Selasa, 11 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 22


Hari pertama semester genap!
Tentu saja Cakka semangat untuk bangun pagi-pagi dan bersiap-siap ke sekolah. Ia mandi sekitar jam lima pagi, kemudian membuat sarapannya sendiri dengan roti dan telur. Biru, Elang, Ayah dan Bunda sampai kaget melihat Cakka sudah melahap sarapannya ketika mereka semua baru bangun tidur. Bukan hanya karena ingin cepat-cepat bertemu dengan teman-temannya lagi, namun juga karena ia ingin segera menjadi pelajar kembali. Rasanya sudah lama sekali ia memegang buku pelajaran. Dan itu membuat tangannya ‘gatal’.

Elang melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya bersuara. “Hei, jam berapa kau tidur tadi malam? Ini baru jam setengah enam dan kau sudah selesai sarapan?”
Cakka nyengir melihat anggota keluarganya. “Aku hanya bersemangat, Kak!”
“Dasar pelajar teladan,” kata Biru sambil menggelengkan kepalanya. “Kau tahu, Yah, Cakka itu sangat suka membolak-balikkan buku pelajarannya. Belajar sekeras apapun tak membuatnya kapok untuk belajar setiap malam. Benar-benar otak mati rasa. Kalau aku yang berbuat begitu, mungkin otakku sudah meledak!”
“Harusnya kau mencontoh adikmu, Biru.” kata Ayah sambil tertawa.
“Sudah, sudah. Ayo kita makan. Lihat, Cakka sudah membuatkan kita roti isi telur di atas meja. Sayang kalau tidak dimakan!” kata Elang langsung mengambil satu di antara tumpukan roti yang ada di piring. Piring tersebut terletak di dekat Cakka.
“Jorok! Kau seharusnya mandi dulu di atas, Kak.” kata Biru sambil menggelengan kepalanya. “Ah, sudahlah, aku ingin mandi supaya wangi. Bunda dan Ayah tak ingin ke atas juga?”
“Ya, tentu saja, Biru. Ayah tidak ingin bekerja dengan badan bau amis.” kata Ayah.
Semuanya naik ke atas kembali meninggalkan Elang dan Cakka di ruang makan. Elang duduk di sebelah adiknya sambil terus melahap roti-roti yang tak henti-hentinya menggiur nafsu makannya. Walaupun hanya bisa menggoreng telur mata sapi, adiknya itu sudah termasuk hebat bisa membuat sarapan yang enak. “Kka, aku tak akan pernah puas dengan roti-roti buatanmu ini. Bukan main lezatnya.”
Cakka tersenyum.
“Oh ya, kudengar kau dan Biru akan mengikuti turnamen Se-Jakarta?” tanya Elang lagi. “Alangkah asyiknya kalau bisa menonton turnamen besar seperti itu lagi. Sudah lama rasanya tidak mendengar keramaian stadion. Karena larangan Ayah dulu, aku benar-benar tak pernah bergaul dengan dunia basket lagi selain menonton pertandinganmu.”
Cakka tetap bergeming menatap kakaknya.
“Hei, kapan-kapan kau ajak aku ke lapangan, oke? Walaupun mendalami musik, aku juga perlu olahraga,” kata Elang. “Aku bisa mengajari kalian beberapa teknik untuk persiapan turnamen. Bagaimana?”
Cakka mengangguk. “Terima kasih, Kak.”

