Sabtu sore itu, Cakka
sudah siap dengan baju seragam basketnya yang berwarna merah. Angka satu telah
tertulis di balik punggungnya besar-besar di baju itu dengan nama Cakka di
atasnya. Perlengkapan yang ia butuhkan untuk pertandingan hari ini sudah ia
siapkan sejak kemarin, namun rasanya masih ada yang kurang. Ia belum bisa
berangkat ke tempat pertandingan tanpa...
Dukungan orang tua, batinnya pelan. Ya, benar. Sejak dulu hal itu saja yang
selalu membebani hatinya. Handuk kecil dan beberapa botol minum berukuran besar
untuk menyegarkan tubuhnya selama pertandingan, ponsel untuk berjaga-jaga jika
ada kejadian tidak terduga juga beberapa makanan ringan untuk teman-temannya
sudah ada di dalam tas. Namun, dibandingkan dengan semua itu, yang akan
membuatnya semangat sampai puncak hanyalah dukungan orang tua. Tapi,
masalahnya, sampai sekarang dia belum mendapatkan hal itu sedikitpun. Dukungan
dari Bunda, Kak Biru dan Kak Elang belum cukup. Jumlah dukungan dari mereka
harus ditambah dan dilengkapi oleh dukungan... Ayah.
Perlahan-lahan ia
membalikkan badannya dan segera duduk di atas tempat tidur. Wajahnya yang
menunduk menyembunyikan wajah murung karena hari ini adalah hari dimana ia akan
bertanding melawan sekolah Verrell. Tapi, entahlah. Sejujurnya, ia ingin sekali
bertemu dengan Ayah. Tapi...
Ia menoleh ke arah
keluar jendela kamarnya. Ia menghela nafasnya sejenak sebelum berdesah pelan.
“Entah ada dimana Ayah berada sekarang.”
Cakka menatap sendu
langit sore yang indah itu. Warna merah bercampur jingga yang beberapa jam lagi
akan menjadi gelap tersebut membuat pikirannya melayang kemana-mana. Ia ingat.
Dulu saat ia masih kecil, ia sering sekali bermain keluar bersama
teman-temannya di halaman rumah. Mereka bercanda tawa, berkejar-kejaran keluar
rumah, hingga Ayah yang menjaganya waktu itu kewalahan menangkap dia dan
teman-temannya agar tidak bermain terlalu jauh.
Waktu itu, dia masih
tujuh tahun. Dan Ayah belum menjadi pekerja sibuk seperti sekarang. Dia selalu
mempunyai waktu untuk menemaninya setiap waktu. Dan apapun yang dimintanya
pasti dikasih. Walaupun basket tetap saja tidak termasuk. Berbeda dengan
sekarang, hidupnya jauh lebih sepi daripada masa kecilnya itu. Bahkan hidupnya
seakan-akan haram menyentuh basket jika Ayah sedang ada di rumah.
Andai Cakka
mengetahui sebenarnya apa yang mengganggu pikiran Ayah tentang basket, Cakka
pasti akan berusaha mengerti perasaan Ayah. Apapun alasan yang beliau
sembunyikan dari semua orang. Tapi, Ayah tak pernah bercerita sedikitpun
kepadanya, Kak Biru juga Kak Elang. Bahkan mungkin Bunda juga tidak tahu apa
yang ada di benak Ayah. Dan dengan pekerjaannya yang begitu sibuk di luar sana,
entah sampai kapan Cakka harus menunggu kesempatan untuk bertanya kepadanya
tentang hal ini.
“Cakka, kau sedang
apa, sayang?” tiba-tiba Bunda muncul di ambang pintunya dan tersenyum ketika
melihat anak bungsunya duduk-duduk saja di tempat tidur. Padahal, jam sudah
hampir menunjukkan angka empat.
Cakka menggeleng
cepat.
“Kau sudah siap?
Pertandinganmu akan dimulai sebentar lagi, sebaiknya kau pergi sekarang kalau
tidak ingin terlambat.” kata Bunda sambil mendekati Cakka dan menyentuh sebelah
pundaknya.
Cakka diam saja
menatap wajah Bunda yang teduh. “Bun...”
“Iya, sayang?”
“Aku ingin bertemu
Ayah.” kata Cakka dengan suara memelas. Raut wajah sedihnya tiba-tiba terpancar
jelas di kedua matanya. “Aku ingin melihat Ayah mendukungku di pertandingan
hari ini.”
