Selasa, 11 November 2014

Cerbung | Impian Bola Basket Part 20


Angka sudah menunjukkan jam enam sore. Sekolah SMPN 1 sudah sepi karena semuanya sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Hanya tertinggal Pak Jo, Biru, Elang, Cakka beserta teman-teman dari CRAG Team yang masih ada di depan gerbang sekolah. Sementara Ayah katanya akan menunggu di mobil.

Sebenarnya, Cakka sengaja mengumpulkan teman-temannya di sana sebelum pulang. Setelah berpikir matang-matang sendirian dan berkonsultasi kepada pelatih basketnya sendiri, ia memutuskan untuk mengumumkan langsung keputusan rahasianya tersebut hari ini kepada teman-temannya.
“Anak-anak, dengarkanlah Cakka. Dia perlu mengatakan sesuatu kepada kalian berempat. Dan Bapak harap, kalian jangan ada yang memotong dulu sebelum ia selesai berbicara. Oke?” kata Pak Jo. Semuanya mengangguk setuju, kemudian menatap Cakka.
“Teman-teman,” kata Cakka mulai bersuara. “Aku bangga kepada kalian. Aku benar-benar senang melihat kalian bisa bekerja sama dengan kompak hari ini. Walaupun kita kalah, kalian berempat telah banyak mengajarkanku banyak hal hari ini. Kesetiakawanan kalian membuat aku tersentuh.”
Alvin, Gabriel, Ray dan Rio tersenyum mendengarnya.
“Aku juga bangga kalian bisa menjaga satu sama lain selama kuarter ketiga, saat aku cedera itu. Kalian bahkan begitu menjagaku,” kata Cakka. “Tapi, mungkin kalian perlu tahu, bahwa selama ini sebenarnya aku bermain basket di atas larangan Ayah.”
“Aku tak pernah diizinkan bermain basket oleh Ayah. Aku tidak tahu alasannya apa. Tapi, walaupun sudah dilarang berkali-kali, aku terus melawannya. Aku terus bermain basket tanpa peduli Ayah kecewa padaku, karena menurutku aku butuh basket dalam hidupku,” kata Cakka lagi. “Aku tidak akan pernah menemukan teman-teman yang baik seperti kalian di bidang apapun selain basket. Makanya, waktu itu Ayah begitu marah kepada kalian ketika kalian berkunjung ke rumah. Sebenarnya, selain bola basket, Ayah juga tak suka aku berteman dengan anak-anak basket.”
“Tapi, karena aku sudah mengetahui bahwa kalian sebenarnya sudah cukup kuat, aku memutuskan untuk menuruti kemauan Ayah selama ini,” kata Cakka sambil tersenyum. “Aku sudah berdiskusi dengan Pak Jo beberapa waktu yang lalu. Dan aku sudah yakin. Aku sudah memutuskan setelah pertandingan dengan Verrell selesai, aku... akan keluar dari CRAG Team.”
Keempat teman Cakka langsung terlonjak kaget mendengar kalimat terakhir Cakka. Mata mereka membesar saking tak percayanya mereka atas kabar itu. Gabriel dan Rio saling berpandangan cemas. Alvin menggigit bawah bibirnya. Sedangkan Ray membiarkan badannya mematung. Bahkan Biru dan Elang juga tak mengetahui rencana adiknya tersebut.
“Oke, bagaimana Ray, Rio, Alvin, Gabriel?” tanya Pak Jo. “Kalian tidak keberatan, bukan?”
Semuanya terdiam, tak ada yang berani menjawab.
“Sebenarnya, kita juga sudah tahu masalahmu dengan Ayahmu, Kka.” kata Ray tiba-tiba memecah keheningan, membuat Cakka agak kaget. Suaranya tampak sedih. “Waktu kami merencanakan pesta kejutan ulang tahunmu, kakakmu telah menceritakan semuanya. Tapi... kami tak pernah tahu kau dilarang berteman dengan kami.”
