Sabtu, 11 Oktober 2014

Cerbung | Impian bola Basket Part 18


Sabtu sore itu, Cakka sudah siap dengan baju seragam basketnya yang berwarna merah. Angka satu telah tertulis di balik punggungnya besar-besar di baju itu dengan nama Cakka di atasnya. Perlengkapan yang ia butuhkan untuk pertandingan hari ini sudah ia siapkan sejak kemarin, namun rasanya masih ada yang kurang. Ia belum bisa berangkat ke tempat pertandingan tanpa...

Dukungan orang tua, batinnya pelan. Ya, benar. Sejak dulu hal itu saja yang selalu membebani hatinya. Handuk kecil dan beberapa botol minum berukuran besar untuk menyegarkan tubuhnya selama pertandingan, ponsel untuk berjaga-jaga jika ada kejadian tidak terduga juga beberapa makanan ringan untuk teman-temannya sudah ada di dalam tas. Namun, dibandingkan dengan semua itu, yang akan membuatnya semangat sampai puncak hanyalah dukungan orang tua. Tapi, masalahnya, sampai sekarang dia belum mendapatkan hal itu sedikitpun. Dukungan dari Bunda, Kak Biru dan Kak Elang belum cukup. Jumlah dukungan dari mereka harus ditambah dan dilengkapi oleh dukungan... Ayah.
Perlahan-lahan ia membalikkan badannya dan segera duduk di atas tempat tidur. Wajahnya yang menunduk menyembunyikan wajah murung karena hari ini adalah hari dimana ia akan bertanding melawan sekolah Verrell. Tapi, entahlah. Sejujurnya, ia ingin sekali bertemu dengan Ayah. Tapi...
Ia menoleh ke arah keluar jendela kamarnya. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum berdesah pelan. “Entah ada dimana Ayah berada sekarang.”
Cakka menatap sendu langit sore yang indah itu. Warna merah bercampur jingga yang beberapa jam lagi akan menjadi gelap tersebut membuat pikirannya melayang kemana-mana. Ia ingat. Dulu saat ia masih kecil, ia sering sekali bermain keluar bersama teman-temannya di halaman rumah. Mereka bercanda tawa, berkejar-kejaran keluar rumah, hingga Ayah yang menjaganya waktu itu kewalahan menangkap dia dan teman-temannya agar tidak bermain terlalu jauh.
Waktu itu, dia masih tujuh tahun. Dan Ayah belum menjadi pekerja sibuk seperti sekarang. Dia selalu mempunyai waktu untuk menemaninya setiap waktu. Dan apapun yang dimintanya pasti dikasih. Walaupun basket tetap saja tidak termasuk. Berbeda dengan sekarang, hidupnya jauh lebih sepi daripada masa kecilnya itu. Bahkan hidupnya seakan-akan haram menyentuh basket jika Ayah sedang ada di rumah.
Andai Cakka mengetahui sebenarnya apa yang mengganggu pikiran Ayah tentang basket, Cakka pasti akan berusaha mengerti perasaan Ayah. Apapun alasan yang beliau sembunyikan dari semua orang. Tapi, Ayah tak pernah bercerita sedikitpun kepadanya, Kak Biru juga Kak Elang. Bahkan mungkin Bunda juga tidak tahu apa yang ada di benak Ayah. Dan dengan pekerjaannya yang begitu sibuk di luar sana, entah sampai kapan Cakka harus menunggu kesempatan untuk bertanya kepadanya tentang hal ini.
“Cakka, kau sedang apa, sayang?” tiba-tiba Bunda muncul di ambang pintunya dan tersenyum ketika melihat anak bungsunya duduk-duduk saja di tempat tidur. Padahal, jam sudah hampir menunjukkan angka empat.
Cakka menggeleng cepat.
“Kau sudah siap? Pertandinganmu akan dimulai sebentar lagi, sebaiknya kau pergi sekarang kalau tidak ingin terlambat.” kata Bunda sambil mendekati Cakka dan menyentuh sebelah pundaknya.
Cakka diam saja menatap wajah Bunda yang teduh. “Bun...”
“Iya, sayang?”
“Aku ingin bertemu Ayah.” kata Cakka dengan suara memelas. Raut wajah sedihnya tiba-tiba terpancar jelas di kedua matanya. “Aku ingin melihat Ayah mendukungku di pertandingan hari ini.”