Bunda diam sejenak.
Ia tersenyum hangat, kemudian mengelus rambut Cakka sambil berkata, “Dimanapun
Ayah berada sekarang, Ayah pasti mendukungmu dalam pertandingan, Cakka.
Walaupun di penglihatan kita dia selalu terlihat keras, namun di dalam hatinya
dia selalu berdoa yang terbaik untukmu.”
“Tapi, Cakka tidak
bisa pergi tanpa dukungan kalian.”
“Semuanya pasti
mendukungmu, Cakka. Kak Elang, Kak Biru, Bunda, teman-teman basketmu,
teman-teman sekelasmu, bahkan Ayah juga pasti akan mendukungmu. Jadi, kau hanya
tinggal pergi ke sana dan melakukan yang terbaik untuk kita semua.” kata Bunda.
“Ingatlah perkataan Bunda, seberapa besar bebanmu dalam hidup, kau harus tetap
bisa menjadi yang terbaik. Yakinlah bahwa Ayah selalu ada di hatimu. Dengan
begitu, Ayah akan merasakan apa yang kau rasakan.”
Cakka diam. Ia
mengangguk.
“Cakka! Ayo kita
berangkat! Sudah terlambat!” terdengar suara Kak Biru dan Kak Elang yang
memanggil-manggilnya dari bawah. Mereka berdua yang akan mengantar Cakka ke
SMPN 1, sekaligus menjadi supporter tambahan untuk tim basketnya.
Bunda tersenyum
mendengar teriakan itu. Ia mengacak rambut Cakka sejenak dengan sayang,
“Pergilah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu.”
J L J
Begitu Cakka dan
kedua kakaknya sampai di SMPN 1, area lapangan basket indoor tampak sudah sangat ramai. Selain anggota tim basket SMPN 1
dan para pendukung mereka, pendukung tim sekolahnya juga sudah banyak yang
hadir. Belum lagi para cheerleader dari
SMPN 1 yang siap mendukung sekolah mereka juga. Dan banyak dari mereka yang
sudah berteriak-teriak karena sangat menanti-nantikan pertandingan dimulai.
“Cakka!”
Cakka menoleh ketika
mendengar suara itu. Tampak seorang bapak yang memakai baju kaus dan celana
panjang menghampirinya. Di lehernya tergantung sebuah kamera SLR. Begitu ia
sampai di hadapan Cakka, ia langsung menyalami tangannya. Elang yang melihatnya
hanya diam saja karena memang tidak kenal. Sementara Biru memicingkan matanya,
merasa pernah melihat bapak itu.
Cakka tersenyum
melihat teman Ayah itu ternyata hadir. Dia pasti ingin mendukung anaknya dalam
pertandingan. “Apa kabar, Om?”
“Baik. Kau sendiri
bagaimana? Sudah lama ya kita tidak bertemu. Om tidak menyangka kita akan
bertemu lagi di sini. Ternyata yang dimaksud Verrell dari tim sekolah SMP Idola
itu sekolahmu!” kata Aryo tersenyum senang. “Dulu Verrell juga sekolah di sana,
Kka. Dia pernah menjadi kapten basket di sekolahmu. Tapi hanya sempat satu
tahun.”
Biru membesarkan
matanya mendengar ucapan Aryo. Ia baru ingat kalau itu adalah Aryo, Ayah dari
Verrell! Ia mengenal anak itu dulu sebelum Verrell pindah dari sekolahnya.
Mengejutkan sekali bertemu dengan orang tuanya di sini, apa Verrell sekarang
bersekolah di sini dan ikut tim inti basket juga?
Cakka
mengangguk-angguk. “Saya tahu, Om. Verrell pernah cerita kepadaku.”
“Begitu? Bagus kalau
begitu, sepertinya kalian sudah cukup dekat. Oh ya, Ayahmu tidak ikut?” tanya
Aryo penasaran karena dari tadi tidak melihat Ayah. Biru yang mendengarnya
bertambah heran. Untuk apa juga Aryo menanyakan Ayah. Tapi, lain dengan Cakka,
ia langsung menggelengkan kepalanya.
“Ayah masih ada di
luar negeri, Om.” akhirnya Biru angkat bicara.