“Kalau kau keluar dari tim inti, bagaimana dengan janji kita?” tanya Gabriel. “Bukankah kita sudah berjanji apapun yang terjadi kita akan selalu menjadi satu tim?”
“Kenapa kau tak pernah berkata kepada kami soal hal ini?” tanya Alvin.
Cakka menundukkan kepalanya, merasa sangat bersalah. “Maafkan aku, teman-teman. Aku hanya tak ingin membuat kalian khawatir. Tapi, sekarang aku tak ingin menyakiti Ayah lebih jauh lagi. Lagipula, kau, Alvin, kau sangat mahir dalam strategi dan mengatur yang lain dalam pertandingan. Kau bisa menjadi kapten, menggantikan aku. Karena mungkin… setelah ini aku harus menjauh dari kalian.”
Semuanya kembali terdiam. Tak tahu lagi harus berkata apa untuk kabar mendadak itu. Suasana hening menguasai mereka hingga tiba-tiba keheningan tersebut pecah begitu saja karena terdengar suara seseorang.
“Tidak!”
Semua yang ada di sana langsung menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang bapak datang menghampiri mereka dengan wajah yang tidak terima. Sepertinya sejak tadi ia mendengarkan apa yang Cakka dan teman-temannya bicarakan di gerbang sekolah.
Cakka berjalan menuju bapak tersebut dan terdiam ketika keduanya sudah sampai di hadapan masing-masing. Mulutnya terkunci, tak tahu harus mengatakan apa kepadanya.
Bapak tersebut menggelengkan kepalanya. “Kau tak perlu keluar dari tim inti.”
Cakka membesarkan matanya mendengar ucapannya. Ia benar-benar tak percaya apa yang didengarnya barusan dari mulut bapak tersebut yang tak lain adalah Ayah sendiri. “Kenapa?”
“Perjuanganmu sudah cukup panjang, Kka. Sejak dulu, kau selalu mempertahankan hobimu, walaupun itu akan mengecewakan Ayah. Pembuktian yang kau tunjukkan hari ini sudah cukup. Cedera di kakimu, kegigihanmu di pertandinganmu hari ini membuat Ayah sadar bahwa kau dan basket sudah menjadi satu jiwa. Tak terpisahkan lagi,” kata Ayah sambil tersenyum. Ia memegang kedua pundak anak bungsunya. “Kau boleh bermain basket bersama teman-temanmu, Kka.”
“Tapi, selama ini...”
“Ya, Ayah tahu. Ayah selalu memaksa kau dan kedua kakakmu untuk menjauhi basket. Itu semua karena Ayah tak ingin kalian kecewa di kemudian hari. Dulu Ayah memiliki teman yang jago basket sepertimu, Kka. Dia bahkan sampai bisa ikut DBL. Tapi, sayangnya dia bertemu dengan lawan yang curang, kakinya cedera di pertandingan. Dan sampai sekarang... dia tak bisa bermain basket lagi karena cedera parah di kakinya itu.” jelas Ayah sambil melepaskan tangannya dari bahu Cakka.
Semuanya terdiam mendengar pengakuan dari Ayah. Terlebih Cakka, Biru dan Elang. Kini mereka mengerti. Mengapa selama ini Ayah begitu memaksa mereka untuk menjauhi basket. Itu semua hanyalah bentuk rasa kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ia hanya tak ingin Cakka, Biru maupun Elang celaka karena basket. Selama ini mereka salah telah menganggap Ayah tak mendukung mereka tanpa alasan.
Cakka menundukkan kepalanya, merasa bersalah kepada Ayah.
“Cakka...,” kata Ayah. “Kau bisa memaafkan Ayah, bukan?”
Cakka diam saja mendengarnya. Namun, beberapa detik kemudian, badannya tampak bergetar. Terdengar suara isakan di balik wajahnya yang tertunduk. Semua yang ada di sana terkejut mendengar suara tersebut. Cakka menangis!
