Kuarter pertama sudah
berlangsung delapan menit dan skor masih menunjukkan bahwa CRAG Team unggul
dengan 12-10. Para pemain di lapangan mulai terlihat banyak yang menghapus
peluh tenaga mulai banyak berkurang. Tapi, CRAG Team tidak ingin bersantai.
Walaupun mereka unggul, tim SMPN 1 dengan kapten tim basket Verrell Simonius
Charell tidak bisa dianggap enteng. Justru mereka berlima harus diwaspadai.
“Vin!” seru Ray meminta
bola.
Alvin langsung
menuruti permintaannya dan langsung mengoper ke arah Ray. Dengan cepat Ray
membawa lari bola tersebut dengan mendribel dan langsung mengoper lagi ke arah
Cakka di tengah lapangan.
“Shoot!”
Masuk! Tiga angka
untuk CRAG Team. Pertandingan antara CRAG Team dan tim basket SMPN 1
benar-benar berjalan seru. Skor saling kejar-mengejar, para pendukung juga
semakin semangat berteriak-teriak. Tapi, ada yang aneh dalam pertandingan
tersebut. Berturut-turut CRAG Team bisa mencetak skor tanpa gangguan apapun
dari tim SMPN 1. Bahkan mereka terlihat tenang dengan skor yang sudah
tertinggal jauh. Mereka tampak tidak melakukan apa-apa sampai kuarter pertama
selesai dengan skor 25-12 untuk keunggulan CRAG Team. Tapi, tak ada yang tahu
sebenarnya dari tadi memperhatikan pertandingan dengan saksama.
“Hmm… anak baru itu
boleh juga…” kata Verrell sebelum ia berkumpul bersama teman-temannya untuk
istirahat dua menit.
J L J
PRIIITT..!!
Tembakan berkali-kali
dari anggota CRAG Team benar-benar berbuah hasil. Setelah lemparan Alvin tak
berhasil, Ray kembali melemparnya ke ring, kemudian ke Gabriel dan akhirnya Rio
yang berhasil mencetak angka. Kuarter ketiga yang sudah berlangsung lima menit
itu terasa jauh lebih menegangkan daripada kuarter pertama dan kedua.
Sekarang papan skor
telah menunjukkan 40-29 untuk keunggulan CRAG Team. Dugaan Alvin bahwa Verrell
masih tetap bermain sendiri seperti saat mereka masih satu sekolah agak memudar
ketika melihat tim SMPN 1 mulai terlihat bekerja sama agar dapat mencetak angka
sebanyak-banyaknya. Tapi, Gabriel dan Rio juga tidak yakin kalau Verrell
mau-mau saja bermain gotong royong seperti itu. Pasti ada sesuatu!
Biru dan Elang yang
sibuk menyemangati adik mereka juga terus heboh dengan pertandingan. Namun,
tiba-tiba teriakan mereka berhenti ketika melihat seseorang masuk ke dalam
lapangan dan menghampiri mereka tanpa banyak bicara.
“Ayah?” kata Biru
heran sekaligus kaget. “Kenapa Ayah bisa ada di sini? Darimana Ayah tahu kalau
kita berdua ada di sini? Ayah tahu Cakka bertanding hari ini?”
Ayah tidak menjawab
pertanyaan bertubi-tubi Biru. Ia langsung melotot ke arah anak perempuannya
tersebut dan meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh anaknya diam.
Biru dan Elang saling berpandangan, masih penasaran dengan kehadiran Ayah di
tengah-tengah pertandingan. Tapi, akhirnya, mereka berdua kembali sibuk dengan
pekerjaan mereka.
“Cakka!” Ray mengoper
ke arah Cakka.
Cakka langsung
menerima bola tersebut dan mendribel menuju ring dengan dibayang-bayangi
anggota tim lawan. Setelah berkelit-kelit dengan susah payah melewati semuanya,
ia langsung mengoper ke arah Gabriel untuk melakukan tembakan tiga angka.
“Shoot, Yel!” teriak Cakka dengan kencang.
Gabriel langsung
melakukan tembakan dan… Gagal! Bola mental dari ring dan langsung diambil alih
oleh Verrell. Namun, lagi-lagi bola oranye tersebut direbut oleh Rio dan dioper
lagi ke arah Gabriel. Ia langsung mendribel bola menuju ring CRAG Team.
