Angka sudah
menunjukkan jam enam sore. Sekolah SMPN 1 sudah sepi karena semuanya sudah pada
pulang ke rumah masing-masing. Hanya tertinggal Pak Jo, Biru, Elang, Cakka beserta
teman-teman dari CRAG Team yang masih ada di depan gerbang sekolah. Sementara
Ayah katanya akan menunggu di mobil.
Sebenarnya, Cakka
sengaja mengumpulkan teman-temannya di sana sebelum pulang. Setelah berpikir
matang-matang sendirian dan berkonsultasi kepada pelatih basketnya sendiri, ia
memutuskan untuk mengumumkan langsung keputusan rahasianya tersebut hari ini
kepada teman-temannya.
“Anak-anak,
dengarkanlah Cakka. Dia perlu mengatakan sesuatu kepada kalian berempat. Dan
Bapak harap, kalian jangan ada yang memotong dulu sebelum ia selesai berbicara.
Oke?” kata Pak Jo. Semuanya mengangguk setuju, kemudian menatap Cakka.
“Teman-teman,” kata
Cakka mulai bersuara. “Aku bangga kepada kalian. Aku benar-benar senang melihat
kalian bisa bekerja sama dengan kompak hari ini. Walaupun kita kalah, kalian
berempat telah banyak mengajarkanku banyak hal hari ini. Kesetiakawanan kalian
membuat aku tersentuh.”
Alvin, Gabriel, Ray
dan Rio tersenyum mendengarnya.
“Aku juga bangga
kalian bisa menjaga satu sama lain selama kuarter ketiga, saat aku cedera itu.
Kalian bahkan begitu menjagaku,” kata Cakka. “Tapi, mungkin kalian perlu tahu,
bahwa selama ini sebenarnya aku bermain basket di atas larangan Ayah.”
“Aku tak pernah
diizinkan bermain basket oleh Ayah. Aku tidak tahu alasannya apa. Tapi,
walaupun sudah dilarang berkali-kali, aku terus melawannya. Aku terus bermain
basket tanpa peduli Ayah kecewa padaku, karena menurutku aku butuh basket dalam
hidupku,” kata Cakka lagi. “Aku tidak akan pernah menemukan teman-teman yang baik
seperti kalian di bidang apapun selain basket. Makanya, waktu itu Ayah begitu
marah kepada kalian ketika kalian berkunjung ke rumah. Sebenarnya, selain bola
basket, Ayah juga tak suka aku berteman dengan anak-anak basket.”
“Tapi, karena aku
sudah mengetahui bahwa kalian sebenarnya sudah cukup kuat, aku memutuskan untuk
menuruti kemauan Ayah selama ini,” kata Cakka sambil tersenyum. “Aku sudah
berdiskusi dengan Pak Jo beberapa waktu yang lalu. Dan aku sudah yakin. Aku
sudah memutuskan setelah pertandingan dengan Verrell selesai, aku... akan
keluar dari CRAG Team.”
Keempat teman Cakka
langsung terlonjak kaget mendengar kalimat terakhir Cakka. Mata mereka membesar
saking tak percayanya mereka atas kabar itu. Gabriel dan Rio saling
berpandangan cemas. Alvin menggigit bawah bibirnya. Sedangkan Ray membiarkan
badannya mematung. Bahkan Biru dan Elang juga tak mengetahui rencana adiknya
tersebut.
“Oke, bagaimana Ray,
Rio, Alvin, Gabriel?” tanya Pak Jo. “Kalian tidak keberatan, bukan?”
Semuanya terdiam, tak
ada yang berani menjawab.
“Sebenarnya, kita
juga sudah tahu masalahmu dengan Ayahmu, Kka.” kata Ray tiba-tiba memecah
keheningan, membuat Cakka agak kaget. Suaranya tampak sedih. “Waktu kami
merencanakan pesta kejutan ulang tahunmu, kakakmu telah menceritakan semuanya.
Tapi... kami tak pernah tahu kau dilarang berteman dengan kami.”