“Begitukah? Wah,
bisnisnya pasti sedang sibuk. Kalau begitu, Om akan ke dalam dulu ya? Sampai
bertemu nanti dan semoga pertandingan kalian berjalan lancar. Om juga akan
menyemangatimu.” kata Aryo sambil menepuk pundak Cakka pelan yang langsung
diangguki oleh si pemilik pundak.
Seiring Aryo pergi,
Cakka diam saja menatap punggung Ayah dari lawannya itu menjauh dari tempatnya
berdiri. Semangat yang diberikannya barusan terasa seperti mendapatkan semangat
dari seorang Ayah. Ia benar-benar senang mendengar kata-kata semangat yang
diberikannya. Namun, tentu saja ia akan lebih senang jika ia mendapatkannya
dari Ayah dia sendiri.
Begitu bayangan Aryo
menghilang, Biru langsung menoleh ke arah Cakka dengan heran. “Cakka, kau tak
pernah bercerita kalau kau kenal dengan Verrell. Jadi, hari ini kau akan
melawan sekolah dia? Dan bagaimana kau bisa kenal dengannya dan juga Om Aryo?”
Cakka mengangguk. “Om
Aryo itu teman Ayah.”
Biru melongo
mendengar jawaban Cakka. Ia sama sekali menyangka kalau Aryo adalah teman Ayah
yang waktu itu dikenalkan kepada Cakka. Pantas saja waktu itu Ayah begitu marah
ketika pulang dari sana. Aryo pasti mengungkit-ungkit soal basket dan
membuatnya tak bisa menahan perasaan bencinya terhadap basket. Dan akhirnya,
Cakka yang terkena imbasnya. Ia memang pernah bertemu sekali dengan Ayah dari
Verrell itu. Beliau pernah datang ke sekolah untuk menyemangati tim basket
sekolahnya waktu Verrell belum pindah. Dan yang Biru tahu, Aryo itu sangat
antusias dengan hobi anaknya. Ia mendukung seratus persen apa yang menjadi
keinginan Verrell dalam bidang basket. Dan ia jelas tahu kalau Verrell bukanlah
orang baik-baik. Ada hubungan apa Verrell dengan Cakka? Mereka tak mungkin bisa
berteman!
“Ah sudahlah, ayo
kita masuk! Kita sudah terlambat! Pertandingan sebentar lagi akan dimulai!”
kata Elang menarik kedua adiknya masuk ke dalam sekolah tersebut. Biru dan
Cakka diam saja, membiarkan Elang menarik tangan mereka sampai ke area
lapangan, tepatnya tempat dimana CRAG Team beristirahat.
Saat itu, Alvin, Ray
dan Rio sudah datang. Mereka sedang melakukan pemanasan di pinggir lapangan
dengan handuk mereka masing-masing tergantung di sekitar leher mereka. Begitu
melihat kehadiran sang kapten, wajah mereka langsung sumringah. Dengan
bahagianya mereka menyambut Cakka dengan high
five dari masing-masing dari mereka. Kemudian, Alvin langsung meninggalkan
mereka karena ditarik oleh Biru untuk menjauh sebentar.
“Dimana Gabriel?”
tanya Cakka pada Rio karena tidak melihat kembarannya itu sudah tampak batang
hidungnya di sana.
“Ia bermain ke rumah
sepupu kami sejak tadi pagi, katanya dia ingin langsung ke sini. Tapi, sampai
sekarang belum datang juga. Padahal, dia sudah susah-susah membawa baju
basketnya ke sana agar bisa langsung mengganti baju dan datang ke sini dengan
keadaan siap bertanding.” kata Rio. “Aturan tadi aku menahannya di rumah kalau
tahu akan seperti ini jadinya.”
“Tapi, ya sudahlah,
yang penting dia datang. Kita hanya akan repot jika dia benar-benar tidak
muncul. Masalahnya, dia yang paling hebat berurusan dengan adu fisik. Kalau
Verrell dan teman-temannya sampai melakukan cara fisik, habislah sudah tanpa
dia.” kata Rio lagi.
“Sebenarnya siapa
Verrell itu? Rasanya kalian begitu takut dengannya. Kenapa hanya aku saja yang
tidak tahu tentang dia?” tanya Ray. Rasa penasaran lamanya kembali muncul
mendengar nama itu kembali disebut-sebut.
“Ah, kau kepo sekali,
Ray.” kata Rio mencibir. Ray manyun mendengarnya.
Rio dan Cakka tertawa
mendengarnya.
