempertahankan persahabatan ini. Kalian kan tahu kalau kita semua sudah berjanji bahwa kita akan selalu bersama apapun yang terjadi, kan? Cakka tidak akan lupa dengan janji itu.”
Gabriel dan Rio mengangguk.

J L J

Cakka diam saja ketika melihat seseorang membuka pintu rumah teman Ayah. Setelah dipersilahkan masuk, Cakka dan Ayah mengikuti orang tersebut ke dalam rumah. Orang itu adalah seorang laki-laki yang berambut cepak dan berwajah ramah. Mungkin sebaya dengan Ayah. Cakka menjadi semakin penasaran, sebenarnya apa yang membuat Ayah ngotot untuk membawa Cakka ke sini. Kenapa Ayah ingin sekali Cakka bertemu dengan temannya?
“Maaf ya, aku tidak tahu kau ingin datang. Keluargaku sedang pergi semua. Padahal, mereka pasti senang bertemu denganmu lagi.” kata orang itu ketika mereka sudah duduk di sofa yang ada di ruang keluarga.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya sebentar di sini. Hanya ingin memperkenalkan anak bungsuku, Cakka.” kata Ayah sambil menepuk pundak Cakka.
“Oh, ternyata ini anakmu? Pantas mirip,” katanya sambil tersenyum kepada Cakka. “Hai. Saya teman Ayahmu. Namaku Chris. Senang bertemu denganmu.”
Cakka tersenyum balik dan menganggukkan kepalanya sopan.
“Cakka, Chris adalah teman Ayah dari kecil. Kita berdua sudah bersahabat sejak SD. Walaupun sempat terpisah karena berbeda universitas, tapi kita tetap menjaga komunikasi. Jadi, Ayah harap kau bisa akrab dengannya, ya?” kata Ayah sambil tersenyum.
Cakka mengangguk. “Baik, Ayah.”
“Kau bisa datang pada Om kapan saja, Cakka. Kalau kau memiliki kesulitan, Om pasti akan membantu jika kau memerlukannya,” kata Chris tersenyum. “Oh ya, sampai lupa, kalian ingin minum apa? Akan kusiapkan untuk kalian.”
“Ah, tak perlu repot-repot.” kata Ayah tak enak hati.
“Tidak apa-apa, aku merasa tidak sopan kalau membiarkan kalian haus.”
“Aku tidak terlalu haus, Om. Untuk Ayah saja cukup. Kasihan Ayah pasti masih lelah setelah pulang kerja,” Akhirnya Cakka yang angkat suara, membuat Ayah menatap Cakka dengan raut wajah protes. Tapi, Cakka diam saja. Sementara Chris hanya tertawa.
“Anakmu baik sekali. Kalau begitu, biar aku ambilkan dulu.” kata Chris seraya pergi menuju ruang dapurnya, meninggalkan Ayah dan Cakka berdua saja di ruang keluarga.
“Harusnya kau tak perlu berkata seperti itu.” kata Ayah tersenyum masam.
“Aku hanya ingin Ayah sehat.”
Ayah diam mendengarnya. Ia menghela nafas sejenak, kemudian mengatup kedua tangannya. Keheningan terjadi beberapa saat karena Cakka juga diam saja menunggu Chris kembali. Namun, tak lama kemudian, Ayah memecah keheningan tersebut dengan suara pelannya. “Kka, Ayah membawamu untuk bertemu dengan Chris, bukan tanpa alasan.”
“Hm?” Cakka menoleh ke arah Ayah.
“Ayah tidak tahu kenapa, kau itu sangat mirip dengan Chris. Kalian berdua memiliki ambisi yang besar dalam dunia basket. Kalian berdua sama-sama menemukan teman-teman yang baik dan juga kebahagiaan di sana,” kata Ayah. Ia memutar posisi duduknya menghadap Cakka. “Dulu, Chris juga kapten basket sepertimu. Dia sangat diandalkan dalam tim. Namun, sayangnya semenjak Chris berumur delapan belas tahun, ia terpaksa menyerah dari dunia basket karena kakinya yang cedera.”
Cakka terdiam sejenak. “Kenapa, Yah?”