Verrell yang sedang
berada di dekat dua temannya langsung menepuk pundak mereka dan mengedipkan
sebelah matanya. Keduanya langsung mengangguk dan mengejar kemana Gabriel
membawa bola untuk menghadangnya. Gabriel yang merasa terancam dengan dua lawan
di belakangnya langsung mengoper ke arah Cakka yang sedang bebas dari hadangan.
Namun, Gabriel salah. Kedua anggota tim SMPN 1 itu tidak mengincar dirinya,
mereka mengincar Cakka! Begitu Cakka mendapatkan bola, salah satu anggota tim
SMPN 1 yang berbadan tersebut tiba-tiba menghadang Cakka dan menyandung kaki
kiri Cakka hingga bola terlepas dari tangannya. Ia terjatuh dengan keras di
lapangan.
Foul!
Pelanggaran untuk tim SMPN 1.
Teman-teman Cakka
yang melihat kejadian tersebut jelas tidak terima. Namun, mereka tidak mungkin
menceramahi Verrell di tengah-tengah pertandingan. Akhirnya, Alvin meminta time-out.
“Cakka! Kau tidak
apa-apa?” tanya Ray panik melihat sahabatnya.
“Kakimu lecet, bisa
berdiri tidak?” tanya Alvin jongkok di sebelah Cakka. “Ayo, kita obati kakimu
di pinggir. Kemudian, kau harus istirahat.”
Cakka menggeleng. Ia
mencoba untuk berdiri sendiri namun lututnya yang terluka menjadi sangat sakit
akibat benturan keras yang ia alami tadi. Ia terjatuh lagi ke lantai.
“Sudah, kau jangan
keras kepala, Cakka.” kata Ray sambil membantu Cakka untuk berdiri. Ia
menggantung sebelah tangan Cakka di pundaknya. Gabriel juga melakukan yang sama
dari arah lain. Mereka langsung membawa Cakka ke bangku cadangan. Dan saat itu
juga, Cakka baru menyadari Ayah ada di sana.
“Kka, kau tidak
apa-apa?” tanya Biru khawatir.
Cakka tersenyum
menanggapi pertanyaan Biru. Kemudian, ia tatap wajah Ayah dengan raut wajah
terkejut. Ia benar-benar tak tahu kalau tadi Ayah menontonnya bertanding. Entah
sejak kapan dia sudah berdiri bersama Biru dan Elang. Senang sekali rasanya
mengetahui hal itu, tapi sayang sekali dia harus melihat Cakka terluka seperti
ini. Entah apa yang akan dikatakannya lagi setelah pertandingan ini selesai,
dengan modal luka di lutut kiri Cakka.
“Untung aku
membawa balsem untuk berjaga-jaga. Luruskan kakimu di kursi, Kka.” kata Biru
ketika mereka semua sudah sampai di barisan bangku pemain cadangan. Ia merogoh
cepat tasnya untuk mengambil sebotol balsem. Setelah kaki Cakka diluruskan, ia
langsung mengoleskan balsem itu ke lutut Cakka yang sakit. Pada saat itu, Pak
Jo juga menghampiri mereka untuk melihat keadaan.
“Sebaiknya
kau istirahat dulu di sini, Kka. Biar kami yang bereskan kuarter tiga dan
empat,” saran Ray. “Kakimu akan bertambah parah jika kau terus bermain.”
“Ya,
Ray benar, Kka. Tampaknya tim lawan kita tidak main-main ingin mengalahkan kita."
kata Rio.
"Biar
Obiet yang menggantikanmu di lapangan.” kata Pak Jo.
Cakka
menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Pak, Ray, Rio.”
“Ini bukan
masalah kau tidak apa-apa atau terluka parah, tapi strategi mereka sudah tampak
jelas. Mereka sengaja melemah dari awal sampai kuarter kedua selesai. Begitu
kuarter ketiga mereka ingin mengagetkan kita dengan kekuatan mereka.” kata Pak
Jo.
“Benar itu.
Kalau kau terus bermain, mereka pasti akan berusaha menyingkirkanmu dengan cara
yang lebih keras!” kata Alvin.
Cakka diam
saja mendengar ucapan Alvin dan pelatihnya.
“Vin, kurasa
kita harus mengubah strategi.” kata Gabriel.