J L J

“Hei! Cakka! Kak Biru! Tunggu aku!”
Ray berlari dengan secepat kilat ketika melihat sahabatnya itu sudah ada di antara para murid yang berjalan masuk menuju gerbang sekolah. Cakka hanya tersenyum melihatnya ngos-ngosan. Biru juga nyengir. Lagaknya sama persis seperti habis dikejar-kejar anjing. Padahal, tadi Ray berjalan tak terlalu jauh darinya.
“Kalian cepat sekali! Padahal, kupikir aku akan membuat rekor murid pertama yang datang di antara kita berlima!” kata Ray sambil tertawa.
“Ya, kaptenmu ini sedang bersemangat untuk belajar lagi, Ray. Kau tak tahu tadi pagi dia sudah selesai sarapan jam lima pagi. Padahal, kita semua baru bangun. Alhasil, semuanya berangkat lebih awal.” kata Biru.
“Semuanya? Kak Elang juga sudah mulai kuliah?” tanya Ray.
“Oh, tidak. Dia baru mulai minggu depan. Tapi, katanya dia ingin berkumpul dengan teman-temannya untuk mengerjakan tugas bersama. Jadi, setelah mengantar kami, dia langsung pergi ke kampus.”
Ray manggut-manggut mengerti. Ia menoleh ke arah Cakka. “Hei, Cakka, karena jam masuk masih lama, bagaimana kalau kita sparring sebentar di lapangan? Aku sudah tak sabar ingin bermain lagi!”
Cakka mengangguk. “Oke.”
“Bersenang-senanglah, aku akan langsung ke kelas untuk membaca buku biologi. Guru kami sudah berpesan untuk belajar karena akan diadakan review materi. Persiapan ujian nasional.” kata Biru sambil masuk ke dalam gerbang sekolah.
“Baiklah, selamat berpusing ria, Kak!” kata Ray sambil tertawa.
“Selamat pagi, Pak, Bu!” kata Cakka ketika melihat beberapa guru di gerbang.
“Selamat pagi!” kata Biru dan Ray segera tersenyum kepada guru-guru. Di sana ada Ibu Inca, wali kelas Cakka dan Ray, Pak Duta, guru IPS kelas sembilan yang menghukum Alvin waktu dulu, Ibu Ira, guru musik tiga tingkat SMP dan juga Pak Jo, guru olahraga mereka tercinta.
“Cakka! Ray! Biru! Apa kabar? Sudah siap untuk bekerja keras lagi, bukan? Tadi Alvin juga sudah datang. Katanya kelas sembilan sedang banyak ujian!” kata Pak Jo menyalami mereka bertiga.
“Ya, Pak! Guru-guru kami sudah mulai banyak memberikan soal-soal untuk nilai harian sekaligus latihan ujian nasional. Benar-benar sibuk!” kata Biru. “Tapi, Pak Jo tak perlu khawatir, kami tidak akan vakum dari basket karena ujian!”
“Ah, Bapak sama sekali tidak khawatir, Bi.” kata Pak Jo.
“Kalau begitu, kami pergi ke kelas terlebih dahulu, Pak!” kata Ray tersenyum.
Pak Jo mengangguk-angguk mengerti.
“Kalau begitu, aku duluan ya, Cakka, Ray. Kalian belajarlah dengan rajin! Cakka, kalau kau butuh sesuatu, kau bisa mengunjungiku di kelas!” kata Biru sambil mengacak rambut adiknya sejenak. Cakka hanya tertawa mendengarnya. Sementara Ray melambaikan tangannya kepada kakak kelasnya itu.
Cakka dan Ray segera pergi ke kelas untuk menaruh tas mereka. Setelah selesai, mereka langsung meminjam bola basket sekolah untuk melakukan sparring. Itu adalah istilah yang digunakan para pebasket sebagai latihan bertanding. Tidak hanya CRAG Team, anak-anak ekskul basket yang lain juga pasti sering melakukannya. Latihan ini sangat berguna untuk persiapan mental dan meningkatkan skill.
Latihan dimulai dengan lemparan bebas untuk Cakka dan Ray masing-masing lima kali. Setelah itu, mereka juga bergantian mendribel bola mengitari lapangan dan diakhiri dengan lay-up. Setelah itu, barulah mereka memulai pertandingan satu lawan satu. Mereka menargetkan pertandingan berakhir hingga di antara mereka ada yang mencetak kurang lebih dua puluh satu angka. Pertandingan berlangsung seru walaupun hanya berdua. Beberapa kali Ray melakukan steal, tapi tetap saja dia susah untuk unggul.
“HUP!” Cakka merebut bola dari tangan Ray dan langsung melompat dan melakukan tembakan dari jarak jauh.
MASUK! 15-9 untuk keunggulan Cakka.
Ray langsung bertepuk tangan sambil mengejar bola. “Kemampuanmu memang tak akan pernah diragukan, Kka. Bahkan kau selalu mulus mendapatkan tembakan three point.
“Hei! Kami boleh ikut?” tiba-tiba Gabriel dan Rio muncul dari pinggir lapangan.
“Hei, Gabriel, Rio! Apa kabar, guys? Ternyata kalian sudah datang juga!” tanya Ray sambil menyalami mereka. Cakka juga ikut melakukan hal yang sama.
“Ya, kami baru saja sampai dan tak sengaja melihat kalian sedang bertanding. Tentu saja kami tidak mau kalah dengan kalian,” kata Gabriel sambil tertawa. “Lagipula, lumayan untuk pemanasan sebelum latihan di ekskul nanti.”
“Ayolah kalau begitu!” kata Ray memberikan bola basket kepada Gabriel.
“Omong-omong, kalian tak mengajak Alvin atau tim putri?” tanya Gabriel sambil mendribel bola pelan-pelan dan melempar bola tersebut ke ring. Tidak masuk! Ia langsung mengejar bola yang mental dari ring tersebut.
“Guru-guru kelas sembilan katanya memberikan soal-soal secara rutin mulai sekarang. Kau kan tahu mereka akan ujian bulan April nanti. Mungkin mulai hari ini mereka akan lebih banyak waktu untuk belajar daripada bermain basket.”
“Oh ya, benar juga. Sebentar lagi mereka akan kelulusan,” kata Rio. “Ya sudah, ayo kita bermain. Yel, berikan bolanya padaku. Ayo kita lemparan bebas dan dribel dulu sebelum latihan tanding!”
“Hei, tunggu, kami juga mau!” kata Ray segera menyusul Rio dan meminta bola.
“Ah, kalian kan sudah!” Rio menjauhkan bola dari Ray dan segera berlari sambil mendribel bola tersebut.
“Ah, Rio! Aku juga mau! Hei, Cakka, bantu aku!”
Cakka tertawa dan segera berlari menyusul teman-temannya ke tengah lapangan.