“Waktu itu pertandingannya hampir mirip seperti pertandinganmu melawan Verrell waktu itu. Tim lawan bermain fisik hingga membuat kakinya keseleo dan lecet. Dan rasa sakit itu tidak sembuh begitu saja. Rasa sakit itu bisa kembali datang kapan saja jika dia bermain basket atau jatuh lagi. Makanya, dulu Ayah begitu keras padamu dan kakak-kakakmu.”
 “Oh. Begitu.” kata Cakka pelan. Ia menundukkan kepalanya.
Ayah mengangguk.
“Hei, sedang berbicara apa? Sepertinya seru. Silahkan diminum.” Tiba-tiba Chris datang dengan membawa dua gelas besar berisi air putih penuh. Kemudian, ia kembali duduk di hadapan Ayah dan Cakka.
“Oh, terima kasih, Chris. Aku hanya menceritakan hobi basketmu kepada Cakka. Anak bungsuku ini sangat suka bermain basket sepertimu. Dia dan kakak perempuannya akan mengikuti turnamen Se-Jakarta beberapa bulan lagi.” kata Ayah.
“Oh ya? Hebat sekali! Masa-masa waktu itu memang menyenangkan. Sayang sekali aku harus berhenti,” kata Chris. Ia menatap ke arah Cakka. “Hei, Cakka, Om beritahu ya, dalam bermain basket itu tujuannya berbeda dari olahraga yang lain.”
Cakka mengerutkan dahinya mendengar ucapan Chris.
Chris tersenyum. “Basket itu tak perlu hebat. Kau hanya perlu percaya dan bekerja sama. Kau tak akan bisa jadi pebasket hebat kalau kau tidak percaya maupun bekerja sama dengan seluruh anggota tim.”
Seketika kerutan dahi Cakka hilang, ia menatap Chris dalam diam. Meminta penjelasan lebih lanjut atas penuturannya tersebut. Tapi, Chris hanya tersenyum dan berkata, “Kau akan mengerti maksud Om, ketika kau ada di lapangan.”
Cakka menganggukkan kepalanya patuh. Semuanya diam, hingga tiba-tiba Ayah memegang kepalanya. Ia juga menutup matanya seperti orang sakit. Chris yang melihatnya langsung cemas. Cakka juga langsung bertanya khawatir, “Ayah kenapa? Sakit kepala?”
“Tidak, Ayah tidak apa-apa.” kata Ayah menyakinkan anaknya.
“Benarkah?” tanya Cakka sambil memegang dahi Ayah. Ia terkejut ketika merasakan sebuah hawa yang cukup panas di sana. “Astaga, Ayah demam! Om, kalau begitu, aku dan Ayah permisi dulu! Ayah sedang tidak enak badan!”
“Tunggu, Kka. Biar Om ambilkan obat demam dulu, supaya Ayahmu bisa menyetir sampai ke rumah. Kalau tidak, bisa berbahaya!” kata Chris panik. Ia langsung pergi meninggalkan mereka lagi untuk mencari obat. Cakka yang cemas langsung mengambil air putih yang telah tersedia di meja untuk Ayah minum.
“Sudah lebih baik?” tanya Cakka.
Ayah mengangguk pelan.
“Ini, makanlah dulu obatnya. Seharusnya kau tak perlu datang kemari jika kau sedang sakit. Aku jadi merasa tak enak membuatmu sakit seperti ini.” kata Chris merasa bersalah. Ia menyodorkan sebuah obat kapsul.
Cakka segera mengambil gelas air miliknya dan mengambil obat tersebut untuk diberikan kepada Ayah. Setelah itu, Cakka dan Chris membiarkan Ayah beristirahat di sana. Mereka berdua pergi ke balkon. Terpaksa Cakka menunda kepulangannya sebentar agar demam Ayah tidak bertambah parah.
Cakka berdiri di belakang Chris yang duduk di balkon sambil melihat ke arah langit malam. Lagi-lagi keheningan menguasai mereka. Tak ada satupun yang membuka mulut untuk sekedar memberikan suasana seru. Yang terdengar hanya helaan nafas masing-masing, juga angin yang berhembus pelan menari-narikan baju mereka. Cakka sampai memeluk tubuhnya.