“Ya, aku sudah
memikirkannya dari tadi, Yel. Nanti ikuti saja instruksiku. Kuharap kalian
bertiga dan Obiet bisa menjaga satu sama lain agar kejadian ini tidak terulang
lagi,” kata Alvin. “Aku akan memberi tanda kepada kalian di lapangan, Oke?”
Gabriel, Rio, Obiet
dan Ray mengangguk.
“Sudah, kita tidak
bisa berbincang-bincang terlalu lama. Biar aku yang menggantikanmu untuk
sementara. Kalau kuarter terakhir nanti kau sudah membaik, kau boleh masuk
lagi. Bagaimana?” tanya Obiet tiba-tiba menyahut.
Cakka tersenyum.
J L J
Sesuai dengan perintah Alvin, CRAG Team berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga posisi masing-masing dan waspada terhadap gerakan-gerakan lawan agar tidak ada lagi yang harus diganti selain Cakka. Dengan formasi Alvin dan Gabriel di tengah, Rio di dekat ring mereka, serta Obiet dan Ray di dekat ring tim lawan, mereka berusaha mengepung semua area yang memungkinkan tim lawan untuk mencetak angka.
“Yel!” teriak Alvin sambil mengoper bola ke Gabriel. Kemudian, ia bersiap di posisi samping Gabriel. Dengan cepat, Gabriel menangkap dan langsung mendribel bola mereka menuju ring. Mengetahui banyak lawan yang menghadangnya, Alvin langsung memberi kode kepada Rio untuk datang membantu. Berkali-kali Gabriel berusaha berkelit untuk meloloskan diri, tapi tetap ada saja lawan yang tersisa.
“Hei!” teriak Rio meminta bola.
Gabriel tersenyum, kemudian melempar bolanya menuju ke arah Rio dengan teknik bounce pass untuk mengecoh lawan. Ia memantulkan bolanya sekali melewati bawah dan membiarkan Rio menangkapnya.
“Shoot!!” teriak Alvin.
HUP! Rio langsung melempar bola basket tersebut dengan kuat dan.. masuk! Lagi-lagi CRAG Team mencetak angka, menjadikan skor menjadi 50-42 untuk keunggulan mereka.
Cakka hanya tersenyum di pinggir lapangan melihat kerja sama antara teman-temannya di lapangan. Mereka benar-benar hebat. Sudah berkali-kali Verrell terlihat seperti memberi kode agar segera bermain fisik, tapi mereka selalu mempunyai akal untuk menghindarinya. Mungkin selama ini dia salah, mereka semua bisa melakukannya dengan maupun tanpa dirinya di lapangan. Alvin juga sangat mahir menyusun strategi.
“Kau pasti ingin bermain di sana, bukan?” tiba-tiba Ayah sudah duduk di sampingnya. Wajahnya sama sekali tak melihat ke arah anaknya dan masih menunjukkan ekspresi datar seperti tadi.
Cakka sempat kaget mendengar suaranya. Namun, ia hanya tersenyum mendengar pertanyaan tersebut. Dengan suara canggung, ia bertanya kepadanya. “Ayah sengaja pulang untuk menontonku?”
Ayah diam saja mendengarnya. Cakka yang juga tetap fokus menatap lapangan tidak mengeluarkan suara apa-apa. Di antara keramaian yang ada, mereka tampak seperti dua orang yang sedang mengalami perselisihan. Sama sekali tak saling berbicara.
“Sekarang, kau rasakanlah bagaimana rasanya ada di pertandingan basket seperti ini. Kau kehilangan banyak tenaga, rambutmu berantakan, bahkan kakimu terluka.” kata Ayah. “Itu karma yang kau dapatkan karena tidak mendengarkan Ayah.”
Cakka tetap diam.
“Kau itu keras kepala. Tidak seperti kakakmu yang menurut dan memilih untuk menjauhi basket seperti yang Ayah inginkan,” kata Ayah dingin. “Ayah tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apapun yang lebih parah kepadamu.”
“Eh?” kata Cakka langsung menoleh dan menatap Ayah yang langsung beranjak dari tempat duduknya untuk melangkah pergi. Meninggalkan Cakka sendiri di sana. Cakka segera menunduk kembali. Kemudian, langsung menganggukkan kepalanya, menandakan bahwa dia sudah membulatkan keputusannya. Setelah pertandingan selesai nanti, ia harus berbicara dengan Pak Jo lagi.