Bunda diam sejenak. Ia tersenyum hangat, kemudian mengelus rambut Cakka sambil berkata, “Dimanapun Ayah berada sekarang, Ayah pasti mendukungmu dalam pertandingan, Cakka. Walaupun di penglihatan kita dia selalu terlihat keras, namun di dalam hatinya dia selalu berdoa yang terbaik untukmu.”
“Tapi, Cakka tidak bisa pergi tanpa dukungan kalian.”
“Semuanya pasti mendukungmu, Cakka. Kak Elang, Kak Biru, Bunda, teman-teman basketmu, teman-teman sekelasmu, bahkan Ayah juga pasti akan mendukungmu. Jadi, kau hanya tinggal pergi ke sana dan melakukan yang terbaik untuk kita semua.” kata Bunda. “Ingatlah perkataan Bunda, seberapa besar bebanmu dalam hidup, kau harus tetap bisa menjadi yang terbaik. Yakinlah bahwa Ayah selalu ada di hatimu. Dengan begitu, Ayah akan merasakan apa yang kau rasakan.”
Cakka diam. Ia mengangguk.
“Cakka! Ayo kita berangkat! Sudah terlambat!” terdengar suara Kak Biru dan Kak Elang yang memanggil-manggilnya dari bawah. Mereka berdua yang akan mengantar Cakka ke SMPN 1, sekaligus menjadi supporter tambahan untuk tim basketnya.
Bunda tersenyum mendengar teriakan itu. Ia mengacak rambut Cakka sejenak dengan sayang, “Pergilah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu.”

J L J

Begitu Cakka dan kedua kakaknya sampai di SMPN 1, area lapangan basket indoor tampak sudah sangat ramai. Selain anggota tim basket SMPN 1 dan para pendukung mereka, pendukung tim sekolahnya juga sudah banyak yang hadir. Belum lagi para cheerleader dari SMPN 1 yang siap mendukung sekolah mereka juga. Dan banyak dari mereka yang sudah berteriak-teriak karena sangat menanti-nantikan pertandingan dimulai.
“Cakka!”
Cakka menoleh ketika mendengar suara itu. Tampak seorang bapak yang memakai baju kaus dan celana panjang menghampirinya. Di lehernya tergantung sebuah kamera SLR. Begitu ia sampai di hadapan Cakka, ia langsung menyalami tangannya. Elang yang melihatnya hanya diam saja karena memang tidak kenal. Sementara Biru memicingkan matanya, merasa pernah melihat bapak itu.
Cakka tersenyum melihat teman Ayah itu ternyata hadir. Dia pasti ingin mendukung anaknya dalam pertandingan. “Apa kabar, Om?”
“Baik. Kau sendiri bagaimana? Sudah lama ya kita tidak bertemu. Om tidak menyangka kita akan bertemu lagi di sini. Ternyata yang dimaksud Verrell dari tim sekolah SMP Idola itu sekolahmu!” kata Aryo tersenyum senang. “Dulu Verrell juga sekolah di sana, Kka. Dia pernah menjadi kapten basket di sekolahmu. Tapi hanya sempat satu tahun.”
Biru membesarkan matanya mendengar ucapan Aryo. Ia baru ingat kalau itu adalah Aryo, Ayah dari Verrell! Ia mengenal anak itu dulu sebelum Verrell pindah dari sekolahnya. Mengejutkan sekali bertemu dengan orang tuanya di sini, apa Verrell sekarang bersekolah di sini dan ikut tim inti basket juga?
Cakka mengangguk-angguk. “Saya tahu, Om. Verrell pernah cerita kepadaku.”
“Begitu? Bagus kalau begitu, sepertinya kalian sudah cukup dekat. Oh ya, Ayahmu tidak ikut?” tanya Aryo penasaran karena dari tadi tidak melihat Ayah. Biru yang mendengarnya bertambah heran. Untuk apa juga Aryo menanyakan Ayah. Tapi, lain dengan Cakka, ia langsung menggelengkan kepalanya.
“Ayah masih ada di luar negeri, Om.” akhirnya Biru angkat bicara.