Chris tersenyum menatap Cakka. “Kau kedinginan?”
Cakka menoleh. Ia nyengir sejenak. “Tidak apa-apa, Om.”
Chris mengangguk mengerti. “Baguslah kalau begitu.”
Cakka tersenyum.
Chris menghela nafasnya. Ia tersenyum menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. “Melihatmu dan Ayahmu datang kemari, Om jadi ingat masa-masa sekolah dulu.”
“Hm?”
“Om memiliki banyak teman dari basket. Bahkan Om bisa mendapatkan banyak pelajaran dari mereka. Juga dari pertandingan-pertandingan basket yang kita ikuti,” kata Chris. “Waktu itu, kita berjuang mati-matian agar bisa sampai ke turnamen besar. Cita-cita kita adalah bermain sampai ke luar negeri.”
“Tapi, Om yang ceroboh. Kalau saja waktu itu, Om berhati-hati, kaki Om tidak akan cedera jangka panjang. Om terpukul waktu diberitahu kalau Om tidak boleh melanjutkan DBL. Waktu itu, Om nekat tetap bertanding. Tapi, akhirnya kaki Om malah makin sakit. Akhirnya, kaki Om selalu sakit kalau diajak latihan. Teman-teman Om mungkin masih berkarir menjadi pebasket sekarang. Sesuai impian mereka.”
“Bagaimana dengan Om?”
Chris tertawa kecil. “Om jelas tak bisa lagi menjadi pebasket. Latihan saja sakit. Apalagi bertanding. Om hanya bisa duduk di kantor menatap layar komputer.”
“Om tidak sedih menjalaninya?”
“Kenapa harus sedih? Kadang-kadang kita memang harus bisa melepaskan keinginan kita. Yang terpenting sekarang, kami semua masih tetap bersahabat. Kadang-kadang kalau mereka sedang tidak sibuk, mereka sering mengunjungi Om.”
Cakka diam mendengarnya.

J L J

"Cakka! Alvin! Gabriel! Rio! Ray! BD! Dan yang lainnya! Istirahat!" seru Pak Jo di lapangan, menyuruh para anggota ekskul basket yang terpilih menjadi perwakilan dalam turnamen Se-Jakarta. Ya, mereka berhasil menjadi salah satu dari tiga puluh anak yang terpilih mewakili sekolah. Tentu saja dengan berita gembira tersebut, mereka menjadi sangat semangat dalam latihan. Tadi mereka baru saja melakukan pertandingan bergiliran. Namun, dengan tim andalan mereka, CRAG Team yang beranggotakan Cakka dan teman-temannya. Beserta BD sebagai cadangan karena kemampuannya yang begitu menyakinkan.
“Hei, nanti kita jadi berkumpul, kan?” tanya Ray setelah meneguk air mineralnya.
“Ya, tentu saja jika semuanya lancar,” kata Alvin. Ia menoleh ke arah Cakka yang sedang sibuk membersihkan peluh yang banjir di wajahnya. “Hei, Kka, setelah pulang nanti, kita ingin berkumpul di rumahku. Ada yang perlu kita bicarakan. Kau bisa ikut, bukan?”
Cakka diam saja mendengarnya. Ia menaruh handuknya ke dalam tas kembali dan menatap ke arah teman-temannya. “Maaf, teman-teman. Sore ini aku buru-buru. Ada urusan penting.”
“Rasanya belakangan ini kau sering sekali buru-buru, Chase Karayne. Sebenarnya ada apa denganmu?” tanya Gabriel heran. “Apa kau sedang mengalami masalah? Ceritalah pada kami.”
“Ya. Bahkan dalam pertandingan kau juga aneh. Sebenarnya ada apa?” tanya Rio ikut-ikutan bertanya.
Cakka hanya tersenyum mendengar pertanyaan mereka. Ia menggelengkan kepalanya, kemudian langsung beranjak dari kursinya. Ia pergi menuju lapangan dan latihan mendribel bola sendirian. Sesekali ia juga melempar bolanya ke arah ring. Gabriel, Rio, Ray dan Alvin sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabat mereka itu.