Tak lama kemudian, Biru dan Elang datang untuk menemani adik mereka. Mereka duduk di samping kiri-kanan Cakka.
“Tadi Ayah mengatakan apa padamu?” tanya Biru penasaran.
Cakka hanya tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya kemudian kembali fokus kepada teman-temannya yang ada di lapangan. Kuarter ketiga sudah hampir selesai. Dan skor tim basket sekolahnya sudah mulai terkejar.
☺ ☹ ☺
Kuarter ketiga baru saja selesai. Skor sementara menunjukkan bahwa tim SMP Idola, CRAG Team, dengan tim SMPN 1 sama kuatnya. Keduanya berhenti di angka lima puluh. Itu artinya sepuluh menit di kuarter terakhir nanti akan menentukan siapa yang akan memenangkan semua pertandingan ini. Siapa yang bermain tidak serius, maka dia pasti akan kalah.
“Kerja bagus semuanya. Setidaknya kalian bisa mempertahankan keunggulan kalian sampai skor seri 50-50. Kuarter terakhir nanti, kalian harus benar-benar total. Jangan sampai lengah!” kata Pak Jo menasehati anak-anak didiknya yang sedang sibuk minum, mengelap keringat dan memijit bahu mereka yang sudah pegal-pegal.
“Siap, Pak!” kata Alvin, Gabriel, Rio, Ray dan Obiet sambil tetap sibuk.
“Bagaimana keadaanmu, Kka?” tanya Pak Jo berbalik menatap Cakka.
Cakka tersenyum. “Aku ingin bermain lagi.”
“Kau yakin sudah tak apa-apa?” tanya Alvin memastikan.
Cakka mengangguk. “Hanya pegal-pegal saja.”
“Baiklah, kalau begitu aku serahkan kembali padamu, kapten,” kata Obiet sambil menyalami tangan Cakka ala laki-laki. “Aku akan kembali menjadi pendukung kalian di bangku cadangan.”
“Terima kasih untuk lima menitnya, Biet.” kata Gabriel tersenyum.
Obiet mengacungkan jempol sambil memamerkan gigi putihnya.
“Oke, kalau begitu kalian harus berjuang dengan formasi lama. Cakka, kau sudah mengerti strategi kami, bukan? Bapak harap sepuluh menit terakhir tadi cukup untuk mempelajarinya.” kata Pak Jo.
Cakka mengangguk, kemudian tersenyum.
“Berjuang, Cakka! Kau harus buktikan bahwa kau adalah pebasket yang hebat. Apalagi di hadapan Ayah. Aku yakin kau pasti bisa!” kata Biru semangat. “Jangan kecewakan teman-teman yang sudah mendukungmu, oke?”
Cakka lagi-lagi hanya tersenyum.
Cakka, Alvin, Ray, Rio dan Gabriel segera menumpukkan tangan mereka menjadi satu dan berseru nyaring, “CRAG Team, Friends Till The End!”
Mereka berlima langsung kembali ke lapangan untuk kembali beraksi. Gabriel dan Rio sudah berjalan di depan. Sementara Ray dan Alvin dengan baik hatinya mendampingi Cakka di kanan-kirinya. Sambil sesekali bercanda tawa dan diakhiri dengan Alvin mengangkat tangannya tinggi-tinggi tanda semangat yang membara untuk mengakhiri pertandingan ini dengan baik.
Ayah yang sejak tadi diam-diam melihat kekompakkan Cakka dan teman-temannya hanya bisa diam di tempat. Chase Karayne. Anak itu benar-benar keras kepala terhadap apa yang ia inginkan. Sejak kecil sifat itu sudah melekat di dalam dirinya. Kelakuannya dan persahabatan yang tampak telah terjalin dengan teman-temannya hari ini banyak mengingatkannya terhadap seseorang yang pernah dikenalnya zaman dulu. Seseorang yang sangat dekat dengannya, yang memiliki sifat yang persis seperti Cakka.
“Yah...” tiba-tiba suara Elang membuyarkan lamunannya.
“Kenapa, Lang?” tanya Ayah spontan menoleh.
Elang tersenyum. “Ayah kenapa? Dari tadi sepertinya melamun saja.”