J L J

KRIIIIIING...!!
Semua para murid langsung duduk di tempat masing-masing begitu bel masuk berbunyi. Begitupun dengan Cakka dan Ray. Perlu sekitar sepuluh menit untuk menunggu semua teman-temannya berkumpul, hingga akhirnya wali kelas mereka, Ibu Inca, masuk ke dalam kelas. Guru mereka yang berkacamata tersebut menaruh buku-bukunya di atas meja guru dan memulai pelajaran.
“Selamat pagi, anak-anak,” kata Ibu Inca sambil mengatup kedua tangannya. “Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, Ibu ingin berkata kepada kalian bahwa kalian harus bekerja lebih keras karena sekarang sudah semester dua. Nilai-nilai yang akan kalian perjuangkan selama beberapa bulan ke depan, akan menentukan kalian naik kelas atau tidak. Jadi, belajarlah lebih rajin. Jangan terlalu banyak bermain. Mengerti?”
“Mengerti, Bu!” seru semua murid kompak.
“Nah, sekarang Ibu akan memperkenalkan seseorang yang akan bergabung di kelas kalian. Dia adalah murid pindahan dari Bali. Semoga kalian senang dengan kehadirannya ya,” kata Ibu Inca. Ia menoleh ke arah pintu kelas. “Kau boleh masuk sekarang, Nak!”
Setelah berkata begitu, perlahan-lahan seorang laki-laki berjalan masuk ke dalam kelas dalam diam. Rambut hitam kecokelatannya cepak seperti Ray, poninya disisir ke atas. Kedua mata sayunya sipit, hidungnya mancung dan kulitnya putih. Tas birunya tersampir di sebelah pundaknya. Namun, yang mencolok di dalam dirinya adalah bajunya yang berantakan dan wajahnya yang datar.
“Nah, anak-anak, ini adalah Bryan Dalton. Dia akan bergabung bersama kita mulai hari ini. Mohon kalian bantu dia agar dia betah sekolah di sini ya!” kata Ibu Inca berdiri di samping anak baru tersebut. Ia menoleh ke arahnya. “Nak, ayo perkenalkan dirimu kepada teman-teman barumu.”
“Baik, Bu,” katanya dingin. Ia menoleh ke arah teman-temannya satu per satu. Hingga akhirnya ia berhenti di satu orang. Dengan cara bicaranya yang kasar, ia bersuara. “Namaku Bryan Dalton. Kalian bisa memanggilku BD. Bi-di. Pindahan dari Bali. Dan... just for information, aku anak jenius. Jadi, jangan macam-macam padaku.”
Semuanya terdiam mendengar ucapannya. Bahkan Ibu Inca juga tidak menyangka BD akan berkata seperti itu. Untuk beberapa saat, hening menguasai kelas. Namun, Ibu Inca segera mencairkan suasana hening tersebut dengan bersuara, “Baiklah, BD, kau boleh duduk di tempatmu. Ada tempat kosong di ujung sana.”
“Baik, Bu.”
BD segera berjalan menuju tempat duduknya di belakang. Semua yang ada di sana menatapnya diam. Terutama Ray. Tak hanya saat perkenalan, sesekali ia melirik ke arah anak baru tersebut seiring berjalannya waktu. Ia memiliki firasat aneh terhadapnya. Bukan hanya karena perkenalan itu, tapi juga kedua matanya yang tampak tidak fokus pada papan tulis di depan.