“Kalau kau keluar
dari tim inti, bagaimana dengan janji kita?” tanya Gabriel. “Bukankah kita
sudah berjanji apapun yang terjadi kita akan selalu menjadi satu tim?”
“Kenapa kau tak pernah
berkata kepada kami soal hal ini?” tanya Alvin.
Cakka menundukkan
kepalanya, merasa sangat bersalah. “Maafkan aku, teman-teman. Aku hanya tak ingin membuat kalian
khawatir. Tapi, sekarang aku tak ingin menyakiti Ayah lebih jauh lagi.
Lagipula, kau, Alvin, kau sangat mahir dalam strategi dan mengatur yang lain
dalam pertandingan. Kau bisa menjadi kapten, menggantikan aku. Karena mungkin…
setelah ini aku harus menjauh dari kalian.”
Semuanya kembali
terdiam. Tak tahu lagi harus berkata apa untuk kabar mendadak itu. Suasana
hening menguasai mereka hingga tiba-tiba keheningan tersebut pecah begitu saja
karena terdengar suara seseorang.
“Tidak!”
Semua yang ada di
sana langsung menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang bapak datang
menghampiri mereka dengan wajah yang tidak terima. Sepertinya sejak tadi ia
mendengarkan apa yang Cakka dan teman-temannya bicarakan di gerbang sekolah.
Cakka berjalan menuju
bapak tersebut dan terdiam ketika keduanya sudah sampai di hadapan
masing-masing. Mulutnya terkunci, tak tahu harus mengatakan apa kepadanya.
Bapak tersebut
menggelengkan kepalanya. “Kau tak perlu keluar dari tim inti.”
Cakka membesarkan
matanya mendengar ucapannya. Ia benar-benar tak percaya apa yang didengarnya
barusan dari mulut bapak tersebut yang tak lain adalah Ayah sendiri. “Kenapa?”
“Perjuanganmu sudah
cukup panjang, Kka. Sejak dulu, kau selalu mempertahankan hobimu, walaupun itu
akan mengecewakan Ayah. Pembuktian yang kau tunjukkan hari ini sudah cukup.
Cedera di kakimu, kegigihanmu di pertandinganmu hari ini membuat Ayah sadar
bahwa kau dan basket sudah menjadi satu jiwa. Tak terpisahkan lagi,” kata Ayah
sambil tersenyum. Ia memegang kedua pundak anak bungsunya. “Kau boleh bermain
basket bersama teman-temanmu, Kka.”
“Tapi, selama ini...”
“Ya, Ayah tahu. Ayah
selalu memaksa kau dan kedua kakakmu untuk menjauhi basket. Itu semua karena
Ayah tak ingin kalian kecewa di kemudian hari. Dulu Ayah memiliki teman yang
jago basket sepertimu, Kka. Dia bahkan sampai bisa ikut DBL. Tapi, sayangnya
dia bertemu dengan lawan yang curang, kakinya cedera di pertandingan. Dan
sampai sekarang... dia tak bisa bermain basket lagi karena cedera parah di
kakinya itu.” jelas Ayah sambil melepaskan tangannya dari bahu Cakka.
Semuanya terdiam
mendengar pengakuan dari Ayah. Terlebih Cakka, Biru dan Elang. Kini mereka
mengerti. Mengapa selama ini Ayah begitu memaksa mereka untuk menjauhi basket.
Itu semua hanyalah bentuk rasa kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Ia hanya
tak ingin Cakka, Biru maupun Elang celaka karena basket. Selama ini mereka
salah telah menganggap Ayah tak mendukung mereka tanpa alasan.
Cakka menundukkan
kepalanya, merasa bersalah kepada Ayah.
“Cakka...,” kata
Ayah. “Kau bisa memaafkan Ayah, bukan?”
Cakka diam saja
mendengarnya. Namun, beberapa detik kemudian, badannya tampak bergetar.
Terdengar suara isakan di balik wajahnya yang tertunduk. Semua yang ada di sana
terkejut mendengar suara tersebut. Cakka menangis!