“Oh, tidak. Ayah tidak apa-apa,” kata Ayah. “Tadi Ayah dengar, Cakka masuk untuk bermain lagi ya, Lang?”
“Ya. Ayah bukannya tidak tahu seberapa pekerja kerasnya dia terhadap basket. Padahal, sudah berkali-kali Ayah melarangnya,” kata Elang sambil tersenyum. “Maafkan aku dan Biru, Yah. Kami dan Bunda yang membantunya agar tetap teguh memegang impiannya. Kuharap Ayah tidak marah kepadanya.”
Ayah diam saja mendengarnya.
“Tapi, aku masih penasaran, mengapa Ayah bisa ada di sini? Apa Bunda yang meminta Ayah pulang untuk menghadiri pertandingan?” tanya Elang ingin tahu.
Ayah diam sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Beberapa hari yang lalu Bundamu mengatakan bahwa Cakka sempat mengurungkan dirinya di kamar karena omelan dan tamparan Ayah. Bunda memaksa Ayah untuk datang ke sini, untuk melihat sendiri bagaimana potensinya di basket.”
“Lalu, bagaimana menurut Ayah? Bukankah dia sangat berbakat?”
Ayah kembali diam. Matanya tetap fokus menatap lapangan, entah tak ingin menjawab atau masih mengawasi anak bungsunya yang sedang berjuang di sana. Yang pasti, ia merasakan sesuatu yang aneh setiap kali Cakka berhenti berlari di tengah lapangan untuk menghilangkan rasa lelahnya sejenak. Selain memperlihatkan konsentrasi, ia juga memperlihatkan kegigihannya dalam pertandingan tersebut.
☺ ☹ ☺
Selama kuarter empat berlangsung, Verrell tidak tampak berusaha untuk membuat Cakka kembali celaka. Tiba-tiba saja tim SMPN 1 bermain total tanpa menggunakan fisik. Mereka tampak mengubah formasi mereka untuk menjaga beberapa tempat yang penting bagi mereka untuk mencetak angka dan juga selalu merebut bola dari CRAG Team. Cakka dan teman-temannya yang menyadari mereka juga mengubah strategi tentu saja menjadi kaget. Angka mereka menjadi agak tertinggal karena mereka benar-benar menghalang hampir seluruh kesempatan mereka untuk mencetak angka.
“Yo!” teriak Gabriel langsung melempar bola menuju kembarannya.
Dengan sigap, Rio langsung menangkapnya dan membawanya menuju ring dimana Cakka dan Alvin sudah menunggu di sisi kanan dan kiri ring tersebut. Namun, sebelum ia sempat mengoper ke arah Cakka maupun Alvin, lagi-lagi salah satu dari anggota tim SMPN 1 merebut bolanya dan kembali menjauhi bola tersebut dari ring milik CRAG Team.
Gabriel mendengus sejenak, kemudian langsung mengejar kembali lawannya. Sambil berlari ia berteriak kepada Ray yang berjaga di dekat ring lawan. “Defense!!”
Untungnya sebelum Gabriel berteriakpun, Ray sudah bersiap-siap untuk menghadang lawan. Dengan cepat, ia langsung berlari menuju si pemegang bola tersebut dan menghalang jalannya agar tidak bisa mencetak angka. Lawannya itu langsung dengan cepat mengoper kepada Verrell yang ada di belakang Ray. Dan tanpa sempat Gabriel halangi, Verrell telah melempar bola tersebut ke ring dan masuk dengan mulus. Skor menjadi 54-60 untuk keunggulan tim SMPN 1.
Alvin memukul kakinya kesal melihat skor lawan bertambah. Lagi-lagi timnya gagal mencetak angka. Verrell benar-benar sudah merencanakan semuanya untuk mengalahkan CRAG Team. Ia benar-benar tak habis pikir, hanya karena dendam masa lalu, ia sampai seperti ini.
Cakka yang lagi-lagi memegang kedua lututnya dan bernafas berat menoleh ke arah dimana durasi ditampilkan. Waktu tinggal tiga menit lagi. Ia dan teman-temannya tak memiliki banyak waktu lagi untuk mengejar skor dan membuktikan bahwa mereka sama sekali tidak akan menyerah sebelum pertandingan benar-benar berakhir.
“Cakka, kau tidak apa-apa?” tanya Ray tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
Cakka menoleh. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Kau yakin?” tanya Ray lagi.