Tiba-tiba, BD bersuara. “Kalian lihat sendiri bukan? Bahkan dia tidak ingin berkumpul dengan kalian lagi. Apa kalian masih mau mengelak kalau Cakka itu memang tidak perduli kepada kalian?”
Tak ada yang menyahut ucapan BD tersebut. Mereka berusaha membuang jauh-jauh pikiran mereka yang tidak-tidak dan kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing sebelum istirahat mereka selesai. BD hanya mendengus melihat respon mereka dan tersenyum misterius berjalan melewati mereka.

J L J

Seperti kebiasaannya belakangan ini, Cakka langsung cepat-cepat meninggalkan lapangan setelah latihan usai. Gabriel, Rio, Ray dan Alvin yang tadinya berencana untuk mengajak Cakka sekali lagi langsung hancur sudah ketika laki-laki itu berlari meninggalkan lapangan tanpa pamit pada mereka. Mereka hanya bisa menatap punggung Cakka yang semakin menjauh dengan perasaan campur aduk. Mereka tak mengerti mereka harus sedih, prihatin atau justru marah kepada kapten basket mereka itu. Cakka yang dulu mereka kenal sebagai anak yang polos dan bersemangat dalam tim basket mereka justru cenderung tertutup dan menghindar dari mereka.
“Hei, untuk apa kalian diam di sana? Ini sudah sore. Kalian tak ingin pulang?” tanya Pak Jo yang sudah siap-siap meninggalkan lapangan membuyarkan lamunan mereka.
“Maaf, Pak. Kami akan segera pulang.” Ray angkat suara.
“BD, kau juga harus pulang. Istirahatlah agar kau dapat mempertahankan stamina dan konsentrasimu di bidang basket.” kata Pak Jo lagi.
“Baik, Pak!” kata BD sambil mengangguk. Lalu, ia berjalan menuju Gabriel, Rio, Ray dan Alvin. “Ayo guys, kita pulang saja. Kalian tak perlu mengkhawatirkan kapten basket kalian itu.”
Lagi-lagi tak ada yang menyahut ucapan BD. Mereka langsung segera meninggalkan lapangan. Namun, BD tak langsung pulang seperti yang lainnya. Ia justru masuk kembali ke dalam gedung untuk menemui seseorang. Dan jelas tidak ada orang yang tahu tentang pertemuan mereka tersebut.
“Ternyata kau datang juga.” kata BD ketika ia sudah sampai di tempat paling atas. Lantai lima. Ia tersenyum sinis ketika mendapati seorang laki-laki tengah duduk di tanah sambil melihat ke arah langit sembari menunggunya.
Laki-laki itu menoleh dan segera berdiri. Ia tersenyum manis melihat BD.
“Oke, langsung saja. Aku tidak ingin berlama-lama dekat denganmu. Yang harus kau tahu. Aku tak suka kau terpilih untuk mewakili sekolah. Kemampuan kau itu tidak pantas berada di turnamen besar!” kata BD sambil menunjuk-nunjuk laki-laki tersebut. Wajahnya memancarkan kekesalan yang dalam.
“Kenapa?” tanya laki-laki itu polos.
“Ah, kau tak perlu tahu! Yang pasti mulai saat ini jangan harap aku ingin bekerja sama denganmu, Chase Karayne. Akan aku pastikan tak ada yang akan mendukungmu setelah ini! Kau itu hanya membawa masalah bagi keluargaku, tahu!” kata BD sebal. Kemudian, ia langsung meninggalkan laki-laki tersebut di sana sendirian.
Laki-laki tersebut yang tak lain adalah Cakka hanya mengerutkan dahinya mendengar ucapan BD. Tak mengerti maksudnya. Ia bahkan baru mengenal BD saat dia baru masuk ke sekolah ini. Namun, ia mengatakan hal itu seolah-olah Cakka sudah pernah membuatnya kecewa. Apa maksudnya dengan ia telah membawa masalah kepada keluarganya? Siapa yang dia maksud?

J L J

“Minum dulu, Yah.”
Ayah tersenyum dan berusaha mengangkat kepalanya agar dapat minum dari segelas air yang dipegang oleh Cakka. Kondisinya masih belum pulih juga hari ini hingga ia tak bisa masuk kerja. Suhu badannya masih di atas normal. Dan ini yang membuat Cakka khawatir seharian. Ayah tak pernah sampai seperti ini walaupun pekerjaan menyita banyak waktunya.