Sementara itu, Alvin
dan Biru masih sibuk mengobrol di tempat lain. Ternyata, Biru masih penasaran
dengan apa yang terjadi selama ini. Dan Biru tampak yakin Alvin tahu
jawabannya.
“Kau tidak tahu kita
akan melawan sekolah Verrell? Dan kau ingin tahu darimana Cakka bisa mengenal
Verrell?” tanya Alvin, membuat Biru mengangguk cepat. Alvin menghela nafasnya
keras, kemudian melanjutkan ucapannya. “Kau masih ingat anak basket dari
komplek Matahari yang menantang Cakka dulu?”
“Ya, kenapa?” tanya
Biru.
“Anak basket yang
dimaksud Cakka waktu itu ternyata Verrell.” kata Alvin. “Dari sana ia mengenal
Verrell. Tapi, aku tak tahu bagaimana proses tantangannya. Cakka tak pernah
bercerita lagi semenjak dia bilang dia menunda tantangan itu karena Ayah kalian
pulang.”
“Lalu, apa dia tahu
bagaimana sifat Verrell? Kau, Gabriel dan Rio bercerita kepada adikku soal
itu?”
Alvin menggeleng.
“Kita bertiga sama sekali tidak bercerita apapun soal yang terjadi dahulu.
Cakka itu anak basket yang berambisi. Dia pantang menyerah dalam hal apapun.
Aku sangat yakin dia bisa mengalahkan Verrell. Walaupun dia tidak tahu
bagaimana caranya Verrell bermain dalam setiap pertandingan basket.”
“Bagaimana jika dia
cedera?”
“Tidak akan, Bi. Aku,
Gabriel dan Rio sudah membicarakan hal ini kemarin. Dan kami sepakat untuk
berjuang melawannya sampai kita mencapai kemenangan. Di samping hal itu, kita
juga akan menjaga Cakka dari apapun yang membahayakannya di lapangan. Ray juga
setuju tanpa harus tahu alasan kita merencanakan ini.” kata Alvin.
Biru tersenyum.
“Terima kasih, Vin.”
Alvin tersenyum. “Tak
perlu. Justru aku yang harus berterima kasih kepada adikmu. Dia itu kapten
paling hebat yang pernah aku lihat. Tidak hanya skill yang dia punya, tapi juga sikap. Memenangkan pertandingan ini
satu-satunya cara untuk membalas semua yang dia perbuat selama ini.”
Biru tersenyum. “Ya,
dia memang hebat.”
“Hei, kalian! Cepat
kembali, jangan berduaan saja di sana! Pertandingan sudah akan dimulai tahu!”
tiba-tiba Ray berteriak dari kejauhan. Alvin dan Biru yang melihatnya langsung
tertawa, kemudian buru-buru kembali ke tempat anak-anak CRAG Team berada.
Gabriel juga terlihat batang hidungnya. Mereka sudah siap untuk bertanding.
“CRAG Team, Friends Till The End!” teriak Cakka,
Alvin, Ray, Gabriel dan Rio sambil menumpukkan tangan mereka. Slogan itu yang
akan menjadi salah satu semangat mereka nanti di lapangan. Apapun yang akan
terjadi nanti, mereka selalu menjadi teman. Teman yang akan selalu bahu-membahu
satu sama lain.
Kali ini Cakka dan
Verrell yang maju sebagai perwakilan masing-masing tim untuk memperebutkan bola
pertama. Aura kompetisi seketika menguasai lapangan. Namun, Cakka tetap
tersenyum dengan tenang menatap Verrell yang justru menatapnya balik dengan
pandangan meremehkan. Senyuman pede yang terpancar di wajahnya itu menunjukkan
bahwa dia sangat yakin akan memenangkan pertandingan.
“Oke, sudah siap?”
tanya sang wasit yang memegang bola di antara mereka.
Cakka mengangguk
cepat kepada wasit.
“Siap, Pak.” jawab
Verrell.
“Oke. Satu... Dua...
Tiga!” Sang wasit melempar bola basket setinggi-tingginya. Cakka dan Verrell
langsung melompat, mencoba memperebutkan bola tersebut. Dan... akhirnya Cakka
yang mendapatkan bola pertama tersebut! Semua anggota tim basket langsung
bergerak cepat untuk membantu timnya masing-masing. Beberapa dari mereka
berteriak-teriak memberi instruksi. Area lapangan basket seketika menjadi ramai
setelah pertandingan dimulai.