Ia berdiri tegak menatap temannya tersebut. Sambil masih bernafas ngos-ngosan, ia berkata. “Waktu tinggal tiga menit lagi. Aku tak ingin menyerah dan mengecewakan kalian begitu saja!”
Ray tersenyum.
“Ray! Cakka! Defense!” tiba-tiba terdengar suara teriakan Alvin dari kejauhan.
Ray dan Cakka langsung spontan menoleh. Mereka langsung mengambil posisi siap menghadang begitu melihat beberapa lawan mereka tampak menyerbu. Ray menjaga sisi kanan, Cakka menjaga sisi kiri. Begitu mereka sudah dekat, Cakka langsung merebut bola dari tangan lawan dan langsung mendribelnya menuju ringnya. Dengan berbekal kaki kiri yang masih agak sakit, ia berlari sekencang-kencangnya membawa bola. Para lawan yang berlari di belakangnya tak bisa mengejar karena Ray dan Gabriel segera menghadang jalan mereka. Cakka melempar bolanya ke arah Rio yang ada di dekat ring. Rio langsung segera melempar bola. Masuk! Dua angka untuk CRAG Team. Skor menjadi 56-60, masih dengan keunggulan SMPN 1.
Sayang sekali, kesempatan mereka berhasil mencetak angka hanya terjadi sekali itu saja, tim SMPN 1 lagi-lagi merebut bola mereka berkali-kali dan membuat skor mereka semakin tertinggal jauh. Waktu tinggal dua menit lagi, sementara CRAG Team justru tertinggal dua belas poin. 56-72 untuk keunggulan tim lawan.
Cakka, Alvin, Gabriel, Ray dan Rio berusaha sekuat mungkin untuk mengejar skor mereka dengan sisa waktu yang tersisa. Mereka jelas yakin kekompakkan dan kerja sama yang baik pasti akan selalu menang dibandingkan keegoisan dan cara curang yang dilakukan tim lawan. Dengan dukungan tambahan yang heboh dari para pendukung CRAG Team, mereka jelas ingin bermain maksimal. Mereka tak ingin mengecewakan semuanya yang telah mendukung mereka.
Waktu tinggal satu menit lagi. Dan skor mereka sekarang adalah 65-72. Masih untuk keunggulan tim SMPN 1, namun sudah lumayan terkejar. Dengan seluruh kekuatan mereka, Cakka dan teman-temannya terus-menerus berusaha menghalang semua anggota tim lawan agar tidak mencetak angka lagi. Sekarang bola ada di tangan Verrell, dengan cepat Cakka segera merebut bola tersebut dan langsung mengopernya menuju Gabriel.
“Shoot!” teriak Alvin nyaring. Dari jarak yang cukup jauh, Gabriel segera melempar bola tersebut dengan sangat kuat.
Masuk! Tiga angka untuk CRAG Team. Papan skor juga berubah menjadi 68-72. Waktu juga telah menunjukkan bahwa waktu mereka bertanding hanya tinggal empat puluh detik lagi. Sekarang bola ada pada tim SMPN 1. Salah satu pemain mereka mendribel bola menuju ring mereka untuk mencetak angka terakhir sebelum pertandingan selesai. Namun, untungnya Ray menahannya dan segera langsung melempar bola menuju Cakka yang ada di tengah lapangan.
HUP! Cakka berhasil menangkapnya dan segera menoleh ke arah ring milik CRAG Team. Di atas ring tersebut telah menunjukkan bahwa waktu tinggal tiga puluh detik lagi. Ia segera mendribel bolanya dengan cepat dan mencetak dua angka lagi untuk CRAG Team. Skor menjadi 70-72! Hanya perlu satu kali lemparan lagi untuk memenangkan pertandingan tersebut.
“Jangan biarkan mereka mencetak angka lagi!” teriak Verrell kesal sambil melempar bola basket dari pinggir lapangan. Teman-temannya pun lagsung menurutinya dan segera mengambil posisi untuk menjaga aman bola mereka. Sementara CRAG Team jelas juga sudah siap untuk merebut bola mereka.
Pertandingan basket itu terasa semakin menegangkan bagi semua yang ada di sana. Waktu tinggal dua puluh detik lagi, Cakka dan teman-temannya segera cepat-cepat mengejar lawan mereka dan berusaha merebut bola. Tapi, mereka terus-terusan mengoper dan membawa bola basket menjauh dari Cakka dan teman-temannya. Hingga akhirnya waktu tinggal sepuluh detik lagi!