Ayah menghela
nafasnya. Ia tarik tubuh Cakka mendekat ke arahnya. Ia peluk erat anak
bungsunya tersebut dan mengelus punggungnya agar ia tidak menangis. Semua yang
ada di sana tersenyum melihat adegan tersebut. Bahkan Biru sampai meneteskan
air matanya karena terharu dengan kedekatan Ayah dan adiknya. Ini dia. Ini yang
selama ini dia harapkan terjadi. Cakka dan Ayah akhirnya berbaikan.
“Terima kasih,
Yah...,” kata Cakka di sela-sela tangisnya. “Maafkan aku.”
Ayah
mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa, Cakka. Seharusnya Ayah yang meminta maaf
kepadamu karena sudah kasar kepada kau dan kedua kakakmu. Harusnya Ayah tidak
begitu ngotot melarang kalian melakukan apa yang kalian suka.”
Semuanya tetap diam
di tempat melihat adegan mengharukan tersebut, membiarkan keduanya larut dalam
kebahagiaan. Setelah beberapa lama, Ray, Alvin, Gabriel dan Rio baru berjalan
mendekati Cakka dan Ayah untuk memberi semangat kepada teman mereka. Mereka
tepuk pundak Cakka dan mengacak-acak rambutnya sambil tertawa. Bukan hanya
Cakka saja yang gembira bisa berbaikan dengan keluarganya, mereka juga bahagia
karena itu artinya Cakka tidak akan keluar dari CRAG Team. Ia tetap menjadi
kapten tim basket sekaligus sahabat mereka.
“Sudah, jangan
menangis, Kka. Apa kau tidak malu dengan kami? Masa kapten basket putra yang
selama ini kuat dan sabar justru menangis seperti bayi?” tanya Ray sambil tertawa.
Ia menjitak kepala Cakka pelan.
“Benar itu!” kata
Gabriel setuju.
Cakka tersenyum.
Pipinya sedikit memerah mendengarnya. Ia segera menghapus air matanya dengan
tangannya dan merangkul teman-temannya. Ia menatap Ayah sambil tersenyum,
kemudian berkata kepadanya, “Apa mereka boleh menginap di rumah hari ini?”
Ayah tersenyum. Ia
menganggukkan kepalanya mantap.
Semuanya bersorak
gembira sambil mengangkat tangan mereka bersamaan. Hari pertandingan itu
diakhiri dengan perasaan lega dan bahagia. Alvin, Gabriel, Ray, dan Rio ikut
dalam mobil Cakka, bersama-sama ke rumah untuk bersenang-senang. Pada hari itu,
bahkan sampai tengah malampun tak ada yang rela menutup matanya. Tak ingin
melewatkan sedetikpun keceriaan yang ada di sekitar mereka.
J L J
Verrell diam saja
melihat Aryo dari tadi mondar-mandir di hadapannya. Sejak mereka pulang dari
sekolah tadi, Aryo sama sekali tidak membuka mulutnya. Ia tidak menggubris
apapun yang keluar dari mulut anaknya. Dan sikap tersebut membuat Verrell
semakin kesal kepada Papanya. Bahkan sekarang ia tak boleh naik ke kamarnya.
Ruang tamu rumahnya yang biasanya kosong, sekarang diisi sekeluarga. Verrell
tampak berdiri di sebelah sofa, sementara Mamanya duduk di dekatnya.
“Rel,” kata Aryo
akhirnya membuka mulut. “Papa benar-benar kecewa padamu.”
Verrell diam saja.
Dengan wajah datar ia membuang mukanya.
Aryo menatap wajah
anaknya tersebut dengan sabar. “Papa tahu, kau sangat ingin menang dalam
pertandingan itu. Tapi, bukan berarti kau boleh memakai cara buruk seperti itu.
Untung hanya lecet dan keseleo, bagaimana kalau lukanya lebih parah?”
Verrell tetap
mengunci mulutnya.
“Sebenarnya, ada apa
antara kau dengan Cakka? Rasanya kau dendam sekali kepada Cakka dan
teman-temannya?” tanya Aryo lagi. Ia pandang anaknya dengan wajah menyelidik.