Ayah menghela nafasnya. Ia tarik tubuh Cakka mendekat ke arahnya. Ia peluk erat anak bungsunya tersebut dan mengelus punggungnya agar ia tidak menangis. Semua yang ada di sana tersenyum melihat adegan tersebut. Bahkan Biru sampai meneteskan air matanya karena terharu dengan kedekatan Ayah dan adiknya. Ini dia. Ini yang selama ini dia harapkan terjadi. Cakka dan Ayah akhirnya berbaikan.
“Terima kasih, Yah...,” kata Cakka di sela-sela tangisnya. “Maafkan aku.”
Ayah mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa, Cakka. Seharusnya Ayah yang meminta maaf kepadamu karena sudah kasar kepada kau dan kedua kakakmu. Harusnya Ayah tidak begitu ngotot melarang kalian melakukan apa yang kalian suka.”
Semuanya tetap diam di tempat melihat adegan mengharukan tersebut, membiarkan keduanya larut dalam kebahagiaan. Setelah beberapa lama, Ray, Alvin, Gabriel dan Rio baru berjalan mendekati Cakka dan Ayah untuk memberi semangat kepada teman mereka. Mereka tepuk pundak Cakka dan mengacak-acak rambutnya sambil tertawa. Bukan hanya Cakka saja yang gembira bisa berbaikan dengan keluarganya, mereka juga bahagia karena itu artinya Cakka tidak akan keluar dari CRAG Team. Ia tetap menjadi kapten tim basket sekaligus sahabat mereka.
“Sudah, jangan menangis, Kka. Apa kau tidak malu dengan kami? Masa kapten basket putra yang selama ini kuat dan sabar justru menangis seperti bayi?” tanya Ray sambil tertawa. Ia menjitak kepala Cakka pelan.
“Benar itu!” kata Gabriel setuju.
Cakka tersenyum. Pipinya sedikit memerah mendengarnya. Ia segera menghapus air matanya dengan tangannya dan merangkul teman-temannya. Ia menatap Ayah sambil tersenyum, kemudian berkata kepadanya, “Apa mereka boleh menginap di rumah hari ini?”
Ayah tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya mantap.
Semuanya bersorak gembira sambil mengangkat tangan mereka bersamaan. Hari pertandingan itu diakhiri dengan perasaan lega dan bahagia. Alvin, Gabriel, Ray, dan Rio ikut dalam mobil Cakka, bersama-sama ke rumah untuk bersenang-senang. Pada hari itu, bahkan sampai tengah malampun tak ada yang rela menutup matanya. Tak ingin melewatkan sedetikpun keceriaan yang ada di sekitar mereka.

J L J

Verrell diam saja melihat Aryo dari tadi mondar-mandir di hadapannya. Sejak mereka pulang dari sekolah tadi, Aryo sama sekali tidak membuka mulutnya. Ia tidak menggubris apapun yang keluar dari mulut anaknya. Dan sikap tersebut membuat Verrell semakin kesal kepada Papanya. Bahkan sekarang ia tak boleh naik ke kamarnya. Ruang tamu rumahnya yang biasanya kosong, sekarang diisi sekeluarga. Verrell tampak berdiri di sebelah sofa, sementara Mamanya duduk di dekatnya.
“Rel,” kata Aryo akhirnya membuka mulut. “Papa benar-benar kecewa padamu.”
Verrell diam saja. Dengan wajah datar ia membuang mukanya.
Aryo menatap wajah anaknya tersebut dengan sabar. “Papa tahu, kau sangat ingin menang dalam pertandingan itu. Tapi, bukan berarti kau boleh memakai cara buruk seperti itu. Untung hanya lecet dan keseleo, bagaimana kalau lukanya lebih parah?”
Verrell tetap mengunci mulutnya.
“Sebenarnya, ada apa antara kau dengan Cakka? Rasanya kau dendam sekali kepada Cakka dan teman-temannya?” tanya Aryo lagi. Ia pandang anaknya dengan wajah menyelidik. “Atau kau tidak terima dengan perlakuan mereka saat mereka masih satu sekolah denganmu?”