“Defense!” teriak Gabriel lagi dengan kencang.
“Cepat rebut bolanya!!” Alvin juga ikut berteriak.
“Hup!” Dengan cepat Cakka langsung merebut bola dari mereka dan langsung berkelit agar mereka tidak bisa menggagalkan aksinya. Dengan kakinya yang sudah lelah luar biasa ia langsung berlari menuju tengah lapangan.
“Cepat three point, Kka!” teriak Ray panik melihat waktu. Lima detik lagi!
Cakka berhenti di tengah lapangan dan menatap sekelilingnya. Ada teman-temannya yang berharap-harap cemas mengamatinya. Juga ada kedua kakaknya dan yang paling penting adalah Ayah. Bahkan semangatnya masih tak setuju dengannya agar diam saja di sana.
“Cepat shoot, Kka!!” teriak Gabriel semakin panik. Tiga detik lagi!
“Shoot!!” teriak Alvin, Gabriel, Rio dan Ray hampir bersamaan.
Akhirnya, dengan kekuatan penuh, Cakka langsung melempar bola tersebut menuju ring mereka yang nan jauh di sana. PRIIT...!!! Tak lama kemudian, peluit tanda pertandingan selesai juga dibunyikan dengan nyaring. Bola berwarna oranye tersebut lepas dari tangan Cakka tepat bersamaan dengan bunyi peluit tersebut. Semua yang ada di sana langsung terdiam dan berharap-harap cemas melihat bola basket yang masih melambung di udara. Lemparan tersebut merupakan lemparan penentuan siapa yang akan menang.
Dan ternyata...
Bola masuk dengan mulus! Para anggota basket langsung menoleh ke arah wasit. Namun, wasit tampak menggelengkan kepalanya dan menyilangkan tangannya. Lemparan tersebut ternyata tidak terhitung masuk karena pertandingan sudah keburu dianggap selesai. Ternyata, kalau bola basket terlepas dari tangan pemain bersamaan dengan selesainya pertandingan, maka tidak akan terhitung. Dan dengan itu, tim SMPN 1 dinyatakan menjadi pemenangnya!
Verrell dan teman-temannya tampak bersorak puas karena dinyatakan menang. Mereka tampak tersenyum sinis kepada Cakka dan teman-temannya. Terutama Verrell, ia benar-benar merasa dendamnya sudah terbalaskan. Dan baginya, pertandingan itu merupakan pembuktian bahwa tim basket mantan sekolahnya itu memang sama sekali merupakan tim yang tidak hebat.
Tapi, Verrell salah. Walaupun CRAG Team kalah, para penonton justru memberikan standing applause kepada mereka. Mereka bersorak semangat kepada Cakka dan teman-temannya atas perjuangan panjang yang telah mereka tempuh selama pertandingan. Terlebih Cakka yang sudah benar-benar kehabisan tenaga. Begitu pertandingan selesai tadi, ia sudah tak mampu berdiri. Ia duduk di tengah lapangan dan sibuk mengatur nafasnya.
“CRAG Team! CRAG Team! CRAG Team!” terdengar suara penonton bersemangat menyebut-nyebut tim mereka. Verrell yang melihat itu jelas tak terima. Sebaliknya, Alvin, Gabriel dan Rio tampak tersenyum puas melihat reaksi penonton.
“Apa-apaan ini? Mereka tidak menang! Untuk apa penonton bersorak untuk mereka?” kata Verrell kesal. Bahkan pendukung tim basket sekolahnyapun juga ikut-ikutan bersorak untuk CRAG Team.
“Apa kau tidak sadar, Rel? Kau telah menang dengan cara curang! Kau mencelakai kaki Cakka! Kau tak akan mendapatkan penghargaan dari penonton dengan cara menjadi pemenang palsu!” kata Alvin sambil tersenyum puas.
“Kebaikan pasti selalu menang dengan kejahatan!” tambah Gabriel mencibir.
Verrell melotot ke arah Alvin. Ia mendengus kesal melihat mereka. Kemudian, ia langsung pergi begitu saja dari lapangan. Entah kemana.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
http://twitter.com/fanchaa
http://facebook.com/fancha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p