“Atau kau tidak terima dengan perlakuan mereka saat mereka masih satu sekolah
denganmu?”
“Papa tahu sendiri
bagaimana mereka memperlakukan aku dulu saat aku masih menjadi kapten mereka!”
kata Verrell sebal. “Mereka bahkan tega-teganya memecatku dari jabatan kapten!”
“Ya, Papa tahu itu.
Kau bermain sendiri di lapangan. Kemudian, teman-temanmu marah dan akhirnya
diam-diam mengajukan pemilihan kapten basket ulang. Dan akhirnya, pelatih
menggantikan posisimu dengan orang lain. Itu yang membuatmu marah, bukan?”
tanya Aryo.
“Aku benar-benar
membenci mereka, Pa! Mereka itu sama sekali tidak menghargaiku!”
“Ya. Kau membenci
teman-teman lamamu. Tapi, Cakka tidak termasuk dari mereka, Rel. Jadi, kau
benar-benar tak punya alasan untuk mencelakai dia. Tak seharusnya kau melakukan
itu!” kata Aryo. “Memangnya kesalahan apa yang telah Cakka perbuat kepadamu?”
“Dia memang tidak
termasuk! Tapi aku akan selalu benci siapapun yang berpihak pada tim basket
lamaku itu! Apalagi bocah seperti Cakka!” kata Verrell. “Dia itu tak pantas
jadi kapten. Kemampuannya bahkan jauh lebih rendah daripada aku. Apa yang bisa
mereka harapkan dari seorang junior untuk tim inti basket mereka?”
“Kau tidak akan
pernah dihargai jika kau selalu merasa kau yang paling hebat di antara teman-temanmu,”
kata Aryo membuat Verrell bungkam. “Basket adalah olahraga tim, bukan individu.
Kalau kau tak bisa bekerja sama dengan orang lain, lebih baik kau tak perlu
masuk ke dalam ekskul basket. Karena kau tak akan pernah menang. Lihat Cakka,
dia begitu bersatu dengan teman-temannya.”
“Kenapa Papa membela
mereka sih?!” seru Verrell nyaring. Mamanya sampai berdiri dan memegang kedua
pundak anaknya agar emosinya tidak meledak. Verrell tampak benar-benar kesal
dan belum menyadari kesalahannya.
“Verrell. Lupakanlah
apa yang telah mereka perbuat kepadamu. Namun, ambil pelajaran dari sana.
Lihatlah ke dalam dirimu sendiri, periksa hidupmu. Apa yang telah kau lakukan
hingga mereka bisa berbuat seperti itu? Mengapa orang lain tak pernah bisa
menghargaimu? Jika kau melakukan itu, kau akan mengerti mengapa Papa tak senang
kau yang memenangkan pertandingan hari ini.” kata Aryo tegas. Kemudian, ia
masuk ke dalam, meninggalkan Verrell bersama Mamanya.
J L J
Semenjak pertandingan
dengan Verrell selesai, hidup Cakka terasa lebih berwarna. Bukan saja ia dapat
berbaikan dengan keluarganya, namun ia juga tak harus merasa tak enak hati
berteman dengan anak-anak basket. Bahkan sekarang mereka sering berkunjung ke
rumah untuk belajar bersama atau sekedar bermain-main setelah pulang sekolah.
Dan itu semua membuat teman-teman Cakka semakin akrab dengan Bunda. Bahkan juga
dengan Ayah jika Ayah sempat pulang dari luar kota atau luar negeri. Verrell
juga sudah tak pernah tampak lagi untuk mengganggu teman-temannya. Ah, betapa
senangnya Cakka melihat perubahan hidupnya.
Sekarang sudah bulan
November. Cakka dan teman-temannya menjadi lebih sibuk daripada sebelumnya
karena ulangan umum sudah dekat. Apalagi Alvin dan Biru yang akan menghadapi
ujian nasional bulan April tahun depan. Jam belajar keduanya menjadi
berlipat-lipat lebih banyak untuk mempelajari soal-soal ujian tahun-tahun
sebelumnya. Hebatnya, walaupun mereka disibukkan oleh ujian persiapan ujian
nasional, mereka tetap memiliki waktu untuk berkumpul bersama dengan anak-anak
basket. Mereka berdua tak pernah bolos ekskul dan tetap fokus saat latihan.