“Ray!” teriak Cakka
sembari melempar bola basketnya ke arah Ray yang tak dijaga oleh lawan. Dengan
sigap Ray menangkap bola tersebut dan langsung mendribel bola hingga ia bisa mengopernya
lagi ke arah Gabriel. Dari jarak yang cukup jauh, masih di area tiga angka,
Gabriel langsung menembak bola ke arah ring basket timnya.
Dan... Masuk! Tiga
angka untuk CRAG Team. Papan skor yang dikendalikan oleh salah satu murid SMPN
1 langsung mengganti angka nol menjadi tiga di bawah tulisan tim SMP Idola.
Sementara itu, para penonton semakin lama semakin heboh, apalagi para pendukung
CRAG Team. Biru dan Elang yang melihat keberhasilan pertama adiknya langsung high five.
“Semangat, Cakka!!
Semangat, Alvin, Ray, Gabriel, Rio!!” teriak Biru kencang-kencang di sebelah
Elang. Ia benar-benar berpikir bahwa teriakannya tersebut akan memberikan
energi kepada CRAG Team, Elang sampai heran melihatnya.
Sekarang bola ada di
tangan Verrell. Dan bisa ditebak oleh Alvin, dia bermain sendiri. Tanpa
mengoper pada siapa-siapa, ia terus mendribel bola tanpa memperdulikan
teman-teman di sekitarnya yang siap membantu. Dan tanpa banyak basa-basi, ia
langsung menembak bola dari jarak dekat. Masuk! Dua angka untuk SMPN 1.
Alvin menggelengkan
kepalanya melihat kejadian tersebut. Ia mendesah pelan, “Sifatnya sama sekali
belum berubah.”
“Vin! Jangan
pedulikan dia!” kata Rio menepuk pundak Alvin sejenak dan langsung
meninggalkannya untuk kembali ke posisi. Alvin juga langsung kembali pada
pertandingan. Untung saja Ray tidak mendengar percakapan mereka, atau dia pasti
akan penasaran lagi.
Biru hanya merengut
di pinggir lapangan ketika Verrell berhasil mencetak angka. Walaupun CRAG Team
masih unggul, tapi ia benar-benar tak suka melihat caranya bermain. Sifat
egoisnya terlihat sekali. Tim seperti itu menurutnya tak pantas untuk untuk
menjadi pemenang. Tidak ingin itu terjadi, Biru terus-terusan bersemangat
menjadi supporter setia CRAG Team.
“Cakka!” Gabriel yang
memegang bola segera mengoper kepada kapten tim basket mereka yang berada di
dekat ring. Dengan gerakan cepat, ia langsung melakukan lay-up untuk mencetak angka. Namun, sayang bola tidak mendukung
rencananya. Bola basket hanya menyentuh bibir ring dan memutuskan untuk mental
kembali ke lapangan. Bola langsung direbut oleh salah satu anggota tim SMPN 1.
Duo Rio dan Ray yang
tidak puas dengan tembakan tadi langsung dengan semangat berlari mengejar untuk
mencoba merebut bola. Rio yang berlari agak lebih cepat daripada Ray langsung
segera menghadang lawannya agar dapat mengulur waktu. Sementara dari arah lain
Ray mencoba merebut bola. Tapi, belum sempat ia melaksanakan rencananya,
tiba-tiba salah seorang pemain basket menubruknya hingga ia terdorong ke arah
Rio. Dan kelengahan keduanyapun dipakai mereka untuk meloloskan diri. HUP!
Lagi-lagi mereka mencetak dua angka untuk SMPN 1.
“Curang!” seru Elang
emosi melihat adegan tersebut.
“Ah, cupu! Ingin
menang dengan cara kasar!” kata Biru juga emosi.
“Ray! Rio! Kalian
tidak apa-apa?” tanya Alvin segera menghampiri keduanya dengan Gabriel dan
Cakka. Mereka berdua menggelengkan kepalanya.
“Sudah, jangan
pikirkan kami! Fokus! Kita sudah berlatih keras untuk pertandingan ini!” kata
Ray sambil tersenyum. Ia segera meninggalkan mereka dan mengejar tim lawan
kembali. Diikuti oleh teman-temannya.
TO BE CONTINUED...
Penasaran? Baca sampai tamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Makasih ya udah baca cerpenku. Silahkan tinggalkan komentar kamu ya.
Semua kritik dan saran aku terima. Pujian juga boleh :p