J L J

Istirahat sudah tiba. Seperti biasanya, Cakka bersama teman-temannya hendak pergi ke kantin. Namun, waktu itu Cakka masih belum selesai menulis catatan yang ada di depan papan tulis. Tak ingin membuat Ray menunggu lama, ia meminta teman sebangkunya tersebut untuk pergi duluan ke kantin. Butuh sepuluh sampai lima belas menit untuk Cakka menyelesaikan catatannya. Setelah itu, barulah ia membereskan meja dan segera menyusul Ray dan yang lainnya ke kantin. Ia bahkan tak sadar bahwa seseorang sejak tadi tengah menatapnya.
Cakka cepat-cepat menuruni tangga dari lantai dua hingga lantai dasar. Selain karena sudah lapar, ia juga tak ingin teman-temannya merasa tidak nyaman dengan keterlambatannya. Namun, sebelum sempat ia masuk ke dalam area kantin, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Cakka berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Tampak seorang laki-laki tengah menatapnya dengan datar. Anak baru itu. Dan bukannya berbicara, dia hanya diam saja menatap Cakka. Entah apa maksudnya.
Cakka tersenyum kepadanya. “Ada apa?”
Ia tetap bergeming di tempatnya. Namun, beberapa saat kemudian, ia bersuara dengan nada suara yang sama datarnya dengan yang tadi. “Temui aku di lantai lima. Besok. Pulang sekolah.”
“Eh?” kata Cakka heran.
Namun, BD tampak tidak perduli. Ia berjalan pergi meninggalkan Cakka sendirian di depan pintu kantin. Cakka tidak mengerti apa yang dikatakannya barusan. Ucapannya begitu tidak jelas.
“Cakka?” tiba-tiba Ray dan Rio sudah ada di sampingnya.
“Kau kenapa?” tanya Rio heran. “Kau tidak lapar? Kenapa tidak masuk ke dalam? Kau menghalangi jalan masuk ke kantin kalau kau berdiri di sini.”
“Cepat, istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Yang lain juga sudah menunggumu dari tadi. Mereka ingin menemanimu makan dulu sebelum kembali ke kelas. Daripada kau makan sendirian.”
Cakka tersenyum melihat mereka. Ia menggelengkan kepalanya, kemudian cepat-cepat mengajak mereka kembali masuk ke dalam kantin untuk makan siang. Sampai istirahat selesai, Cakka tidak menyinggung-nyinggung soal apa yang dikatakan BD kepadanya tadi. Untungnya mereka berdua juga tidak mengungkit-ungkit soal lamunannya di depan pintu kantin tadi. Biarlah cukup dia dan Tuhan saja yang tahu. Daripada ini semua menjadi masalah lagi.

J L J

Latihan basket kali ini terasa berbeda dengan hadirnya anak baru itu sebagai salah satu anggota ekskul basket yang bisa dikatakan jago dalam hal kemampuan. Ya, anak berandalan yang bernama Bryan Dalton itu ternyata langsung bergabung dalam ekskul basket di hari pertamanya. Hampir semua anggota ekskul basket yang hadir saat itu terkesima dengan kelincahannya, tak terkecuali Cakka dan teman-temannya. Bahkan Pak Jo juga mengakui kehebatannya dalam bermain basket.
"Hebat juga kau." kata Pak Jo setelah BD menyelesaikan semua tes yang diberikan olehnya. Dari dribel bola, lay-up, dan kemampuannya dalam bertanding 1 on 1 melawan Gabriel barusan juga sangat baik.
BD hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Jo. Setelah BD menyelesaikan tesnya, ia terus dikerumuni banyak anak-anak basket yang mengaguminya. Mereka memuji kehebatan BD yang bahkan bisa menembak tiga angka dari jarak yang lumayan jauh. Tapi, BD tampak cuek-cuek saja dengan mereka. Bukannya sombong, tapi BD masuk ke dalam sekolah bukanlah untuk tebar pesona dengan mereka. Itu hanya buang-buang waktu untuknya.
“Kupikir kemampuan Cakka sudah yang paling hebat,” kata Ray. Gabriel yang ada di sebelahnya langsung menepuk bahu Ray lumayan kencang. Yang ditepuk langsung melotot. “Untuk apa kau melakukan itu?”
“Jangan bicara sembarangan!” bisik Gabriel. “Kau tak merasa jahat apa mengatakan itu? Cakka berdiri di sebelahmu! Kalau Cakka tersinggung kau mau tanggung jawab?”
Cakka tersenyum. “Tak apa-apa, Gabriel.”
“Kurasa dia memiliki kemungkinan besar untuk terpilih, ikut dalam turnamen besar itu. Dia pasti akan menjadi salah satu pesaing terberat kita berlima.” kata Rio.
“Setuju, aku benar-benar tak tahu darimana dia mendapatkan skill sehebat itu. Dan lagi, anak sehebat dia seharusnya sudah masuk turnamen internasional! Tapi, kenapa dia tak pernah kelihatan sebelumnya?” kata Gabriel.
“Mungkin dia tak ikut dalam kegiatan basket sebelumnya?” tebak Ray.
“Ah, tidak mungkin! Dia pasti mengasah terus kemampuannya itu. Kalau tidak, bagaimana bisa dia menjadi seperti itu?” tanya Alvin. “Ah, sudahlah. Daripada membicarakan dia, lebih baik kita latihan. Bukankah hari ini pemilihan wakil sekolah untuk turnamen tahun depan?”
Gabriel mengangguk. “Kau benar.”