“Papa tahu sendiri bagaimana mereka memperlakukan aku dulu saat aku masih menjadi kapten mereka!” kata Verrell sebal. “Mereka bahkan tega-teganya memecatku dari jabatan kapten!”
“Ya, Papa tahu itu. Kau bermain sendiri di lapangan. Kemudian, teman-temanmu marah dan akhirnya diam-diam mengajukan pemilihan kapten basket ulang. Dan akhirnya, pelatih menggantikan posisimu dengan orang lain. Itu yang membuatmu marah, bukan?” tanya Aryo.
“Aku benar-benar membenci mereka, Pa! Mereka itu sama sekali tidak menghargaiku!”
“Ya. Kau membenci teman-teman lamamu. Tapi, Cakka tidak termasuk dari mereka, Rel. Jadi, kau benar-benar tak punya alasan untuk mencelakai dia. Tak seharusnya kau melakukan itu!” kata Aryo. “Memangnya kesalahan apa yang telah Cakka perbuat kepadamu?”
“Dia memang tidak termasuk! Tapi aku akan selalu benci siapapun yang berpihak pada tim basket lamaku itu! Apalagi bocah seperti Cakka!” kata Verrell. “Dia itu tak pantas jadi kapten. Kemampuannya bahkan jauh lebih rendah daripada aku. Apa yang bisa mereka harapkan dari seorang junior untuk tim inti basket mereka?”
“Kau tidak akan pernah dihargai jika kau selalu merasa kau yang paling hebat di antara teman-temanmu,” kata Aryo membuat Verrell bungkam. “Basket adalah olahraga tim, bukan individu. Kalau kau tak bisa bekerja sama dengan orang lain, lebih baik kau tak perlu masuk ke dalam ekskul basket. Karena kau tak akan pernah menang. Lihat Cakka, dia begitu bersatu dengan teman-temannya.”
“Kenapa Papa membela mereka sih?!” seru Verrell nyaring. Mamanya sampai berdiri dan memegang kedua pundak anaknya agar emosinya tidak meledak. Verrell tampak benar-benar kesal dan belum menyadari kesalahannya.
“Verrell. Lupakanlah apa yang telah mereka perbuat kepadamu. Namun, ambil pelajaran dari sana. Lihatlah ke dalam dirimu sendiri, periksa hidupmu. Apa yang telah kau lakukan hingga mereka bisa berbuat seperti itu? Mengapa orang lain tak pernah bisa menghargaimu? Jika kau melakukan itu, kau akan mengerti mengapa Papa tak senang kau yang memenangkan pertandingan hari ini.” kata Aryo tegas. Kemudian, ia masuk ke dalam, meninggalkan Verrell bersama Mamanya.

J L J

Semenjak pertandingan dengan Verrell selesai, hidup Cakka terasa lebih berwarna. Bukan saja ia dapat berbaikan dengan keluarganya, namun ia juga tak harus merasa tak enak hati berteman dengan anak-anak basket. Bahkan sekarang mereka sering berkunjung ke rumah untuk belajar bersama atau sekedar bermain-main setelah pulang sekolah. Dan itu semua membuat teman-teman Cakka semakin akrab dengan Bunda. Bahkan juga dengan Ayah jika Ayah sempat pulang dari luar kota atau luar negeri. Verrell juga sudah tak pernah tampak lagi untuk mengganggu teman-temannya. Ah, betapa senangnya Cakka melihat perubahan hidupnya.
Sekarang sudah bulan November. Cakka dan teman-temannya menjadi lebih sibuk daripada sebelumnya karena ulangan umum sudah dekat. Apalagi Alvin dan Biru yang akan menghadapi ujian nasional bulan April tahun depan. Jam belajar keduanya menjadi berlipat-lipat lebih banyak untuk mempelajari soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Hebatnya, walaupun mereka disibukkan oleh ujian persiapan ujian nasional, mereka tetap memiliki waktu untuk berkumpul bersama dengan anak-anak basket. Mereka berdua tak pernah bolos ekskul dan tetap fokus saat latihan.