“Hah... Tak terasa
ya, sudah hampir setengah tahun kita sudah bersama seperti ini.” kata Gabriel
sambil menyandarkan tubuhnya di kursi panjang. Kedua tangannya ia taruh di
bawah kepalanya. Kafe benar-benar sepi siang itu. Hanya mereka bersepuluh saja
yang menghuni. Anak-anak tim basket putra dan putri yang sedang bersantai
sebelum mereka belajar bersama sore nanti.
“Ya. Rasanya baru
kemarin kita berkenalan,” kata Ray yang duduk di sebelah Gabriel. Ia sedang
menopang dagunya dengan sebelah tangan. “Kalian telah membuat setengah tahun
belakangan ini menjadi menyenangkan.”
“Aku tidak pernah
membayangkan masa-masa sekolahku akan menjadi seperti naik roller coaster seperti ini,” kata Alvin. “Dari awal mengenal
kalian, masalah keluarga Cakka, dendam Verrell hingga akhirnya semuanya
selesai. Benar-benar seru.”
Cakka tersenyum.
“Tidak, semuanya belum selesai. Semuanya baru dimulai.”
Semuanya langsung
menoleh ke arah Cakka.
Rio ikut tersenyum.
“Benar, semuanya baru dimulai. Mungkin di luar sana masih banyak lagi Verrell
lain yang akan mengganggu persahabatan kita. Dan kita harus tetap bersepuluh
seperti ini untuk mengatasinya.”
“Untung saja kemarin
Cakka tidak sampai terkena luka dalam,” kata Biru yang duduk di samping Cakka.
“Kalau tidak, Ayah akan benar-benar marah kepada kita soal pertandingan itu.
Lukanya sembuh dengan sendirinya.”
“Ya. Tapi, waktu itu
kita sudah berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang lebih parah. Makanya aku, Ray
Gabriel dan Rio terus menjaga Cakka di lapangan,” kata Alvin. Sejenak ia
melirik jam tangannya. “Oh ya, Bi, bukankah Senin besok kita presentasi
biologi? Kau sudah membuat slide-nya belum?”
“Oh ya! Untung kau
mengingatkanku, Vin!” kata Biru sambil menepuk dahinya. Ia benar-benar lupa.
Padahal, tugas itu sudah diberikan seminggu yang lalu. Sejenak ia menoleh ke
arah teman-temannya. “Hei, Alia, Rika, kalian sekelompok dengan kita, bukan?
Kalian sudah membuat bahan kalian yang aku minta kemarin?”
“Ya, tentu saja. Kami
berdua membawanya sekarang. Nanti kita bisa sekalian mengerjakannya di rumahmu,
Bi.” kata Alia. “Untungnya materi yang kita dapatkan tidak sulit.”
“Oh ya, kalian lega.
Aku yang kerepotan,” keluh Melvi. “Kelompokku benar-benar kacau. Teman-teman
sekelompokku tidak ada yang mau diajak bekerja sama. Katanya, aku saja yang
membuat slide-nya sendiri. Mereka
hanya menghafal materi. Entah apa jadinya presentasi kita besok.”
“Sabar, Mel. Nanti
akan kubantu.” kata Karin.
“Tidak, terima kasih,
Rin. Aku sudah menyelesaikannya kemarin.”
“Lebih baik sebelum
maju besok, kau memperlihatkan slide
yang sudah kau buat. Atau mereka akan bingung dengan slide saat presentasi nanti.” kata Biru.
“Ya, aku juga
berencana begitu.”
“Ya sudah, kalau
begitu ayo kita pulang. Kita bisa mengerjakan presentasinya segera, sementara
yang lain belajar untuk persiapan ulangan umum. Oke?” kata Biru sambil berdiri
dari tempat duduk. Semuanya mengangguk setuju dan langsung meninggalkan kafe
tersebut.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p