J L J

Pertandingan pertama untuk menentukan siapa yang akan terpilih menjadi wakil sekolah dalam turnamen se-Jakarta adalah CRAG Team melawan tim Obiet. Namun, formasi kali ini CRAG Team dibuat berbeda menjadi CRAG Team minus Ray karena Pak Jo ingin melihat lebih dalam lagi kemampuan BD. Dengan persetujuan Ray, akhirnya dia digantikan BD untuk sementara. Hanya khusus pertandingan ini saja.
Sepuluh menit pertama pertandingan berlangsung seru. Semua anggota yang bertanding mengeluarkan seluruh tenaga mereka demi bisa mengikuti turnamen tersebut. Bahkan kesepakatan mereka untuk berhenti setelah salah satu tim mencapai tiga puluh angka sudah hampir terwujud. Dengan adanya BD di tim mereka, papan skor mereka lebih cepat naik. Kuarter pertama selesai dengan skor sementara 22-10 untuk keunggulan CRAG Team.
“Hei, kapten!” seru BD ketika sedang beristirahat. “Kerja bagus tadi!”
Cakka yang sedang meneguk air mineralnya langsung menoleh dan tersenyum. Ia mengacungkan jempolnya kepada BD. Kemudian menjawab ketika ia sudah selesai minum. “Kau yang pantas dipuji, Bid.”
BD tersenyum misterius. “Oh ya, aku memang pantas dipuji. Karena aku tetap bermain bersama tim. Tak seperti kau yang terlalu berambisi sendirian di lapangan.”
“Eh?” kata Cakka kaget, tak mengerti maksudnya.
“Hei, Cakka!” Tiba-tiba Pak Jo memanggil Cakka untuk menghampirinya.
Tanpa menghiraukan kata-kata BD tadi, ia langsung menyingkir dari tempatnya dan segera menghampiri Pak Jo. Setelah Cakka sudah lumayan jauh, Alvin langsung angkat bicara, “Hei, anak baru. Maksudmu apa mengatakan hal itu kepada Cakka? Kau merasa hebat?”
“Tentu tidak.” kata BD datar.
“Lalu, kenapa kau mengatakan seolah-olah Cakka tidak baik? Dia sudah berusaha bermain sebaik mungkin!” kata Gabriel ikut-ikut sebal.
“Kalau aku merasa hebat, aku tidak akan memberikan bolaku kepada kalian, bukan? Tapi, lihatlah Cakka. Di lapangan tadi dia selalu bermain sendiri. Begitu mendapatkan bola dia langsung membawa menuju ring sendiri tanpa melihat kita yang bisa membantunya.” kata BD.
“Itu karena dia memang sudah ada di dekat ring kita. Memangnya salah langsung menembak? Kau ini benar-benar aneh,” kata Rio. “Atau kau justru berencana untuk menyingkirkan dia sebagai kapten kita?”
“Itu bukan urusan kalian. Yang jelas, aku tahu kalau Cakka pasti melakukan itu untuk terpilih. Dan dia tak akan perduli kalian masuk atau tidak. Dia itu bermain maksimal hanya untuk menunjukkan bahwa dia lebih hebat dari kalian semua.” kata BD.
“Tahu apa kau soal Cakka? Kau anak baru, tak usah sok kenal dengan kapten kita!” kata Ray yang ikut mendengar. “Dia tak seperti yang kau pikirkan. Dia selalu bermain sebagai olahraga tim. Dia juga sangat perduli kepada kita.”
“Hah! Ternyata kalian mau saja ditipu anak seperti Cakka itu. Di depan kalian, dia memang baik. Tapi kalian tidak tahu bukan apa yang dilakukannya di belakang kalian? Mungkin saja dia benci bekerja sama dengan kalian. Buktinya dia hanya sekali-kali memberikan kalian bola bukan tadi? Padaku saja tidak sekalipun.”