“Begitukah? Wah, bisnisnya pasti sedang sibuk. Kalau begitu, Om akan ke dalam dulu ya? Sampai bertemu nanti dan semoga pertandingan kalian berjalan lancar. Om juga akan menyemangatimu.” kata Aryo sambil menepuk pundak Cakka pelan yang langsung diangguki oleh si pemilik pundak.
Seiring Aryo pergi, Cakka diam saja menatap punggung Ayah dari lawannya itu menjauh dari tempatnya berdiri. Semangat yang diberikannya barusan terasa seperti mendapatkan semangat dari seorang Ayah. Ia benar-benar senang mendengar kata-kata semangat yang diberikannya. Namun, tentu saja ia akan lebih senang jika ia mendapatkannya dari Ayah dia sendiri.
Begitu bayangan Aryo menghilang, Biru langsung menoleh ke arah Cakka dengan heran. “Cakka, kau tak pernah bercerita kalau kau kenal dengan Verrell. Jadi, hari ini kau akan melawan sekolah dia? Dan bagaimana kau bisa kenal dengannya dan juga Om Aryo?”
Cakka mengangguk. “Om Aryo itu teman Ayah.”
Biru melongo mendengar jawaban Cakka. Ia sama sekali menyangka kalau Aryo adalah teman Ayah yang waktu itu dikenalkan kepada Cakka. Pantas saja waktu itu Ayah begitu marah ketika pulang dari sana. Aryo pasti mengungkit-ungkit soal basket dan membuatnya tak bisa menahan perasaan bencinya terhadap basket. Dan akhirnya, Cakka yang terkena imbasnya. Ia memang pernah bertemu sekali dengan Ayah dari Verrell itu. Beliau pernah datang ke sekolah untuk menyemangati tim basket sekolahnya waktu Verrell belum pindah. Dan yang Biru tahu, Aryo itu sangat antusias dengan hobi anaknya. Ia mendukung seratus persen apa yang menjadi keinginan Verrell dalam bidang basket. Dan ia jelas tahu kalau Verrell bukanlah orang baik-baik. Ada hubungan apa Verrell dengan Cakka? Mereka tak mungkin bisa berteman!
“Ah sudahlah, ayo kita masuk! Kita sudah terlambat! Pertandingan sebentar lagi akan dimulai!” kata Elang menarik kedua adiknya masuk ke dalam sekolah tersebut. Biru dan Cakka diam saja, membiarkan Elang menarik tangan mereka sampai ke area lapangan, tepatnya tempat dimana CRAG Team beristirahat.
Saat itu, Alvin, Ray dan Rio sudah datang. Mereka sedang melakukan pemanasan di pinggir lapangan dengan handuk mereka masing-masing tergantung di sekitar leher mereka. Begitu melihat kehadiran sang kapten, wajah mereka langsung sumringah. Dengan bahagianya mereka menyambut Cakka dengan high five dari masing-masing dari mereka. Kemudian, Alvin langsung meninggalkan mereka karena ditarik oleh Biru untuk menjauh sebentar.
“Dimana Gabriel?” tanya Cakka pada Rio karena tidak melihat kembarannya itu sudah tampak batang hidungnya di sana.
“Ia bermain ke rumah sepupu kami sejak tadi pagi, katanya dia ingin langsung ke sini. Tapi, sampai sekarang belum datang juga. Padahal, dia sudah susah-susah membawa baju basketnya ke sana agar bisa langsung mengganti baju dan datang ke sini dengan keadaan siap bertanding.” kata Rio. “Aturan tadi aku menahannya di rumah kalau tahu akan seperti ini jadinya.”
“Tapi, ya sudahlah, yang penting dia datang. Kita hanya akan repot jika dia benar-benar tidak muncul. Masalahnya, dia yang paling hebat berurusan dengan adu fisik. Kalau Verrell dan teman-temannya sampai melakukan cara fisik, habislah sudah tanpa dia.” kata Rio lagi.
“Sebenarnya siapa Verrell itu? Rasanya kalian begitu takut dengannya. Kenapa hanya aku saja yang tidak tahu tentang dia?” tanya Ray. Rasa penasaran lamanya kembali muncul mendengar nama itu kembali disebut-sebut.
“Ah, kau kepo sekali, Ray.” kata Rio mencibir. Ray manyun mendengarnya.