“Hah... Tak terasa ya, sudah hampir setengah tahun kita sudah bersama seperti ini.” kata Gabriel sambil menyandarkan tubuhnya di kursi panjang. Kedua tangannya ia taruh di bawah kepalanya. Kafe benar-benar sepi siang itu. Hanya mereka bersepuluh saja yang menghuni. Anak-anak tim basket putra dan putri yang sedang bersantai sebelum mereka belajar bersama sore nanti.
“Ya. Rasanya baru kemarin kita berkenalan,” kata Ray yang duduk di sebelah Gabriel. Ia sedang menopang dagunya dengan sebelah tangan. “Kalian telah membuat setengah tahun belakangan ini menjadi menyenangkan.”
“Aku tidak pernah membayangkan masa-masa sekolahku akan menjadi seperti naik roller coaster seperti ini,” kata Alvin. “Dari awal mengenal kalian, masalah keluarga Cakka, dendam Verrell hingga akhirnya semuanya selesai. Benar-benar seru.”
Cakka tersenyum. “Tidak, semuanya belum selesai. Semuanya baru dimulai.”
Semuanya langsung menoleh ke arah Cakka.
Rio ikut tersenyum. “Benar, semuanya baru dimulai. Mungkin di luar sana masih banyak lagi Verrell lain yang akan mengganggu persahabatan kita. Dan kita harus tetap bersepuluh seperti ini untuk mengatasinya.”
“Untung saja kemarin Cakka tidak sampai terkena luka dalam,” kata Biru yang duduk di samping Cakka. “Kalau tidak, Ayah akan benar-benar marah kepada kita soal pertandingan itu. Lukanya sembuh dengan sendirinya.”
“Ya. Tapi, waktu itu kita sudah berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang lebih parah. Makanya aku, Ray Gabriel dan Rio terus menjaga Cakka di lapangan,” kata Alvin. Sejenak ia melirik jam tangannya. “Oh ya, Bi, bukankah Senin besok kita presentasi biologi? Kau sudah membuat slide-nya belum?”
“Oh ya! Untung kau mengingatkanku, Vin!” kata Biru sambil menepuk dahinya. Ia benar-benar lupa. Padahal, tugas itu sudah diberikan seminggu yang lalu. Sejenak ia menoleh ke arah teman-temannya. “Hei, Alia, Rika, kalian sekelompok dengan kita, bukan? Kalian sudah membuat bahan kalian yang aku minta kemarin?”
“Ya, tentu saja. Kami berdua membawanya sekarang. Nanti kita bisa sekalian mengerjakannya di rumahmu, Bi.” kata Alia. “Untungnya materi yang kita dapatkan tidak sulit.”
“Oh ya, kalian lega. Aku yang kerepotan,” keluh Melvi. “Kelompokku benar-benar kacau. Teman-teman sekelompokku tidak ada yang mau diajak bekerja sama. Katanya, aku saja yang membuat slide-nya sendiri. Mereka hanya menghafal materi. Entah apa jadinya presentasi kita besok.”
“Sabar, Mel. Nanti akan kubantu.” kata Karin.
“Tidak, terima kasih, Rin. Aku sudah menyelesaikannya kemarin.”
“Lebih baik sebelum maju besok, kau memperlihatkan slide yang sudah kau buat. Atau mereka akan bingung dengan slide saat presentasi nanti.” kata Biru.
“Ya, aku juga berencana begitu.”
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita pulang. Kita bisa mengerjakan presentasinya segera, sementara yang lain belajar untuk persiapan ulangan umum. Oke?” kata Biru sambil berdiri dari tempat duduk. Semuanya mengangguk setuju dan langsung meninggalkan kafe tersebut.


TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p