“Bukti apa yang kau punya untuk fitnahan kau ini? Jangan asal bicara saja!” kata Gabriel. “Kalau kau mengatakan ini hanya karena pertandingan, kau benar-benar sok tahu. Karena Cakka tidak seperti itu!”
“Terserah saja apa kata kalian. Coba saja kalian minta bantuannya di luar jam latihan. Apa dia mau membantu kalian? Kurasa tidak akan! Saat di sekolah mungkin dia akan bersikap manis, tapi di luar itu? Jangan harap.” kata BD sambil tersenyum sinis. Kemudian, dia langsung pergi menuju lapangan karena peluit telah berbunyi keras, menandakan pertandingan akan segera dimulai lagi.
“Sudahlah, jangan dengarkan dia. Semangat!” kata Ray menyemangati.
“Ya, terima kasih, Ray.” kata Alvin sambil tersenyum. Kemudian, ia juga langsung kembali ke lapangan, diikuti oleh Gabriel dan Rio karena Cakka jug tidak kembali lagi ke tempat istirahat.
Kuarter selanjutnya adalah kuarter terakhir untuk menentukan lima orang pertama yang akan terpilih untuk ikut turnamen. Dan semuanya kembali mengeluarkan tenaga mereka secara maksimal.
“Cakka!” seru Alvin meminta bola ketika Cakka dihadang oleh lawan.
Cakka melirik ke arah Alvin sejenak yang ada di kirinya. Kemudian ia melirik ke arah kanan. Setelah itu, ia bukannya melakukan operan kepada anggota timnya, ia justru berkelit, mengecoh lawan sehingga ia bisa bebas dan segera melakukan tembakan tiga angka.
Masuk! Peluit segera berbunyi karena dengan masuknya tembakan tersebut, CRAG Team memenangkan pertandingan. Semuanya langsung melakukan high five satu sama lain untuk pertandingan yang sangat bagus. Tapi tidak dengan Alvin, Gabriel dan Rio. Mereka justru menatap Cakka yang dikerumuni banyak orang dari pinggir lapangan.
“Vin.” sahut Gabriel membuyarkan lamunannya.
Alvin menoleh ke arah Gabriel dan Rio dalam diam, kemudian menatap Cakka lagi. “Dia memang tidak mengoper padaku tadi, tapi aku yakin bukan karena ambisi pribadi alasannya.”
“Ya, kita tahu, Vin.” kata Rio.
“Kita tidak boleh percaya kepada BD begitu saja.” kata Gabriel.
“Lebih baik kita berkumpul besok untuk membicarakan hal ini.” Usul Alvin.
“Bagaimana kalau pulang sekolah?”
Alvin mengangguk. Kemudian, ia langsung mengajak keduanya untuk kembali ke pinggir lapangan karena anak-anak yang lain juga akan bertanding setelah ini. Tak lupa mereka juga mengajak Cakka juga untuk beristirahat. Dia juga pasti sangat lelah setelah pertandingan barusan.
Selama hampir satu jam mereka menyaksikan pertandingan anak-anak yang lain. Dan CRAG Team merupakan lima orang yang terdengar paling heboh di pinggir lapangan. Mereka benar-benar niat menyemangati pada anggota ekskul basket yang lain agar tetap melakukan yang terbaik. Anak-anak yang duduk di dekat mereka sampai menatap mereka sambil nyengir. Hingga akhirnya Pak Jo akan mengumumkan siapa-siapa saja yang akan mewakili sekolah.
“Baiklah! Setelah pertandingan-pertandingan yang sangat seru tadi, Bapak telah mendapatkan tiga puluh nama untuk ikut dalam turnamen se-Jakarta. Dan nama-nama itu adalah....”

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p