Rio dan Cakka tertawa mendengarnya.
Sementara itu, Alvin dan Biru masih sibuk mengobrol di tempat lain. Ternyata, Biru masih penasaran dengan apa yang terjadi selama ini. Dan Biru tampak yakin Alvin tahu jawabannya.
“Kau tidak tahu kita akan melawan sekolah Verrell? Dan kau ingin tahu darimana Cakka bisa mengenal Verrell?” tanya Alvin, membuat Biru mengangguk cepat. Alvin menghela nafasnya keras, kemudian melanjutkan ucapannya. “Kau masih ingat anak basket dari komplek Matahari yang menantang Cakka dulu?”
“Ya, kenapa?” tanya Biru.
“Anak basket yang dimaksud Cakka waktu itu ternyata Verrell.” kata Alvin. “Dari sana ia mengenal Verrell. Tapi, aku tak tahu bagaimana proses tantangannya. Cakka tak pernah bercerita lagi semenjak dia bilang dia menunda tantangan itu karena Ayah kalian pulang.”
“Lalu, apa dia tahu bagaimana sifat Verrell? Kau, Gabriel dan Rio bercerita kepada adikku soal itu?”
Alvin menggeleng. “Kita bertiga sama sekali tidak bercerita apapun soal yang terjadi dahulu. Cakka itu anak basket yang berambisi. Dia pantang menyerah dalam hal apapun. Aku sangat yakin dia bisa mengalahkan Verrell. Walaupun dia tidak tahu bagaimana caranya Verrell bermain dalam setiap pertandingan basket.”
“Bagaimana jika dia cedera?”
“Tidak akan, Bi. Aku, Gabriel dan Rio sudah membicarakan hal ini kemarin. Dan kami sepakat untuk berjuang melawannya sampai kita mencapai kemenangan. Di samping hal itu, kita juga akan menjaga Cakka dari apapun yang membahayakannya di lapangan. Ray juga setuju tanpa harus tahu alasan kita merencanakan ini.” kata Alvin.
Biru tersenyum. “Terima kasih, Vin.”
Alvin tersenyum. “Tak perlu. Justru aku yang harus berterima kasih kepada adikmu. Dia itu kapten paling hebat yang pernah aku lihat. Tidak hanya skill yang dia punya, tapi juga sikap. Memenangkan pertandingan ini satu-satunya cara untuk membalas semua yang dia perbuat selama ini.”
Biru tersenyum. “Ya, dia memang hebat.”
“Hei, kalian! Cepat kembali, jangan berduaan saja di sana! Pertandingan sudah akan dimulai tahu!” tiba-tiba Ray berteriak dari kejauhan. Alvin dan Biru yang melihatnya langsung tertawa, kemudian buru-buru kembali ke tempat anak-anak CRAG Team berada. Gabriel juga terlihat batang hidungnya. Mereka sudah siap untuk bertanding.
“CRAG Team, Friends Till The End!” teriak Cakka, Alvin, Ray, Gabriel dan Rio sambil menumpukkan tangan mereka. Slogan itu yang akan menjadi salah satu semangat mereka nanti di lapangan. Apapun yang akan terjadi nanti, mereka selalu menjadi teman. Teman yang akan selalu bahu-membahu satu sama lain.
Kali ini Cakka dan Verrell yang maju sebagai perwakilan masing-masing tim untuk memperebutkan bola pertama. Aura kompetisi seketika menguasai lapangan. Namun, Cakka tetap tersenyum dengan tenang menatap Verrell yang justru menatapnya balik dengan pandangan meremehkan. Senyuman pede yang terpancar di wajahnya itu menunjukkan bahwa dia sangat yakin akan memenangkan pertandingan.
“Oke, sudah siap?” tanya sang wasit yang memegang bola di antara mereka.
Cakka mengangguk cepat kepada wasit.
“Siap, Pak.” jawab Verrell.
“Oke. Satu... Dua... Tiga!” Sang wasit melempar bola basket setinggi-tingginya. Cakka dan Verrell langsung melompat, mencoba memperebutkan bola tersebut. Dan... akhirnya Cakka yang mendapatkan bola pertama tersebut! Semua anggota tim basket langsung bergerak cepat untuk membantu timnya masing-masing. Beberapa dari mereka berteriak-teriak memberi instruksi. Area lapangan basket seketika menjadi ramai setelah pertandingan dimulai.