“Cakka, Bunda bawakan bubur untuk Ayah.” Tiba-tiba Bunda muncul dari balik pintu sambil membawakan semangkuk bubur panas. Ia meletakkan mangkuk tersebut di atas meja yang ada di sebelah tempat tidur.
Cakka mengangguk sambil tersenyum.
“Makanlah sedikit agar kau bisa cepat pulih, sayang,” kata Bunda ikut duduk di samping Cakka agar dapat menjaga suaminya. “Kalau tidak, nanti kau akan membuat anak-anakmu khawatir.”
“Tapi, aku tidak nafsu makan.” keluh Ayah lirih. Disusul dengan batuk-batuk.
“Walaupun tidak nafsu makan, Ayah juga harus makan,” kata Biru tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ayah dan Bunda. Semuanya langsung menoleh ke arahnya, membuat Biru nyengir. “Tadi aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Maaf kalau kalian kaget.”
“Tak apa-apa, Bi. Kau baru pulang?” tanya Bunda.
“Ya. Aku ke rumah temanku sebentar, makanya Cakka kusuruh pulang duluan untuk menjaga Ayah,” kata Biru sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Ayah. “Bagaimana keadaan Ayah? Sudah lebih baik?”
Ayah tersenyum, ia mengangguk pelan. “Kalian tak perlu repot-repot menjaga Ayah. Jalani saja aktivitas kalian seperti biasa, Ayah bisa menjaga diri Ayah sendiri.”
Cakka dan Biru langsung reflek menggelengkan kepala mereka sambil mengerutkan dahi mereka, tanda bahwa mereka tak setuju. Biru langsung angkat bicara, “Ayah, selama ini kami berdua telah banyak melawan Ayah. Biarkanlah kami merawat Ayah sekarang, sebagai tanda penebusan kesalahan kami di masa lalu. Kami ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua kita. Betul bukan, Cakka?”
Cakka mengangguk-angguk cepat. “Ya!”
“Tapi...”
“Sudahlah, Yah, kami hanya ingin menjadi anak-anak yang baik. Untuk kali ini saja, Ayah izinkan kami untuk merawat Ayah setiap hari ya?” kata Biru sambil mengatup kedua tangannya di depan wajah dan memasang wajah memelas.
Ayah menghela nafasnya. Sebenarnya ia benar-benar tak ingin anak-anaknya terganggu karena penyakitnya ini. Namun, kalau mereka sudah memohon-mohon seperti itu, ia juga tak tega menolaknya. Akhirnya, ia tersenyum menatap mereka dan setuju. “Baiklah.”
Biru dan Cakka bersorak senang karena Ayah akhirnya mengizinkan mereka merawatnya selama ia sakit. Bunda juga tersenyum melihat anak-anaknya sekarang telah akrab dengan suaminya. Keluarga mereka yang tadinya bermasalah sudah mulai menjadi keluarga bahagia yang ia harapkan. Ia senang sekali mengetahuinya. Namun, ia juga tahu, bahwa tak akan ada yang lebih bahagia selain Cakka karena ia bisa dekat dengan Ayah sekarang.
Namun, masalah belum selesai bagi Cakka. Di samping masalah keluarganya, teman-temannya justru semakin lama semakin menjauh. Mereka sudah hampir tak pernah mengajaknya berbicara. Bahkan Ray yang sehari-hari duduk di sampingnya juga mengunci mulutnya walaupun ia ajak berbicara. Entah apa lagi yang terjadi dengan mereka sehingga membuat persahabatan mereka renggang seperti ini. Padahal, sebentar lagi turnamen Se-Jakarta akan tiba.
“Huh...” Cakka menghela nafasnya ketika istirahat tiba. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ia hanya makan sendirian di kelas. Tak ada satupun orang yang mengajaknya ke kantin bersama. Makanan yang ia bawa dari rumah menjadi terasa hambar tanpa kehadiran mereka berempat. Tapi, mereka juga tak berbicara apa-apa jika Cakka bertanya mengapa mereka menjadi tertutup dengannya.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p