“Ray!” teriak Cakka sembari melempar bola basketnya ke arah Ray yang tak dijaga oleh lawan. Dengan sigap Ray menangkap bola tersebut dan langsung mendribel bola hingga ia bisa mengopernya lagi ke arah Gabriel. Dari jarak yang cukup jauh, masih di area tiga angka, Gabriel langsung menembak bola ke arah ring basket timnya.
Dan... Masuk! Tiga angka untuk CRAG Team. Papan skor yang dikendalikan oleh salah satu murid SMPN 1 langsung mengganti angka nol menjadi tiga di bawah tulisan tim SMP Idola. Sementara itu, para penonton semakin lama semakin heboh, apalagi para pendukung CRAG Team. Biru dan Elang yang melihat keberhasilan pertama adiknya langsung high five.
“Semangat, Cakka!! Semangat, Alvin, Ray, Gabriel, Rio!!” teriak Biru kencang-kencang di sebelah Elang. Ia benar-benar berpikir bahwa teriakannya tersebut akan memberikan energi kepada CRAG Team, Elang sampai heran melihatnya.
Sekarang bola ada di tangan Verrell. Dan bisa ditebak oleh Alvin, dia bermain sendiri. Tanpa mengoper pada siapa-siapa, ia terus mendribel bola tanpa memperdulikan teman-teman di sekitarnya yang siap membantu. Dan tanpa banyak basa-basi, ia langsung menembak bola dari jarak dekat. Masuk! Dua angka untuk SMPN 1.
Alvin menggelengkan kepalanya melihat kejadian tersebut. Ia mendesah pelan, “Sifatnya sama sekali belum berubah.”
“Vin! Jangan pedulikan dia!” kata Rio menepuk pundak Alvin sejenak dan langsung meninggalkannya untuk kembali ke posisi. Alvin juga langsung kembali pada pertandingan. Untung saja Ray tidak mendengar percakapan mereka, atau dia pasti akan penasaran lagi.
Biru hanya merengut di pinggir lapangan ketika Verrell berhasil mencetak angka. Walaupun CRAG Team masih unggul, tapi ia benar-benar tak suka melihat caranya bermain. Sifat egoisnya terlihat sekali. Tim seperti itu menurutnya tak pantas untuk untuk menjadi pemenang. Tidak ingin itu terjadi, Biru terus-terusan bersemangat menjadi supporter setia CRAG Team.
“Cakka!” Gabriel yang memegang bola segera mengoper kepada kapten tim basket mereka yang berada di dekat ring. Dengan gerakan cepat, ia langsung melakukan lay-up untuk mencetak angka. Namun, sayang bola tidak mendukung rencananya. Bola basket hanya menyentuh bibir ring dan memutuskan untuk mental kembali ke lapangan. Bola langsung direbut oleh salah satu anggota tim SMPN 1.
Duo Rio dan Ray yang tidak puas dengan tembakan tadi langsung dengan semangat berlari mengejar untuk mencoba merebut bola. Rio yang berlari agak lebih cepat daripada Ray langsung segera menghadang lawannya agar dapat mengulur waktu. Sementara dari arah lain Ray mencoba merebut bola. Tapi, belum sempat ia melaksanakan rencananya, tiba-tiba salah seorang pemain basket menubruknya hingga ia terdorong ke arah Rio. Dan kelengahan keduanyapun dipakai mereka untuk meloloskan diri. HUP! Lagi-lagi mereka mencetak dua angka untuk SMPN 1.
“Curang!” seru Elang emosi melihat adegan tersebut.
“Ah, cupu! Ingin menang dengan cara kasar!” kata Biru juga emosi.
“Ray! Rio! Kalian tidak apa-apa?” tanya Alvin segera menghampiri keduanya dengan Gabriel dan Cakka. Mereka berdua menggelengkan kepalanya.
“Sudah, jangan pikirkan kami! Fokus! Kita sudah berlatih keras untuk pertandingan ini!” kata Ray sambil tersenyum. Ia segera meninggalkan mereka dan mengejar tim lawan kembali. Diikuti oleh teman-temannya.

TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p